Anda di halaman 1dari 11

TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)

A. Hubungan TB dan HIV


Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi
jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi
pada berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB 3. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan
faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB,
meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan
diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien pengidap HIV. Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas
digambarkan pada Gambar 2.

transmisi
transmisi
- Diagnosis tepat
dan cepat
- Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: - Kondisi
dengan HIV:
- Ventilasi kesehatan
- 5-10% setiap
- Kepadatan mendukung
tahun
- Dalam ruangan
- > 30% lifetime
Faktor perilaku

HIV (+) SEMBUH

TERPAJAN INFEKS
I
TB MATI

10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak - Keterlambatan diagnosis
- Malnutrisi dan pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak memadai
imunosupresan - Kondisi kesehatan

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB


B. Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses,
antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang
meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri.
Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski
sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang
menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian
sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya
kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV.
Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai predisposisi
terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis
menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan
juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru.
C. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran
klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena
rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis
TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium
tuberculosis7. Banyak ditemukan diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan
diagnosis TB pada umumnya, dimana gejala TB pada pasien HIV tidaklah
spesifik. TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV
dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu harus
dipikirkan kemungkinan adanya HIV. Tb ekstraparu yang sering ditemukan
adalah limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila; efusi pleura; efusi
pericardial; efusi peritoneal; meningitis dan Tb mediastinum. Deteksi dini HIV
pada pasien TB juga harus dilaksanakan dengan baik dan telah diatur dalam
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : “ Uji HIV dan
konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang
diduga menderita TB”.

Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik


dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan sistem
imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri
tersebut.

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada
pasien TB dengan HIV:
i. Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum diawali dengan
batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan
merupakan gejala umum. Pada TB dengan HIV demam dan penurunan berat
badan merupakan gejala yang penting.
ii. Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV secara klinis
dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan BTA negatif, maka
diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan biakan sputum merupakan
baku emas untuk mendiagnosis TB paru. Pada ODHA dengan gejala klinis TB
paru yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan
biakan dahak sangat dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB
paru. Selain itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk
mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor
risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV, akhir-
akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni kultur resistensi
BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut belum ada disetiap layanan
kesehatan, hanya ada pada sentral layana yang direkomendasi.
iii. Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi maupun
bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat di apeks, namun
pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV lanjut. Pada HIV yang masih
awal gambaran foto thoraks dapat sama pada gambaran foto thoraks pada
umunya, namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak spesifik.
Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.
iv. Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu pada
suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas dan gambaran
klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB pada umumnya, tes
mantoux dinyatakan positif apabila diameter >= 10mm, namun pada pasien
dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada odha
karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan HIV negatif.
Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit terutama di daerah
dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat
dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk menemukan
BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat,
diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang.
Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya
sudah lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif. Pemberian
antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru tidak
direkomendasikan lagi karena dapat menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan
konsekuensi pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan
HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons terhadap
mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara.
Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara antibiotic golongan
kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur pendiagnosisan TB paru
pada ODHA yang berobat jalan, secara ringkas digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan

Keterangan:

a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda- tanda berikut:
frekuensi pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120
kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau
prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui
status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB
yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui
(misalnya pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung
kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 3 sediaan hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila
tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan
sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi
typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia
Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan radiologi
antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap lanjut.

Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan lanjut

Tahap Infeksi HIV


Gambaran TB Paru Awal (CD4>200/mm3) Akhir
(CD4<200/mm3)
Gambaran klinis Biasanya menyerupai TB Biasanya menyerupai TB
paru primer paru post-primer
Hasil sputum BTA Biasanya positif Biasanya negative
Gambaran radiologis Biasanya terdapat Biasanya terdapat infiltrat
kavitas, Reaktivasi TB, tanpa kavitas, Tipikal
kavitas di puncak primer TB milier/
interstitial
Tb ekstraparu Jarang Umum/ banyak

Mikobaterimia Tidak ada Ada

Tuberculin Positif Negatif

Adenopati hilus/ Tidak ada Ada


mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada


D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan
pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-
HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki
sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan
lainnya, maka saat pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat
sehingga memperburuk kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau
dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih
panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Prinsip pengobatan
pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar
WHO.

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai
yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon untuk
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat, juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima sub optimal sehingga konsentrasi obat rendah
dalam serum.

Interaksi obat TB dengan ARV:


- Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida,
kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida.
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan nonnukleotida
dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir
karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
- Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV
dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar CD4.
- Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah bahwa angka
kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2 bulan pertama pada
pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian secara bersamaan membuat
pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi
ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat dan Immune
Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS); Sindrome Pemulihan Kekebalan
(SPK) atau dikenal dengan Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome atau
IRIS adalah fenomena imunologi berupa perburukan klinis serta timbulnya
gejala infeksi oportunistik akibat pemulihan imun yang berlebihan pada saat
ODHA mengalami penurunan jumlah virus HIV setelah pemberian ARV, contoh
tersering dari manifestasi IRIS adalah herpes zoster atau TB yang terjadi.
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis
960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.

WHO menetapkan pentingnya strategi sebelum pemberian ART, strategi ini


dinamakan “Three I’s” yakni :
1) Intensified Tuberculosis Case Finding, yaitu mendeteksi secara aktif
kemungkinan adanya infeksi TB pada pasien HIV.
2) Isoniazid Preventive Therapy, yaitu memberikan INH pada pasien HIV(+)
dengan TB (-)untuk pencegahan infeksi TB (di Indonesia belum
diimplementasikan)
3) Infection Control, yaitu mengontrol dan mengendalikan infeksi TB di
Fasyankes /Fasilitas pelayanan kesehatan

Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV (International Standard


For Tuberculosis Care )
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang
menderita atau yang diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan bagian
penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi
infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau
tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV. Karena terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV,
pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi
direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan TB.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat
untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan
pengobatan TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya
diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid
selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di indonesia, walaupun Indonesia adalah
negara endemik TB)

Paduan OAT pada pasien koinfeksi TB-HIV:


Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan OAT lini pertama yang disepakati secara internasional dan
termasuk dalam ISTC.
Fase awal : 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan EMB
* pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasikan untuk pasien TB-HIV karena mudah terjadi kegagalan
pengobatan atau kambuh.

Paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Tabel 8. Terapi Antiretroviral pada ODHA dengan koinfeksi TB


Obat ARV lini Paduan Pengobatan ARV Pilihan obat ARV
Pertama/Kedua pada waktu TB didiagnosis
Lini pertama 2NRTI+EFV Teruskan dengan 2
NRTI+EFV
2NRTI+NVP Ganti dengan 2NRTI+EFV
atau ganti dengan
2NRTI+LPV/r
Lini kedua 2NRTI+PI Ganti atau teruskan (bila
sementara menggunakan)
paduan mengandung LPV/r

 Pilihan NRTI sama untuk semua orang dengan HIV/AIDS

 Pilihan NNRTI :

 EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan
menurun bila ada rifampisin. Dosis EFV 600mg/hari

 Kadar NVP menurun jika ada rifampisin. Namun dianjurkan penggunaan


NVP dengan dosis standar. Tapi karena ditakutkan efek hepatotoksis,
paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada alternatif, terutama
pada perempuan dengan OAT mengandung rifampisin, dengan hitung
CD4 >250/mm3 yang perlu mulai ART.

Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi dalam


guidelines WHO.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa
melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian terapi ARV
sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu pemberian OAT)
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang direkomendasikan
dalam pemberian terapi ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang
lebih ringan dibandingkan Nevirapin.

Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV, terapi empiris


sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB sampai semua hasil
pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan pemeriksaan lain) lengkap. Setelah
didiagnosis atau dicurigai TB aktif, OAT harus diberikan segera. Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) direkomendasikan pada semua pasien
TB-HIV. Semua pasien yang mendapat INH harus mendapatkan suplementasi
piridoksin/vitamin B6 25-50 mg/kgBB/hari untuk mencegah neuropati perifer .

Tatalaksana TB Ekstra Paru pada pasien HIV


I. Secara Umum
- Pasien Tb ekstraparu regimen 6-9 bulan direkomendasikan.
- Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB
tulang dan sendi direkomendasikan 9-14 bulan terapi.
II. TB pada Otak
- Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan dexamethason untuk
mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk HIV positif).
- Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB : peningkatan
tekanan intrakranial, edema serebri, defisit neurologis fokal, hidrosefalus,
infark dan adanya meningitis basalis.
- Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni 2RHZES/7-12RH
lalu nilai respon secara klinis

Penanganan Kegagalan Terapi


Rekomendasi terapi TB yang resisten terhadap OAT pada pasien HIV
sama dengan pasien tanpa HIV
Efek Samping, Interaksi Obat dan Penanganannya
Tanda Gejala Penanganan
Anoreksia, mual dan nyeri Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ART
perut mengandung AZT, jelaskan kepada pasien bahwa
ini biasanya akan hilang sendiri. Atasi keluhan ini
simtomatis. Tablet INH dapat diberikan malam
sebelum tidur.
Nyeri sendi Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol.
Rasa kesemutan Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI atau
D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari. Jika tidak berhasil, gunakan amitriptilin
atau dirujuk.
Kencing warna kemerahan Jelaskan karena pengaruh obat dan tidak berbahaya.
Sakit kepala Beri analgetik, periksa tanda meningitis. Bila
terdapat pengobatan ZDV atau EFV jelaskan bahwa
hal ini biasa terjadi dan akan hilang, jika >2 mg,
rujuk.
Diare Beri oralit dan tatalaksana untuk diare, yakinkan
kalau karena obat, akan membaik dalam bbrp
minggu.
Kelelahan Pikirkan anemia, terutama oleh karena ZDV.
Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 minggu
setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 minggu
dirujuk.
Tegang, mimpi buruk Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan konseling
dan dukungan, dapat hilang < 3 minggu. Rujuk
pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis,
masa sulit awal atasi dengan amitriptilin pada
malam hari.
Kuku kebiruan/kehitaman Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV.
Perubahan dalam distribusi Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping
lemak D4T.
Gatal atau kemerahan pada Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan
kulit ART, rujuk pasien. Jika dalam pengobatan NVP
periksa dan teliti : apakah lesinya kering
(kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan
steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahli.
Gangguan pendengaran atau Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.
keseimbangan
Ikterus Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT
dan ART, minta pendapat ahli.
Ikterus dan nyeri perut Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi hati, nyeri
perut dapat dikarenakan pankreatitis yang
disebabkan oleh ddI atau D4T.
Muntah berulang Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan
fungsi hati, jika terjadi hepatotoksik hentikan OAT
dan ART, rujuk pasien.
Penglihatan berkurang Hentikan EMB, minta pendapat ahli/rujuk.
Demam Periksa penyebab demam dapat disebabkan oleh
efek samping obat, infeksi oportunistik, infeksi baru
atau IRIS, beri parasetamol dan minta pendapat ahli.
Pucat,anemia Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportunistik,
pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T.
Batuk atau kesulitan Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
bernafas pendapat ahli.
Limfadenopati Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
pendapat ahli.

Anda mungkin juga menyukai