Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur
dan dapat menyebabkan mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di
dunia. Populasi epilepsi yang aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang
memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di
negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk. Epilepsi terjadi di semua
negara dan semua kelompok umur. Ketika seseorang mengalami serangan epilepsi sering
diyakini bahwa penderita tersebut mengalami epilepsi. Namun, epilepsi didefinisikan sebagai
kondisi dengan kejang yang berulang dan tidak beralasan. Dalam definisi epilepsi yang
paling baru diperbarui menurut ILAE, epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai
dengan salah satu kondisi berikut: (1) minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau
dua bangkitan refleks dengan jarak waktu antarbangkitn pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
(2)Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila
terdapat dua bangkitan tanpa profokasi/bangkitan refleks.
Berdasarkan International League against Epilepsy (ILAE), Acute symptomatic
seizures (ASS) adalah kejang klinis yang terjadi di close temporal yang berhubungan dengan
proses akut sistem saraf pusat akibat gangguan metabolik, toksik, struktural, infeksi, atau
inflamasi . Kejang seperti ini merupakan manifestasi akut dari suatu penyebab dan tidak tidak
akan muncul kembali ketika penyebab yang mendasari telah dihilangkan atau fase akut telah
berlalu. Acute symptomatic seizures (juga dikenal sebagai reactive seizure, provoked seizure
dan situation-related seizures). Acute symptomatic seizures diklasifikasikan sebagai ‘‘situasi
terkait kejang” dalam revisi klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi yang tidak mempunyai
penyebab yang jelas.2
Acute symptomatic seizures (ASS) berbeda dengan epilepsi pada beberapa aspek
penting. Pertama, tidak seperti epilepsi, penyebab langsung kejang jelas dapat diidentifikasi
sejauh mana seseorang dapat yakin akan hubungan sebab akibat. The close temporal
sequence menjadi penyebab ASS terkait dengan kondisi seperti trauma kepala kepala atau
stroke, ketika penyebab tersebut mendahului atau bersamaan dengan kejang. Secara biologis
yang mendukung penyeybab ASS, seperti yang diilustrasikan terjadinya gangguan akut otak,
integritas atau homeostasis metabolik dalam hubungannya dengan insul, semangkin parah
terjadinya cedera menyebabkan risiko kejang yang lebih tinggi. Kedua, tidak seperti epilepsi
1
ASS belum tentu ditandai dengan kecenderungan untuk kambuh. Meskipun individu
mengalami insult yang berisiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi epilepsi di kemudian
hari, ASS tidak mungkin kambuh kecuali kondisi kausal akut yang mendasarinya berulang.
Kebanyakan individu tidak perlu diobati secara jangka panjang dengan obat-obatan
antikejang, meskipun perawatan tersebut mungkin diperlukan pada saat jangka pendek
sampai kondisi akut teratasi.
Berdasarkan beberapa penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa risiko
kumulatif untuk Acute symptomatic seizures dari sejak lahir hingga usia 80 tahun adalah
3,6% dan kejadian yang disesuaikan dengan usia adalah adalah sekitar 29-39/100.000 orang
per tahun. Acute symptomatic seizures mewakili 40% dari total kejang, 40% dari semua
kejang pertama, 50% hingga 70% dari episode status epileptikus . Terdapat hampir dua kali
lipat risiko acute symptomatic seizures pada laki-laki (5% sampai usia 80 tahun) dan pada
wanita (2,7%).
Dikarenakan tingginya prevalensi kejadian acute symptomatic seizures, diperlukan
adanya pembahasan lebih lanjut mengenai acute symptomatic seizures sebagai suatu langkah
dalam penegakan diagnosis dan tatalaksana acute symptomatic seizure. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul acute symptomatic seizure.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Acute symptomatic seizures (ASS) didefinisikan berdasarkan the International League
Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang klinis yang terjadi di close temporal yang
berhubungan dengan gangguan akut sistem saraf pusat akibat gangguan metabolik, toxic ,
struktural, infeksi, atau inflamasi. Interval antara insult dan kejang dapat bervariasi sesuai
dengan kondisi klinis yang mendasarinya. Kejang yang berkaitan dengan tumor, sebelumnya
dianggap sebagai acute symptomatic seizures, saat ini dianggap seabagai progressive
symptomatic seizure karena terjadi dalam konteks kondisi klinis yang berkembang. Definisi
acute symptomatic seizures dibuat untuk digunakan dalam studi epidemiologi. Konsep ini
bersandarkan pada kejang epilepsi merupakan gejala gangguan otak akut, yang
mempengaruhi otak secara primer atau sekunder.2
Acute symptomatic seizures (ASS) berbeda dengan epilepsi pada beberapa aspek
penting. Pertama, tidak seperti epilepsi, penyebab langsung kejang jelas dapat diidentifikasi
sejauh mana seseorang dapat yakin akan hubungan sebab akibat. The close temporal
sequence berkaitan dengan hubungan sebab akibat kondisi seperti uremia, cedera kepala,
anoksia, atau stroke, yang mendahului atau bersamaan dengan kejang. Secara biologis yang
mendukung penyebab ASS, seperti yang diilustrasikan terjadinya gangguan akut otak,
integritas atau homeostasis metabolik dalam hubungannya dengan insul, semangkin parah
terjadinya cedera menyebabkan risiko kejang yang lebih tinggi. Kedua, tidak seperti epilepsi
ASS belum tentu ditandai dengan kecenderungan untuk kambuh. Meskipun individu
mengalami insult yang berisiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi epilepsi di kemudian
hari, ASS tidak mungkin kambuh kecuali kondisi kausal akut yang mendasarinya berulang.
Kebanyakan individu tidak perlu diobati secara jangka panjang dengan obat-obatan
antikejang, meskipun perawatan tersebut mungkin diperlukan pada saat jangka pendek
sampai kondisi akut teratasi.
Kejang dianggap sebagai gejala akut jika terjadi dalam 7 hari pertama penyakit
serebrovaskular, trauma kepala termasuk pembedahan intrakranial dan infeksi SSP. Untuk
TBI, interval yang lebih panjang dapat diterima untuk hematoma subdural tanpa trauma yang
diketahui ketika hematoma diidentifikasi. Demikian pula kejang yang berhubungan dengan

3
malformasi arteriovena akut dengan gejala selama perdarahan akut. Untuk infeksi SSP, ASS
dapat terjadi setelah 7 hari, dengan temuan klinis atau laboratorium yang masih ada.

II.2. Epidemiologi acute symptomatic seizures


Berdasarkan beberapa penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa risiko
kumulatif untuk ASS dari sejak lahir hingga usia 80 tahun adalah 3,6% dan kejadian yang
disesuaikan dengan usia adalah adalah sekitar 29-39 / 100.000 orang per tahun. ASS
mewakili 40% dari total kejang, 40% dari semua kejang pertama, 50% hingga 70% dari
episode status epileptikus . Terdapat hampir dua kali lipat risiko ASS pada laki-laki (5%
sampai usia 80 tahun) dan pada wanita (2,7%). ASS lebih sering terlihat pada usia ekstrem,
seperti epilepsi dengan insidensi 253 / 100.000 bayi baru lahir / tahun dan 123 / 100.000
orang tua / tahun, mungkin karena meningkatnya insidensi gangguan metabolik, infeksius,
dan ensefalopati pada periode neonatal dan stroke pada usia lanjut. 1,3,4

II.3. Penyebab acute symptomatic seizures


Penyebab utama ASS adalah stroke akut (16%), TBI (16%),infeksi CNS (15%), obat-
obatan, alkohol dan obat-obatan terlarang (14%), gangguan elektrolit dan metabolik (9%),
encephalopathy (5%), dan eklampsia (2%). Penyebab acute symptomatic seizures sepanjang
kehidupan menunjukkan distribusi yang sama dengan patologi CNS yang ditemukan di
berbagai usia: (1) bayi baru lahir disebabkan oleh ensefalitis, gangguan metabolik, dan
encephalopathy; (2) anak-anak disebabkan ensefalitis dan trauma kepala, (3) systemic insults
akan didiskusikan secara individual sesuai dengan topik (1) frekuensi, faktor risiko ,
patofisiologi, dan pertimbangan pengobatan acute symptomatic seizures (2) signifikansi
kejang gejala akut dalam prognosis penyakit yang mendasari dan risiko untuk berkembang
epilepsi. 4

4
Tabel 1. Faktor resiko acute symptomatic seizure dari beberapa insult yang berbeda4

Penyebab acute symptomatic seizures


1. Acute Stroke
Acute symptomatic seizures setelah stroke terjadi pada 2,4% sampai 6,3% pasien.
Kebanyakan kejang terjadi dalam 2 hari, dan hampir setengah (43%) terjadi dalam 24 jam
setelah stroke. Sebagian besar adalah kejang fokal. Beberapa bangkitan umum tonik-klonik
dilaporkan, meskipun kemungkinan besar merupakan bangkitan umum sekunder. Pada
penelitian yang menggunakan hewan, zona onset kejang sesuai dengan daerah iskemik
penumbra. Sebuah studi prospektif mengungkapkan bahwa frekuensi ASS terjadi hampir dua
kali lipat pada stroke hemoragik ( Subarachnoid emorrhage (SAH) 8% dan perdarahan
intraserebral (ICH) 7,3%) dibandingkan dengan stroke iskemik (4,2%). Sebuah penelitian

5
baru menunjukkan bahwa stroke hemoragik dan lesi kortikal menjadi prediktor ASS. ASS
ditemukan pada 16,2% pasien dengan ICH dan pada 4.2% pasien dengan stroke iskemik. 4
2. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)
Acute symptomatic seizures berhubungan dengan besarnya volume darah dalam sisterna
basalis cystern pada CT Scan kepala dengan [odds ratio (OR) = 1,1, P = 0,05] tetapi tidak
dengan durasi penurunan kesadaran, Glasgow Coma Scale (GCS), aneurisma, atau riwayat
hipertensi sebelumnya. Kejang mungkin timbul karena darah dalam sisterna yang mungkin
memiliki efek iritasi di korteks otak dan setelah lesi otak iskemik awal yang disebabkan oleh
vasospasme arteri. Sebagian besar pasien menunjukkan kejang umum, menunjukkan zona
onset kejang yang luas, kemungkinan besar mesial dan mungkin melibatkan lobus temporal
dan / atau frontal dengan penyebaran cepat ke korteks yang tersisa. 4
Acute symptomatic seizures merupakan faktor risiko independen untuk late seizures
(kejang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu) (OR = 27, P <0,01) dan prediksi yang tidak baik
terhadap pemulihan fungsional (GCS) pada 6 minggu (OR = 7,8, P = 0,04). Late seizures
terjadi pada 2/3 pasien dalam 4 minggu pertama dan berkorelasi dengan perdarahan ulang
dan tingginya volume darah pada awalnya CT scan. Pasien dengan SAH memiliki
peningkatan risiko 34 kali lipat menimbulkan epilepsi dibandingkan dengan populasi umum.4

3. Intraserebral Hemorrhage (ICH)


Acute symptomatic seizures berhubungan dengan keterlibatan korteks temporal dan
parietal dan etiologi seperti aneurisma, angioma, atau neoplasma. Kejang mungkin terjadi
karena adanya produk metabolisme darah, yaitu hemosiderin yang tampaknya memiliki
aktivitas epileptogenic mirip dengan yang diamati pada penelitian dengan tikus di antaranya
epilepsi fokal diproduksi setelah injeksi iron ke dalam korteks otak. Terjadinya acute
symptomatic seizures pada pasien dengan ICH tidak mempengaruhi fungsional atau vital
outcome pada 6 bulan. Risiko terjadinya epilepsi setelah ASS pada ICH adalah 27% dalam 5
tahun.4
4. Stroke Iskemik
Prediktor untuk acute symptomatic seizures secara klinis pada infark berat (risiko 2,10
kali lebih tinggi, menerapkan skor neurologis Kanada) dan keterlibatan kortikal. Juga,
gabungan antara infark luas dan ditemukannya perdarahan. Meskipun jarang, acute
symptomatic seizures juga dapat terjadi selama serangan iskemik transien (TIA) . Pada stroke
lakunar, 2,6% pasien mengalami kejang mungkin terkait dengan keterlibatan kortikal
bersamaan dan tidak secara langsung disebabkan oleh stroke lakunar. Dengan demikian,
6
penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa pada 11 dari 13 pasien dengan kejang
setelah stroke lakunar (didiagnosis pada CT scan tanpa terlihat lesi iskemik kortikal) MRI
mengungkapkan terkait ipsilateral posterofrontal atau lesi iskemik kortikal anterotemporal.
Selain itu, CT-emisi foton tunggal menunjukkan hipoperfusi di area frontal ipsilateral pada
semua pasien. Mengenai etiologi stroke, bertentangan dengan apa yang diperkirakan
sebelumnya, risiko acute symptomatic seizures tidak meningkat pada stroke kardioembolik.
Akut iskemia otak menyebabkan konsentrasi tinggi glutamat ekstraseluler yang telah terbukti
memiliki kemampuan untuk menghasilkan pelepasan epileptis berulang pada neuron
hipokampus. Acute symptomatic seizure berbahaya bagi daerah penumbra iskemik karena
stres metabolik tambahan yang melibatkan zona yang rentan. Studi pada hewan menunjukkan
bahwa kejang berulang pada iskemia otak meningkatkan ukuran infark dan dapat
membahayakan pemulihan fungsional. 4
5. TBI (Traumatic Brain Injury)
Acute symptomatic seizure terjadi pada 6% pasien yang mengalami TBI. Faktor risiko
terjadinya termasuk usia (anak-anak), penanda lesi berat seperti kehilangan kesadaran atau
amnesia selama > 30 menit, dan ICH akut atau hematoma subdural. Faktor risiko independen
untuk berkembangnya acute symptomatic seizure pasca trauma menjadi epilepsi pasca trauma
adalah usia > 65 tahun, penurunan kesadaran atau amnesia selama> 24 jam, hematoma
intracerebral akut, hematom subdural dan kontusio otak. TBI berat meningkatkan risiko
epilepsi sekitar 17 kali lipat, yang berarti > 15% orang dengan TBI akut berkembang menjadi
epilepsi. Orang dewasa dengan TBI sedang hingga berat menunjukkan risiko 9 kali lebih
tinggi menjadi epilepsi jika dikaitkan dengan acute symptomatic seizure. Berbeda, pada anak-
anak, acute symptomatic seizure tidak terkait dengan peningkatan risiko epilepsi. Mesial
temporal lobe epilepsy (TLE) dapat terjadi akibat TBI pada remaja dan orang dewasa dan
tidak pada anak-anak. Hal ini sering bilateral dan termasuk lesi multifokal. Epilepsi pasca
trauma dimulai pada sebagian besar pasien dalam tahun pertama, meskipun pada TBI berat
dapat terjadi hingga 20 tahun kemudian. Apa yang terjadi di otak selama bulan-bulan atau
tahun adalah sangat baik oleh karena periode ini merupakan kesempatan untuk intervensi
dengan terapi antiepileptogenik. 4
Sebagai uji klinis menunjukkan bahwa pengobatan dengan konvensional AED
(fenitoin, fenobarbital, carbamazepine, VPA, atau magnesium) setelah TBI tidak melindungi
terhadap perkembangan epilepsi, identifikasi perubahan seluler dan molekuler yang terlibat
dalam kaskade yang mengarah munculnya epilepsi mungkin mengungkapkan target
terapeutik baru. Beberapa model eksperimental mengungkapkan bahwa mungkin ada
7
perubahan bertahap yang terjadi di jaringan saraf selama berhari-hari sampai berminggu-
minggu, atau bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun, setelah gangguan epileptogenik.
Perubahan awal termasuk induksi gen awal dan modifikasi pasca translasi reseptor
neurotransmiter dan transporter ion. Dalam beberapa hari, kematian neuronal, inisiasi
kaskade inflamasi, dan transkripsi gen baru telah dilaporkan terjadi. Perubahan kemudian
terjadi selama beberapa hari sampai minggu termasuk perubahan anatomi, termasuk akson
dan modifikasi dendritik yang biasa diamati sebagai ciri dari otak epilepsi kronis. Uji coba
pengobatan dengan berbagai tingkat keberhasilan telah memasukkan senyawa yang
memblokir reseptor glutamat atau saluran kalsium, inhibitor caspase dan agen antiapoptotic,
dan faktor neurologis, serta transplantasi sel punca. Meskipun ada beberapa hasil positif,
pengobatan ini belum diberikan pada manusia. 4

6. Infeksi CNS ( Centra Nervous System)

Acute symptomatic seizure terjadi pada 5% pasien dengan infeksi akut SSP (Sistem
Saraf Pusat). Faktor risiko terjadinya acute symptomatic seizure termasuk ensefalitis (14 kali
lebih sering dari meningitis), etiologi (misalnya, herpes simplex, neurocysticercosis), usia (>
42 tahun) dan GCS < 12 saat masuk. Pada ensefalitis herpes simpleks, acute symptomatic
seizure terjadi pada 40% hingga 60% pasien, yang mencerminkan tropisme virus pada mesial
lobus temporal. Neurosistiserkosis muncul sebagai acute symptomatic seizure ketika dari
hasil pencitraan mengidentifikasi setidaknya 1 parasit pada fase degeneratif atau masa
transisi. Meskipun kejang onset baru dapat terjadi selama tahap calcified cystic stage, epilepsi
kronis umumnya dikaitkan dengan cystic stage ini. Kejang dapat terjadi pada infeksi akut
SSP yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan tumoral necrosis factor.4
AED biasanya digunakan setelah acute symptomatic seizures yang pertama selama fase
akut. Faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi tergantung pada adanya acute
symptomatic seizures, jenis infeksi sistem saraf pusat, dan temuan pencitraan. Risiko epilepsi
22% pada pasien dengan ensefalitis virus dan acute symptomatic seizures, 10% pada pasien
dengan ensefalitis virus tanpa acute symptomatic seizures. 13% untuk pasien dengan
meningitis bakteri dan acute symptomatic seizures, 2,4% untuk pasien dengan meningitis
bakteri tanpa acute symptomatic seizures, dan 2,1% untuk pasien dengan aseptic meningitis.
Kelainan neuro-sistiserkosis persisten pada CT otak, yaitu kista persisten dan kista
kalsifikasi, menunjukkan risiko 56% dan 52% dari rekuren kejang, masing-masing. Itulah
alasan mengapa beberapa penulis merekomendasikan pemantauan aktivitas kista dengan CT
scan dan kelanjutan dari AED sampai resolusi lesi akut pada kejang gejala akut, 2,4% untuk
8
pasien dengan meningitis bakteri tanpa kejang gejala akut, dan 2,1% untuk pasien dengan
aseptic meningitis.
Epilepsi biasanya dimulai dalam 5 tahun, meskipun bisa terjadi 20 tahun setelah infeksi
sistem saraf pusat. Neurocysticercosis adalah penyebab paling umum munculnya epilepsi di
negara berkembang, di mana ia menyumbang hingga 30% dari semua kejang. Epilepsi
refrakter berkembang setelah infeksi SSP yang dominan multifokal dan epilepsi lobus
temporalis. Epilepsi multifokal biasanya terjadi setelah ensefalitis berat dengan lesi otak
difus. Meningitis akut atau ensefalitis yang terjadi sebelum usia 4 tahun lebih sering dikaitkan
dengan hippocampal sclerosis (HS), dan jika terjadi setelah usia ini, lebih sering dikaitkan
dengan epilepsi neokorteks extrahippocampal, jarang dengan kelainan pada MRI kepala.
Pada usia lanjut, hipokampus lebih tahan terhadap lesi, membutuhkan severe insults untuk
menghasilkan zona epileptogenik. Penelitian lain menunjukkan bahwa riwayat meningitis
atau ensefalitis pada usia dini (usia < 4 tahun) merupakan prediktor dengan hasil bedah yang
sangat baik setelah lobektomi temporal anterior, terlepas dari keberadaan hippocampal
sclerosis pada MRI preoperatif. 4

7. Gangguan Elektrolit dan Metabolik

Gangguan elektrolitik sering ditemukan dalam praktek klinis meskipun jarang dikaitkan
dengan kejang. Semakin cepat gangguan tersebut berkembang semakin besar kemungkinan
untuk menginduksi kejang. Menemukan gangguan elektrolitik pada pasien dengan first
seizure seharusnya tidak menghalangi pencarian penyebab lain yang mungkin. Acute
symptomatic seizures didefinisikan secara operasional berdasarkan sampel darah yang
diperoleh dalam 24 jam dari kejang, dimana kita dapat mengasumsikan secara logis bahwa
gangguan tersebut bersamaan dengan adanya kejang. 4,5
Hypernatremia dapat menyebabkan kejang khususnya selama rehidrasi, dan
direkomendasikan bahwa konsentrasi natrium berkurang pada tingkat di bawah 0,5 mmol / L
/ h untuk mencegah kejang. Hipomagnesemia (<0,8 mg / dL) dan hipokalsemia (<5,0 mg /
dL) mempengaruhi pasien untuk kejang. Hipoglikemia (<36 mg / dL) menyebabkan kejang
oleh mekanisme yang mirip dengan hipoksemia serebral. Kerusakan terbesar pada tingkat
yang sama dari korteks serebral, hippocampus, striatum, dan serebelum yang paling rentan
terhadap hipoksia. Koma hiperosmolar nonketotik lebih sering menyebabkan kejang
daripada ketoketosis diabetes (glikemia> 450 mg / dL terkait dengan ketoasidosis), mungkin
karena efek antikonvulsan ketosis. Kejang dapat terjadi pada hiponatremia (<115 mg / dL),

9
terutama ketika saat terjadi penurunan cepat kadar natrium serum. Ketika ada kecurigaan
bahwa kejang mungkin gejala akut karena gangguan metabolik tetapi cutoffs yang diusulkan
tidak terpenuhi, kejang tidak boleh diklasifikasikan sebagai gejala akut tetapi ditempatkan
menjadi kategori "tidak diketahui" tetapi dikecualikan sebagai epilepsi. Batasan nilai yang
lebih baik akan memerlukan studi khusus di masa depan. Mengenai perawatan, perlu untuk
memperbaiki gangguan yang dialami, dan terapi AED biasanya tidak diperlukan.4,5

Tabel 2. Batasan nilai acute symptomatic seizure 2

8. Obat-obatan
Acute symptomatic seizures dapat terjadi setelah penggunaan atau withdrawal
dari obat-obatan. Risiko kejang terkait pengobatan tergantung pada jenis obat
(epileptogenisitas intrinsik), dan faktor intrinsik pada pasien (lesi otak dan ginjal
disfungsi hati). Pengetahuan tentang risiko kejang terkait dengan berbagai obat
didasarkan pada evidence level 4. Obat-obatan yang terkait dengan risiko kejang
sedang chlorpromazine, clozapine, maprotiline, clomipramine, bupropion,
meperidine, dan flumazenil. Tingginya angka kejadian kejang terlihat pada overdosis
antidepresan siklik sampai 20% dari pasien (terutama amoxapine dan maprotiline,
theophilin, isoniazid, agen antineoplastik alkilasi, siklosporin. Faktor yang terlibat
dalam kadar obat dalam serum dan otak adalah tingginya dosis obat, pemberian

10
intravena (IV), dan sifat intrinsik dari obat yang mempengaruhi penetrasi ke dalam
SSP, seperti kelarutan lemak, ionisasi, dan pengikatan protein. Mekanisme masuk
akal untuk kejang terkait pengobatan dipahami dengan baik pada antibiotik peniciling
dengan faktor resiko moderate terjadinya kejang, yang digunakan untuk membuat
model hewan epilepsi, eptor. mencegah GABA berikatan dengan GABAA receptor .
Sefalosporin, imipenem, dan fluorokuinolon adalah antagonis reseptor GABAA
reseptor. Isoniazid bersaing dengan pyridoxine, yang biasanya diubah menjadi fosfat
piridoksal, kofaktor untuk sintesis GABA, sehingga menyebabkan penurunan kadar
GABA. Pengobatan kejang yang terkait dengan neuroleptik dan antidepresan terutama
terdiri dari mengurangi dosis atau diganti dengan obat alternatif dengan risiko
terjadinya kejang lebih rendah seperti haloperidol, risperidone, serotonin selektif
reuptake inhibitor, atau inhibitor monoamine oksidase. Kejang dapat terjadi akibat
withdrawal dari barbiturat, benzozepin, dan obat penenang lainnya termasuk
meprobamate, chloral rate, dan zolpidem. Downregulation dari reseptor GABA
mungkin mekanisme yang terlibat. Barbiturat kerja pendek (misalnya,
pentobarbisecobarbital, amobarbital, dan butalbital) paling mungkin untuk
menyebabkan kejang antara hari 1 dan hari 5, delirium kadang mengikuti. Kejang
selama benzodiazepine withdrawal biasanya terjadi dalam waktu 24 jam setelah
pemberian agen kerja pendek dan dalam beberapa hari pemberhentian agen kerja
panjang. Sebuah tinjauan dari Cochrane menyimpulkan pengurangan benzodiazepine
secara bertahap (lebih dari 10 minggu) lebih baik daripada penghentian mendadak.
Carbamazepine mungkin menjanjikan sebagai obat tambahan untuk penghentian
benzodiazepine, terutama pada pasien yang menerima benzodiazepine dalam dosis
harian 20 mg / hari atau diazepam (atau setara). Lebih lanjut, penarikan obat-obatan
antikonvulsan dan narkotik ( misalnya, morfin, propoksifen, midazolam, meperidin)
dapat meningkatkan faktor resiko menjadi kejang.4

9. Eklamsia

Eklampsia didefinisikan sebagai terjadinya kejang selama hipertensi


gestasional (> 20 minggu) dengan proteinuria (> 300 mg /24 jam), Kejang dapat
terjadi pascapersalinan hingga minggu keenam (55% pasien), prapartum (45%
pasien), dan selama partum (5% pasien). Kejang biasanya didahului oleh gangguan
visual (50%), sakit kepala (19%) atau epigastralgia (19%) dan tidak harus dengan

11
tanda-tanda preeklampsia (hipertensi arteri atau proteinuria) (38%). Kejang biasanya
dikaitkan dengan edema otak sekunder akibat vasodilatasi otak setelah kehilangan
autoregulasi yang dipicu oleh peningkatan cepat dalam hipertensi arteri. Secara MRI
secara tipikal menunjukkan edema vasogenik di daerah parietooksipital. Telah
diusulkan baru-baru ini bahwa iskemia uteroplasenta menyebabkan pelepasan
neurokinin B, inflamasi, sitokin, endotelin, dan aktivator jaringan plasminogen
merangsang excitatory neuronal receptors yang gmempunya efek terhadap vaskular
secara secara independen. Terpaparnya prenatal pada preeklampsia atau eklampsia
merupakan faktor risiko epilepsi anak-anak yang lahir pada saat term. Lebih lanjut,
eklampsia bisa menjadi risiko faktor untuk timbulnya epilepsi lobus temporal .
Mekanisme yang mungkin terlibat adalah vasokonstriksi sirkulasi posterior dengan
iskemia hipokampus berikutnya setelah hipertensi akut. 4

II.4. Patofisiologi

Kejang dihasilkan ketika neuron dalam area otak diaktifkan dengan cara
sinkron yang tidak seperti biasa. Aktivasi fokal sekelompok neuron kemudian dapat
menyebar melibatkan neuron terdekat atau jauh dalam pola aktivasi abnormal.
Peristiwa apa pun, atau kombinasi peristiwa, yang mengganggu keseimbangan antara
eksitasi neuron dan penghambatan dapat menghasilkan kejang. Banyak perubahan
seluler atau biokimia yang berbeda seperti perubahan fungsi saluran ion, tingkat
neurotransmitter, fungsi reseptor neurotransmitter , atau metabolisme energi dapat
mempengaruhi excitability neuron dan menghasilkan kejang. Secara umum,
depolarisasi dimediasi oleh arus sinaptik yang dihasilkan oleh neurotransmitter
glutamat dan aspartat. Neuronal synchronization terjadi melalui peningkatan lokal excitatory
cir- cuits. Peningkatan efikasi sinaptik diduga disebabkan oleh rekrutmen reseptor N-
metil-D-aspartat (NMDA) (Gbr. 1). Semakin banyak reseptor NMDA yang
diaktifkan, depolarisasi lebih lanjut akan terjadi, kalsium tambahan memasuki sel, dan
rangsangan ditingkatkan. Ketika proses rangsang ini meningkat, mungkin ada
pengurangan simultan dalam aktivitas sirkuit penghambat yang diturunkan selama
aktivasi frekuensi tinggi. Neuron juga dapat disinkronkan dengan arus ekstraseluler
yang dapat mencerminkan perubahan dalam lingkungan perineuronal, seperti edema
lokal, atau perubahan kalium ekstraseluler, kalsium, atau konsentrasi magnesium.
Akhirnya, neuron juga dapat disinkronkan dengan kontak ephaptic (nonsynaptic)
12
lokal, yang memfasilitasi pengembangan excitatory circuits . Dalam banyak kasus,
urutan kejadian yang mengarah pada perkembangan kejang pada pasien dengan
penyakit akut tetap spekulatif. Namun, beberapa proses patofisiologis tampak penting
dalam patogenesis kejang pada orang yang sakit akut (Tabel 2). 6

Gambar 1. Neuroexcitability: neuron presinaptik dan postsinaptik. Excitatory amino acids


dilepaskan dari terminal presinaptik dan bekerja pada pascasinaptapt NMDA dan reseptor
non-NMDA (NMDAR) untuk menyebabkan eksitasi. GABA adalah inhibitory neuro-
transmitter dan bekerja pada reseptor GABA postsinaptik (GABAR). Sel glial memainkan
peran homeostatis sentral dalam kontrol neuroeksitasi dengan mengendalikan konsentrasi
kalium ekstraneuronal dan dengan menghilangkan excitatory neurotransmitters seperti
glutamat (Glu). Rangsangan saraf juga dapat dipengaruhi oleh ion seperti magnesium.

13
Tabel 3. Patofisiologi mekanisme kejang pada penyakit akut6

Perubahan permeabilitas sawar darah-otak karena infeksi, hipoksia, atau


perubahan autoregulasi aliran darah serebral dapat menyebabkan obat dan racun
masuk ke dalam SSP, sehingga mempengaruhi rangsangan saraf (Gbr. 2). Perubahan
dalam integritas sawar darah-otak juga dapat memengaruhi homeostasis di dalam
lingkungan mikro neuron yang biasanya diatur secara ketat oleh sel glial (Gbr. 1).
Sebagai contoh, sel glial biasanya mempertahankan konsentrasi kalium ekstraseluler
yang rendah. Gangguan sawar darah-otak dapat secara langsung menyebabkan
disfungsi sel glial atau mengubah lingkungan ekstraseluler di luar kapasitas
regulasinya. Disfungsi sel glial dapat menyebabkan kejang dengan memungkinkan
rasio tinggi kalium ekstraseluler ke intraseluler, yang mendepolarisasi membran
neuron dan meningkatkan rangsangan neuron.6

14
Gambar. 2. Patofisiologi kejang pada penyakit sistemik. Sejumlah proses patofisiologis dapat
menyebabkan kejang, termasuk perubahan dalam integritas sawar darah-otak, kelainan elektrolit,
perubahan permeabilitas neuron, kontak ephaptik (nonsinaptik) antara neuron dalam pengaturan
edema atau proses infiltratif, dan perdarahan atau efek massa yang disebabkan oleh tumor atau
infeksi. Pembebasan Fe + dari hemosiderin di area perdarahan dapat menyebabkan produksi radikal
bebas, peroksidasi lipid, dan aktivasi dari kaskade asam arakidonat. Hal ini dapat meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler dan memediasi rangsangan saraf, eksitotoksisitas, dan kematian
neuron.6

Pada pasien dengan penyakit kritis, kelainan glukosa dan / atau elektrolit penting
dalam patofisiologi kejang (Gbr. 2). Hipoglikemia adalah penyebab umum dari koma dan
kejang dan harus dikeluarkan pada pasien yang mengalami kejang. Gangguan homeostasis
elektrolit sering terjadi dan dapat timbul dalam pengaturan terapi cairan intravena,
penggunaan diuretik, atau aktivasi aksis hipotalamus / hipofisis / adrenal. Yang paling
penting adalah homeostasis kalium sentral abnormal. Pada model hewan epilepsi,
peningkatan kalium ekstraseluler menurunkan hiperpolarisasi neuron dan membangkitkan
aktivitas kejang . Demikian pula, konsentrasi kalsium atau magnesium ekstraneuronal yang
rendah dapat meningkatkan rangsangan sinaptik yang merupakan predisposisi kejang .
Konsentrasi magnesium yang rendah menyebabkan aktivasi reseptor NMDA, yang biasanya

15
dihambat oleh blokade magnesium. Selain itu, perubahan konsentrasi ion lain dalam
lingkungan ekstraseluler neuron juga dapat memiliki pengaruh penting pada aktivitas
voltage-gated ion channels saluran ion tegangan-gated. 6
Perubahan struktural pada parenkim otak yang menyertai penyakit sistemik dapat
menyebabkan kejang. Berbagai proses penyakit vaskular dapat menyebabkan kejang, dan
stroke adalah penyebab umum kejang pada orang tua. Kejang dapat menyertai stroke akut
atau terjadi kemudian akibat bekas luka pembentukan jaringan otak. Ini terjadi ketika neuron
di daerah yang terkena mati, dan sel glial, terutama astrosit, menyebabkan reaksi glial, yang
dapat menghasilkan fokus kejang. Aliran darah yang berubah dapat mempengaruhi
konsentrasi neurotransmitter dengan menyebabkan kerusakan iskemik pada neuron yang
bertanggung jawab untuk produksi dan pelepasan neurotransmiter; Neuron Y-aminobutyric
acid (GABA) sangat rentan terhadap kerusakan iskemik karena tingkat metabolisme
intrinsiknya yang tinggi (14). GABA adalah penghambat neurotransmiter yang bekerja pada
populasi reseptor GABA untuk mengurangi rangsangan sinaptik (Gbr. 1). Faktor-faktor yang
menurunkan neuron yang menghasilkan GABA dapat meningkatkan kemungkinan kejang.
Penyakit jantung juga dapat menyebabkan kejang. Pasien dengan penyakit jantung struktural
dan / atau atrial fibrilasi memiliki kecenderungan yang meningkat untuk mengembangkan
stroke embolik yang mungkin timbul atau menyebabkan kejang. Pasien dengan berbagai
kelainan jantung bawaan yang berbeda memiliki kecenderungan untuk mengembangkan
emboli otak atau infark yang mungkin juga datang dengan kejang. Abses atau tumor mungkin
memiliki sejumlah efek langsung dan tidak langsung pemicu kejang (Gbr. 2). Lesi massa
dapat mengganggu aliran darah otak atau produksi / aliran cairan serebrospinal (CSF) dan
mengubah integritas sawar darah-otak. Selain itu, tumor atau fokus infeksi menghasilkan
peradangan lokal dan menyebabkan produksi sitokin proinflamasi. Tumor memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan edema dan pendarahan otak. Edema otak yang terkait
dengan proses patofisiologis ini dapat menyebabkan pembengkakan neuronal dan neuroglial
dan mengurangi ruang relatif antara sel. 6
Hal ini kemungkinan meningkatkan eksitasi neuron karena interaksi ephaptik antara
berbagai kelompok neuron. Ketidakseimbangan neurotransmiter dapat mempengaruhi
aktivitas kejang. Berkurangnya inhibitory neurotransmitters atau akumulasi excitatory
neu- rotransmitters pada pasien yang sakit dapat menyebabkan kejang (Gbr.1). Peningkatan
jumlah asam amino rangsang seperti glutamat dan aspartat, terbentuk selama cedera hipoksik-
iskemik, dapat meningkatkan rangsangan saraf . Sebaliknya, berkurangnya neurotransmitter
inhibitor GABA juga dapat memicu kejang (18). Selain itu, formasi radikal bebas selama
16
penyakit akut diduga mempengaruhi kejang dan memperburuk cedera saraf (19) (Gambar 2).
Perubahan genetik yang mempengaruhi saluran ion atau fungsi reseptor dapat menjadi
predisposisi kejang. Semakin diakui bahwa banyak jenis epilepsi idiopatik memiliki dasar
genetik (20). Demikian pula, individu tanpa riwayat epilepsi mungkin memiliki kelainan
genetik molekuler yang membuat kejang lebih mungkin terjadi ketika homeostasis terganggu.
Subclinical defects pada DNA mitokondria juga bisa menjadi predisposisi kejang pada pasien
yang sakit kritis. Kejang dapat secara langsung merangsang kejang lebih lanjut melalui
efeknya di otak. Peningkatan rangsangan juga secara independen dapat menyebabkan
kerusakan saraf (eksitotoksisitas). Resting neurons bergantung pada adenosin trifosfat (ATP)
yang disintesis secara terus menerus untuk mempertahankan gradien elektrokimia melintasi
membran neuron. Selama kejang, kebutuhan ATP meningkat, dan ini mungkin melebihi
kapasitas aliran darah otak untuk menghasilkan substrat tambahan. Kejang konvulsif juga
sering dikaitkan dengan hipoksia dan asidosis yang selanjutnya dapat memperburuk keadaan
kekurangan energi. Kurang tidur sering terjadi pada pasien sakit kritis yang dirawat di rumah
sakit, dan ini lebih lanjut dapat mempengaruhi terjadinya kejang simtomatik akut. Kurang
tidur itu sendiri dikenal sebagai pencetus kejang pada mereka dengan dan tanpa epilepsi. 6

II.5. Gambaran EEG

1. Gambaran EEG pada stroke akut

Bukti aktivitas lambat fokal dapat menunjukkan lesi struktural otak yang
mendasarinya seperti infark serebral atau perdarahan. Periodic lateralized
epileptiform discharges (PLED) paling sering dikaitkan dengan lesi vaskular akut dan
dapat bertahan selama beberapa bulan setelah stroke. Dalam satu seri, kelainan
elektroensefalografi yang paling umum pada pasien dengan kejang dan stroke akut
adalah pelambatan fokus. Kejang berulang terjadi pada semua 4 pasien dengan PLED
dan masuk 75% dari 8 pasien dengan perlambatan difus. 6

17
Gambar 3. Periodic lateralized epileptiform discharges (PLED) pada Laki-laki usia 77 tahun
dengan stroke perdarahan akut pada parieto-temporal kanan

2. Gambaran EEG pada ICH


Perubahan EEG yang terkait dengan ICH biasanya fokus dan lebih jelas daripada
yang terlihat pada stroke iskemik. Perubahan EEG yang lebih jelas terjadi dalam
perdarahan lobar dari pada perdarahan ganglia basalis atau thalamus. Sementara
spikes or sharp waves dapat berkembang, namun lebih sering tidak terlihat padaICH
akut. Sebaliknya, focal ipsilateral delta activity (intermittent or continuous) dan
kehilangan latar belakang aktivitas otak yang normal, (mis: gelendong alfa dan tidur )
dapat diamati di daerah yang berdekatan dan ipsilateral dengan ICH. ICH yang
melibatkan ventrikel ketiga atau yang memiliki ekstensi ke sistem ventrikel atau
thalamus secara bilateral dapat menyebabkan klinis koma. Pada pasien ini, EEG dapat
menunjukkan theta dan delta bilateral difus dengan reaktivitas spontan minimal.
Perdarahan serebelar dapat terjadi dengan sedikit perubahan pada EEG selama pasien

18
tetap terjaga. Jika terjadi penekanan pada batang otak, kehilangan kesadaran akan
diikuti oleh aktivitas difus delta dan theta pada EEG. Dalam pengaturan perdarahan
subaraknoid, kelainan yang lebih difus dapat dideteksi seperti difus theta atau delta.
Ditandai penekanan amplitudo latar belakang juga dapat terjadi. Jika ada perluasan
perdarahan ke parenkim otak, focal delta dapat terlihat di wilayah ini.6

3. EEG pada infeksi SSP


Pada hampir semua bentuk ensefalitis virus didapatkan EEG abnormal. Delta difus
terlihat paling umum tetapi intermittent rhythmic delta juga dapat diamati. EEG pada
tahap akut HSVE dapat menunjukkan berbagai kelainan, termasuk unilateral or
bilateral periodic sharp waves atau attenuation of amplitude, focal or generalized
slow waves or epileptiform discharges atau electrographic seizures. Dalam sebuah
peneltian satu seri pada 32 pasien dengan meningitis tuberkulosis, EEG abnormal
pada 24 pasien. Abnormalitas EEG meliputi difus theta atau delta yang melambat
pada 22 pasien, frontal intermittent rhythmic delta activity (FIRDA) pada 15 pasien,
asimetri pada 5 pasien, dan epileptiform discharges pada 4 pasien. 6

Gambar 4. Frontal Intermitten Rhythmic Delta Activity (FIRDA)

19
4. EEG pada trauma kepala
Setelah kehilangan kesadaran setelah cedera otak, latar belakang EEG mungkin
menunjukkan perlambatan yang menyebar. Abnormalitas epileptiformis seperti sharp
waves and spikes dapat segera terlihat dan dapat bersifat fokal atau menyebar.
Pada trauma kepala ringan, EEG mungkin normal atau menunjukkan perlambatan
halus.6

II. 6. Diagnosis

Terjadinya first seizure pada orang dewasa membutuhkan evaluasi terperinci


terutama ditujukan untuk mengidentifikasi provokasi faktor-faktor yang mungkin terlibat dan
untuk mengevaluasi risiko berkembang menjadi epilepsi. Riwayat pasien serta pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan neurologis dapat mengungkapkan kemungkinan penyebab kejang atau
peningkatan risiko kekambuhan kejang (jika terdapat remote symptomatic seizure atau
riwayat keluarga epilepsi). Tes rutin untuk glukosa, elektrolit serum, kalsium, dan darah
lengkap telah direkomendasikan dalam emergensi departemen. Skrining toksikologi dapat
membantu dalam keadaan klinis. Neuroimaging dan EEG rutin seharusnya dianggap sebagai
bagian dari evaluasi neurodiagnostik (recommendation level B). Brain computed tomography
(CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) memiliki hasil sekitar 10% yang dapat
mendiagnosis lesi struktural dan memprediksi risiko kekambuhan kejang. MRI pada first
seizure membutuhkan lebih banyak eksplorasi, meskipun pada kasus-kasus tertentu dan
dalam situasi yang tidak darurat, MRI bisa jadi lebih sensitif daripada CT scan untuk
mendeteksi kelainan pada pasien dengan kejang tunggal. EEG rutin memiliki hasil sekitar
29% dari EEG menunjukkan aktivitas epileptiformis, yang memprediksi risiko kekambuhan
kejang dan memungkinkan klasifikasi awal kejang. 4,7

Tes tambahan diperlukan untuk pasien dengan new-onset seizure untuk (1) menilai apakah
pasien kemungkinan mengalami acute symptomatic seizure, (2) mendukung kecurigaan klinis
epilepsi dan memperkirakan risiko kekambuhan, dan (3) menentukan jenis kejang dan pilihan
terapi yang paling tepat. 7

20
a. Riwayat dan Pemeriksaan Fisik

Diagnosis epilepsi dan kejang epilepsi sebagian besar tetap menjadi klinis yang sangat
tergantung pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Fokus awal dari riwayat
pengalaman pasien, ingatan, dan kesadaran akan kejadian tersebut. Gejala subyektif
pada awal kejang dianggap aura, yang biasanya terlihat pada pasien dengan kejang
fokal dan memberikan informasi lokasi tentang di bagian otak mana kejang mungkin
timbul. Penting bagi dokter untuk menanyakan pasien tentang kejadian sebelumnya
yang mungkin mewakili gejala kejang. Sejumlah besar pasien yang mengalami kejang
pertama mungkin juga pernah mengalami staring spells (kata-kata yang menetap)
sebelumnya, myoclonic jerks, atau kejadian stereotip (seperti aura) dan akan
memenuhi kriteria untuk diagnosis epilepsi atau bahkan sindrom epilepsi spesifik.
Dalam banyak kasus, pasien memiliki gangguan kesadaran selama kejadian. Penting
untuk mengevaluasi dan mendokumentasikan. Pemeriksaan fisik menyeluruh adalah
penting. Pemeriksaan mukosa mulut dapat mengungkapkan lateral tongue bites
gigitan lidah lateral. Dalam penelitian yang dikumpulkan, gigitan lidah lateral terlihat
pada sekitar 22% pasien dengan semua jenis kejang epilepsi, sedangkan gigitan ini
tidak terlihat pada pasien dengan kejang nonepileptik psikogenik. Bukti nuchal
rigidity atau asterixis menunjukkan gangguan sistemik yang mendasari yang mungkin
menyebabkan acute symptomatic seizure. Kelemahan fokus transien atau persisten
atau asimetri pada pemeriksaan menunjukkan area disfungsi otak yang dapat
menyebabkan pasien mengalami kejang, yang harus dikonfirmasi dengan pencitraan
otak. Pemeriksaan kulit dapat mengungkapkan tanda-tanda sindrom neurokutan yang
terkait dengan epilepsi seperti neurofibromatosis, tuberous sclerosis, dan sindrom
Sturge-Weber. 7
b. Brain Imaging
Pasien dengan first seizure harus dilakukan neuroimaging; namun, penelitian
sebelumnya menyarankan sekitar 10% pasien dengan kejang onset baru memiliki
kelainan yang didapatkan dari pencitraan yang diyakini relevan secara klinis; Namun,
sebagian besar studi ini secara eksklusif menggunakan computed tomography (CT).
Dengan penggunaan MRI berkontribusi 30% dalam deteksi kelainan terhadap
terjadinya kejang pada pasien. Neuroimaging emergensi direkomendasikan pada saat
terjadinya lesi struktural yang serius pada otak yang diduga menimbulkan defisit
neurologis baru, status mental yang berubah terus-menerus, trauma, dan sakit kepala

21
berkepanjangan. Pada pasien yang kembali normal setelah kejang pertama yang tidak
diprovokasi, memiliki kondisi normal pemeriksaan di UGD, dan hasil pencitraan
kepala normal (CT, MRI darurat, atau keduanya) hasil, pencitraan lebih lanjut dengan
epilepsi protokol-spesifik MRI otak harus dilakukan bersamaan dengan evaluasi oleh
ahli saraf atau epileptologis. Epilepsy protocol–specific brain MRI adalah
dilakukannya MRI dengan ketebalan 1- to 3-mm slices and coronal fluid–attenuated
inversion recovery sequences untuk mendeteksi lesi yang kecil khususnya displasia
kortikal fokal dan sklerosis hipokampus yang sering menimbulkan risiko kekambuhan
kejang lebih besar dari 60% dan menetapkan diagnosis epilepsi. 7
c. Electroencephalography
Sebagian besar pasien dengan kejang onset baru tidak terdapat perbaikan fungsi
neurologis dalam 30 hingga 60 menit setelah akhir kejang dengan disfungsi fokal
yang tidak dapat dijelaskan oleh lesi struktural harus dipertimbangkan untuk
electroencephalographic monitoring. Electroencephalographic monitoring yang
berkelanjutan telah banyak digunakan pada pasien dengan dengan kejang yang
memiliki tanda klinis halus atau tidak ada. Pemantauan elektroensefalografik standar
selama 30 menit setelah kejang onset baru sangat membantu untuk menentukan jenis
kejang yang mungkin terjadi (fokus vs umum) dan untuk menentukan risiko
kekambuhan setelah kejadian pertama (grade B). Pada pasien dengan kejang onset
baru, 29% pasien akan memiliki kelainan epileptiformis pada electroencephalogram.
Tampaknya kemungkinan didaptkannya gelombang epileptiform lebih tinggi pada
electroencephalograms yang dilakukan pada pasien setelah kejang onset baru dalam
waktu 24 hingga 48 jam. 7
d. Pemeriksaan kimia darah
Skrining rutin pasien setelah kejang onset baru untuk hipoglikemia, uremia,
keracunan obat, dan hiponatremia telah diusulkan (tingkat D). Rekomendasi ini
sebagian besar didasarkan pada pasien di UGD dengan frekuensi akut yang lebih
tinggi mengalami acute symptomatic seizures. Dalam satu studi prospektif
mengevaluasi pasien dengan kejang onset baru, hanya 4% pasien yang relevan temuan
laboratorium hiperglikemia dan hiponatremia.7
e. Kadar prolaktin
Peningkatan kadar prolaktin serum telah diukur pada pasien setelah kejang. Jika
probabilitas pretest pasien memiliki kejang epileptik adalah 50% atau lebih besar,
kadar prolaktin memiliki nilai prediksi positif lebih besar dari 93% dalam
22
membedakan generalized or focal seizures dengan gangguan kesadaran pada
psychogenic nonepileptic seizures dari kejang nonepileptik psikogenik jika kadar
prolaktin pasien diukur 10 hingga 20 menit setelah kejadian kejang (kelas B). Namun,
kadar prolaktin diukur setelah kejang harus dibandingkan dengan kadar prolaktin
pasien setidaknya 6 jam sebelum kejang yang jarang dilakukan, membuat analisis
kadar prolaktin umumnya tidak praktis untuk penggunaan klinis. Selain itu,
peningkatan prolaktin juga dapat dilihat dengan kejadian sinkop dan oleh karena itu
tidak dapat membedakan antara kejang epilepsi dan sinkop. 7

Gambar 5. Algoritma evaluasi pasien dengan new-onset seizure 7

II. 7. Terapi

Prioritas manajemen adalah perawatan yang berdasarkan etiologi. Penggunaan


sementara AED dapat membantu menekan kejang sementara etiologi yang mendasarinya

23
masih aktif; Namun ada sedikit bukti bahwa dapat mengurangi risiko epilepsi berikutnya.
Profilaksis AED mengurangi resiko kejang pasca-trauma pada minggu pertama trauma
kepala tetapi tidak mengubah risiko terjadinya epilepsi, atau outcome keseluruhan dari cedera
kepala sehingga penggunaan profilaksis AED dalam konteks ini tetap kontroversial. Namun,
banyak ahli merekomendasikan perawatan selama 1 minggu setelah cedera kepala berat atau
perdarahan subaraknoid untuk mencegah eksaserbasi terkait kejang dari peningkatan tekanan
intrakranial. Pada onset akut, single self-limiting seizure sebagai masalah yang reversible.
Kejang berulang atau status epileptikus (non-convulsive) membutuhkan intervensi. Beberapa
penelitian merekomendasikan pemberian thiamine dan glukosa intravena untuk pasien
dengan kekambuhan kejang atau status epileptikus. Keputusan tentang memilih dan
melanjutkan pengobatan AED setelah acute symptomatic seizure tidak mudah dengan
guidelines yang masih belum tersedia. Secara umum, pengobatan AED jangka panjang
diberikan pada pasien yang memiliki kelainan struktural residual pada MRI. Tingkat epilepsi
tertinggi terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat lalu diikuti dengan ensefalitis virus
dengan acute symptomatic seizure. Ada argumen kuat untuk AED jangka panjang pada
pasien HIV dengan acute symptomatic seizure meskipun obat penginduksi enzim sebaiknya
dihindari. Kami telah mencoba merangkum beberapa poin sebagai saran untuk acute
symptomatic seizure , yang telang dirangkum dalam tabel. Dalam semua kasus, keputusan
untuk memulai pengobatan, dan berapa lama untuk melanjutkan pengobatan, harus
disesuaikan dengan masing-masing individu, dengan mempertimbangkan efek samping obat
potensial, status pekerjaan dan, seringkali yang paling relevan, mendorong pemilihan AED
dalam situasi akut diatur oleh kemanjuran, kecepatan onset kontrol kejang, efek samping
profil dan komorbiditas . 8,9

24
Tabel 4. Terapi yang digunakan pada acute symptomatic seizure8

Tidak seperti epilepsi, tidak semua kejang simptomatik membutuhkan pengobatan


farmakologis, meskipun beberapa penggunaan AED didorong dengan harapan dapat
mengontrol kejang jangka pendek dengan obat-obatan “antiepilepsi” untuk mencegah
perkembangan epilepsi selanjutnya. Status epileptikus membutuhkan kontrol cepat dengan
AED. Dalam beberapa kasus, di mana mengamati status mental pasien sangat penting, AED
dapat merugikan, karena mereka menekan fungsi otak. Dalam kasus-kasus ekstrem, seperti
SE, penggunaannya dapat menekan pernapasan dan sirkulasi, meskipun efektif mencegah
kejang berulang. Benzodiazepin, termasuk diazepam, lorazepam, midazolam, dan
clonazepam, sering digunakan untuk acute symptomatic seizure sebelum keputusan
permanen penggunaan AED dibuat. Untuk SE, benzodiazepin telah menjadi pengobatan
pilihan selama bertahun-tahun, dan uji klinis pada 384 pasien memastikan efisiensi lorazepam
yang lebih besar dibandingkan dengan fenitoin (Class I ). Lorazepam berhasil menghentikan
kejang pada 64,9% pasien dengan SE kejang, fenobarbital di 58,2%, diazepam plus fenitoin
di 55,8%, dan fenitoin saja di 43,6%. 8,9
a. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)
AED direkomendasikan setela acute symptomatic seizures yang pertama kejang
dan selama fase akut. Meskipun tidak ada guidelines yang menyebutkan secara pasti,
beberapa pusat pendidikan merekomendasikan AED untuk 1 sampai 2 minggu untuk
25
pasien yang mengalami single seizure dan AED selama 4 hingga 6 minggu untuk
sekelompok pasien dengan kejang berulang atau SE selama perawatan di rumah sakit.
Penggunaan jangka panjang antikonvulsan rutin tidak dianjurkan (class III, level of
evidence B ) tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan faktor risiko seperti
memiliki kejang sebelumnya, hematom parenkim, infark, atau aneurosma arteri serebral
media (class IIb, level of evidence 3B). Administrasi profilaksis AED dapat
dipertimbangkan dengan segera pada periode posthemorrhagic (class IIb, level of
evidence B), sebagian besar dengan tingginya volume darah di sisterna basalis.
Beberapa masalah yang ada tentang penggunaan phenytoin pada profilaksis kejang,
karena dikaitkan dengan hasil kognitif dan neurologis yang memburuk.4,10
b. Intraserebral Hemorrhage (ICH)
AED direkomendasikan setelah acute symptomatic seizure yang pertama dan
harus diminum selama fase akut (1 sampai 2 minggu). Periode singkat profilaksis AED
segera setelah ICH onset dapat dipertimbangkan, karena dapat mengurangi risiko dini
kejang pada pasien dengan perdarahan lobar (class IIb, level of evidence C ).4,10

c. Stroke Iskemik
Organisasi Stroke Eropa merekomendasikan AED untuk mencegah kekambuhan
kejang setelah stroke (kelas I, level A) .Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
pasien dengan kejang awal (<2 minggu) memiliki tingkat kekambuhan kejang yang
rendah (3%), yang menunjukkan bahwa setelah acute symptomatic seizure, pasien
harus diobati secara ekslusif selama 2 minggu pertama. Pendapat lain mengatakan
bahwa keputusan untuk mengobati setelah acute symptomatic seizure yang pertama
harus individual dan didasarkan pada konsekuensi fungsional dari kejang pertama dan
preferensi pasien. Pemberian bersama aktivator plasminogen jaringan rekombinan dan
obat levetiracetam, asam valproik (VPA), fenitoin, dan fenobarbias tampaknya aman
dan menjadi solusi yang baik. Selanjutnya, kejang yang muncul selama trombolisis
dianggap baik sebagai tanda pemulihan aliran darah. Sebagian besar AED generasi
pertama, khususnya fenitoin, mungkin bukan pilihan yang tepat untuk pasien-pasien ini
berdasarkan pada efek negatif potensial pada pemulihan fungsional dan interaksi
dengan warfarin dan salisilat dan juga, salisilat menggantikan benzodiazepin dan VPA
dari spengikatan protein plasma, yang dapat menyebabkan penurunan kadar plasma
total. Sebaliknya, AED yang baru-baru ini dikembangkan, termasuk lamotrigin,
gabapentin, pregabalin, oxcarbazepine, topiramate, levetiracetam, zonisamide, dan

26
lacosamide tidak menunjukkan interaksi yang signifikan dengan antikoagulan atau agen
anti-platelet. Pada orang dewasa lanjut dengan kejang onset fokal, lamotrigine dan
gabapentin direkomendasikan (tingkat bukti A) sebagai monoterapi lini pertama.
Gabapentin tetap satu-satunya obat yang telah secara khusus dievaluasi pada pasien
stroke, menunjukkan tingkat tinggi bebas kejang jangka panjang. 4,10

d. TBI (Traumatic Brain Injury)


Sebuah studi besar randomized double-blind study menunjukkan bahwa fenitoin
memberikan manfaat yaitu mengurangi kejang hanya selama satu minggu pertama
setelah cedera kepala berat. Percobaan klinis ini telah banyak berkontribusi pada
rekomendasi American Academy of Neurology untuk profilaksis acute symptomatic
seizure kdengan pemberian fenitoin selama 7 hari setelah TBI berat (level A) .
Karbamazepin telah dievaluasi dalam penelitian lain, dengan hasil yang serupa dengan
fenitoin — pengurangan kejang dini tetapi tidak berpengaruh pada epilepsi bahkan
selama periode pengobatan.4

e. Infeksi CNS ( Central Nervous System)


Acute symptomatic seizure dan status epileptikus terkait dengan infeksi SSP
diterapi seperti kejang akut lainnya. Pencarian infeksi sebagai penyebab kejang perlu
dilakukan serentak. Pengobatan acute symptomatic seizure dan epilepsi setelah infeksi
SSP dipilih sesuai dengan semiologi kejang. Beberapa Masalah khusus yang perlu
ditangani adalah: (1) Apa sajakah interaksi antara AED dan terapi anti-infeksi? (2)
Dapatkah pengobatan dini infeksi SSP dapt mencegahnya atau mengurangi kejang dan
epilepsi? (3) Apakah ada modalitas pengobatan lain untuk mengurangi kejadian kejang
dan epilepsi pada infeksi SSP? dan (4) bagaimanakah durasi terapi AED yang optimal?
Interaksi antara AED dan terapi anti-infeksi secara signifikan dapat mengubah tingkat
masing-masing obat, yang mengarah pada penurunan kemanjuran atau toksisitas.
Karena itu, penting bagi dokter untuk mewaspadai interaksi semacam itu, beberapa di
antaranya tercantum pada Tabel II. Ini sangat penting bagi individu dengan HIV, di
mana agen antiretroviral memiliki cukup banyak interaksi dengan AED. Beberapa AED
yang lebih baru, seperti levetiracetam dan topiramate, yang memiliki sedikit interaksi,
mungkin lebih disukai dalam beberapa kasus. Karena kejang dan epilepsi sering
dikaitkan dengan keparahan dan komplikasi infeksi yang mendasarinya, tampaknya
logis bahwa terapi agresif dini dapat mencegah late seizures dan epilepsi. Namun, studi
sistematis untuk mendokumentasikan ini tidak tersedia. Pengobatan dini meningitis

27
bakteri dengan antibiotik yang tepat dapat mengurangi komplikasi seperti infark,
empiema subdural, atau abses serebral, dan mungkin mengurangi kejadian late seizures
dan epilepsi. Durasi terapi antiepilepsi telah diperdebatkan namun tidak ada
rekomendasi evidence based. Pada meningitis bakteri akut, early seizures tidak
membutuhkan AED jangka panjang. Pada HIV, acute seizures memiliki kecenderungan
tinggi untuk kambuh, karenanya AED dilanjutkan untuk jangka waktu yang lama.
Kekambuhan kejang dikaitkan dengan lesi abnormal yang persisten.11

Tabel 5. Interaksi antara antibiotik dan obat antieplilepsi 11

f. Eklamsia
Magnesium sulfat efektif dalam mencegah eklampsia mengurangi setengah risiko
kejang pada pasien dengan preeklampsia. Selain itu, magnesium sulfat direkomendasikan
dalam pengobatan eklampsia, seperti yang telah ditunjukkan lebih efektif dalam
mengurangi kekambuhan kejang daripada diazepam atau fenitoin. Kerjanya melalui
penurunan periferal resistensi pembuluh darah, membatasi edema vasogenik, dan
menghambat reseptor NMDA secara terpusat, memberikan aktivitas antikonvulsan
dengan meningkatkan ambang kejang. 4

28
BAB III
KESIMPULAN

Acute symptomatic seizures (ASS) berbeda dengan epilepsi pada beberapa aspek
penting. Pertama, tidak seperti epilepsi, penyebab langsung kejang jelas dapat diidentifikasi
sejauh mana seseorang dapat yakin akan hubungan sebab akibat. The close temporal
sequence berkaitan dengan hubungan sebab akibat kondisi seperti uremia, cedera kepala,
anoksia, atau stroke, yang mendahului atau bersamaan dengan kejang. Secara biologis yang
mendukung penyebab ASS, seperti yang diilustrasikan terjadinya gangguan akut otak,
integritas atau homeostasis metabolik dalam hubungannya dengan insul, semangkin parah
terjadinya cedera menyebabkan risiko kejang yang lebih tinggi. Kedua, tidak seperti epilepsi
ASS belum tentu ditandai dengan kecenderungan untuk kambuh. 2

Kejang dianggap sebagai gejala akut jika terjadi dalam 7 hari pertama penyakit
serebrovaskular, trauma kepala termasuk pembedahan intrakranial dan infeksi SSP. Untuk
TBI, interval yang lebih panjang dapat diterima untuk hematoma subdural tanpa trauma yang
diketahui ketika hematoma diidentifikasi. Demikian pula kejang yang berhubungan dengan
malformasi arteriovena akut dengan gejala selama perdarahan akut. Untuk infeksi SSP, ASS
dapat terjadi setelah 7 hari, dengan temuan klinis atau laboratorium yang masih ada. 2

Trauma kepala berat, preeklampsia, dan SAH atau ICH sangat sering dikaitkan dengan
kejang sehingga direkomendasikan untuk pemberian profilaksis. Proporsi munculnya kejang
pertama 40% adalah ASS sehinggga sangat penting dengan cepat mengidentifikasi semua
etiologi yang mungkin terlibat, mengobati penyakit yang mendasarinya, membalikkan faktor
yang dapat diperbaiki, dan dalam kasus keterlibatan SSP gunakan AED selama periode akut.
Risiko berkembangnya ASS menjadi epilepsi meningkat pada pasien dengan gangguan
neurologis, sebagian besar jika disertai dengan ASS akut tetapi tidak dengan gangguan
metabolisme. Beberapa epilepsi refrakter pada orang dewasa, sebagian besar epilepsi akibat
hipocampal sklerosis, mungkin didahului oleh ASS akut yang berhubungan dengan insult
yang berat termasuk infeksi SSP, trauma kepala, eklampsia. Studi baru diperlukan pada
pasien dengan ASS dengan mempertimbangkan masing-masing insult tertentu
secara terpisah, untuk lebih mengetahui faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi.4

29
Tinjauan Pustaka

1. Studies, E. 2017. Acute Symptomatic Seizures. Sweden: Acta universitatis upsaliensis


2. Beghi, E., Carpio, A., Forsgren, L., Hesdorffer, D. C., Malmgren, K., Sander, J. W
Hauser, W. A. (2010). Recommendation for a definition of acute symptomatic
seizure, 51(4), 671–675. https://doi.org/10.1111/j.1528-1167.2009.02285.x
3. Nwani, P. O., Nwosu, M. C., & Nwosu, M. N. (2016). Epidemiology of Acute
Symptomatic Seizures among Adult Medical Admissions, 2016, 2–7.
4. Review, A. C. O. (2012). Acute Symptomatic Seizures A Clinically Oriented Review,
18(3), 109–119. https://doi.org/10.1097/NRL.0b013e318251e6c3
5. Access, O., Nardone, R., Brigo, F., & Trinka, E. (2016). Acute Symptomatic Seizures
Caused by Electrolyte Disturbances, 12(1), 21–33.
6. Delanty Norman.2002. Current clinical neurology. New York: Springer
Science+Business Media.
7. Review, C. (2016). New-Onset Seizure in Adults and Adolescents A Review,
316(24), 2657–2668. https://doi.org/10.1001/jama.2016.18625
8. Powell, R., Mclauchlan, D. J., & Powell, R. (2012). Acute symptomatic seizures,
154–165. https://doi.org/10.1136/practneurol-2012-000244
9. Koppel, B. S. (2009). Treatment of Acute and Remote Symptomatic Seizures. New
York Medical College Department of Neurology, Current Treatment Options in
Neurology 2009, 11: 231–241
10. Holtkamp, M., Beghi, E., & Benninger, F. (2017). European Stroke Organisation
guidelines for the management of post-stroke seizures and epilepsy, 2(2), 103–115.
https://doi.org/10.1177/2396987317705536
11. Singhi, P. (2011). Infectious causes of seizures and epilepsy in the developing world.
https://doi.org/10.1111/j.1469-8749.2011.03928.x

30
31

Anda mungkin juga menyukai