transmisi
transmisi
- Diagnosis tepat
dan cepat
- Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: - Kondisi
dengan HIV:
- Ventilasi kesehatan
- 5-10% setiap
- Kepadatan mendukung
tahun
- Dalam ruangan
- > 30% lifetime
Faktor perilaku
TERPAJAN INFEKS
I
TB MATI
10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak - Keterlambatan diagnosis
- Malnutrisi dan pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak memadai
imunosupresan - Kondisi kesehatan
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada
pasien TB dengan HIV:
i. Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum diawali dengan
batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan
merupakan gejala umum. Pada TB dengan HIV demam dan penurunan berat
badan merupakan gejala yang penting.
ii. Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV secara klinis
dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan BTA negatif, maka
diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan biakan sputum merupakan
baku emas untuk mendiagnosis TB paru. Pada ODHA dengan gejala klinis TB
paru yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan
biakan dahak sangat dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB
paru. Selain itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk
mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor
risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV, akhir-
akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni kultur resistensi
BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut belum ada disetiap layanan
kesehatan, hanya ada pada sentral layana yang direkomendasi.
iii. Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi maupun
bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat di apeks, namun
pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV lanjut. Pada HIV yang masih
awal gambaran foto thoraks dapat sama pada gambaran foto thoraks pada
umunya, namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak spesifik.
Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.
iv. Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu pada
suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas dan gambaran
klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB pada umumnya, tes
mantoux dinyatakan positif apabila diameter >= 10mm, namun pada pasien
dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada odha
karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan HIV negatif.
Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit terutama di daerah
dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat
dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk menemukan
BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat,
diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang.
Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya
sudah lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif. Pemberian
antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru tidak
direkomendasikan lagi karena dapat menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan
konsekuensi pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan
HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons terhadap
mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara.
Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara antibiotic golongan
kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur pendiagnosisan TB paru
pada ODHA yang berobat jalan, secara ringkas digambarkan pada Gambar 3.
Keterangan:
a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda- tanda berikut:
frekuensi pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120
kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau
prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui
status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB
yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui
(misalnya pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung
kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 3 sediaan hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila
tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan
sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi
typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia
Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan radiologi
antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap lanjut.
Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan lanjut
Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan TB.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat
untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan
pengobatan TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya
diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid
selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di indonesia, walaupun Indonesia adalah
negara endemik TB)
Pilihan NNRTI :
EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan
menurun bila ada rifampisin. Dosis EFV 600mg/hari