Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

Indonesia pernah mengalami kemerosotan ekonomi moneter pada tahun 1997-

1998 ketika itu merupakan masa yang paling sulit yang pernah dialami oleh

Indonesia karena ketidakstabilan dan pengangguran yang terus meningkat dan

pertumbuhan ekonomi yang semakin lambat. Peran Bank Indonesia sebagai bank

sentral-lah yang dapat membalikkan keadaan seperti sebelum krisis ekonomi.

Ekonomi suatu negara merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh bagi

kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara tersebut. Dengan perekonomian, kita

dapat mengukur dan menilai bagaimana perekonomian negaranya dan kita juga bisa

melihat apakah suatu negara tersebut negara berkembang atau negara maju. Apabila

suatu negara tidak dapat menyeimbangkan perekonomiannya, dampaknya akan

menghancurkan negara tersebut dan sangat berpengaruh bagi perekonomian dunia.

Setiap negara akan selalu berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang

optimal untuk membawa bangsanya kepada kehidupan yang lebih baik. Pemerintah

akan mengukur keberhasilan perekonomian negaranya dengan berbagai metode

atau indikator yang paling representative terhadap perubahan perekonomiannya

(Ardra, 2018). Suatu negara dikatakan baik jika ekonominya bertumbuh, salah

satunya dari segi pendapatan nasional riil-nya maupun dari segi pendapatan riil per

kapita yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Perekonomian yang baik juga

dapat dilihat dari tingkat pengangguran yang terus menurun, artinya semakin

banyak lapangan kerja yang tersedia bagi masyarakatnya. Jika hal tersebut terjadi,

maka masyarakat disuatu negara tersebut akan mengalami kesejahteraan dimana


1
2

tercukupinya segala kebutuhan baik dari kebutuhan sekunder, primer, dan tersier.

Pertumbuhan industri juga akan berkembang pesat sehingga memungkinkan jika

negara tersebut dapat menjadi negara maju.

Fenomena yang terjadi saat ini mengalami krisis moneter yang melanda negara-

negara anggota ASEAN, telah memporak-porandakan struktur perekonomian

negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis

moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, telah

menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi-sendi perekonomian

nasional (Atmadja, 2004). Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka

waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan

tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka

inflasi nasional melonjak cukup tajam. Inflasi dapat diartikan sebagai penurunan

nilai mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum.

Inflasi merupakan salah satu fenomena ekonomi yang sering dialami suatu

negara, khususnya Indonesia. Inflasi adalah penyakit ekonomi yang tidak bisa

diabaikan, karena dampak yang ditimbulkan pada perekonomian bisa berakibat

pada ketidakstabilan, partumbuhan ekonomi yang lambat serta pengangguran yang

tinggi (Grebrory, 2001 ) dalam Dayanti (2018). Inflasi merupakan salah satu

permasalahan klassik dalam suatu perekonomian yang dapat mengakibatkan

menurunnya pendapatan riil masyarakat yang secara berkelanjutan mempunyai

dampak negatif dalam perekonomian makro (Santosa, 2017).

Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara

umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat

disebut sebagai inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan
3

kenaikan harga) pada barang lainnya. Jika inflasi meningkat, maka harga barang

dan jasa di dalam negeri mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa juga

menyebabkan turunnya nilai mata uang. Dengan demikian, inflasi dapat juga

diartikan sebagai penurunan nilai mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara

umum.

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation),

dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-

faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar,

dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan

harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi

negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi (Yanti,

2016). Inflasi yang dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditi impor (imported

inflation) seiring dengan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari

terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing

lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan inflasi terlebih dahulu harus dilakukan

penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.

Faktor penyebab terjadinya demand pull inflation adalah tingginya

permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks

makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output

potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada

kepastian perekonomian. Inflasi ini bisa terjadi karena permintaan atau daya tarik

masyarakat yang kuat terhadap suatu barang dan atau karena munculnya keinginan

berlebihan dari suatu kelompok masyarakat yang ingin memanfaatkan lebih banyak

barang dan jasa yang tersedia di pasaran. Karena keinginan yang terlalu berlebihan
4

itu, permintaan menjadi bertambah, sedangkan penawaran masih tetap yang

akhirnya mengakibatkan harga menjadi naik (Rahmani, 2018).

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat

dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspetasi angka inflasi dalam keputusan

kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat

adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di

tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar

keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan Upah Minimum

Regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan

mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa

pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-

demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula

meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan

dalam mendorong peningkatan permintaan.

Dampak negatif inflasi dipasaran, produsen cenderung memanfaatkan

kesempatan kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan dengan cara

mempermainkan harga pasar, sehingga harga akan terus meningkat. Bila harga

barang secara umum naik secara terus-menerus, maka masyarakat akan panik,

sehingga perekonomian tidak berjalan normal, karena disatu sisi ada masyarakat

yang berlebihan uang kemudian memborong barang, sementara yang kekurangan

uang tidak bisa membeli barang, akibatnya negara rentan terhadap segala macam

kekacauan yang ditimbulkannya. Sebagai akibat dari kepanikan tersebut, maka

masyarakat cenderung untuk menarik tabungan guna untuk membeli dan


5

menumpuk barang sehingga banyak bank di rush, akibatnya bank kekurangan dana

dan berpotensial tutup atau bangkrut, atau rendahnya dana investasi yang tersedia.

Inflasi terjadi secara berkepanjangan, maka produsen banyak yang akan

mengalami kebangkrutan karena produknya yang relatif mahal sehingga tidak ada

yang akan mampu membeli. Pendistribusian barang juga akan relatif tidak adil

karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada daerah yang

masyarakatnya dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya memiliki

banyak uang. Hasilnya, jurang kemiskinan dan kekayaan masyarakat semakin nyata

dan mengarah pada sentimen dan kecemburuan ekonomi yang dapat berakhir pada

penjarahan dan perampasan.

Sedangkan dampak positifnya, inflasi lebih menguntungkan bagi pengusaha

barang-barang mewah (high end) yang mana barangnya lebih laku pada saat

harganya semakin tinggi (masalah prestise). Produksi barang-barang bertambah,

karena keuntungan pengusaha bertambah. Kesempatan kerja akan bertambah,

karena terjadi tambahan investasi hal ini terjadi karena perusahaan memproduksi

dan mengedarkan barang lebih banyak. Masyarakat juga akan semakin selektif

dalam mengkonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan

konsumtifisme dapat ditekan dan kesadaran untuk menabung masyarakat akan

meningkat karena masyarakat akan lebih menghargai uang yang dimiliki untuk

memenuhi kebutuhannya.

Pemerintah menjaga inflasi agar tetap stabil melalui kebijakan moneter.

Mekanisme pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia dilakukan melalui

pengendalian jumlah uang beredar dengan menetapkan tingkat suku bunga.

Misalnya, pemerintah ingin menurunkan permintaan agregat, hal ini dilakukan


6

dengan menaikkan dengan menaikkan tingkat suku bunga. Jika tingkat suku bunga

naik, maka opportunity cost untuk memegang uang tinggi, akibatnya masyarakat

cenderung menyimpan uangnya di bank. Dengan demikian, konsumsi akan turun,

permintaan agregat pun turun, dan inflasi dapat dikendalikan.

Fluktuasi nilai tingkat inflasi selalu menarik untuk diikuti. Tingkat inflasi dan

perubahan nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam perekonomian

suatu Negara, salah satunya dipengaruhi oleh operasi moneter sebagai pelaksanaan

kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, selaku Bank Sentral Indonesia. Bank

Indonesia menetapkan kebijakan moneter, memiliki hak dan kewajiban untuk

mengatur kondisi tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah harus berada pada

level aman agar dapat menjaga stabilitas perekonominan dalam Negeri tetap dalam

kondisi stabil.

Krisis disebabkan oleh kebijakan yang dibuat oleh bank sentral, yaitu justru

cenderung mempertahankan tingkat bunga yang terlalu rendah dapat memicu

terjadinya krisis, sebagaimana konsekuensi dari rendahnya inflasi dalam jangka

waktu yang cukup panjang. (Taylor, 2009). Berdasarkan peran dan fungsi dari Bank

Indonesia, kinerja Bank Indonesia sangat dituntut untuk dapat menjaga kestabilan

nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi. Perbaikan masalah inflasi di Indonesia, tidak

dapat dilakukan hanya dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter, tetapi

juga harus melakukan perbaikan pada sektor riil, yaitu dengan sasaran utama nya

yaitu meminimalisir hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian

nasional. (Atmadja dalam Ichwani et all, 2017).

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk

melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti


7

uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan untuk menjaga sasaran laju inflasi

yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran

moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar

terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto,

penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ichwani et all (2017)

menunjukkan bahwa kenaikan inflasi selama tahun 2012–2016 secara umum

disebabkan oleh bergejolaknya harga-harga pada hampir semua sektor industri dan

kenaikan harga BBM. Meskipun demikian, jumlah peminat kredit UMKM tidaklah

menurun. Santosa (2017) menunjukkan kebijakan moneter berupa pengelolaan

jumlah uang beredar berperan dalam pengendalian inflasi di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka penulis mengambil

judul “Analisis Strategi Bank Indonesia dalam Mengendalikan dan Mencapai

Target Inflasi”.

1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian dari permasalahan yang telah diuraikan

di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian:

1. Bagaimana strategi Bank Indonesia dalam Mengendalikan Target Inflasi

2. Bagaimana strategi Bank Indonesia dalam Mencapai Target Inflasi


8

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan adalah untuk

Mengetahui dan menganalisis strategi Bank indonesia dalam mengendalikan

dan mencapai target inflasi

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan

diantaranya sebagai berikut :

1. Bank Indonesia, penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan, khususnya

di dalam Bank Indonesia sendiri dalam menstabilkan peran perekonomian

Indonesia melalui inflasi.

2. Bagi penulis, penelitian ini memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam

menerapkan pengetahuan tersebut baik dalam bangku kuliah maupun untuk studi

secara mandiri.

3. Dan bagi pihak-pihak yang berminat dalam kasus ini diharapkan dapat

membantu memberikan pemikiran ini, sehingga dapat menjadi bahan kajian

lebih lanjut.

1.5. Skop Penelitian

Penelitian ini mengambil skop pada program studi akuntansi dengan unit

analisis strategi Bank Indonesia dalam mengendalikan dan mencapai target inflasi.

.
9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pengertian Inflasi


10

Inflasi merupakan kenaikan harga-harga barang (secara umum) yang

disebabkan oleh turunnya nilai mata uang pada suatu periode tertentu. (Noripin,

2009) mendefinisikan inflasi sebagai proses kenaikan harga-harga barang secara

umum dan menyeluruh secara terus-menerus. Secara umum inflasi dapat diartikan

sebagai suatu tendensi yang terus-menerus dalam meningkatnya harga-harga umum

sepanjang masa (Sritua dalam Dayanthi, 2018). Angka inflasi adalah suatu

indikator untuk stabilitas ekonomi selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi

para pelaku ekonomi. Jika tingkat inflasi yang tinggi sudah pasti akan membawa

dampak yang merugikan bagi suatu negara. Keadaan perekonomian yang kurang

menguntungkan (buruk) telah memacu tingkat inflasi yang tinggi dan akan menjadi

malapetaka bagi masyarakat terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Inflasi terjadi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik, harga

beras, bahan bakar, harga mobil naik, tingkat upah, harga tanah, sewa barang-

barang juga naik. Sedangkan deflasi terjadi apabila harga-harga dan biaya-biaya

secara umum turun (Paul, 1993) dalam Dayanthi (2018). Definisi singkat dari

inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-

menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut sebagai

inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (mengakibatkan kenaikan)

sebagian besar dari harga-harga lain.

Menurut Putong (2010) ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat
10
dikatakan telah terjadi inflasi, yaitu sebagai berikut:

1. Kenaikan harga. Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi

dari pada harga periode sebelumnya, tingkat harga yang terjadi pada waktu
11

tertentu turun atau naik dibandingkan dengan periode sebelumnya, tapi tetap

dalam kecenderungan yang meningkat.

2. Bersifat umum. Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi

jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga – harga secara umum naik.

Tetapi jika pemerintah menaikkan harga BBM, maka hampir bisa dipastikan

bahwa harga-harga komoditas lainnya akan ikut naik. Artinya, dengan naiknya

harga BBM maka tarif angkutan akan naik yang pada gilirannya akan

mendorong naiknya biaya produksi yang pada akhirnya akan mendorong

kenaikan harga-harga barang/jasa lainnya.

3. Berlangsung terus-menerus. Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum

juga akan memunculkan inflasi, jika terjadinya hanya sesaat. Karena itu

perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan.

2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi, diantara faktor tersebut

ada yang bersifat ekonomi namun bisa juga disebabkan kebijakan pemerintah

(Ridwan, 2013). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inflasi antara lain:

1. Meningkatnya kegiatan ekonomi sehingga mendorong peningkatan permintaan

agregat namun tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran agregat karena

adanya kendala struktural perekonomian.

2. Kebijakan pemerintah dibidang harga dan pendapatan seperti kenaikan harga

BBM (Bahan Bakar Minyak), listrik, air minum, menaikkan upah minimum

tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri diperkirakan memberikan tambahan

terhadap inflasi.
12

3. Melemahkan nilai tukar rupiah sehingga harga cenderung naik dan sulit untuk

turun apabila nilai tukar menguat.

4. Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat, artinya ada kecenderungan masyarakat

yang sangat tinggi terhadap konsumsi sehingga memicu kenaikan harga-harga

barang.

Inflasi dapat disebabkan oleh kenaikan permintaan emas dan perhiasan, serta

komoditas lain yang terkait dengan infrastruktur dan sarana prasarana transportasi,

seperti kenaikan tarif listrik, tarif angkutan kendaraan umum dan kenaikan tarif

angkutan udara. Inflasi juga dapat terjadi akibat kenaikan biaya pendidikan dan

komoditas bahan pokok.

2.1.3. Teori Inflasi

Secara garis besar teori yang membahas tentang inflasi dapat dibagi dalam

tiga kelompok dengan masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses

terjadinya inflasi. Namun demikian, ketiga teori tersebut bukanlah teori inflasi

lengkap yang membahas semua aspek penting dari proses terjadinya kenaikan harga

barang. Ketiga teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Teori Keynes, dan Teori

Strukturalis (Sutedi, 2012)

a. Teori Kuantitas

Teori ini merupakan pandangan dari teori klasik. Menurut teori ini sebab naiknya

harga barang secara umum yang cenderung akan mengarah pada inflasi ada tiga,

yaitu sirkulasi uang atau kecepatan perpindahan uang dari satu tangan ke tangan

yang lain begitu cepat (masyarakat terlalu konsumtif), terlalu banyak uang yang

dicetak dan diedarkan ke masyarakat, dan turunnya jumlah produksi secara

nasional. Teori kuantitas adalah teori yang membahas mengenai inflasi yang
13

menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai

kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori kuantitas ini sebagai

berikut:

1. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar, baik

uang kartal maupun uang giral.

2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar

dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga dimasa

mendatang.

b. Teori Keynes

Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena

masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga

menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan

agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat),

akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang

(penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi

tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.

Karenanya teori ini dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka

pendek.

c. Teori Strukturalis

Teori ini menyoroti penyebab inflasi yang berasal dari kekauan struktur

ekonomi, khususnya kekuatan supplay bahan makanan dan barang-barang ekspor.

Karena sebab-sebab struktural pertambahan barang-barang produksi ini terlalu

lambat dibanding dengan pertumbuhan ekonominya, sehingga menaikkan harga

bahan makanan dan kenaikan devisa. Akibat selanjutnya adalah kenaikan


14

hargaharga barang lain, sehingga terjadi inflasi yang relatif berkepanjangan

bila pembangunan sektor penghasil bahan pangan dan industri barang ekspor

tidak dibenahi atau ditambah.

2.1.4. Jenis-Jenis Inflasi

Jenis-jenis inflasi dapat digolongkan menjadi tiga jenis/bagian yakni

sebagai beirkut (Putong, 2010) :

1. Inflasi Menurut Sifatnya

Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi beberapa kategori utama.

Pertama, Inflasi Ringan (creeping inflation) yaitu inflasi dibawah 10% pertahun.

Kedua, Inflasi Menengah (galloping inflation) besarnya antara 10 – 30%

pertahun. Inflasi ini biasanya ditandai oleh naiknya harga-harga secara cepat dan

relatif besar. Angka inflasi pada kondisi ini biasanya disebut inflasi 2 digit,

misalnya 15%, 20%, 30%, dan sebagainya. Ketiga, Inflasi Berat (high inflation),

yaitu inflasi yang besarnya antara 30 – 100% pertahun. Dalam kondisi ini harga-

harga secara umum naik dan bahkan menurut istilah ibu rumah tangga harga

berubah. Keempat, Inflasi Sangat Tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang

di tandainya oleh naiknya harga secara drastis sehingga mencapai 4 digit

(diatas 100%). Pada kondisi ini masyarakat tidak ingin lagi menyimpan uang,

karena nilainya merosot sangat tajam, sehingga lebih baik ditukarkan dengan

barang.

2. Inflasi Menurut Sebabnya

Inflasi menurut sebabnya dapat dikategorikan menjadi 2. Pertama, Inflasi

Penarikan Permintaan (demand pull inflation) yaitu, inflasi yang timbul karena

adanya permintaan keseluruhan yang tinggi disuatu pihak, dipihak lain kondisi
15

produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh (full employment), akibatnya

adalah sesuai dengan hukum permintaan, bila permintaan banyak sementara

penawaran tetap maka harga akan naik. Dan bila hal ini berlangsung secara

terusmenerus akan mengakibatkan inflasi yang berkepanjangan, oleh karena itu

untuk mengatasinya diperlukan adanya pembukaan kapasitas produksi baru

dengan penambahan tenaga kerja baru.

Kedua, Inflasi Dorongan Biaya (cost push inflation) yaitu, inflasi yang

disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi (naiknya biaya

produksi karena tidak efisiennya perusahaan, nilai kurs mata uang negara

yang bersangkutan jatuh/menurun, kenaikan harga bahan baku industri, adanya

tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh yang kuat dan sebagainya). Akibat

naiknya biaya produksi maka dua hal yang bisa dilakukan oleh produsen yaitu,

langsung menaikkan harga produknya dengan jumlah penawaran yang sama,

atau harga produknya naik (karena tarik menarik permintaan dan penawaran)

karena penurunan jumlah produksi.

3. Inflasi menurut asalnya

Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua. Pertama, inflasi yang

berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya

defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja

negara. Untuk mengatasinya biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain itu

harga-harga naik dikarenakan musim paceklik (gagal panen), bencana alam

dan sebagainya.

Kedua, inflasi yang berasal dari luar negeri. Karena negara-negara yang

menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, dapatlah
16

diketahui bahwa harga-harga barang dan juga ongkos produktif relatif mahal,

sehingga negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jualnya

didalam negeri tentu saja bertambah mahal.

2.1.5. Peran Pemerintah dalam Mengatasi Inflasi di Indonesia

1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah

guna mengelola dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik

atau yang diinginkan dengan cara mengubah atau memperbaiki penerimaan

dan pengeluaran pemerintah. Salah satu hal yang ditonjolkan dari kebijakan

fiskal ini adalah pengendalian pengeluaran dan penerimaan pemerintah atau negara.

Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan fiskal ini adalah untuk menentukan

arah, tujuan, sasaran, dan prioritas pembangunan nasional serta pertumbuhan

perekonomian bangsa. Kebijakan fiskal dibagi menjadi dua yaitu menurut segi

teori dan menurut jumlah penerimaan dan pengeluaran, yaitu:

a. Kebijakan fiskal dari segi teori.

Kebijakan fiskal dari segi teori dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

i. Kebijakan fiskal fungsional, merupakan kebijakan untuk pertimbangan

pengeluaran anggaran dan penambahan kesempatan kerja yang dilakukan

oleh pemerintah karena akibat tidak langsung dari pendapatan nasional.

ii. Kebijakan fiskal yang disengaja, merupakan kebijakan fiskal yang

dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang sedang

dihadapi dengan cara memanipulasi anggaran belanja secara sengaja, baik

melalui perubahan perpajakan maupun perubahan pengeluaran pemerintah.


17

iii. Kebijakan fiskal yang tak disengaja dimaksudkan untuk mengendalikan

kecepatan siklus bisnis supaya tidak terlalu fluktuatif. Dalam keadaan

inflasi, kebijakan ini akan mengurangi aktivitas tersebut. Jenis penstabil

otomatis atau kebijakan fiskal tak disengaja yaitu pajak proporsional, pajak

progresif, kebijakan harga minimum, asuransi pengangguran.

b. Kebijakan fiskal dari jumlah penerimaan dan pengeluaran

Kebijakan fiskal dari segi jumlah penerimaan dan pengeluaran digolongkan

menjadi empat, yaitu sebagai berikut:

i. Kebijakan fiskal seimbang, merupakan kebijakan yang membuat antara

penerimaan dan pengeluaran menjadi sama jumlahnya.

ii. Kebijakan fiskal surplus, yaitu kebijakan yang mana jumlah pendapatan harus

sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pengeluaran. Kebijakan

fiskal ini merupakan cara untuk menghindari inflasi.

iii. Kebijakan fiskal defisit, yaitu kebijakan yang berlawanan dengan kebijakan

surplus. Berarti jumlah pendapatan lebih rendah dari jumlah pengeluaran.

iv. Kebijakan fiskal dinamis, merupakan suatu kebijakan yang mirip dengan

kebijakan fiskal seimbang namun dengan ditambah improvisasi yaitu sama

besar jumlahnya tetapi seiringnya waktu keduanya akan bertambah

besarnya.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yaitu peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh

otoritas moneter (bank sentral) untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Agar

ekonomi tumbuh lebih cepat, bank sentral bisa memberikan lebih banyak kredit

kepada sistem perbankan melalui operasi pasar terbuka, atau bank sentral
18

menurunkan tingkat diskonto, yang harus dibayar oleh bank jika hendak

meminjam ke bank sentral. Akan tetapi, apabila ekonomi tumbuh terlalu cepat dan

inflasi menjadi masalah yang semakin besar, maka bank sentral dapat melakukan

operasi pasar terbuka (open market operations), menarik uang dari sistem

perbankan, manaikkan persyaratan cadangan minimum (reserve

requirements),atau menaikkan tingkat diskonto (interest or discount rate),

sehingga dengan demikian akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Instrumen kebijakan moneter antara lain yaitu, Pertama, Kebijakan operasi

pasar terbuka (open market operation) yaitu kebijakan yang diambil oleh bank

sentral untuk mengurangi atau menambahkan jumlah uang yang sedang beredar

dimasyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara menjual Sertifikat Bank Indonesia

(SBI) atau juga bisa juga dengan membeli atau menarik surat-surat berharga

yang beredar di pasar modal. Lelang sertifikat dilakukan ketika uang yang

beredar dimasyarakat berlebih maka dengan itu jumlahnya bisa diminimalisir.

Sedangkan pembelian surat-surat berharga diberlakukan ketika uang yang

beredar dimasyarakat sedikit atau rendah maka dengan cara tersebut uang yang

beredar dimasyarakat akan kembali normal.

Kedua, kebijakan diskonto (discount policy) yaitu suatu kebijakan dimana

terjadi pengurangan dan penambahan jumlah uang yang beredar di masyarakat

dengan cara mengubah diskonto yang dimiliki oleh bank umum. Apabila

suatu kondisi dimana bank sentral telah memperhitungkan bahwasanya jumlah

uang beredar telah mencapai atau melebihi kebutuhan (termasuk gejala inflasi),

maka bank sentral secara otomatis akan mengeluarkan keputusan untuk menaikkan
19

suku bunga dengan hal ini maka jumlah uang yang beredar dimasyarakat sedikit

demi sedikit akan berkurang.

Ketiga, kebijakan cadangan khas yaitu kebijakan yang berhubungan dengan

cash ratio, dimana bank sentral memiliki wewenang untuk membuat peraturan

yakni dalam menaikkan ataupun menurunkan cadangan khas atau yang sering kita

sebut dengan cash ratio. Bank umum dalam keadaan ini akan menerima uang

dari para nasabah dalam bentuk giro, tabungan, deposito, dan jenis tabungan

lainnya. Namun dalam hal ini adalah sebuah pengecualian yakni adanya

persentase tertentu dari uang yang disetor oleh nasabah yang tidak

diperbolehkan untuk dipinjamkan.

Keempat, kebijakan kredit ketat yang sesuai dengan namanya mengandung

unsur ketat maka kebijakan satu ini berhubungan dengan pengawasan.

Pengawasan terhadap jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kredit ini

diberikan bank umum dengan beberapa syarat yakni karakter, kapasitas, jaminan,

kapital, dan kondisi perekonomian. Hal ini sangat efektif ketika terjadi sebuah

kekacauan disebuah negara, karena apapun alasannya semua pihak harus

mentaatinya dan jika ada sebuah pelanggarana atau penyelewengan akan

mendapatkan sebuah sanksi dan hukuman sesuai dengan aturan yang ada.

Kelima, kebijakan dorongan moral (moral situation). Cara yang ditempuh

oleh kebijakan ini adalah dengan pengumuman, pidato dan edaran yang

ditunjukkan pada bank umum dan pelaku ekonomi lainnya. Pengumuman, pidato,

dan edaran ini berisi tentang ajakan atau larangan dengan tujuan menahan

pinjaman tabungan dan melepaskan pinjaman yang ada.

2.1.6. Tujuan Kebijakan Pemerintah


20

Adapun tujuan dari kebijakan pemerintah menurut Sukirno, yaitu dilihat

berdasarkan pada dua tujuan yakni tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang

bersifat sosial dan politik :

1. Tujuan bersifat ekonomi

a. Menyediakan Lowongan pekerjaan

Kebijakan pemerintah untuk mengatasi pengangguran merupakan usaha

yang terus menerus. Dengan kata lain, ia merupakan usaha dalam jangka

pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka panjang usaha untuk

mengatasi pengangguran diperlukan karena jumlah penduduk yang selalu

bertambah akan menyebabkan pertambahan tenaga kerja yang terus

menerus. Dalam jangka pendek pengangguran dapat menjadi bertambah

serius yaitu ketika berlaku kemunduran dan pertumbuhan ekonomi yang

lambat.

b. Meningkatkan taraf Kemakmuran Masyarakat

Kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran sangat berhubungan

dengan pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat.

Kesempatan kerja yang semakin meningkat dan pengangguran yang

semakin menurun bukan saja menambah pendapatan nasional tetapi juga

meningkatkan pendapatan per kapita.

c. Memperbaiki pembagian pendapatan

Pengangguran yang semakin tinggi menimbulkan efek buruk pada

kesamarataan pembagian pendapatan. Pekerja yang menganggur tidak

memperoleh pendapatan. Maka semakin besar pengangguran tenaga kerja

yang tidak mempunyai pendapatan.


21

2. Tujuan yang bersifat sosial politik

a. Meningkatkan kemakmuran keluarga dan kestabilan keluarga

Apabila masalah yang timbul, keluarga tersebut mempunyai kemampuan

terbatas akan melakukan pergelangan. Maka secara langsung

pengangguran akan mengurangi kemakmuran keluarga.

b. Menghindari masalah kejahatan

Disatu pihak pengangguran menyebabkan para pekerja kehilangan

pekerjaan. Akan tetapi di pihak lain, ketiadaan pekerjaan tidak akan

mengurangi kebutuhan untuk berbelanja.

2.1.7. Strategi Bank Indonesia terhadap Inflasi

Bank Indonesia bersama Pemerintah menyepakati enam langkah strategis

untuk menjaga inflasi 2016 agar berada dalam kisaran 4%±1%. Langkah strategis

ini juga menentukan upaya membawa inflasi dalam tren yang menurun ke

depannya, sesuai dengan target yang ditetapkan.

Enam langkah strategis untuk mendukung upaya menjaga tingkat inflasi

Indeks Harga Konsumen (IHK) tetap berada dalam kisaran 4%±1% sesuai sasaran

tahun 2016 adalah sebagai berikut:

1. Mengimplementasikan arah (roadmap) pengendalian Inflasi sebagai acuan

program Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah

(TPID);

2. Mengaktifkan sekretariat pengendalian inflasi yang berkedudukan di

Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mempermudah koordinasi

Pusat dan Daerah yang membutuhkan dukungan Pemerintah Pusat;


22

melibatkan KPPU dan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan

struktur pasar komoditas pangan;

3. Menyelenggarakan Rakornas VII TPID tahun 2016 pada bulan Agustus

2016, setelah penetapan Kepala Daerah baru untuk mendapatkan komitmen

dari Kepala Daerah dalam upaya stabilisasi harga;

4. Melakukan extra effort dalam pengendalian inflasi komoditas pangan

sebagai antisipasi tantangan inflasi harga yang diatur Pemerintah

(administered prices) tahun 2016;

5. Memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap

terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya pencapaian target inflasi

2016.

Pemerintah bersama Bank Indonesia menyepakati enam langkah strategis

untuk menjaga inflasi 2017 agar tetap berada dalam kisaran 4%±1%.

Enam langkah strategis untuk mendukung upaya menjaga tingkat inflasi

Indeks Harga Konsumen (IHK) tetap berada dalam kisaran 4%±1% sesuai sasaran

tahun 2019 adalah sebagai berikut:

1. menekan laju inflasi volatile food (VF) menjadi di kisaran 4-5%, melalui:

a. penguatan infrastruktur logistik pangan di daerah, khususnya pergudangan

untuk penyimpanan komoditas ;

b. membangun sistem data lalulintas barang, khususnya komoditas pangan;

c. penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk mendorong peran

pemerintah daerah dalam stabilisasi harga;


23

d. mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya

untuk konsumsi cabai dan bawang segar, antara lain dengan mendorong

inovasi industri produk pangan olahan;

e. penguatan kerjasama antar daerah;

f. mempercepat pembangunan infrastruktur konektivitas; dan

g. memperbaiki pola tanam pangan.

2. mengendalikan dampak lanjutan dari penyesuaian kebijakan AP, seperti

pengendalian tarif angkutan umum;

3. melakukan sequencing kebijakan AP, termasuk rencana implementasi konversi

beberapa jenis subsidi langsung menjadi transfer tunai (a.l. pupuk, raskin, dan

LPG 3Kg);

4. memperkuat kelembagaan TPI dan Pokjanas TPID melalui Perpres menjadi

Tim Pengendalian Inflasi Nasional;

5. memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dengan penyelenggaran

Rakornas VIII TPID tahun 2017 pada bulan Juli 2017; dan

6. memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap

terjaganya stabilitas makroekonomi.

Inflasi yang rendah dan stabil berkontribusi positif pada upaya penguatan

momentum pemulihan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Realisasi

inflasi IHK 2017 yang tercatat 3,61%, melanjutkan pencapaian sasaran inflasi

(4%±1%) selama tiga tahun berturut-turut mampu berkontribusi positif dalam

menjaga daya beli masyarakat, dan menjadi penopang bagi peningkatan

pertumbuhan ekonomi nasional. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari koordinasi

pengendalian inflasi yang kuat antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Pada 2018,
24

inflasi diperkirakan tetap terkendali dalam kisaran sasaran inflasi 3,5+1% didukung

penguatan koordinasi untuk memitigasi risiko dari global dan domestik yang dapat

mengganggu pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan meliputi konsistensi

kebijakan moneter dan fiskal dalam menjaga stabilitas inflasi serta penguatan

koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah Pusat-Daerah dalam

meminimalkan risiko kenaikan inflasi dari komoditas pangan dan komoditas

strategis yang diatur oleh Pemerintah. Ke depan, Pemerintah dan Bank Indonesia

berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi dalam rangka mencapai sasaran

inflasi jangka menengah sebesar 3,5%±1% di 2019, serta 3%±1% di 2020 dan 2021.

Lima langkah strategis untuk mendukung upaya menjaga tingkat inflasi

Indeks Harga Konsumen (IHK) tetap berada dalam kisaran 3,5%±1% sesuai sasaran

tahun 2018 adalah sebagai berikut:

1. Menjaga inflasi volatile food maksimal di kisaran 4-5% dengan memastikan

kecukupan pasokan pangan, melalui:

a. mengelola kesiapan produksi antar waktu;

b. memperkuat cadangan pangan Pemerintah dan tata kelola operasi pasar oleh

Bulog;

c. memperbaiki manajemen produksi melalui penguatan kelembagaan petani

(corporate/cooperative farming), pengelolaan produksi dan paska panen

khususnya pengeringan dan pergudangan, serta pemasaran;

d. meningkatkan tingkat rendemen dan kualitas beras melalui revitalisasi

penggilingan;

e. menyalurkan Rastra Bansos dan Bantuan Pangan Non Tunai sesuai dengan

jadwal dan dengan kualitas yang terjaga;


25

f. membangun sistem data produksi yang akurat melalui pembangunan dan

pemanfaatan e-commerce untuk pangan;

g. memfasilitasi sinergi petani dan industri hilir.

2 Mengatur besaran dan timing kenaikan kebijakan administered prices serta

mengendalikan dampak lanjutan yang berpotensi timbul, dalam hal terdapat

kebijakan penyesuaian administered prices.

3. Memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank

Indonesia, antara lain melalui penyelenggaraan Rakornas Pengendalian

Inflasi pada 2018 dengan tema “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur

untuk Mewujudkan Stabilitas Harga dan Mendorong Momentum

Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif serta Berkualitas”.

4. Memperkuat kualitas data untuk mendukung pengambilan kebijakan.

5. Memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap

terjaganya stabilitas makroekonomi

Pemerintah dan Bank Indonesia juga menyepakati sasaran inflasi 2019,

2020 dan 2021 masing-masing sebesar 3,5%±1%; 3%±1%; dan 3%±1%. Sasaran

inflasi yang lebih rendah tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan prospek

dan daya saing perekonomian. Selain itu, penetapan sasaran inflasi tersebut juga

bertujuan untuk terus mengarahkan ekspektasi inflasi pada tingkat yang rendah dan

stabil. Ke depan, Pemerintah dan Bank Indonesia berkomitmen untuk terus

memperkuat koordinasi, terutama dalam hal penentuan besaran dan timing

kebijakan energi, pengendalian dampak lanjutan (second round effect), dan

penguatan kebijakan pangan untuk menekan inflasi Volatile Food menjadi di

kisaran 4-5%.
26

Tiga langkah strategis untuk menjaga tingkat inflasi Indeks Harga

Konsumen (IHK) tetap berada dalam kisaran 3,5%±1% sesuai sasaran tahun 2019

adalah sebagai berikut:

1. Menjaga inflasi dalam kisaran sasaran, terutama ditopang pengendalian

inflasi volatile food maksimal di kisaran 4-5%. Strategi ini dilakukan

melalui empat kebijakan utama (4K) terkait Keterjangkauan Harga,

Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif.

Merujuk pada Peta Jalan Pengendalian Inflasi Nasional 2019-2021,

kebijakan ini ditempuh dengan memberikan prioritas kepada Ketersediaan

Pasokan dan kelancaran distribusi, yang didukung oleh ekosistem yang

lebih kondusif serta ketersediaan data yang akurat.

2. Memperkuat pelaksanaan Peta Jalan Pengendalian Inflasi Nasional 2019-

2021 dengan juga menempuh pelaksanaan Peta Jalan Pengendalian Inflasi

di tingkat Provinsi; dan

3. Memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengendalian

inflasi melalui penyelenggaraan Rakornas Pengendalian Inflasi pada bulan

Juli 2019 dengan tema “Sinergi dan Inovasi Pengendalian Inflasi untuk

Penguatan Ekonomi yang Inklusif”. Rakornas selanjutnya akan

ditindaklanjuti oleh Rakor pusda Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Langkah ini diyakini akan memperkuat pengendalian inflasi, dimana pada

2018 inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) juga terkendali pada level 3,13% dan

berada dalam kisaran sasarannya, yakni 3,5%±1%.

2.2. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1
27

PenelitianTerdahulu

No Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian


Peneliti
1 Nazly Peran Bank Indonesia (BI) Hasil dari penelitian ini
Dayanty dalam menstabilkan menunjukkan bahwa peran
(2018) Perekonomian Indonesia Bank Indonesia itu sendiri
melalui pengendalian inflasi sangat membantu dan sangat
berperan dalam
menstabilkan perekonomian
Indonesia, terutama ketika
terjadi inflasi dan dalam
membantu perekonomian
masyarakat, dan memajukan
perekonomian masyarakat,
dan dapat melaksanakan
perannya dengan baik.
2. Tia Ichwani, Analisis Kinerja Bank Indonsia Hasil penelitian menunjukkan
Rika Kaniati sebagai stabilitator inflasi dan Turunnya tingkat inflasi
& Hikmatul kurs rupiah di bidang moneter diikuti dengan penurunan BI
Husna Rate, sehingga
(2017) menyebabkan tingkat suku
bunga kredit turun dan
secara tidak langsung
akan meningkatkan minat
masyarakat untuk melakukan
pinjaman kredit ke Bank.
3. Agus Budi Analisis Inflasi di Indonesia Hasil pengujian menyimpulkan
Santoso bahwa variabel jumlah uang
(2017) beredar dan pendapatan
nasional berpengaruh
terhadap inflasi, sedangkan
variabel pengeluaran
pemerintah tidak berpengaruh.
Kesimpulan ini memberikan
gambaran
bahwa kebijakan moneter
berupa pengelolaan jumlah
uang beredar berperan dalam
pengendalian inflasi di
Indonesia.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang
28

penting. Kerangka berpikir mengarahkan penelitian dalam pelaksanaannya sesuai

dengan permasalahan dan tujuan yang ditetapkan, maka perlu disusun kerangka

konseptual. Menurut Sugiyono, (2008:47) mengatakan bahwa Kerangka berpikir

(konseptual) yang baik akan menjelaskan secara teori pertautan/hubungan antara

variable independen dan dependen. Pertautan antar variable dirumuskan ke dalam

bentuk pradigma penelitian.Apabila penelitian hanya membahas sebuah variable

atau lebih secara mandiri, maka kerangka konseptual mengemukakan deskriptif

teori untuk masing-masing variable dan tidak perlu membuat pradigma penelitian.

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, maka penulis menarik

suatu kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti pada gambar 2.2

BANK INDONESIA

Strategi Bank Indonesia


(Kebijakan)

Mengendalikan dan Mencapai


Target Inflasi

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran

2.4 Hipotetis Penelitian

Hipotetis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,

dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat


29

pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan

pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh

melalui pengumpulan data. Penelitian yang merumuskan hipotetis adalah penelitian

yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak

dirumuskan hipotetis, tetapi justru diharapkan dapat ditemukan hipotetis.

Selanjutnya hipotetis tersebut akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan

pendekatan kuantitatif (Sugiyono, 2015).

H1 : Strategi Bank Indonesia dalam mengendalikan target inflasi

H2 : Strategi Bank Indonesia dalam mencapai target inflasi

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Pengumpulan Data

Terdapat dua cara untuk mengumpulkan data yang akan diperlukan untuk

melakukan analisis dalam penelitian ini, yaitu :

3.1.1. Data Primer

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut :

1. Metode Kuesioner

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan


30

atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner adalah daftar

pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya yang akan responden jawab.

Kuesioner merupakan satu mekanisme pengumnpulan data yang efisien jika

peneliti mengatahui dengan tepat apa yang diperlukan dan bagaimana mengukur

variabel penelitian.

2. Wawancara

Wawancara adalah pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab

kepada karyawan pada Bank Indonesia. Menurut Uma Sekaran, (2010) salah satu

metode pengumpulan data adalah wawancara responden untuk memperoleh

informasi mengenai isue yang diteliti. Wawancara dilakukan secara tatap muka,

telepon atau melalui online.

3.1.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang30


diperoleh seara tidak langsung atau studi

perpustakaan. berupa keterangan maupun literatur yang ada hubungannya dengan

penelitian ini. Dalam penelitian ini, data yang digunakan yaitu data sekunder yaitu

data yang diperoleh dari pihak lain berupa data jadi dalam bentuk publikasi. Data

tersebut diperoleh dari Laporan Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik (BPS) dari

tahun 2016 sampai tahun 2018. Adapun data yang diperlukan yaitu data inflasi.

3.2. Defenisi Operasional Variabel

Definisi operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu

variabel di ukur, sehingga peneliti dapat mengetahui baik buruknya pengukuran

tersebut. Penelitian ini menggunakan satu variabel mandiri yaitu variable inflasi
31

sebagai variabel mandiri. Berikut ini dijelaskan definisi masing-masing variabel

yaitu inflasi.

Definisi variabel, indikator, dan skala pengukuran dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel Defenisi Skala


Variable
Inflasi Inflasi merupakan kenaikan harga barang Rasio
(secara umum) yang disebabkan oleh
turunnya nilai mata uanga pada suatu
periode tertentu (Noripin, 2009)

3.3. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif kuantitatif, yaitu menganalisis hipotesis diskriptif. Menurut Sugiyono

(2008:147) mengatakan bahwa hipotesis dekriptif yang diuji dengan statistic

parametris merupakan dugaan terhadap nilai dalam satu sample dibandingkan

dengan standar. Selanjutnya Sugyono mengatakan untuk menguji

hipotesisndeskriptif satu variabel bila datanya berbentuk rasio atau interval maka

digunakan t-test one sampel.

Berdasarkan pendapat yang disampaikan Sugiyono tersebut diatas, maka

penulis dapat menentukan langkah-langkah menguji hipotesis sebagai berikut:

1) Membuat tabulasi data dari hasil jawaban respoden terhadap variabel penelitian

yang digunakan. Tabulasi data ini dengan menggunakan nilai rata-rata, untuk

menggambarkan persepsi respoden atas item-item pertanyaan yang diajukan.

2) Menentukan apa yang diharapkan, yaitu menentukan jumlah skor ideal (yang

diharapkan) yaitu responden memberikan jawaban dengan skor tertinggi.


32

3) Menentukan uji t-test one sampel (menggunakan alat bantuan SPSS) untuk

mengetahui sejaun mana hipotesis diketahu kebenarannya.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Tingkat Inflasi

Inflasi merupakan salah satu fenomena ekonomi yang sering dialami oleh

suatu negara, khususnya Indonesia. Inflasi adalah penyakit ekonomi yang tidak bisa

diabaikan, karena dampak yang ditimbulkan sangat luas dan berakibat fatal. Oleh

karena itu inflasi selalu dijadikan target pemerintah untuk bisa menstabilkan inflasi,

karena dampak yang ditimbulkan pada perekonomian bisa berakibat seperti

ketidakstabilan, pertumbuhan ekonomi yang lambat serta pengannguran yang

tinggi.
33

Angka inflasi sebagai salah satu indikator untuk stabilitas ekonomi selalu

menjadi pusat perhatian tersendiri bagi para pelaku ekonomi. Jika tingkat inflasi

yang tinggi sudah pasti akan membawa dampak yang merugikan bagi autu negara.

Keadaan perekonomian yang tidak menguntungkan (buruk) telah memacu tingkat

inflasi yang tinggi dan akan menjadi malapetaka bagi masyarakat terutama bagi

mereka yang berpenghasilan rendah.

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum

dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat

disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas pada

(mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain.

Berikut ini adalah data mengenai inflasi selama tiga tahun terakhir dari mulai

dari Januari 2016 sampai dengan Desember 2018 :

Tabel 4.1
Perkembangan Inflasi
33– Tahun 2018
Tahun 2016

Bulan dan Tahun Tingkat Bulan dan Tahun Tingkat Bulan dan Tahun Tingkat
Inflasi Inflasi Inflasi
Januari 2016 4,14 % Januari 2017 3,49 % Januari 2018 3,25 %

Februari 2016 4,42 % Februari 2017 3,83 % Februari 2018 3,18 %

Maret 2016 4,45 % Maret 2017 3,61 % Maret 2018 3,40 %

April 2016 3,60 % April 2017 4,17 % April 2018 3,41 %

Mei 2016 3.33 % Mei 2017 4,33 % Mei 2018 3,23 %

Juni 2016 3,45 % Juni 2017 4,37 % Juni 2018 3,12 %

Juli 2016 3,21 % Juli 2017 3,88 % Juli 2018 3,18 %

Agustus 2016 2,79 % Agustus 2017 3,82 % Agustus 2018 3,20 %

September 2016 3,07 % September 2017 3,72 % September 2018 2,88 %


34

Oktober 2016 3,31 % Oktober 2017 3,58 % Oktober 2018 3,16 %

November 2016 3,58 % November 2017 3,30 % November 2018 3,23 %

Desember 2016 3,02 % Desember 2017 3,61 % Desember 2018 3,13 %

Sumber : www.bi.go.id

Pada awal tahun 2016, bulan Januari tingkat inflasi diawali dengan persentasi

yang bisa dikatakan tinggi yakni 4,14%. Kemudian mengalami kenaikan yang

cukup tinggi pada bulan Februari 4,42%, kenaikan tersebut tak berhenti sampai

bulan Maret yakni 4,45%. Dan kemudian mengalami penurunan sampai bulan Mei

yakni 3,33%. Namun, pada bulan Juni inflasi mengalami kenaikan lagi menjadi

3,45%. Pada bulan Juli dan Agustus inflasi kembali mengalami penurunan yang

cukup baik yakni 2,79%. Kemudian mengalami kenaikan yang signifikan sampai

pada bulan November dan akhirnya mengalami penurunan pada Bulan Desember

menjadi 3,02%. Kenaikan inflasi pada titik paling tinggi terjadi pada Bulan Maret

yakni 4,45%. Sedangkan titik inflasi paling rendah terjadi pada bulan Agustus yakni

2,79%.

Pada tahun 2017, tingkat kenaikan inflasi tidak terlalu berbeda jauh dari tahun

sebelumnya. Dibulan Januari 2017 titik persentasi inflasi berada pada 3,49% yang

mengalami kenaikan dari bulan Desember 2016. Kemudian pada bulan Februari

mengalami kenaikan lagi menjadi 3,83%. Inflasi mengalami penurunan pada bulan

Maret menjadi 3,61%. Namun pada bulan April kembali mengalami kenaikan yakni

4,17% hal ini terjadi sampai bulan Juni yakni 4,37%. Kemudian pada bulan Juli

sampai bulan November inflasi mengalami penurunan, dan pada bulan November

inilah titik inflasi paling rendah selama tahun 2017 yakni 3,30% sebelum akhirnya

mengalami kenaikan lagi pada bulan Desember menjadi 3,61%.


35

Pada tahun 2018, tingkat inflasi juga tidak terlalu berbeda jauh dari tahun

2017. Bulan Januari dan Februari titik persentasi inflasi berada pada 3,25% dan

3,18% yang mengalami penurunan dari bulan Desember 2017. Kemudian

mengalami kenaikan kembali pada bulan Maret dan April menjadi 3,41%. Inflasi

kembali mengali penurunan pada bulan Mei berada pada 3,23% dan juni berada

pada 3,14%. Namun pada bulan Juli dan Agustus kembali mengalami kenaikan

sebesar 3,18% dan 3,20%. Kemudian pada bulan September mengalami penurunan

yang cukup signifikan yakni 2,88%. Kembali menaik lagi pada bulan Oktober dan

November yakni 3,16% dan 3,23%. Bulan Desember 2018 diperoleh titik persentasi

inflasi sebesar 3,13%.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Strategi Bank Indonesia dalam Mengendalikan Target Inflasi

Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah

memberikan dimensi yang lebih focus dan jelas mengenai tujuan yang ingin dicapai

Bank Indonesia. Undang-undang dimaksud, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7,

menegaskan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai pada memelihara

kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dapat diartika dala dua pemahaman

yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap nilai barang dan jasa dalam negeri yang

tercermin dalam angka inflasi, dan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang lain

yang tercermin dalam angka nilai tukar/kurs. Oleh karena sejak 14 Agustus 1997

pemerintah dan Bank Indonesia menetapkan bahwa penentuan nilai tukar rupiah

ditentukan oleh mekanismen pasar (free floating system), maka kestabilan nilai

rupiah lebih banyak ditujukan kepada rendah dan stabilnya laju inflasi.
36

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang

terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.

Faktorfaktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu

tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Sisi

penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak

dunia dan adanya gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK,

bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile

food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan

inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar. Dengan

pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan

tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi

antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik

dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi

Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran

memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada

sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran

ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku bunga (BI

Rate). Secara teori, kebijakan moneter dapat ditransmisikan melalui berbagai jalur

(channel), yaitu jalur suku bunga, jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan,

jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Dengan melewati jalur-jalur
37

tersebut, kebijakan moneter akan ditransmisikan dan berpengaruh ke sektor

finansial dan sektor riil setelah beberapa waktu lamanya (lag of monetery policy) .

Sasaran akhir kebijakan moneter BI dimasa depan pada dasarnya lebih

diarahkan untuk menjaga inflasi. Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan

pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia,

dimana banyak bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya

pengendalian inflasi. Alasan yang mendasari perubahan tersebut adalah, pertama,

bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter

hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi, kebijakan moneter tidak dapat

mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat

pengangguran. Kedua, pencapaian inflasi rendah merupakan prasyarat bagi

tercapainya sasaran makroekonomi lainnya, seperti pertumbuhan pada tingkat

kapasitas penuh (full employment) dan penyediaan lapangan kerja yang

seluasluasnya. Ketiga, yang terpenting, penetapan tingkat inflasi rendah sebagai

tujuan akhir kebijakan moneter akan menjadi nominal anchor berbagai kegiatan

ekonomi.

Strategi yang digunakan oleh BI dalam mencapai sasaran inflasi yang

rendah adalah :

1. mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan

moneter.

2. menentukan sasaran akhir kebijakan moneter.

3. mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi.

4. memformulasikan respon kebijakan moneter.


38

Pada tahun 2018, inflasi diperkirakan tetap terkendali dalam kisaran sasaran

inflasi 3,5+1% didukung penguatan koordinasi untuk memitigasi risiko dari global

dan domestik yang dapat mengganggu pencapaian sasaran inflasi. Tim

Pengendalian Inflasi Pusat secara khusus menyepakati lima langkah strategis untuk

mendukung upaya menjaga inflasi 2018 agar tetap berada dalam kisaran sasarannya

3,5%±1%. Lima langkah strategis tersebut meliputi:

1. Menjaga inflasi volatile food maksimal di kisaran 4-5% dengan memastikan

kecukupan pasokan pangan, melalui:

a. mengelola kesiapan produksi antar waktu;

b. memperkuat cadangan pangan Pemerintah dan tata kelola operasi pasar

oleh Bulog;

c. memperbaiki manajemen produksi melalui penguatan kelembagaan petani

(corporate/cooperative farming), pengelolaan produksi dan paska panen

khususnya pengeringan dan pergudangan, serta pemasaran;

d. meningkatkan tingkat rendemen dan kualitas beras melalui revitalisasi

penggilingan;

e. menyalurkan Rastra Bansos dan Bantuan Pangan Non Tunai sesuai dengan

jadwal dan dengan kualitas yang terjaga;

f. membangun sistem data produksi yang akurat melalui pembangunan dan

pemanfaatan e-commerce untuk pangan;

g. memfasilitasi sinergi petani dan industri hilir.

2. Mengatur besaran dan timing kenaikan kebijakan administered prices serta

mengendalikan dampak lanjutan yang berpotensi timbul, dalam hal terdapat

kebijakan penyesuaian administered prices.


39

3. Memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank

Indonesia, antara lain melalui penyelenggaraan Rakornas Pengendalian Inflasi

pada 2018 dengan tema “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk

Mewujudkan Stabilitas Harga dan Mendorong Momentum Pertumbuhan

Ekonomi yang Inklusif serta Berkualitas”.

4. Memperkuat kualitas data untuk mendukung pengambilan kebijakan.

5. Memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap

terjaganya stabilitas makroekonom

Pemerintah dan Bank Indonesia menyepakati langkah-langkah strategis untuk

menjaga inflasi tetap berada dalam kisaran sasaran 3,5 % ± 1% untuk 2018-2019

dan membawa inflasi dalam tren yang menurun menjadi 3,0%±1% pada jangka

menengah 2020-2021. Langkah-langkah tersebut terutama ditujukan untuk

menjaga inflasi volatile food di kisaran 4% melalui 4 (empat) pilar strategi yaitu:

Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan

Komunikasi yang Efektif.. Langkah-langkah strategis yang disepakati pada

pertemuan tersebut meliputi:

1. Memfokuskan langkah-langkah pengendalian inflasi sampai dengan akhir tahun

2018 pada kecukupan pasokan pangan strategis untuk mengendalikan

inflasi volatile food sebesar 4%-5%, antara lain melalui penguatan posisi

Cadangan Beras Pemerintah (CBP).

2. Menetapkan acuan kebijakan pengendalian inflasi 2019–2021 yang difokuskan

pada upaya memastikan ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi, dengan

didukung ketersediaan data yang akurat, kerjasama antar daerah, perbaikan

sarana produksi, dan infrastruktur.


40

Selain itu, rapat koordinasi juga mencermati adanya faktor risiko meningkatnya

tekanan inflasi, terutama inflasi volatile food, yang disebabkan oleh gangguan

cuaca.

4.2.2. Strategi Bank Indonesia dalam Mencapai Target Inflasi

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak

hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari

hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang

terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) antara lain berkenaan dengan

gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks

terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga

komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered

prices).

Menyadari pentingnya peran koordinasi (tim pengendali) dalam rangka

pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia

membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak

tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim

Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Koordinasi tersebut

dilakukan melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja

Nasional (Pokjanas) TPID di tingkat nasional serta TPID di tingkat daerah.

Koordinasi pengendalian inflasi tersebut diperkuat, dari sisi dasar hukum,

dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No.23 Tahun 2017 tentang Tim

Pengendalian Inflasi Nasional. Keppres tersebut menaungi mekanisme koordinasi


41

pengendalian inflasi melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP),

Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan Tim Pengendalian Inflasi

Daerah (TPID) Kabupaten/Kota.

Pada penelitian ini, akan dijelaskan bagaimana kondisi inflasi Indonesia

dengan pencapaian target inflasi yang telah ditetapkan oleh BI. Berikut tabel

kondisi inflasi Indonesia mulai tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 :

Tabel 4.2
Kondisi Inflasi Indonesia dengan Pencapaian Target Inflasi

Periode 2016 2017 2018


Inflasi 3,02 % 3,61 % 3,13 %
Target BI 4,0 ± 1% 4,0 ± 1% 3,5 ± 1%
Evaluasi Tercapai Tercapai Tercapai
Sumber : www.bi.go.id

Tabel 4.2 menjelaskan kondisi inflasi Indonesia dengan pencapaian target

inflasi yang telah ditetapkan oleh BI. Berikut hasil analisis terkait tabel diatas :

1. Tahun 2016 secara keseluruhan inflasi dinyatakan terkendali dan tercapai.

Inflasi IHK bulan Desember 2016 tercatat sebesar 0,42%, lebih rendah dari bulan

lalu yang sebesar 0,47% (mtm). Inflasi tersebut terutama disumbang oleh

komponen administered prices dan volatile food, sementara inflasi inti tercatat

relatif rendah. Dengan demikian, inflasi IHK secara keseluruhan tahun 2016

mencapai 3,02% dan berada pada batas bawah kisaran sasaran inflasi Bank

Indonesia, yaitu sebesar 4±1%. Pada bulan Desember 2016, inflasi administered

prices mencapai 0,97%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,13%

(mtm). Perkembangan tersebut terutama didorong oleh kenaikan tarif angkutan

udara dan tarif kereta api sejalan dengan musim liburan dan penyesuaian pada

tarif listrik serta bensin non subsidi. Selain itu, tekanan inflasi administered
42

prices juga didorong oleh kenaikan tarif rokok kretek filter. Untuk keseluruhan

tahun, komponen administered prices mencatat inflasi rendah sebesar 0,21%

(yoy), ditopang oleh menurunnya harga energi dunia di tengah reformasi subsidi

berupa penyesuaian harga BBM dan tarif listrik. Inflasi volatile food pada bulan

Desember 2016 tercatat sebesar 0,47%, turun dari bulan sebelumnya yang

sebesar 1,84% (mtm). Inflasi komponen ini terutama bersumber dari komoditas

telur ayam ras, cabai rawit, daging ayam ras, beras, dan bawang putih. Untuk

keseluruhan tahun 2016, inflasi volatile food mencapai 5,92%, cukup rendah di

tengah terjadinya gejala La Nina. Cukup rendahnya inflasi volatile

food didukung oleh terjaganya pasokan bahan pangan, Operasi Pasar yang

dilakukan BULOG dan semakin kuatnya koordinasi Pemerintah dan Bank

Indonesia, antara lain melalui TPI dan TPID, dalam mendorong peningkatan

produksi dan memperbaiki distribusi. Sementara itu, inflasi inti tetap terkendali

pada level yang rendah, baik secara bulanan maupun tahunan, yaitu masing

masing sebesar 0,23% dan 3,07%. Rendahnya inflasi inti tersebut didorong oleh

masih terbatasnya permintaan domestik, lemahnya tekanan eksternal, dan

membaiknya ekspektasi inflasi. Hal tersebut tidak terlepas dari konsistensi

kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan mengarahkan

ekspektasi inflasi.

2. Tahun 2017 secara keseluruhan inflasi dinyatakan terkendali dan tercapai.

Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Desember 2017 tercatat sebesar

0,71% dan secara keseluruhan tahun 2017 mencapai 3,61%, yang berada dalam

kisaran sasaran inflasi yang ditetapkan yaitu sebesar 4±1%. Dengan

perkembangan tersebut, sasaran inflasi dapat terpenuhi dalam tiga tahun


43

berturut-turut. Terkendalinya inflasi 2017 didorong oleh rendahnya inflasi inti

yang tercatat 2,95%, sejalan dengan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam

menjaga stabilitas nilai tukar dan mengarahkan ekspektasi inflasi; rendahnya

inflasi volatile food yang tercatat 0,71%, terendah dalam 14 tahun terakhir,

seiring terjaganya pasokan dan distribusi bahan pangan; serta terkendalinya

dampak kenaikan berbagai tarif dalam inflasiadministered prices yang tercatat

8,70%. Selain itu, inflasi 2017 juga didukung oleh faktor positif permintaan dan

penawaran, rendahnya tekanan dari eksternal, serta koordinasi kebijakan yang

kuat antara BI dan Pemerintah di Pusat maupun Daerah. Inflasi IHK pada

Desember 2017 meningkat dibandingkan bulan lalu (0,20%) sesuai dengan pola

musimannya. Inflasi Desember 2017 lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata

inflasi Desember tiga tahun terakhir sebesar 1,28%. Berdasarkan komponen,

meningkatnya inflasi bulan ini terutama dipengaruhi oleh inflasi

kelompok volatile food dan kelompok administered prices di tengah rendahnya

inflasi inti. Inflasi inti tercatat sebesar 0,13%, sama dengan bulan lalu.

Perkembangan tersebut sejalan dengan terjangkarnya ekspektasi inflasi, masih

rendahnya permintaan domestik, nilai tukar yang stabil dan rendahnya harga

global. Kelompok volatile food tercatat inflasi sebesar 2,46%, meningkat

dibandingkan bulan lalu sebesar 0,38%. Inflasi terutama bersumber dari

komoditas beras, ikan segar, telur dan daging ayam ras, cabai merah, tomat dan

cabai rawit. Kelompok administered prices mengalami inflasi sebesar 0,91%

meningkat dibandingkan dengan bulan lalu sebesar 0,21%. Perkembangan

tersebut terutama didorong oleh kenaikan tarif angkutan udara, tarif kereta api,

dan angkutan antar kota sejalan dengan musim liburan dan penyesuaian bensin
44

non subsidi. Selain itu, tekanan inflasi administered prices juga didorong oleh

kenaikan tarif aneka rokok.

3. Tahun 2018 secara keseluruhan inflasi dinyatakan terkendali dan tercapai.

Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2018 tetap terkendali dalam kisaran

sasaran 3,5%±1%. Inflasi IHK pada Desember 2018 tercatat 3,13% , lebih

rendah dibandingkan dengan inflasi tahun sebelumnya (3,61%) dan rerata

pencapaian inflasi tiga tahun terakhir (3,33%). Perkembangan ini membuat

inflasi IHK tetap dapat dijaga berada dalam kisaran sasarannya dalam empat

tahun terakhir. Ke depan, Bank Indonesia terus konsisten menjaga stabilitas

harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat

pusat maupun daerah, guna memastikan inflasi tetap rendah dan stabil, yang

pada 2019 diprakirakan berada dalam sasaran inflasi sebesar 3,5±1%. Secara

tahunan, inflasi IHK yang terkendali dipengaruhi inflasi inti dan inflasi volatile

food yang terjaga serta inflasi administered prices yang lebih rendah. Inflasi inti

terjaga pada level rendah sebesar 3,07%, sejalan dengan konsistensi kebijakan

Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan mengarahkan

ekspektasi inflasi. Inflasi volatile food terkendali sebesar 3,39%, ditopang oleh

pasokan pangan yang terjaga dan pengaruh penurunan harga pangan global.

Inflasi administered prices tercatat rendah sebesar 3,36%, sejalan dengan

minimalnya kebijakan terkait tarif dan harga barang dan jasa yang diatur

Pemerintah. Secara bulanan, inflasi IHK pada Desember 2018 juga terkendali

sesuai dengan pola musimannya. Inflasi IHK mencapai 0,62%, meningkat dari

inflasi bulan lalu sebesar 0,27% dipengaruhi oleh pola permintaan akhir tahun.

Kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 1,55%, meningkat


45

dibandingkan dengan inflasi bulan lalu (0,23%). Inflasi volatile food terutama

bersumber dari komoditas telur ayam ras, daging ayam ras, bawang merah,

beras, dan ikan segar. Inflasi kelompok administered prices sebesar 1,20%,

meningkat dibandingkan dengan inflasi bulan lalu sebesar 0,52%. Peningkatan

inflasi kelompok ini terutama bersumber dari kenaikan inflasi angkutan udara,

tarif kereta api, dan tarif angkutan antar kota. Inflasi inti tercatat 0,17% , lebih

rendah dibandingkan dengan inflasi bulan lalu sebesar 0,22%. Inflasi inti

terutama bersumber dari komoditas air kemasan, nasi dengan lauk, kontrak

rumah, dan besi beton.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
46

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisa strategi Bank

Indonesia dalam mengendalikan dan mencapai target inflasi dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Perkembangan inflasi dalam 3 tahun terakhir yatu Tahun 2016, Tahun 2017

dan Tahun 2018 laju perkembangan inflasinya sudah cukup membaik, dari

tahun 2016 titik inflasi semakin menurun hingga tahun 2018.

2. Hasil analisis untuk angka inflasi mulai dari tahun 2016 sampai tahun 2018

dinyatakan terkendali dan tercapai. Sasaran Inflasi tahun 2016, 2017, dan

2018 tanggal 21 Mei 2014 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah

untuk periode 2016 – 2018, masing-masing sebesar 4%, 4%, dan 3,5%, dengan

deviasi masing-masing ±1%. Sementara, sasaran inflasi 2019-2021 ditetapkan

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 124/PMK.010/2017, masing-

masing sebesar 3,5%, 3,0% dan 3,0%, dengan deviasi masing-masing ±1%.

5.2. Saran

1. Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan

masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat

inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil.

2. Diharapkan untuk Bank Indonesia dan Pemerintah senantiasa berkomitmen

untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi

kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut.

3. Upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah

dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar

mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan.


47

DAFTAR PUSTAKA

BI, Biro Hubungan Masyarakat. 2003. Peran BI Dalam Pengendalian Inflasi.


Jakarta

Dayanti, Nazli. 2018. Peran Bank Indonesia (BI) dalam Menstabilkan


Perekonomian Indonesia Melalui Pengendalian Inflasi. Skripsi. Universitas
Islam Negeri. Sumater Utara

Haryati, S. (2009). Pertumbuhan Kredit Perbankan Di Indonesia : Intermediasi


dan Pengaruh Variabel Makro Ekonomi. Surabaya: Jurnal Keuangan dan
Perbankan. Vol.13. No.2.

Hudaya, A. (2011). Analisis kurs, jumlah uang beredar dan suku bunga SBI
terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010. Jakarta: Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah.

Huda, Nurul. 2008. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teoritis. Jakarta:


Pranadamedia GroupBIndonesia, Gerai Info Bank. Juni 2015. Benang Merah
2015 edisi 57.
48

Ichwani, Tia. Kaniati, Rika. & Husna, Hikmatul. 2017. Analisis Kinerja Bank
Indonesia sebagai Stabilitator Inflasi dan Kurs Rupiah di Bidang Moneter.
Journal of Applied Business and Economics Vol.4, No.3, 250-265.

M. Ridwan. 2013. Ekonomi Pengantar Mikro Dan Makro Islam.


Bandung:Citapustaka Media

Naf’an. 2014. Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Graha


Ilmu

Noripin. (2009). Ekonomi Moneter. Edisi 1. Jakarta: BPFE.

Perbankan, Buletin Ekonomi Moneter. 2016. Pengukuran Inflasi Inti (Core


Inflation) Di Indonesia

Putong, Iskandar. 2010. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Mitra Wacana Media

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sutedi, Adrian. 2012. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika

Taylor, J. B. (2009). The Financial Crisis and The Policy Responses : An


Empirical Analysis of What Went Wrong. NBER Working Paper. No.
14631.

Yustika, & Erani, A. (2010). Kebijakan Moneter, Sektor Perbankan dan Peran
Badan Supervisi. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 14, 447 - 458.

Yanti, Meita Nova. 2016. Jurnal Ekonomi Bisnis: Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia. Vol. 21 No. 3. Depok: Universitas
Gunadarma

www.bi.go.id

Anda mungkin juga menyukai