Oleh
ALVINES
ARI OKTARIO
NOVITA SIMANJUNTAK
T.A 2018/2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt. Karena dengan izinnya hingga makalah
ini dapat diselesaikan, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca, untuk kedepannya semoga
kami dapat memerbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi.
ii
DAFTAR ISI
Judul Halaman........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 3
A. Kejahatan Perang.............................................................................................. 4
A. Kesimpulan....................................................................................................... 20
B. Saran................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern,
perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin
dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian
maka menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian
harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata
kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini adalah
para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun
secara umum perang berarti "pertentangan". Sepanjang sejarahnya, manusia telah
membuktikan diri sebagai produsen penderitaan yang ulung. Makin maju
peradaban, makin mangkus dan besar-besaran penderitaan yang ditimbulkan.
Saluran yang dipakai untuk menimpakan penderitaan bermacam-macam, mulai
dari politik, militer, hukum, kejahatan, sosial, ekonomi, dan agama. Jean Pictet
sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
suatu kenyataan yang menyedihkan selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat
manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang menjadi salah satu
bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri yang dianggap baik
dalam pergaulan antarmanusia maupun antarbangsa. Selama 5600 tahun terakhir
manusia telah menggelar 14.600 perang. Hal ini menandakan bahwa konflik
1
bersenjata atau perang telah ada dan terjadi ribuan tahun yang lalu meskipun
berbeda situasi dan derajatnya dengan konflik bersenjata pada masa kini.1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Perang secara purba dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern,
perang lebih mengarah pada surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini
tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti “Barang siapa menguasai
ketinggian maka menguasai dunia”, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 854
3
ketinggian harus dicapai oleh teknologi.
Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia.
Suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang
tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang berdiri sendiri dimuali dengan tulisan-tulisan mengenai
hukum perang. 4
B. Kejahatan Perang.
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang pembuatan makalah
ini mengenai apa itu perang, maka harus kita ketahui bahwa dalam peperangan
pun dapat terjadi tindak pidana atau terjadi pelnggaran.
4
Tindak pidana perang ini merupakan bentuk pelanggaran hukum perang
yang telah diatur oleh empat konvensi jenewa (the Four Geneva Convention)
tahun 1949. Konvensi ini membagi dua pelanggaran hukum perang, yaitu
pelanggaran biasa dan pelanggaran berat (grave breaches). Pelanggaran biasa
adalah pelanggaran hukum perang atau jus in bello. Menurut Benjamin B.
Ferencz, tindak pidana perang secara umum dapat didefinisikan sebagai berikut :
5 Oentoeng Wahjoe, Hukum PIdana Internasional, Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan
Proses Penegakannya, Erlangga, Jakarta, 2011. Hlm 49-50
5
Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang menetapkan perlindungan kemanusiaan
bagi warga sipil di zona perang, dan perampok, dan praktek perang total . Dan
Protokol tambahan Jenewa tahun 1977, serta Aliran New York ( The Current of
New York ) .
Ø Konvensi Jenewa:
6
diselenggarakan konferensi internasional yang menghasilkan Convention on the
Amelioration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field. Tahun
1899 dibuat konvensi serupa, namun ditujukan bagi korban perang di laut.
7
atau bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap
lembaga-lembaga kebudayaan tertentu.
c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi
penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa tahanan perang
atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa musuh;
dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang
dilindungi untuk mendapat pengadilan reguler yang adil; dan eksekusi tanpa
pengadilan.
d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku curang
dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional; penggunaan senjata
beracun atau senjata lain yang terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak
seharusnya.
Selain 4 bentuk-bentuk kejahatan perang diatas, terdapat 2 macam kejahatan
perang yaitu:
a. Wilful killing
Kejahatan wilful killing terjadi ketika sang korban mati sebagai hasil
dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku, dimana tindakan tersebut
dimaksudkan untuk membunuh, atau mencederai secara serius yang dapat secara
aman diasumsikan bahwa ia paham bahwa tindakan mencederai tersebut dapat
berakibat kematian, dan tindakan yang ia lakukan ini dilakukan terhadap orang
yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949.6 Istilah ‘wilful killing’ berasal
dari keempat Konvensi Jenewa, yaitu: Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51
Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi
6 ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004, par. 36
8
Jenewa IV.
9
kehancuran bendatersebut.7
e. Compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the forces of
a hostile power
7ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Naletilic and Martinovic, 31 Maret 2003, par.577
10
dilarang dan senjata yang dilarang itu menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu, dan sang pelaku menyadari akan kemungkinan senjata tersebut akan
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Pelaku mengetahui tindakan ini
dilakukan dalam konteks konflik bersenjata dan terdapat nexus antara tindakan
dan konflik bersenjata.
Tindakan ini adalah semua bentuk apropriasi properti yang tidak sah
dalam konflik bersenjata yang terkait dengan tanggung jawab pidana individu,
termasuk juga apa yang disebut dengan pillage. Berdasarkan pada Konvensi
Jenewa, publicproperty dan private property tidak dibedakan.9
9 ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004, par.79,84
12
d. Perusakan secara luas dan perampasan terhadap harta benda, tidak ada
hubungannya dengan kepentingan militer dan dilakukan dengan cara melawan
hukum dan semena-mena.
Dalam butir (b) pasal ino ditetapkan bahwa yang termasuk tindak pidana peang
adalah pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional,
meliputi11:
13
kerusakan terhadap sasaran sipil atau mengakibatkan kerusakan yang meluas,
sangan berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara
tegas melampaui batas dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi
keuntungan-keuntungan militer yang nyata dan langsung.
h. Dan seterusnya.
1. Pertanggungjawaban negara
14
dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggung jawaban.12 Tanggung
jawab negara timbul karena negara sebagai subjek hukum, pihak yang dapat
dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum. Subjek hukum adalah pihak
yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.13
Perihal tanggung jawab negara berpedoman pada suatu draft yang
dihasilkan oleh Komisi hukum internasional (International Law
Commission/ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1947, melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara.
13 Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm. 16
15
secara internasional.
Hukum humaniter internasional mengatur mengenai kewajiban negara
dalam kaitanya dengan kejahatan perang, kewajiban pertama adalah negara
diwajibkan membentuk aturan nasional dalam negaranya untuk mengatur
mengenai kejahatan perang di dalam aturannya diwajibkan mengatur mengenai
pelaku kejahatan perang, dimana aturan tersebut harus bersifat universal
tanpa memandang kewarganegaraan pelaku maupun pihak yang menyuruh
lakukan kejahatan perang, yang dilakukan didalam atau diluar wilayah negara
tersebut, Aturan tersebut tercakup dalam beberapa instrument internasional,
yaitu:
a) Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan korban
perang dalam konflik bersenjata internasional. “Ketentuan dalam konvensi yang
berkaitan dengan pelanggarn berat menurut bagian ini akan diberlakukan aturan
sesuai pelanggaran berat menurut protokol ini.’’ 14. Kewajiban negara mengatur
dalam tingkat nasional, suatu negara mempunyai kewajiban untuk saling
membantu berkaitan dengan pelanggaran berat, dimungkinkan juga melalui
kerjasama dalam ekstradisi.15
b) Konvensi Jenewa I, II, III, IV tentang perlindungan korban perang .
“Pihak dalam konvensi ini memberlakukan undang-undang yang diperlukan
untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi orang, yang melakukan, atau
orang yang memerintahkan apabila melakukan pelanggaran berat sesuai definisi
yang didalam pasal ini.
Dengan ketentuan tersebut maka aturan kejahatan perang yang ada
dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 ditambah dengan Protokol Tambahan I
menjadi aturan yang seharusnya diterapkan oleh Negara dalam aturan hukum
nasionalnya.
16
konflik bersenjata, kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan
untuk menghukum dan memberikan sanksi atas seseorang apapun itu
kewarganegaraanya yang telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran
berkaitan dengan perlindungan budaya pada konflik bersenjata.
c) The Statue of the International Criminal Court (ICC)
The statue affirm that national courts have primary responsibility for
trying such crimes 29
17
mau melaksanakan kewajibanya. Jika ICC menjadi pelengkap suatu negara
dalam sistem pengadilan internasional, maka negara tersebut harus
melaksanakan tanggung jawabnya. Negara harus membuat dan menegakkan
hukum nasionalnya yang mengatur kejahatan terhadap hukum internasional.
Ukraina berkewajiban untuk mengamankan peta navigasi udaranya dengan
menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah tempat konflik bersenjata
terjadi.
17Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H., M.Hum
Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hlm 129
18
Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan yuridiksi atau orang, seorang yang
melakukan kejahatan didalam juridiksi mahkamah bertanggung jawab secara
individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran yang dia lakukan.
Pertanggung jawaban individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada
pembedaan, meskipun dia seorang kepala negara atau pemerintahan atau
parlemen, Statuta Roma 1998 tidak mengecualikan seseorang dari tanggung
jawab pidana dibawah statuta ini. Pejabat negara akan bertanggungjawab
terhadap segala tindakan yang dilakukan atas nama Negara.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindak pidana perang ini merupakan bentuk pelanggaran hukum perang yang
telah diatur oleh empat konvensi jenewa 1949. Konflik bersenjata terdiri dari konflik
bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non-
internasional. Pasal 3 tersebut menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam
wilayah suatu negara berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang tidak turut
serta secara aktif dalam pertikaian.
Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum
Humaniter, yaitu :
1) Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed
conflict)
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa
bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa
bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di
20
dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat
(4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Sengketa bersenjata yang bersifat Nasional / non-internasional” (non-international
armed conflict).
Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai
“perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk
perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara
pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa
perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya
berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa
1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Kemudian selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis
konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian?
Karena tidak semua ‘konflik’ yang ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun
konflik tersebut menggunakan senjata serta mengakibatkan kerusakan dan
kehancuran. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977
yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan
ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang
bersifat sporadis dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya,
yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat
tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi
masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas
konflik yang relatif masih rendah.
21
B. Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan
HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.
23
24