Anda di halaman 1dari 27

Makalah Hukum Pidana Internasional

Tentang Kejahatan Perang


D

Oleh

ALVINES

ASTY THANIA DAYANTY

ARI OKTARIO

NOVITA SIMANJUNTAK

T.A 2018/2019
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt. Karena dengan izinnya hingga makalah
ini dapat diselesaikan, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca, untuk kedepannya semoga
kami dapat memerbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu, kami sangat
berharap saran dan kritik demi perbaikan makalah ini.

Medan, 24 April 2019

ii
DAFTAR ISI

Judul Halaman........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 3

A. Kejahatan Perang.............................................................................................. 4

B. Konvensi yang Mengatur Kejahatan Mengenai Perang.................................... 5

C. Bentuk Kejahatan Perang………........................................................................ 7

D. Bentuk Kejahatan Perang Menurut Statuta Roma 1998.................................... 12

E. Tanggung Jawab Atas Kejahatan Perang………………………………………..14

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 20

A. Kesimpulan....................................................................................................... 20

B. Saran................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern,
perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin
dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian
maka menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian
harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata
kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini adalah
para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun
secara umum perang berarti "pertentangan". Sepanjang sejarahnya, manusia telah
membuktikan diri sebagai produsen penderitaan yang ulung. Makin maju
peradaban, makin mangkus dan besar-besaran penderitaan yang ditimbulkan.
Saluran yang dipakai untuk menimpakan penderitaan bermacam-macam, mulai
dari politik, militer, hukum, kejahatan, sosial, ekonomi, dan agama. Jean Pictet
sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
suatu kenyataan yang menyedihkan selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat
manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang menjadi salah satu
bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri yang dianggap baik
dalam pergaulan antarmanusia maupun antarbangsa. Selama 5600 tahun terakhir
manusia telah menggelar 14.600 perang. Hal ini menandakan bahwa konflik

1
bersenjata atau perang telah ada dan terjadi ribuan tahun yang lalu meskipun
berbeda situasi dan derajatnya dengan konflik bersenjata pada masa kini.1

B. Rumusan Masalah

1. apa yang dimaksud kejahatan perang ?

2. konvensi apa saja yang mengatur mengenai kejahatan perang ?

3. apa saja bentuk kejahatan perang yang diatur dalam StatutaRoma


1998?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud kejahatan perang.

2. Untuk mengetahui konvensi apa saja yang mengatur kejahatan


perang.

3. Untuk mengetahui apa saja bentuk kejahatan perang menurut


Statuta Roma 1998.

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Perang diakses tanggal 13 desember 2017

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perang dalam Hukum Humaniter Internasional


Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu
permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau
pertempuran bersenjata anta dua pasukan tentara dan laskar. Dalam arti tersebut
dapat kita jabarkan pengertian perang dalam 4 arti, anatara lain:2
1. Permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb);
2. Pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih
(tentara, laskar, pemberontak, dsb.);
3. Perkelahian; konflik;
4. Cara mengungkapkan permusuhan.

Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah


kekerasan terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis,
pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga
diartikan suatu kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau
serangan terhadap gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain.3

Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Perang secara purba dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern,
perang lebih mengarah pada surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini
tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti “Barang siapa menguasai
ketinggian maka menguasai dunia”, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 854

3 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Elsam, Jakarta, 2000, hal. 15

3
ketinggian harus dicapai oleh teknologi.

Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-


besaran antara kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini
hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk
mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antara manusia,
maupun dalam pergaulan antara bangsa.

Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia.
Suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang
tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang berdiri sendiri dimuali dengan tulisan-tulisan mengenai
hukum perang. 4

Dalam hukum internasional aturan yang mengatur masalah perang biasa


disebut dengan Hukum Humaniter, dimana menurut Mochtar Kusumaatmadja
hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur
perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang
itu sendiri.

B. Kejahatan Perang.
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang pembuatan makalah
ini mengenai apa itu perang, maka harus kita ketahui bahwa dalam peperangan
pun dapat terjadi tindak pidana atau terjadi pelnggaran.

4 “Perang”, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang, diakses pada tanggal 3 Desember


2016, pukul 07.15. WIB

4
Tindak pidana perang ini merupakan bentuk pelanggaran hukum perang
yang telah diatur oleh empat konvensi jenewa (the Four Geneva Convention)
tahun 1949. Konvensi ini membagi dua pelanggaran hukum perang, yaitu
pelanggaran biasa dan pelanggaran berat (grave breaches). Pelanggaran biasa
adalah pelanggaran hukum perang atau jus in bello. Menurut Benjamin B.
Ferencz, tindak pidana perang secara umum dapat didefinisikan sebagai berikut :

“other purpose of civilian population of or in occupied territory, murder


or ill-treatment of prisoners of war or person on the seas, killing of hostages,
plunder or public or private property, wanto destruction of cities, town or villages,
or devastation not justified by military necessity”

Pelanggaran hukum perang yang dilakukan terhadap Bangsa, masyarakat


sipil, atau militer, ataupun terhadap harta benda. Sementara itu pelanggaran berat
hukum perang merupakan suatu tindak pidana Internasional. Beberapa ketentuan
dalam konvensi yang mengatur tentang pelanggaran hukum perang sebagai tindak
pidana internasional adalah pasal 49,50,129 dan 146. Selain empat konvensi
jenewa tahun 1949 pelanggaran hukum perang ini juga diatur dalam dua protocol
tambahan. Kedua hukum perang internasional ini mewajibkan kepada Negara-
negara penandatangan (signatory states) untuk menghukum atau mengektradisikan
pelaku.5

C. Konvensi yang Mengatur Mengenai Kejahatan Perang

Kejahatan perang di atur oleh beberapa Statuta atau Konvensi


Internasional yang mengatur tentang tindakan kejahatan perang, diantaranya
diatur dalam Konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang didarat
tanggal 18 Oktober 1907, kemudian kejahatan perang diatur juga dalam Konvensi

5 Oentoeng Wahjoe, Hukum PIdana Internasional, Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan
Proses Penegakannya, Erlangga, Jakarta, 2011. Hlm 49-50

5
Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang menetapkan perlindungan kemanusiaan
bagi warga sipil di zona perang, dan perampok, dan praktek perang total . Dan
Protokol tambahan Jenewa tahun 1977, serta Aliran New York ( The Current of
New York ) .

Ø Konvensi Den Haag :

Sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada


pengaturan tata-cara berperang dan penggunaan senjata yang
diperbolehkan (conduct of war & permissible means of war). Perkembangan
Hukum Den Haag dimulai pada tahun 1863 ketika Presiden AS Abraham Lincoln
mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan bagi pasukan AS dalam Perang
Saudara. Instruksi Lieber berisi tentang perilaku berperang, standar perlakuan bagi
tawanan perang. Instruksi Lieber (Lieber Code) disusun oleh Francis Lieber,
seorang Amerika keturunan Jerman. Meskipun hanya merupakan dokumen
domestik, Instruksi Lieber memiliki arti penting bagi perkembangan Hukum
Humaniter Internasional. Dokumen ini menjadi model upaya kodifikasi hukum
dan kebiasan perang pada lingkup internasional. Perkembangan berikutnya terjadi
tahun 1868, dengan dikeluarkannya Declaration Renouncing the Use, in Time of
War, of Explosive Projectiles under 400 Grammes Weight (Deklarasi St.
Petersburg) Tahun 1899 diselenggarakan Konferensi Den Haag I yang antara lain
menghasilkan Convention with Respect to the Laws and Customs of War on
Land. Tahun 1907 diselenggarakan Konferensi Den Haag II yang menghasilkan
penyempurnaan hasil Konferensi Den Haag I dan konvensi-konvensi lain. Tahun
1925 Konferensi Jenewa menghasilkan Protocol for the Prohibition of the Use in
War of Ashpyxiating, Poisonous or Other Gases, and Bacteriological Methods of
Warfare.

Ø Konvensi Jenewa:

sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada


kondisi korban perang (conditions of war victims). Tahun 1864 di Jenewa

6
diselenggarakan konferensi internasional yang menghasilkan Convention on the
Amelioration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field. Tahun
1899 dibuat konvensi serupa, namun ditujukan bagi korban perang di laut.

Ø Aliran New York:

sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada


aspek HAM dalam pertikaian bersenjata. Aliran New York melahirkan
mekanisme pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan perang (sebagai suatu
kategori pelanggaran HAM) pada lingkup internasional melalui Mahkamah
Nurnberg, ICTY, ICTR dan ICC.

D. Bentuk-Bentuk Kejahatan Perang


Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang
berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan
konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau
metode peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag”, yaitu hukum
yang berasal dari konvensi-konvensi Den Haag thun 1899 dan 1907). Tindakan
lainnya adalah tindakan yang menyakiti orang-orang yang dilindungi yang sakit
dan terluka, korban kapal karam atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”,
yaitu hukum yang berasal dari Konvensi-konvensi Jenewa).
Tindakan ilegal inilah yang akhirnya disebut suatu kejahatan perang,
dimana kejahatan perang dapat dikategorikan sebagai berikut:

a) Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pmbunuhan’ perlakuan


kejam dan penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk eksperimen medis);
perkosaan; tindakan sengaja yang menyebabkan penderitaan berat atau luka
serius pada tubuh atau kesehatan; dan mutilasi.
b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil panen;
perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi; perusakan pada
kota-kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa kepentingan militer; serangan
atau pembombardiran terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemukiman,

7
atau bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap
lembaga-lembaga kebudayaan tertentu.
c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi
penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa tahanan perang
atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa musuh;
dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang
dilindungi untuk mendapat pengadilan reguler yang adil; dan eksekusi tanpa
pengadilan.
d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku curang
dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional; penggunaan senjata
beracun atau senjata lain yang terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak
seharusnya.
Selain 4 bentuk-bentuk kejahatan perang diatas, terdapat 2 macam kejahatan
perang yaitu:

A. Grave Breaches of the Geneva Conventions of 1949


Seperti yang dijabarkan sebelumnya, kejahatan perang yang merupakan
grave breaches of the Geneva Convention of 1949 mempunyai bermacam-
macam bentuk antara lain:

a. Wilful killing
Kejahatan wilful killing terjadi ketika sang korban mati sebagai hasil
dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku, dimana tindakan tersebut
dimaksudkan untuk membunuh, atau mencederai secara serius yang dapat secara
aman diasumsikan bahwa ia paham bahwa tindakan mencederai tersebut dapat
berakibat kematian, dan tindakan yang ia lakukan ini dilakukan terhadap orang
yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949.6 Istilah ‘wilful killing’ berasal
dari keempat Konvensi Jenewa, yaitu: Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51
Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi

6 ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004, par. 36

8
Jenewa IV.

b. Torture or Inhuman treatment, including biological experiments

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan


International Criminal Tribunal for Rwanda telah mengadopsi definisi dari
kejahatan torture yang sejalan dengan Convention Against Torture (CAT) yang
memiliki unsur-unsur sebagai berikut: menyebabkan penderitaan atau sakit yang
parah, dalam bentuk fisik ataupun mental, melalui suatu tindakan atau omisi;
tindakan atau omisi tersebut memang dimaksudkan (intentional); tindakan atau
omisi tersebut harus terjadi dengan maksud untuk mendapatkan informasi atau
pengakuan, atau untuk menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau
pihak ketiga, atau untuk mendiskriminasi atas dasar apapun, terhadap korban
atau pihak ketiga.
c. Wilfully causing great suffering or serious injury to body or
health
Terjadi ketika sebuah tindakan atau omisi yang dimaksudkan (intentional)
yang diarahkan kepada orang yang dilindungi di bawah Konvensi Jenewa 1949.
Tindakan ini menyebabkan penderitaan atau cedera mental atau fisik serius, dengan
tingkatan penderitaan atau cedera yang dibutuhkan untuk memenuhi unsur dapat
dibuktikan.
d. Extensive destruction and appropriation of property, not justified
by military necessity and carried out unlawfully and wantonly
Kejahatan ini terjadi ketika unsur-unsur umum dari Grave Breaches of
Geneva Convention 1949 telah terpenuhi, yaitu unsur konflik
bersenjatainternasional dan nexus. Unsur-unsur berikutnya yang harus dipenuhi
adalah kerusakan berlebihan pada benda, dan kerusakan berlebihan ini terjadi
pada bendayang memiliki perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 1949 atau
kerusakanberlebihan yang terjadi tidak benar-benar dibutuhkan dan harus
dilakukan dalamoperasi militer terkait dengan benda yang terletak di wilayah
yang dikuasai. Sangpelaku bertindak dengan maksud (intent) menghancurkan
benda ini atau dengantidak hati-hati (reckless) tidak menghiraukan kemungkinan

9
kehancuran bendatersebut.7
e. Compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the forces of
a hostile power

Kejahatan ini terjadi ketika pelaku melakukan pemkasaan terhadap


satu orang atau lebih, melalui tindakan atau ancaman, untuk bergabung dalam
operasi militer terhadap warga negara atau pasukan negaranya sendiri, atau
dipaksa melayani dalam pasukan musuh.8

f. Wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the rights of


fair and regular trial
Kejahatan ini terjadi ketika pelaku merampas hak untuk diadili secara
fair dan wajar (fair and regular trial) dari satu orang, yang dilindungi di bawah
Konvensi Jenewa 1949, atau lebih, dengan menolak jaminan yudisial seperti
yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa III dan IV tahun 1949.

B. Violations of the Laws or Customs of War


Berikut ini adalah macam-macam bentuk violations of the laws or
customs of war dalam hukum humaniter internasional, antara lain:

a. Employment of poisonous weapons or other weapons calculated


to cause unnecessary suffering
Kejahatan penggunaan senjata semacam ini merupakan tindakan
penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Unsur-
unsur ini dapat dilihat dari Pasal 8(2)(b)(xviii-xix) Elements of Crimes dari
Statuta Roma yang memerlukan pelaku untuk menggunakan senjata yang

7ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Naletilic and Martinovic, 31 Maret 2003, par.577

8 Elements of Crimes dari Statuta Roma International Criminal Court, Psl.8(2)(a)(vi)

10
dilarang dan senjata yang dilarang itu menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu, dan sang pelaku menyadari akan kemungkinan senjata tersebut akan
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Pelaku mengetahui tindakan ini
dilakukan dalam konteks konflik bersenjata dan terdapat nexus antara tindakan
dan konflik bersenjata.

a. Wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not


justified by military necessity
Kejahatan ini terjadi ketika kehancuran benda terjadi dalam skala
besar, kehancuran tersebut tidak dapat dijustifikasi dengan kepentingan militer
(military necessity), dan pelaku melakukan tindakan tersebut dengan keinginan
(intent) untuk menghancurkan benda, atau secara ceroboh (reckless) tidak
menghiraukan kemungkinan kehancuran dari benda tersebut. Apabila benda
tersebut terletakdalam wilayah musuh, maka benda tersebut tidak dilindungi
dalam Konvensi Jenewa 1949 dan oleh sebab itu benda tersebut hanya dilindungi
oleh Pasal 3Bersama Konvensi Jenewa 1949.

b. Attack, or bombardment, by whatever means, of undefended


towns, villages, dwellings, or buildings
Pada dasarnya kejahatan ini merupakan violation of the laws or
customs of war. Oleh karena ia adalah violation of the laws or customs of war
maka serangan yang dilakukan harus merupakan suatu sarana atau cara
berperang yang menyebabkan kematian dan/atau cedera badan yang serius dalam
populasipenduduk sipil atau memberikan kerusakan pada harta benda penduduk
sipil.

c. Seizure of, destruction or wilful damage done to institutions


dedicated to religion, charity and education, the arts and sciences,
historic monuments and works of art and science

Pelarangan terhadap tindakan ini berasal dari Konvensi Hague IV


1907.104 Kejahatan ini merupakan merupakan pelanggaran terhadap nilai- nilai
terutama nilai-nilai yang dilindungi oleh masyarakat internasional.
11
d. Plunder of public or private property

Tindakan ini adalah semua bentuk apropriasi properti yang tidak sah
dalam konflik bersenjata yang terkait dengan tanggung jawab pidana individu,
termasuk juga apa yang disebut dengan pillage. Berdasarkan pada Konvensi
Jenewa, publicproperty dan private property tidak dibedakan.9

D. Bentuk Kejahatan Perang Menurut Statuta Roma


1998

Pengertian Tindak Pidana Perang sebagaimana telah dijelaskan diatas,


terdapat pula dalam Satuta Roma tahun 1998 (Rome Statute of The International
Criminal Court). Dalam pasal 8 ayat (2) butir (a) mengatakan bahwa yang
termasuk dalam tindak pidana perang adalah semua pelanggaran berat terhadap
Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu perbuatan yang ditujukan
terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan
Konvensi Jenewa yang relevan meliputi10 :

a. Sengaja melakukan pembunuhan

b. Penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk percobaan


percobaan biologi.

c. Sengaja menimbulkan penderitaan yang berat atau luka badan atau


kesehatan yang serius.

9 ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004, par.79,84

10 Oentoeng Wahjoe, Hukum PIdana Internasional, Perkembangan Tindak Pidana Internasional


dan Proses Penegakannya, Erlangga, Jakarta, 2011.hlmn 50

12
d. Perusakan secara luas dan perampasan terhadap harta benda, tidak ada
hubungannya dengan kepentingan militer dan dilakukan dengan cara melawan
hukum dan semena-mena.

e. Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya


untuk berdinas dalam ketentaraan Negara musuh.

f. Sengaja melakukan pencabutan hak tawanan perang atau orang yang


dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan wajar.

g. Deportasi atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum.

Dalam butir (b) pasal ino ditetapkan bahwa yang termasuk tindak pidana peang
adalah pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional,
meliputi11:

a. Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau


orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam pertempuran.

b. Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil yang bukan


sasaran militer.

c. Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap personel, instalasi-


instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi
penjaga perdamaian sesuai dengan piagam, sepanjang mereka berhak atas
perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum
internasional tentang konflik bersenjata.

d. Dengan sengaja melancarkan serangan yang diketahuinya nahwa serangan


itu akan menimbulkan kematian atau cidera terhadap penduduk sipil, atau

11 Oentoeng Wahjoe, Hukum PIdana Internasional, Perkembangan Tindak Pidana Internasional


dan Proses Penegakannya, Erlangga, Jakarta, 2011.hlmn 50-51

13
kerusakan terhadap sasaran sipil atau mengakibatkan kerusakan yang meluas,
sangan berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara
tegas melampaui batas dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi
keuntungan-keuntungan militer yang nyata dan langsung.

e. Penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan gedung


yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer.

f. Pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah, yaitu mereka


yang sudah meletakan senjatanya atau sudah tidak lagi memiliki sarana untuk
melawan.

g. Penggunaan bendera gencatan senjata, tanda-tanda atu seragam militer


musuh atau PBB, juga tanda pembeda yang diatur dalam konvensi jenewa dengan
tidak semestiya, yang mengakibatkan kematian atau luka berat.

h. Dan seterusnya.

E. Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang

1. Pertanggungjawaban negara

Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan


kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional.
Pertanggungjawaban muncul diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum
internasional, suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara
tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar
kedaulatan wilayah lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan
diplomatik negara, bahkan memperlakukan warga asing dengan seenaknya.
Munculnya konsep tanggung jawab negara bisa dilihat dari adanya
prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum
internasional. Berdasarkan prinsip tersebut suatu negara yang haknya telah

14
dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggung jawaban.12 Tanggung
jawab negara timbul karena negara sebagai subjek hukum, pihak yang dapat
dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum. Subjek hukum adalah pihak
yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.13
Perihal tanggung jawab negara berpedoman pada suatu draft yang
dihasilkan oleh Komisi hukum internasional (International Law
Commission/ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1947, melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara.

Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh


ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft
artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara
timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara
internasional (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional
dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang
memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :
1. Diatribusikan kepada negara melalui hukum internasional

2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional

Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak


sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12).
Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19
yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan
(coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah

12 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997.

13 Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm. 16

15
secara internasional.
Hukum humaniter internasional mengatur mengenai kewajiban negara
dalam kaitanya dengan kejahatan perang, kewajiban pertama adalah negara
diwajibkan membentuk aturan nasional dalam negaranya untuk mengatur
mengenai kejahatan perang di dalam aturannya diwajibkan mengatur mengenai
pelaku kejahatan perang, dimana aturan tersebut harus bersifat universal
tanpa memandang kewarganegaraan pelaku maupun pihak yang menyuruh
lakukan kejahatan perang, yang dilakukan didalam atau diluar wilayah negara
tersebut, Aturan tersebut tercakup dalam beberapa instrument internasional,
yaitu:
a) Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan korban
perang dalam konflik bersenjata internasional. “Ketentuan dalam konvensi yang
berkaitan dengan pelanggarn berat menurut bagian ini akan diberlakukan aturan
sesuai pelanggaran berat menurut protokol ini.’’ 14. Kewajiban negara mengatur
dalam tingkat nasional, suatu negara mempunyai kewajiban untuk saling
membantu berkaitan dengan pelanggaran berat, dimungkinkan juga melalui
kerjasama dalam ekstradisi.15
b) Konvensi Jenewa I, II, III, IV tentang perlindungan korban perang .
“Pihak dalam konvensi ini memberlakukan undang-undang yang diperlukan
untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi orang, yang melakukan, atau
orang yang memerintahkan apabila melakukan pelanggaran berat sesuai definisi
yang didalam pasal ini.
Dengan ketentuan tersebut maka aturan kejahatan perang yang ada
dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 ditambah dengan Protokol Tambahan I
menjadi aturan yang seharusnya diterapkan oleh Negara dalam aturan hukum
nasionalnya.

Konvensi Den Haag 1954 tentang perlindungan benda budaya dalam

14 Pasal 85 ayat (1) PT I

15Pasal 88 Protokol Tambahan 1977

16
konflik bersenjata, kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan
untuk menghukum dan memberikan sanksi atas seseorang apapun itu
kewarganegaraanya yang telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran
berkaitan dengan perlindungan budaya pada konflik bersenjata.
c) The Statue of the International Criminal Court (ICC)

The statue affirm that national courts have primary responsibility for
trying such crimes 29

The jurisdiction of the ICC is complementary to that of state:it may be


exercised solely when a state is unable genuinely to carry out the investigation
or prosecution of alleged criminals under its jurisdiction, or is unwilling to do
so.

If they wish to avail themselves of their own courts jurisdiction, the


states Parties must have suitable legislation enabling them to bring these
persons to trial in accordance with the requirements of the statute.The States
Parties are also obliged to coorporate fully with the ICC in its investigation and
prosecution of crimes within its jurisdiction.1

In addiction, they must repress offences againts the administration of


justice by the ICC ehich have been commited in their territory or by one of their
nationals. 16

Dalam penjelasanya negara yang telah menjadi pihak Statuta berarti


memiliki kewajiban untuk mengakui bahwa negara, bukan ICC, memiliki
tanggung jawab utama dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Tidak hanya negara yang
memiliki kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan internasional, namun ICC
juga dapat mengadilinya hanya apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak

16 Preambule Statuta Roma 1998

17
mau melaksanakan kewajibanya. Jika ICC menjadi pelengkap suatu negara
dalam sistem pengadilan internasional, maka negara tersebut harus
melaksanakan tanggung jawabnya. Negara harus membuat dan menegakkan
hukum nasionalnya yang mengatur kejahatan terhadap hukum internasional.
Ukraina berkewajiban untuk mengamankan peta navigasi udaranya dengan
menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah tempat konflik bersenjata
terjadi.

2. Tanggung jawab individu


Individu mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab atas kejahatan
perang yang dilakukan oleh individu itu sendiri, atau mereka yang melakukan,
atau mereka yang memerintahkan, atau mereka yang membantu orang lain untuk
melakukan kejahatan perang. Dalam konvensi Jenewa terdapat istilah persons.
Persons yang dimaksud adalah warga negara, baik warga negara dari negaranya
sendiri maupun warga negara lawan yang terikat untuk memenuhi ketentuan
dalam Konvensi Jenewa. Bagi orang / person yang melakukan pelanggaran dapat
dikenai sanksi pidana efektif, tidak hanya pelaku kejahatan yang terikat tetapi
juga orang / person yang menyuruh melakukan kejahatan perang. Tidak ada
ketentuan yang menyebut pertanggungjawaban bagi orang yang gagal mencegah
terjadinya pelanggaran.17
Pertanggung jawaban pidana secara individu sudah ada saat
dibentuknya Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, sejak saat itu
individu sebagai pihak dalam pengadilan internasional/tersangka kejahatan
internasional. Sejarah dan perkembangan awal dari prinsip individual
responsibility dihadapan pengadilan internasional yang menjadi dasar ICTY,
ICTR, dan Konvensi Jenewa 1949 untuk mengadopsi sistem
pertanggungjawaban individu dalam hal kejahatan internasional. Pasal 25 Statuta

17Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H., M.Hum
Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hlm 129

18
Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan yuridiksi atau orang, seorang yang
melakukan kejahatan didalam juridiksi mahkamah bertanggung jawab secara
individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran yang dia lakukan.
Pertanggung jawaban individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada
pembedaan, meskipun dia seorang kepala negara atau pemerintahan atau
parlemen, Statuta Roma 1998 tidak mengecualikan seseorang dari tanggung
jawab pidana dibawah statuta ini. Pejabat negara akan bertanggungjawab
terhadap segala tindakan yang dilakukan atas nama Negara.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tindak pidana perang ini merupakan bentuk pelanggaran hukum perang yang
telah diatur oleh empat konvensi jenewa 1949. Konflik bersenjata terdiri dari konflik
bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non-
internasional. Pasal 3 tersebut menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam
wilayah suatu negara berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang tidak turut
serta secara aktif dalam pertikaian.

Kejahatan perang di atur oleh beberapa Statuta atau Konvensi


Internasional yang mengatur tentang tindakan kejahatan perang, diantaranya diatur
dalam Konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang didarat tanggal 18
Oktober 1907, kemudian kejahatan perang diatur juga dalam Konvensi Jenewa
tanggal 12 Agustus 1949 yang menetapkan perlindungan kemanusiaan bagi warga
sipil di zona perang, dan perampok, dan praktek perang total dan Protokol tambahan
Jenewa tahun 1977, serta Aliran New York ( The Current of New York ) .

Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum
Humaniter, yaitu :
1) Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed
conflict)
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa
bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa
bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di

20
dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat
(4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Sengketa bersenjata yang bersifat Nasional / non-internasional” (non-international
armed conflict).
Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai
“perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk
perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara
pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa
perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya
berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa
1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Kemudian selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis
konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian?
Karena tidak semua ‘konflik’ yang ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun
konflik tersebut menggunakan senjata serta mengakibatkan kerusakan dan
kehancuran. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977
yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan
ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang
bersifat sporadis dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya,
yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat
tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi
masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas
konflik yang relatif masih rendah.

21
B. Saran

Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap peperangan yang terjadi di dunia,


maka semua Negara harus menyepakati dan juga meratifikasi apa yang telah adal
dalam konvensi-konvensi mengenai kejahatan perang. Karena kejahatan perang ini
merupakan bentuk dari pelanggaran HAM, maka dari itu karena HAM bersifat
universal maka seharusnya seluruh Negara di dunia meratifikasi konvensi-konvensi
tentang kejahatan perang.

Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui


dan memahami tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai
jenis-jenis konflik bersenjata.Kita sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan
oleh karena itu marilah kita bersama saling mengisi kekurangan itu dengan berbagi
pengetahuan. Tim penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat
kurang dan sangat terbatas untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat
diharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca.
Karena tim penulis memahami sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam tahap
pembelajaran.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang diakses tanggal 13 desember 2017

Oentoeng Wahjoe, Hukum PIdana Internasional, Perkembangan Tindak Pidana


Internasional dan Proses Penegakannya, Erlangga, Jakarta

Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997.

Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H.,


M.Hum Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

international.sindonews.com/ Dikira Pesawat Ukraina, Ini Pengakuan Penembak


MH17 diakses pada 7 Januari 2015

Statuta Roma 1998 http://www.icccpi.int/declaration Recognition Juristiction


diakses pada 10 Desember 2014

Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan
HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.

Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah


1949, Alumni, Bandung, 2002.

23
24

Anda mungkin juga menyukai