I. Konsep dasar
A. Anatomi dan fisiologi
1) Kulit Kepala
2) Meningen
5) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi
ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
6) Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk circulus Willisi.Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.
B. Pengertian
Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur
tengkorak, komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan
perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral,
batang otak). (Doenges, 2012: 270)
Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau
mungkin tidak termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak
dan cedera kepala sering digunakan secara bergantian dalam literatur
kedokteran. (Wikipedia, 2013)
Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan
dalam fungsi mental atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke
kepala. (Medscape, 2014)
Gambar 1. Fraktur tengkorak pada trauma kepala (wikipedia, 2016)
C. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan, dan morfologi cedera (Mansjoer, 2010: 3)
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
a) Trauma Tumpul
Contohnya : Trauma akibat kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b) Trauma Tembus
Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya
2. Keparahan Cedera : berdasarkan skala koma Glasgow (GCS)
a) Ringan : GCS 14-15
b) Sedang : GCS 9-13
c) Berat : GCS 3-8
3. Morfologi cidera
a) Fraktur Tengkorak
1) Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi;
terbuka/tertutup.
2) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal;
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
b) Lesi Intrakranial
1) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
2) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera
aksonal difus
Menurut Doenges (2012: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak
langsung (akselerasi/deselerasi otak).
2. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui
akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea
atau hipotensi sistemik.
D. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani
(2011), yaitu :
1. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Jatuh.
3. Kecelakaan saat olahraga.
4. Cedera akibat kekerasan.
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2014), etiologi dari
trauma kepala terdiri dari :
1. Benda tajam.
2. Benda tumpul.
3. Peluru.
4. Kecelakaan lalu lintas
E. Tanda dan gejala
F. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2010:7)
sebagai berikut:
1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala
tertutup.
2. Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos,
kemosis dan bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari
setelah cedera.
3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon
antideuretik.
4. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama),
dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang
segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukan resiko meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini
harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
G. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif
tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba
tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah
secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial,
dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada
upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal
diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan
terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada
hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Benturan Benda tajam, Benda
tumpul, Peluru, Kecelakaan lalu
lintas
Trauma kepala
Perubahan autoregulasi
Perdarahan hematom Gg. Suplai darah
Objektif Subjektif
(takikardia)
Akral dingin
Hidung dan mulut mengeluarkan
darah atau perdarahan masif
Anemis (+)
Disability Mata : pupil anisokor Pasien Perfusi jaringan
Reaksi cahaya menurun mengatakan (serebral) tidak
merasa
Penurunan GCS lemas/lemah, efektif
Peningkatan TIK mual dan terasa Nyeri akut
nyeri pada
Kerusakan system saraf pusat atau Mual
kepala
neuromuskular Gangguan mobilitas
fisik
Gangguan
komunikasi verbal
Gangguan persepsi
sensori
Risiko cedera
2. Pengkajian dasar
a. Identitas pasien
1) Tanggal/ Jam 7) Status Perkawinan
2) Nama 8) Sumber Informasi
3) No RM 9) Agama
4) Diagnosa Medik 10) Pendidikan
5) Usia 11) Alamat
6) Jenis Kelamin 12) Suku
b. Riwayat sakit dan kesehatan
1) Keluhan utama MRS
2) Keluhan utama saat pengkajian
3) Riwayat penyakit saat ini
4) Riwayat alergi
5) Riwayat pengobatan
6) Riwayat penyakit sebelumnya
7) Riwayat penyakit keluarga
Objektif Subjektif
Bowel -
Bone -
RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO. TUJUAN &
KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Bersihan jalan Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
nafas tidak efektif keperawatan selama 3 X 15
1. Kaji kepatenan jalan nafas 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh
berhubungan menit diharapkan pasien
dengan dapat mempertahankan akumulasi sekret, perlengketan mukosa,
pembentukan kepatenan jalan nafas perdarahan, spasme bronkus, dan/atau
lendir/sekret dengan kriteria hasil :
masalah dengan posisi trakeostomi/selang
Tidak terdapat suara
endotrakeal
nafas tambahan (rales,
ronchi, wheezing, 2. Evaluasi gerakan dada dan auskultasi untuk 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas
crakels, snoring) bunyi nafas bilateral melalui area paru menunjukkan letak
Frekuensi nafas dalam selang tepat/ tak menutup jalan nafas.
batas normal (RR 16- Obstruksi jalan nafas bawah (mis.
24x/menit) Pneumonia/atelektasis) menghasilkan
Irama nafas regular perubahan pada bunyi nafas seperti ronchi,
Tidak terdapat produksi mengi
sekret/sputum 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke
3. Awasi letak selang endotrakeal
bronkus kanan, sehingga menghambat
Ekspansi dada simetris, aliran udara ke paru kiri dan pasien
tidak terdapat berisiko untuk pneumothorak tegangan
penggunaan otot bantu
pernafasan, tidak ada 4. Pasien intubasi biasanya mengalami reflek
4. Catat peningkatan dispnea, sekret terlihat
retraksi dada batuk tak efektif atau pasien dapat
pada selang endotrakeal/trakeostomi, suara
Tidak ada dispnea, mengalami gangguan neuromuskuler atau
nafas tambahan (rales, ronchi, wheezing,
orthopnea neurosensori
crakels, snoring)
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, batasi 5. Penghisapan tidak harus rutin, dan
Kolaborasi :
Kolaborasi :
8. Berikan bronkodilator IV dan aerosol sesuai 8. Meningkatkan ventilasi dan membuang
indikasi sekret dengan relaksasi otot halus/spasme
bronkus
2 Pola nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
efektif keperawatan selama 3 X 15
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman 1. Intubasi, ventilasi mekanik lama,
berhubungan menit diharapkan pola
dengan disfungsi nafas pasien efektif dengan pernapasan ketidakmampuan umum, malnutrisi, usia,
neuromuscular kriteria hasil : dan prosedur invansif adalah factor dimana
karena penurunan
Tidak terdapat suara pasien potensial mengalami infeksi dan
aliran darah otak
dan penekanan nafas tambahan (rales, lama sembuh
pusat pernafasan di ronchi, wheezing,
medulla oblongata
dan pons crakels, snoring) 2. Untuk mengidentifikasi adanya masalah
2. Auskultasi suara napas dan adanya suara-
Frekuensi nafas dalam paru atau obstruksi jalan napas yang
suara tambahan yang tidak normal
batas normal (RR 16- membahayakan oksigenasi serebral
24x/menit)
Irama nafas regular
3. Kemampuan memobilisasi atau
Refleks gag dan reflex 3. Kaji reflex yang penting untuk bernapas
membersihkan sekresi penting untuk
menelan (+) “gag” reflek dan reflex menelan
pemeliharaan jalan napas.
5. Tinggikan kepala pasien 15-450 sesuai 5. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
indikasi/yang dapat ditolerir sehingga akan mengurangi kongesti dan
edema atau risiko terjadinya peningkatan
TIK
6. Monitor BGA dan/atau saturasi O2 6. Menentukan kecukupan pernapasan
(kemunculan dari hipoksia/asidosis) dan
mengindikasikan kebutuhan akan terapi;
adekuatnya oksigen sangat penting dalam
mempertahankan metabolisme otak
Kolaborasi :
Kolaborasi :
7. Berikan obat sesuai indikasi :
7. Memberikan obat sesuai indikasi :
Diuretik, mis. manitol, furosemid
Diuretik dapat digunakan pada fase akut
untuk menurunkan TIK
Steroid, mis. deksametason, metil Menurunkan inflamasi
prednisolon,
Antikonvulsan, mis. fenitoin
Obat pilihan untuk mengatasi dan
mencegah terjadinya aktivitas kejang
Dapat diindikasikan untuk
Analgesik menghilangkan nyeri dan dapat
berakibat negatif pada TIK tetapi harus
digunakan dengan hati-hati untuk
mencegah gangguan pernapasan
Dapat digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi
Sedatif Menurunkan atau mengendalikan
demam dan meningkatakan
Kolaborasi Kolaborasi
Campbell, J.E. 2014. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First
Responden, 4th Ed. New Jersey: Pearson Education
Guyton. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Price. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC