DISUSUN OLEH :
Torinah Suhaetin 0217103101
Reza Prasetia 0217103079
Nadia Oktavianiny 0217103099
Alex Arjuna 0217103092
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Pancasila, sila ketiga “Persatuan
Indonesia” yang berjudul Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang sejarah Gerakan Aceh
Merdeka. dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
Secara umum makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
saja bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga pancasila dan memberi informasi
kepada semua orang agar menghindari hal yang bertentangan dengan sila ke 3
pancasila.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengrtian GAM
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap
separatis) yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat
berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan
perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan
jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh
Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama
hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada
tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari
sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh.
Tahap kedua
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil
keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan
nasionalis melalui
"Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme" Tidak jelas
apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah
tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang
sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode
1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda Perekrut GAM
mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan
pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka
berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini
adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara)
dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan
GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata,
serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang
ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh
yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang
lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan
represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai
era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi
kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil
menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan
penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah
operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan
membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir
seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998
setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan
GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap
(Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang)]
Tahap ketiga
Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i,
1999
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif
karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan
mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar
dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun
situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang
lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000
selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada
pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah
Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin
menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan,
GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi
pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan
dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan
ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi
Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting"
di Stavanger, Norwegia Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara
Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi
manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis
perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang
lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan
keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada
tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk
selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November
2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum
terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali
melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi
sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama
darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih
berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember
2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di
tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.