Anda di halaman 1dari 126

Percepatan Penerbitan Akta Kelahiran Setelah Berlakunya Permendagri

Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan


Akta Kelahiran

(Studi Pada Masyarakat Adat Karuhun Urang, Kelurahan Cigugur, Kecamatan


Cigugur, Kabupaten Kuningan)

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna


menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh :
GILANG PRATAMA VIRGIANA
11010111130124

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

I
HALAMAN PENGESAHAN

Percepatan Penerbitan Akta Kelahiran Setelah Berlakunya Permendagri


Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan
Akta Kelahiran

(Studi Pada Masyarakat Adat Karuhun Urang, Kelurahan Cigugur, Kecamatan


Cigugur, Kabupaten Kuningan)

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas danmemenuhi syarat-syarat guna


menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum

Oleh :
GILANG PRATAMA VIRGIANA
11010111130124

Penulisan hukum dengan judul di atas telah disahkan dan


disetujui untuk diperbanyak

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. SUKIRNO,S.H., M.Si Hj.SRI SUDARYATMI, S.H.,M.HUM


NIP. 196409241990011001 NIP. 195309201987032001

II
HALAMAN PENGUJIAN
Percepatan Penerbitan Akta Kelahiran Setelah Berlakunya Permendagri
Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan
Akta Kelahiran
(Studi Pada Masyarakat Adat Karuhun Urang, Kelurahan Cigugur, Kecamatan
Cigugur, Kabupaten Kuningan)
Dipersiapkan dan disusun
Oleh:

GILANG PRATAMA VIRGIANA


11010111130124
Telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal 21 Desember 2017

Dewan Penguji
Ketua

Dr. Sukirno,S.H., M.Si


NIP. 196409241990011001

Anggota Penguji I Angota Penguji II

Hj.Sri Sudaryatmi, S.H., M.Hum Dr. Yunanto, S.H., M.Hum


NIP. 195309201987032001 NIP. 19610530 198703 1 001
Mengesahkan: Mengetahui:
Dekan Fakultas Hukum Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro,

Prof. Dr. R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum., C.N. Marjo, S.H., M.Hum.
NIP.196204101987031003 NIP196503181990031001

III
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah diajukan

untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang

pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, 21 Desember 2017

Gilang Pratama Virgiana


11010111130124

IV
PERSEMBAHAN

Penulisan Hukum ini saya persembahkan khusus kepada:

- Ayah, Ibu, Adik-adik, beserta Segenap Keluarga Besar yang saya cintai

dan hormati

- Dosen pembimbing Sripsi yang senantiasa memberikan pengarahan

beserta masukan

- Segenap Dosen-dosen beserta karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro yang senantiasa memberikan ilmu pengetahuan beserta

pengalaman kepada penulis

- Kawan-kawan sejawat, sekelas, seangkatan, sefakultas, dan seuniversitas,

di Universitas Diponegoro Semarang

- Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

V
MOTTO

Hidup ini seperti sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak

-Albert Einstein-

Segala sesuatu yang bisa kau bayangkan adalah nyata

-Pablo Picasso-

Ulah taluk pedah jauh tong hoream pedah anggang jauh kudu dijugjug anggang
kudu diteang

VI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah

membimbing serta menerangkan jalan hamba-Nya sehingga dengan berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir studi Sarjana Strata-1 di

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan judul “Percepatan

Penerbitan Akta Kelahiran Setelah Berlakunya Permendagri Nomor 9 Tahun 2016

Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran (Studi

Pada Masyarakat Adat Karuhun Urang, Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur,

Kabupaten Kuningan)”.

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan berkat dan dukungan

dari orang-orang tercinta, oleh karena itu penulis haturkan beribu terimakasih

kepada :

1. Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas

Diponegoro

2. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum, C.N. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro

3. Dr. Sukirno, S.H. M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah sabar, penuh

perhatian dan penuh dengan kasih sayang saat membimbing sehingga proses

penulisan skripsi ini dapat selesai

VII
4. Ibu Hj. Sri Sudaryatmi,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus

Dosen Wali yang selalu sabar memberikan motivasi dan memberikan

kemudahan dalam menyelesaikan penulisan hukum ini

5. Segenap dosen-dosen beserta staff administratif yang telah memberikan

banyak ilmu, pengalaman,beserta kemudahan bagi penulis selama menuntut

ilmu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

6. Terima kasih yang teramat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda Iman

Taofik beserta Ibunda Dedeh Muztahidah yang selalu tiada pernah berhenti

memanjatkan doa dan harapan agar anaknya dapat berhasil dan sukses

7. Terima kasih kepada adik-adik saya yang tersayang Fanny Yulia Restu

Pratiwi dan Muhammad Iqra Fatullah yang selalu mendoakan kakaknya agar

menjadi panutan yang baik untuk adik-adinya

8. Terima kasih kepada Indri Paundria Nagari Pratami sang penyemangat hidup,

yang selama penulis mengerjakan penulisan hukum ini tidak pernah lelah

membantu dan memberikan suportnya

9. Bapak Wahyu Kepala Sekolah SMP Tri Mulya beserta masyarakat Adat

Karuhun Urang yang telah mambantu memberikan informasi, pengetahuan

beserta opininya dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

10. Bapak Iwan D. Santana, S.H Kepala Bidang Pencatatan Sipil di Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan yang telah

meluangkan waktu berdiskusi dan telah dengan senang hati memberikan

keterangannya

VIII
11. M. Rasyid Rida Saragih yang telah memberikan masukan-masukan dan selalu

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dalam menyelesaikan penulisan

hukum ini

12. Keluarga besar Forum Silaturahmi Mahasiswa Kuningan yang selalu

membuat penulis serasa di rumah

13. Kawan-kawan tercinta Raka Maulana Wijaya, Lucky Eltira, Harry Juliar

Yumartin, Mauly M Ibrahim, Rully Santosa, Dadan Hamdan R, Widi Dwi,

Taufiq M Ibrahim, Adi r, M Iqbal Indra Putra dan seluruh kawan-kawan

lainnya

14. Dan seluruh dzat yang telah membuat penulis hingga dapat seperti ini yang

namanya tidak dapat dicantumkan satu persatu disini. Terimakasih,

terimakasih, TERIMAKASIH!

Semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak

yang terutama bagi almamater, ilmu pengetahuan dan bagi kemanusiaan.

Semarang, 21 Desember 2017

Gilang Pratama Virgiana

IX
ABSTRAK

Kepemilikan Akta kelahiran merupakan hak dasar bagi setiap anak karena
dalam akta ini memuat status dan identitas diri anak. Masih rendahnya tingkat
cakupan kepemilikan akta kelahiran di Indonesia mendorong Pemerintah menetapkan
peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan kepemilikan akta kelahiran.
Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Akan
tetapi dalam implementasinya terhadap masyarakat penghayat kepercayaan masih
terbentur dengan berbagai macam persoalan. Salah satu masyarakat penghayat
kepercayaan yang masih kesulitan dalam pemenuhan haknya perihal percepatan
peningkatan cakupan kepemilikan Akta Kelahiran adalah masyarakat Adat Karuhun
Urang (AKUR) di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Dengan adanya
Permendagri tersebut masih belum memberikan kemudahan bagi masyarakat AKUR
dalam pemenuhan haknya.
Dalam penelitian ini berupaya menyingkap problem-problem yang
melatarbelakangi kesulitan yang dialami masyarakat AKUR dalam pembuatan Akta
Kelahiran berdasarkan Permendagri No.9 Tahun 2016. Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis
empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data primer dan data
sekunder dibutuhkan dalam metode pengumpulan data.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Permendagri tersebut tidak
dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)
Kabupaten Kuningan pada masyarakat AKUR. Hal tersebut dikarenakan menurut
Dinas terkait Permendagri tersebut tidaklah digunakan untuk masyarakat adat tetapi
untuk masyarakat umum. Akan tetapi sebagai perbanding, Disdukcapil Kabupaten
Lebak telah melaksanakan Permendagri tersebut terhadap masyarakat adat Baduy.
Oleh karena itu diharapkan adanya kelonggaran dari Disdukcapil Kabupaten
Kuningan terhadap masyarakat AKUR demi pemenuhan haknya sebagai bagian dari
warga Negara Indonesia.

Kata kunci : Akta Kelahiran, AKUR, Masyarakat Adat, Penghayat Kepercayaan

X
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. I

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... II

HALAMAN PENGUJIAN ................................................................................... III

PERNYATAAN.................................................................................................... IV

PERSEMBAHAN ................................................................................................. V

MOTTO ................................................................................................................ VI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... VII

ABSTRAK ............................................................................................................ X

DAFTAR ISI ......................................................................................................... XI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah. .................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 7

XI
D. Manfaat Penelitian. ................................................................................... 8

E. Sistematika Penulisan. ............................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 12

A. Perkawinan ................................................................................................ 12

1. Pengertian Perkawinan ......................................................................... 12

2. Tujuan Perkawinan .............................................................................. 13

3. Syarat Perkawinan ............................................................................... 14

4. Sahnya Perkawinan .............................................................................. 17

5. Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ........................ 18

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ...................................................... 21

1. Pengertian Perlindungan Hukum ......................................................... 21

2. Pengertian Anak ................................................................................... 24

3. Hak dan Kewajiban Anak .................................................................... 26

4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak.................................................. 29

C. Tinjauan Umum Akta Kelahiran .............................................................. 31

1. Pengertian Akta Kelahiran ................................................................... 31

2. Lembaga Yang Berwenang Menerbitkan Akta Kelahiran ................... 33

3. Prosedur Penerbitan Akta Kelahiran .................................................... 36

4. Fungsi Akta Kelahiran ......................................................................... 39

XII
5. Percepatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran berdasarkan

Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan

Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran ................................................ 40

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................... 44

A. Metode Penelitian .................................................................................... 44

B. Metode Pendekatan .................................................................................. 45

C. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 46

D. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 47

E. Metode Analisis Data ............................................................................... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................ 49

A. Gambaran Umum ...................................................................................... 49

1. Profil Kecamatan Cigugur . .................................................................... 49

2. Masyarakat Adat Karuhun Urang ......................................................... 54

B. Implementasi Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan

Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran Pada Masyarakat Adat

Karuhun Urang Oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Kuningan ............................................................................................................ 58

XIII
C. Respon Dan Hambatan Yang Dialami Oleh Masyarakat Adat Katuhun Urang

Dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 . 67

BAB V PENUTUP .................................................................................................. 72

A. Kesimpulan .................................................................................................... 72

B. Saran .............................................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 75

LAMPIRAN ............................................................................................................ 79

XIV
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan sebuah negara religius yang mengakui akan keberadaan

Tuhan Yang Maha Esa, hal ini jelas disebutkan dalam dasar negara yaitu

Pancasila sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam

penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang

dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

Khong Hu Cu. Akan tetapi, pada kenyataanya hidup berbagai macam

kepercayaan adat atau kepercayaan lokal yang tersebar di berbagai penjuru

Indonesia diluar dari enam agama tersebut. Lalu, bagaimanakah kedudukan para

pemeluk kepercayaan lokal tersebut dimata hukum? Apakah mereka diakui

keberadaannya? Atau bahkan dilarang keberadaanya?

Dalam Konstitusi telah dijelaskan pula mengenai kebebasan memeluk agama.

Disebutkan dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,


memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”

1
Dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga dinyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1)

UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.

Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Bila melihat ketentuan yang diatur dalam Konstitusi dan Pancasila, pada

dasarnya negara tidak melarang siapapun ras atau suku bangsa bahkan agama

apapun untuk hidup di Indonesia. Bahkan negara memberikan jaminan penuh

bagi setiap orang untuk memeluk agama serta kepercayaannya.

Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, seolah-

olah menimbulkan adanya batasan-batasan tertentu bagi seseorang dalam hal

memeluk agama selain keenam agama yang disebutkan. Sementara yang pada

dasarnya merupakan “agama” asli dari Indonesia yang telah hidup bahkan

sebelum Indonesia merdeka seolah-olah terpinggirkan.

Undang-Undang ini juga dijadikan acuan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan selanjutnya antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Akibatnya,

terjadi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para penganut kepercayaan diluar

Undang-Undang tersebut, baik dalam hal menjalankan ritual keagamaan mereka,

2
maupun dalam hal yang berkaitan dengan pencatatan sipil. Padahal dalam

Konstitusi sama sekali tidak terdapat batasan bagi seseorang dalam hal

menentukan agama yang dipeluknya. Hal tersebut menimbulkan diskriminasi

terhadap para penganut agama diluar keenam agama tersebut terutama pada para

penganut kepercayaan lokal. Salah satu masyarakat lokal yang hingga saat ini

masih mengalami kesulitan dalam hal pemenuhan hak-hak sipil mereka adalah

kepercayaan Adat Karuhun Urang (AKUR) yang terdapat di Kecamatan Cigugur

Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

AKUR atau yang dulunya biasa disebut Agama Djawa Sunda merupakan

salah satu kepercayaan lokal di Nusantara yang dipercayai oleh sejumlah

masyarakat yang ada di Cigugur, Kuningan beserta beberapa daerah lainnya yang

ada di Jawa Barat. Agama Djawa Sunda ini didirikan oleh Pangeran Sadewa

Alibassa Widjaja Ningrat atau biasa disebut Kyai Madrais pada abad ke-19.1

Masyarakat sekitar menamainya Agama Djawa Sunda (ADS) karena Kyai

Madrais sering mengupas dan mengajarkan nila-nilai kebangsaan dalam tradisi

spiritual Jawa dan Sunda. Sebenarnya Kyai Madrais mendirikan ADS mempunyai

maksud yaitu untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Cigugur khususnya

dan Kuningan Jawa Barat umumnya untuk melawan penjajahan Belanda.

1
Tendi, Sejarah Agama Djawa Sunda Di Cigugur Kuningan 1939-1964, (Tesis Magister Humaniora,
Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hlm 6.

3
Diskriminasi terhadap masyarakat komunitas AKUR masih dirasakan hingga

saat ini. Meski demikian, masyarakat komunitas AKUR sebagai salah satu agama

lokal terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Berbagai upaya

dilakukan demi terpenuhinya hak sipil mereka. Diantara upaya-upaya yang

mereka perjuangkan antara lain dalam pembuatan KTP, akta perkawinan, serta

yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan hukum ini mengenai proses untuk

mendapatkan akta kelahiran.

Hal tersebut dimulai dari kesulitan yang dialami oleh komunitas AKUR dalam

pencatatan perkawinan mereka yang disebabkan karena tidak diakuinya agama

mereka sehingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak dapat

mengeluarkan akta perkawinan bagi mereka. Hal tersebut berimbas pula terhadap

keturunan mereka dalam meperoleh akta kelahiran. Pada dasarnya memperoleh

keturunan yang sah merupakan tujuan dari sebuah perkawinan,2 maka dengan

diberikannya identitas diri anak sejak anak tersebut dilahirkan, merupakan suatu

bentuk perlindungan hukum yang paling mendasar bagi anak. Dengan demikian,

apabila dalam suatu perkawinan telah memperoleh keturunan, maka tujuan

perkawinan dianggap telah tercapai dan proses untuk melanjutkan generasi dapat

berjalan.3 Oleh sebab itu, semestinya semenjak seorang anak dilahirkan haruslah

2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta : Liberti, 1999,
hlm 13.
3
Soerjono Soekanto, hukum adat indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012, hlm 251.

4
mempunyai identitas yang jelas sehingga kelak tidak menghambat

perkembangannya dimasa yang akan datang.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan dinyatakan bahwa “setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana

dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan

pencatatan sipil”, yang berarti bahwa setiap anak yang lahir haruslah segera

dilakukan pencatatan kelahiran. Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 3 dinyatakan “perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa begitu pentingnya pencatatan kelahiran anak

bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak.

Namun dengan adanya diskriminasi tersebut malah membuat sebagian

masyarakat komunitas AKUR enggan untuk mengurus dokumen-dokumen

kependudukan mereka. Hal ini disebabkan prosesnya terkesan dipersulit dan

berbelit-belit. Padahal Akta Kelahiran sangatlah dibutuhkan bagi kepentingan

anak misalnya untuk syarat mendaftar ke sekolah nanti. Selain itu, akta kelahiran

5
juga digunakan untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah.

Fungsi utamanya adalah untuk menunjukan hubungan antara anak dengan

orangtuanya secara hukum.4 Mengingat pentingnya akta kelahiran ini, maka

seorang anak haruslah memilikinya, hal ini di karenakan akta kelahiran

merupakan sebuah akta otentik yang akan menjadi alat bukti atau dasar hukum

yang kuat jika terjadi masalah dikemudian hari.

Masih rendahnya kepemilikan akta kelahiran sebagai wujud pengakuan

Negara atas identitas anak pada komunitas AKUR ini mulai mendapatkan angin

segar dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun

2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.

Diharapkan dengan ditetapkannya peraturan tersebut lebih dapat mengakomodir

dan mempermudah dalam proses untuk memperoleh akta kelahiran, khususnya

bagi masyarakat yang memeluk aliran kepercayaan sesuai dengan tujuan

peraturan tersebut yaitu untuk meningkatkan kepemilikan akta kelahiran, karena

bagaimanapun juga mereka tetaplah anak-anak penerus bangsa yang sudah

seharusnya diakui dan dilindungi keberadaannya.

B. RUMUSAN MASALAH

4
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia,
Ed.1, Cet 2, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, hlm 3.

6
Menurut soerjono soekanto, masalah merupakan suatu proses yang

mengalami halangan didalam mencapai tujuannya. Biasanya halangan tersebut

hendak diatasi dan inilah yang hendak diatasi dan inilah yang antara lain menjadi

tujuan suatu penelitian. Sehingga akan sangat baik jika sebelum menentukan

penelitian ditentukan terlebih dahulu pokok-pokok permasalahannya agar didapat

suatu hasil penelitian yang memuaskan.5

Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian yang diuraikan diatas, maka

penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun

2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran

pada Masyarakat Adat Karuhun Urang oleh Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kabupaten Kuningan?

2. Apa respon dan hambatan yang dialami oleh Masyarakat Adat Karuhun Urang

dalam implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dari permasalahan diatas maka secara keseluruhan tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis implementasi Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan

5
Soerjono soekanto, pengantar penelitan hukum, jakarta, hlm 106.

7
Kepemilikan Akta Kelahiran pada Masyarakat Adat Karuhun Urang oleh

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji respon dan hambatan masyarakat Adat

Karuhun Urang terhadap penetapan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan

Kepemilikan Akta Kelahiran.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun penelitian berguna dan memberikan manfaat bagi penulis

sendiri pada khususnya maupun bagi pihak lain atau pembaca pada umumnya.

Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dengan penulisan hukum ini, maka penulis berharap dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan yang berguna bagi

perkembangannya khususnya hukum perdata yang menyangkut mengenai

proses perolehan akta kelahiran anak yang lahir berdasarkan aliran

kepercayaan.

2. Bagi Masyarakat

Dengan penulisan hukum ini, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

masukan untuk menambah ilmu pengetauan bagi pembaca.

3. Bagi Penulis

8
Semoga dengan penulisan hukum ini dapat menambah ilmu pengetahuan

dibidang hukum khususnya hukum perdata mengenai perolehan akta

kelahiran bagi anak yang lahir berdasarkan aliran kepercayaan

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisan yang digunakan

mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi) program S1

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Skripsi ini terbagi dalam lima bab

yang masing-masing bab saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Adapun

gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi ini dapat diuraikan dalam

sistematika sebagaimana berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada BAB ini disajikan latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, kerangka pemikiran, tujuan, manfaat dan sistematika

penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada BAB ini disajikan tentang norma hukum, teori-teori hukum

yang berhubungan dengan fakta atau kasus yang sedang dibahas.

Disamping itu juga dapat disajukan mengenai berbagai asas hukum

atau pendapat yang berhubungan dengan azas hukum atau teori

9
hukum yang benar-benar bermanfaat sebagai bahan untuk

melakukan analisis terhadap fakta atau kasus yang sedang diteliti

pada BAB IV.

BAB III : METODE PENELITIAN

BAB ini menyajikan secara sederhana langkah-langkah penelitian

yang dilakukan. Dalam hal penelitian yuridis empiris, disajikan

bahan-bahan hukum yang relevan. Di dalam bab ini dijelaskan

antara lain : Metode Pendekatan Masalah, Spesifikasi Penelitian,

Metode pengumpulan data dan Metode analisis data.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini data atau infoemasi hasil penelitian diolah,

dianalisis, ditafsirkan, dikaitkan dengan kerangka teoritik atau

kerangka analisis yang dituangkan dalam Bab II, sehingga tambak

jelas bagaimana data hasil penelitian itu dikaitkan dalam

permasalahn dan tujuan pembahasan dalam kerangka teoritik yang

telah di konstatikan atau kerangka analisis yang telah dikemukakan

terdahulu. Apakah terarah pada pengujuan kerangka teoritik atau

penjelasan kondtekstual masalah hukum yang menjadi

permasalahan dan tujuan pemabahasana Penulisan Hukum yang

bersangkutan.

10
BAB V : PENUTUP

Pada bagian penutup ini terdapat dua sub bab, yaitu simpulan dan

saran. Simpulan di sini berisikan jawaban bagi permasalahan yang

dirumuskan, uraian dari simpulan, diarahkan dan disusun menurut

urutan permasalahan. Dalam sub bab saran , akan dipaparkan saran

yang dapat ditempuh atau sebagai tindak lanjut dari penelitian

tersebut dilakukan.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

diatur dalam Pasal 1, yang berbunyi : “perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Selain itu beberapa pengertian perkawinan lain diantaranya :

1. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam rumah tangga dan

untuk berketurunan yang dilaksanakan menurut syariat Islam.6

2. Menurut Wirjono Prodjodikoro perkawinan adalah suatu hidup

bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.

3. Menurut Ali Afandi perkawinan adalah persetujuan antara laki-laki

dan perempuan didalam hukum keluarga.

6
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria, Hukum dan Hukum Islam, Bandar Lampung : CV Sinsar Sakti, 2007,
hlm 129

12
4. Perkawinan adalah akad antara calon laki-istri untuk memenuhi hajat

jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.7

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiil.8

Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman

Ghozali, tujuan perkawinan adalah :

1. Mendapat dan melangsungkan keturunan

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan

menumpahkan kasih sayang

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatn dan

kerusakan

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

dan kewajiban dan untuk memperoleh harta kekayaan yang halal

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.9

7
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : Hilda Karya Agung, 1986, hlm 1
8
Penjelasan Umum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sub.4.
9
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media Grup, 2003, hlm 22

13
3. Syarat Perkawinan

Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum perkawinan itu

dilakukan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan ada dua macam syarat-

syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat mateiil

adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat

subjektif, dan syarat formil yaitu mengenai tata cara atau prosedur

melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang

disebut juga syarat objektif.10

Syarat materiil diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

(Pasal 6 ayat (1)).

2. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1));

3. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam

hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau

mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon

kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2));

4. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :

10
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000, hlm 76

14
a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun

keatas;

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri;

d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin;

5. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak

dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)

dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9).

6. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain

(Pasal 10).

15
7. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah

lampau tenggang waktu tunggu (Pasal 11).

Syarat formil diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 diuraikan sebagai berikut :

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan

dimana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-

kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan

dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai,

orang tua ataupun wakilnya. Pemberitahuan memuat antara lain :

nama, umur, agama, tempat tinggalcalon mempelai (sesuai Pasal 3

sampai Pasal 5 );

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu

diteliti, apakah sudah memenuhi syarat atau belum. Hasil penelitian

ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut ( sesuai Pasal 6 sampai

Pasal 7);

3. Apabila semua syarat telah terpenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan

membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan yang memuat antara lain :

a) Nama;

b) Umur;

16
c) Agama;

d) Pekerjaan;

e) Tempat tinggal calon pengantin;

f) Hari/tanggal

g) Jam

h) dan Tempat perkawinan akan dilangsungkan (sesuai dengan Pasal 8

sampai Pasal 9).

4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta

perkawinan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dan dihadiri oleh

dua orang saksi, maka perkawinan telah mencatat secara resmi. Akta

perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat

Perkawinan dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada

suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan

(sesuai pasal 10 sampai dengan Pasal 13).

4. Sahnya Perkawinan

Berdasarkan Undang-undang perkawinan, suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap

17
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa

penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat

dalam daftar pencatat.

5. Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan

Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum dari

masing-masing agama dan kepercayaannya serta perkawinan tersebut haruslah

dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang tidak

dijelaskan mengenai pencatatan perkawinan bagi masyarakat penghayat

kepercayaan. Akan tetapi dalam melaksanakan perkawinannya, pengahayat

kepercayaan tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang yang

berlaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan diperjelas melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang terdapat dalam Bab II dalam

Pasal 2 mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan

perkawinan bagi mereka yang beragama islam dilakukan di Kantor Urusan

Agama. Sedangkan bagi mereka yang melakukan perkawinan berdasarkan

agama dan kepercayaannya selain agama islam makan pencatatan

perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil.

18
Pada kenyataannya perkawinan penghayat kepercayaan tidak dapat

begitu saja dicatatkan, banyak hal yang masih menjadi perdebatan mengenai

status kepercayaan yang mengakibatkan sulitnya para penghayat kepercayaan

ini untuk mendapatkan haknya. Kenyataan ini tidak sesuai dengan salah satu

Hak Asasi Manusia yaitu hak beragama seperti tercantum dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan,

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun”. 11

Kepercayaan itu sendiri hanya dianggap sebagai suatu kebudayaan saja

bukan sebagai agama. Padahal di Indonesia ini banyak masyarakat penghayat

kepercayaan yang tidak memeluk salah satu dari keenam agama yang diakui.

Imbasnya mereka kesulitan dalam memperoleh hak-haknya yang dampaknya

sangat besar dikemudian hari bagi kehidupan mereka sampai kepada anak-

anak mereka. Dalam Pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945 pun sebenarnya

dengan jelas memberi ruang kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk

agama dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.12

11
Maria Fransiska Anne, Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya dengan Undang-Undang Perkawinan (suatu
Analisa Yuridis), Depok : Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2009, hlm 24
12
Ibid., hlm. 25

19
Titik terang bagi penghayat kepercayaan ini muncul setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

2007. Dimana dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 tentang pengaturan

pelaksanaan perkawinan bagi pemeluk Penghayat Kepercayaan ditentukan

bahwa :

Pasal 81 :

(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka


Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan,
untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis
membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

Pasal 82 :
Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2)
wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan:
a. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;
b. fotokopi KTP;
c. pas foto suami dan istri;
d. akta kelahiran; dan
e. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

20
Pasal 83 :
(1) Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana
mencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
dengan tata cara:
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada
pasangan suami istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang
tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; dan
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.

Dengan demikian perkawinan bagi penghayat kepercayaan dapat

dicatatkan asalkan sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang

yang berlaku. Perkawinan harus dilakukan dihadapan Pemuka Penghayat

Kepercayaaan yang telah terdaftar di Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa.

B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Sebagai Negara yang berlandaskan hukum, maka setiap warga Negara

Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dalam hubungan

bernegara, akan timbul hubungan timbal balik antara Negara itu sendiri

dengan warga negaranya. Hubungan timbal balik ini akan menghasilkan hak

dan kewajiban bagi keduanya. Salah satu hak yang timbul bagi warga Negara

adalah mendapatkan perlindungan hukum.

21
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia,

penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)

b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)

c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)

d. Jaminan hukum (Doelmatigkeit).13

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan hukum adalah

perbuatan untuk menjaga dan melindungi subjek hukum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.14 Selain itu, menurut Soedikno

Mertokusumo yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah suatu hal

atau perbuatan untuk melindungi subyek hukum berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang

melakukan wanprestasi.15

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan

kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah

berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum

13
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm 43
14
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buku Satu, Jakarta : Balai Pustaka Utama, 1989, hlm
874
15
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1991, hlm 9

22
untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan

dan berbagai ancaman dari pihak manapun.16

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.17

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm 74
17
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta : Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003, hlm 14

23
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.18

2. Pengertian Anak

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga karena

dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

harus dijunjung tinggi. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus

cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, anak adalah keturunan, atau

dalam pengertian lain adalah manusai yang masih kecil. Selain itu, anak pada

hakekatnya adalah seseorang yang berada pada satu masa perkembangan

tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.19

Selain itu terdapat pula beberapa pengertian anak dalam peraturan

perundang-undangan, antara lain :

1. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak : “Anak adalah seseorang yang belum

18
Ibid, hlm 20
19
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Basaha Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hlm 30

24
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

2. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia : “Anak adalah setiap manusia yang

berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi

kepentingannya”.

3. Berdasarkan Konvensi Hak Anak Tahun 1989. Kovensi tersebut

diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990.

Pengertian anak menurut pasal 1 : “Anak adalah setiap manusia yang

berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-

undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai

lebih awal”.

4. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak : “Anak adalah seseorang yang belum

mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

5. Berdasarkan pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan

Akta Kelahiran : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun”.

25
3. Hak dan Kewajiban Anak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hak dan

kewajiban anak adalah sebagai berikut:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (pasal 4)

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan (pasal 5).

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam

bimbingan orang tua atau wali (pasal 6).

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan

diasuh oleh orang tuanya sendiri.Dalam hal karena suatu sebab orang

tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam

keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai

anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku [pasal 7 ayat (1) dan (2)].

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (pasal 8).

26
f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat

dan bakatnya. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan

pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Anak yang menyandang disabilitas juga berhak memperoleh pendidikan

luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak

mendapatkan pendidikan khusus [pasal 9 ayat (1), (1a) dan (2)].

g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan

dan kepatutan (pasal 10).

h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi

sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi

pengembangan diri (pasal 11).

i. Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (pasal 12).

j. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi

maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,

27
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau

pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan maka pelaku

dikenakan pemberatan hukuman [pasal 13 ayat (1) dan (2)].

k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika

ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan

pertimbangan terakhir. Dalam hal terjadi pemisahan, anak tetap berhak :

bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua

Orang Tuanya, mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan

perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya

sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, memperoleh pembiyayan

hidup dari kedua Orang Tuanya, dan memperoleh Hak Anak lainnya

[pasal 14 ayat (1) dan (2).

l. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan

dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan

dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung

unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual

(pasal 15).

m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak

berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan,

penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila

28
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir [pasal 16 ayat (1), (2), dan (3)].

n. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: mendapatkan

perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang

dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan

memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi

korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan

hukum berhak dirahasiakan. [pasal 17 ayat (1) dan (2)]

o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (pasal 18).

p. Setiap anak berkewajiban untuk: menghormati orang tua, wali, dan guru.

Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman. Mencintai tanah

air, bangsa, dan negara. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran

agamanya, dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (pasal 19).

4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Seorang anak berhak untuk mendapatkan perlindungan sejak dia

dilahirkan bahkan ketika masih berada didalam kandungan., perlindungan

tersebut didapat baik dari kedua orang tuanya, orang-orang terdekatnya,

masyarakat, bahkan negara. Tujuannya adalah antara lain demi mendukung

29
tumbuh kembang anak baik fisik maupun mentalnya agar kelak siap hidup

bermasyarakat demi menjadi pelaku utama penerus cita-cita bangsa.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpatisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 2).

Perlindungan anak di Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani

dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil

dan makmur, materiil spiritual berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

1945. 20

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah: “segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat

kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Dengan demikian, perlindungan anak haruslah diusahakan oleh semua

pihak demi kesejahteraan anak. Perlindungan hukum terhadap anak ini

menurut penulis sendiri adalah upaya untuk menjamin adanya kepastian

hukum bagi anak agar haknya sebagai anak dapat terpenuhi tanpa dilanggar

atau tanpa adanya diskriminasi.

20
Nashriana, Perlindungan Hukum bagi Anak di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm 1

30
C. TINJAUAN UMUM AKTA KELAHIRAN

1. Pengertian Akta Kelahiran

Kelahiran merupakan salah suatu peristiwa penting yang perlu dicatatkan,

oleh karena itu peristiwa tersebut perlu mempunyai bukti yang tertulis dan

autentik. Kantor Catatan Sipil adalah lembaga yang berwenang untuk

mengeluarkan akta tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun

1983 yang terdapat dalam pasal 5 ayat (2).

Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa : “Setiap kelahiran wajib

dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat

60 (enam puluh) hari sejak kelahiran”. Selanjutnya Pasal 27 ayat (2)

menyebutkan bahwa : “Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan

menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran”. Akta kelahiran merupakan suatu akta

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan adanya suatu

kelahiran yang merupakan bagian dari pencatatan sipil.

Selanjutnya dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak berisi ketentuan bahwa, identitas dari setiap anak

harus diberikan sejak kelahirannya, identitas tersebut dituangkan dalam suatu

akta kelahiran. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa akta kelahiran

adalah bukti sah mengenai status dan peristiwa kelahiran seseorang yang

31
dituangkan dalam suatu akta yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil.

Dasar hukum penerbitan akta kelahiran :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahum 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan

4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan

Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

6. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan

Informasi Administrasi Kependudukan

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pedoman

Pendataan dan Pemberian Surat Keterangan Pengganti Dokumen

Penduduk bagi Pengungsi dan Penduduk Korban Bencana di Daerah

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan

Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.

32
2. Lembaga Yang Berwenang Menerbitkan Akta Kelahiran

Instansi yang berwenang mengeluarkan akta kelahiran adalah kantor

catatan sipil yang berada di bawah pemerintah daerah setingkat kabupaten

atau kota. Dalam hal ini dinas terkait adalah Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kabupaten Kuningan.

Adapun tujuan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten

Kuningan seperti yang tertuang dalam misi yaitu :

a. Mengembangkan pranata hukum, peran serta masyarakat yang

mendukung proses pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil

serta pembinaan dan pengelolaan informasi kependudukan guna

memberikan kepastian dan perlindungan sesuai dengan hak-hak

penduduk

b. Melaksanakan kegiatan menghimpun data, menertibkan identitas

dan mensyahkan perubahan status penduduk

c. Mengembangkan dan memadukan kebijakan pengelolaan

informasi hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil melalui

teknologi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan)

d. Menyediakan database dan informasi kependudukan secara

lengkap, akurat serta memenuhi kepentingan publik dan

pembangunan

33
e. Melaksanakan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil seluruh

penduduk secara tertib, terpadu dan berlanjut dalam rangka

pelayanan masyarakat yang benar, mudah dan cepat.

Kemudian berkaitan dengan pencatatan kelahiran dalam struktur

organisasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan

merupakan tugas dari seksi Kelahiran dan Kematian dibawah Bidang

Pelayanan Pencatatan Sipil. Adapun tugas dari seksi itu sendiri berdasarkan

Peraturan Bupati Kuningan Nomor 37 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Seksi Kelahiran dan Kematian mempunyai tugas pokok melakukan

penyiapan bahan perencanaan, perumusan kebijakan teknis,

pembinaan dan koordinasi serta pelaksanaan pelayanan pencatatan

kelahiran dan kematian.

(2) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) Seksi Kelahiran dan Kematian mempunyai fungsi:

a. Pelaksanaan Penyusunan petunjuk teknis rencana pelayanan

dan penerbitan Akta kelahiran dan Akta Kematian;

b. Pembinaan dan bimbingan teknis peningkatan pelayanan dan

penerbitan Akta kelahiran dan Akta Kematian;

34
c. Pelaksanaan Pengumpulan, pengolahan dan evaluasi kegiatan

pelayanan dan penerbitan Akta kelahiran dan Akta Kematian.

(3) Untuk menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) SeksiKelahiran dan Kematian mempunyai uraian tugas :

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Kelahiran dan Kematian;

b. Menyusun dan melaksanakan rencana pelayanan dan

penerbitan Akta Kelahiran dan Akta Kematian;

c. Menerima permohonan pelayanan dan menerbitkan Akta

Kelahiran dan Akta Kematian;

d. Memproses permohonan pelayanan dan penerbitan Akta

Kelahiran dan Akta Kematian;

e. Melaksanakan pengendalian terhadap proses pelayanan dan

penerbitan Akta Kelahiran dan Akta Kematian;

f. Melaksanakan evaluasi terhadap kegiatan pelayanan dan

penerbitan Akta Kelahiran dan Akta Kematian;

g. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan bidang dan

atau Instansi lain dalam memproses pelayanan dan penerbitan

Akta Kelahiran dan Akta Kematian;

h. Melaksanakan rekapitulasi permohonan pelayanan dan

penerbitan Akta Kelahiran dan Akta Kematian;

35
i. Membuat dan menyampaikan laporan hasil kegiatan

pelaksanaan pelayanan dan penerbitan Akta Kelahiran dan

Akta Kematian;

j. Melaksanakan tugas kedinasan lainnya yangdiberikan oleh

Kepala Bidang.

3. Prosedur Penerbitan Akta Kelahiran

Penerbitan akta kelahiran dilaksanakan berdasarkan prosedur yang telah

ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 jo Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan jo Peraturan

Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran

Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Berkaitan dengan pencatatan kelahiran ini telah diatur dalam Pasal 51, 52,

53, 54, dan Pasal 58 Peraturan Presiden No.25 tahun 2008 tentang Persyaratan

dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang isinya sebagai

berikut:

Pasal 51:
(1) Setiap peristiwa kelahiran dicatatkan pada instansi pelaksana di
tempat terjadinya kelahiran.
(2) Pencatatan peristiwa kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan :
a. Tempat domisili ibunya bagi penduduk warga Negara Indonesia;
b. Di luar tempat domisili ibunya bagi penduduk warga Negara
Indonesia;
c. Tempat domisili ibunya bagi penduduk orang asing;
d. Di luar tempat domisili ibunya bagi penduduk orang asing;

36
e. Anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang
tuanya.

Pasal 52:

(1) Pencatatan kelahiran penduduk warga Negara Indonesia


sebagaimana dimaksud dalam Pasal51 ayat (2) huruf a dan huruf b,
dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
a. Surat kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran;
b. Nama dan identitas saksi kelahiran;
c. KK orang tua
d. KTP orang tua dan
e. Kutipan Akta Nikah / Akta Perkawinan orang tua.
(2) Dalam hal pelaporan kelahiran tidak disertai kutipan akta nikah / akta
perkawinan orang tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
pencatatan kelahiran tetap dilaksanakan.
(3) Pencatatan kelahiran orang asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, dilakukan dengan
memenuhi syarat berupa :
a. Surat kelahiran dari dokter/ bidan/ penolong kelahiran;
b. Kutipan Akta Nikah / Akta Perkawinan orang tua;
c. KK dan KTP orang tua bagi pemegang izin tinggal tetap;
d. Surat Keterangan Tempat Tinggal orang tua bagi pemegang izin
tinggal terbatas; dan/atau
e. Paspor bagi pemegang izin kunjungan.
(4) Persyaratan pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) huruf f, dengan melampirkan Berita Acara
Pemeriksaan dari Kepolisian.

Pasal 53:
Pencatatan kelahiran penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a, dilakukan dengan tata cara :
a. Penduduk warga Negara Indonesia mengisi Formulir Surat
Keterangan Kelahiran dengan menunjukkan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal52 ayat (1) Kepada Petugas
Registrasidi kantor desa/ kelurahan.
b. Formulir Surat Keterangan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada
huruf a ditandatangani oleh pemohon dan diketahui oleh Kepala
Desa/ Lurah.

37
c. Kepala Desa/ Lurah berkewajiban meneruskan Formulir Surat
Keterangan Kelahiran kepada UPTD Instansi pelaksana untuk
diterbitkan kutipan Akta Kelahiran.
d. Dalam hal UPTD Instansi pelaksana tidak ada, Kepala Desa/ Lurah
menyampaikan ke kecamatan untuk meneruskan Formulir Surat
Keterangan Kelahiran kepada Instansi Pelaksana.
e. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana/ UPTD
Instansipelaksana mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan
penerbitan Kutipan Akta Kelahiran dan menyampaikan kepada
Kepala Desa/ Lurah atau kepada pemohon.

Pasal 54:
Pencatatan kelahiran penduduk warga Negara Indonesia sebagimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan tata cara :
a. Penduduk Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Surat
Keterangan Kelahiran dengan menyerahkan surat kelahiran dari
dokter, bidan, penolong kelahiran dan menunjukkan KTP ibu atau
bapaknya kepada Instansi Pelaksana.
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana mencatat dalam
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Pasal 58:
Pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal usulnya atau
keberadaan orang tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)
huruf f, dilakukan dengan tata cara :
a. Pelapor / pemohon mengisi formulir surat keterangan kelahiran
dengan menyertakan Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) kepada Instansi
Pelaksana.
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana mencatat dalam
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.

38
4. Fungsi Akta Kelahiran

Akta kelahiran memiliki banyak sekali fungsi terutama karena sifatnya

yang merupakan suatu bukti sah yang utama akan identitas diri seseorang.

Selain sebagai idrntitas awal, fungsi lain akta kelahiran antara lain :

a. Untuk pengurusan administrasi kependudukan lain seperti KTP dan

KK

b. Untuk keperluan sekolah

c. Untuk pendaftaran pernikahan

d. Untuk mendaftar pekerjaan

e. Sebagai syarat pembuatan paspor

f. Untuk mengurus hak ahli waris

g. Mengurus asuransi

h. Megurus tunjangan keluarga

i. Mengurus hak dana pension

Jika dilihat dari beberapa fungsi akta kelahiran diatas, tentunya akta

kelahiran ini menjadi sesuatu yang sangat vital kegunaannya sehingga

sangatlah diperlukan untuk menunjang kebutuhan anak dimasa yang akan

datang.

39
5. Percepatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran berdasarkan

Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan

Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran

Dalam Konsideran Peraturan Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 telah

disebutkan bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan

perlindungan serta pengakuan bagi setiap kelahiran dalam bentuk pemberian

akta kelahiran. Karena tingkat kepemilikan akta kelahiran yang masih rendah

di Indonesia inilah yang mendorong adanya percepatan dalam kepemilikan

akta tersebut.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hingga saat ini cakupan

kepemilikan akta kelahiran secara nasional masih rendah. Diantaranya adalah

masih rendahnya data kepemilikan Akta Kelahiran Anak (0-18 thn) dalam

Data Base Kependudukan Nasional (Semester I Tahun 2015) yang disebabkan

oleh :

1. Belum seluruh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

menggunakan SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan)

dalam Pencatatan Kelahiran.

2. Sebagian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipl masih

menggunakan pencatatan manual (dicatat dalam buku)

40
3. Masih menggunakan sistem aplikasi terpisah dengan SIAK, karena

banyak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang

mengembangkan sistem aplikasi sendiri namun tidak

mengintegrasikan datanya dengan SIAK.

4. Masih menggunakan pencatatan manual namun sudah dengan sistem

komputerisasi sederhana (Exel dan sistem database lainnya).

5. Data hasil pencatatan kelahiran di seluruh Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006, belum menggunakan SIAK, sedangkan target anak 0-

18 thn. (artinya target nasional tersebut, mencakup peristiwa kelahiran

yang terjadi pada tahun 1997.)

Permasalahan lain yang muncul adalah masyarakat pada umumnya belum

menganggap penting untuk memiliki akta-akta pencatatan sipil khususnya

akta kelahiran, terutama di daerah/wilayah 3 T (Tertinggal, Terisolir dan

Terpencil). Selain itu, masih terdapat regulasi yang sulit untuk dilaksanakan

dalam melakukan pencatatan kelahiran, termasuk didalamnya yang

berhubungan dengan saksi peristiwa, buku nikah dan lain-lain.21

Dengan berlakunya Permendagri tersebut diharapkan dapat menjadi solusi

untuk menunjang dan mempermudah pemenuhan hak bagi mereka yang

21
Informasi Kependudukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, “Permasalahan Rendahnya
Kepemilikan Akta Kelahiran”, diakses dari http://infoduk.babelprov.go.id/content/permasalahan-
rendahnya-kepemilikan-akta-kelahiran, pada tanggal 26 Nopember pukul 14:38

41
sebelumnya kerap kali kesulitan untuk memperoleh akta kelahiran dan sebagai

bentuk kewajiban Negara dalam memberikan perlindungan pada masyarakat.

Adapun pengaturan mengenai persyaratan pencatatan kelahiran terdapat

dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Permendagri Nomor 9 Tahun 2016.

Pasal 3 :

(1) Persyaratan pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 huruf a dengan memenuhi syarat berupa:
a. surat keterangan lahir dari dokter/bidan/penolong kelahiran;
b. akta nikah/kutipan akta perkawinan;
c. KK dimana penduduk akan didaftarkan sebagai anggota
keluarga;
d. KTP-el orang tua/wali/pelapor; atau
e. paspor bagi WNI bukan penduduk dan orang asing.

(2) Pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau


keberadaan orang tuanya dilakukan dengan:
a. melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Kepolisian;
atau
b. menggunakan SPTJM kebenaran data kelahiran yang
ditandatangani oleh wali/penanggungjawab.

Pasal 4
(1) Dalam hal persyaratan berupa surat keterangan lahir dari
dokter/bidan/penolong kelahiran, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a tidak terpenuhi, pemohon melampirkan
SPTJM kebenaran data kelahiran.
(2) Dalam hal persyaratan berupa akta nikah/kutipan akta
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b tidak terpenuhi, pemohon melampirkan SPTJM
kebenaran sebagai pasangan suami isteri.
(3) SPTJM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemohon.

42
Pasal 5
(1) Dalam hal persyaratan berupa akta nikah/kutipan akta perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, dan status hubungan dalam keluarga pada KK tidak
menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami isteri,
dicatat dalam register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran
dengan elemen data sebagaimana tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal persyaratan berupa akta nikah/kutipan akta perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, dan status hubungan dalam keluarga pada KK
menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami isteri,
dicatat dalam register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran
dengan elemen data sebagaimana tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

43
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penulisan Hukum membutuhkan metode penelitian untuk

menyelesaikannya. Penelitian pada dasarnya merupakan, “suatu upaya

pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu

objek yang mudah terpegan, di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari

bahasa inggris yaitu research yang berasal dari kata re (kembali) dan to

search (mencari). Dengan demikian secara logawiyah berarti “mencari

kembali”. Mencari kembali yang dimaksudkan adalah “pengetahuan” atau

tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini

nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan

tertentu.22

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan

yang disebut ilmu. Karena masalah yang dihadapi adalah nyata maka ilmu

mencari jawabannya pada dunia nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta

diakhiri dengan fakta. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional

yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya, tetapi harus didukung

22
Bambang sunggono, metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, 1997, hlm 27

44
oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.23 Hal ini berarti

bahwa untuk semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu :

1. Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkin tidak

terjadinya kontradiksi dengan teori keilmuan secara keseluruhan.

2. Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori bagaimanapun

harus konsisten kalau tidak didukung oleh pengujuan empiris tidak

dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.24

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka

penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan subyek dan/atau

objek penelitian sebagaimana adanya. Sehingga penelitian diskriptif ini

bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin secara sistematis dan

menyeluruh mengenai proses perolehan akta kelahiran pada masyarakat Adat

Karuhun Urang.

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini sendiri

adalah yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro pendekatan yuridis

empiris adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman pada peraturan-

peraturan, buku-buku, atau literatur-literatur hukum serta bahan-bahan yang

23
Ibid., hlm 46
24
Ibid., hlm 47

45
mempunyai hubungan permasalahan dengan pembahasan dalam penulisan

hukum ini dan pengambilan data langsung pada objek penelitian.25

C. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini meliputi data sekunder

dan data primer yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian

dilapangan secara langsung pada obyek penelitian yang dilakukan

terhadap Masyarakat AKUR, wawancara terhadap beberapa mayarakat

dan tokoh masyarakat setempat, serta wawancara dengan pejabat

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan yang

digunakan sebagai data penunjang bagi penulis dalam penulisan

hukum ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan.

Data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang

berasal dari :

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

25
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001, hlm 10.

46
2. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

6. Undang-Undang 23 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan

7. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan

dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

8. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 Tentang

Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang

Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari

literatur-literatur, buku-buku, penulisan hukum, makalah-makalah,

dan internet.

D. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

47
Studi kepustakaan yaitu data yang diperoleh untuk

mempelajari semua data seperti peraturan perundang-undangan,

pendapat hukum dari buku, hasil penelitian, media internet, jurnal

ilmiah, yang berkaitan dengan hak anak dalam memperoleh akta

kelahiran.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu cara yang dipakai untuk memperoleh

informasi, baik berupa fakta maupun pendapat untuk suatu tujuan

tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data atau

keterangan terhadap orang-orang yang dianggap mengetahui dan

dimungkinkan diperoleh data yang berguna dan dapat dipertanggung

jawabkan kebenarannya.

E. Metode Analisis Data

Analisis data yaitu proses pengumpulan data yang didasarkan atas segala

data yang sudah diolah dan diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier, yang didukung data-data yang diperoleh

dari hasil wawancara terhadap narasumber. Tujuan dari analitis data itu

sendiri adalah untuk mendapatkan pandangan-pandangan baru atau suatu hasil

analitis.

48
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Profil Kecamatan Cigugur

a. Kondisi Geografis

Secara geografis Kecamatan Cigugur terletak di sebelah barat

pusat kota Kabupaten Kuningan yang berjarak kurang lebih 3,5 Km

dari pusat kota dan terletak di kaki gunung Ciremai. Berada pada

ketinggian kurang lebih 661 m dari permukaan laut dan secara

astronomis terletak pada 128o 27’ 15’’ Bujur Timur dan 05o 58’ 8’’

Lintang Selatan. Kecamatan Cigugur memiliki luas 27,77 km2, desa

cisantana merupakan desa terluas di Kecamatan Cigugur dengan luas

7,54 km2, sedangkan Kelurahan Sukamulya merupakan kelurahan/desa

terkecil dengan luas 0,52km2.26 Adapun Desa dan Kelurahan yang

termasuk kedalam Kecamatan Cigugur adalah : Desa Puncak, Desa

Cileuleuy, Desa Babakanmulya, Desa Cisantana, Desa Gunung

Keling, Kelurahan Cigugur, Kelurahan Cigadung, Kelurahan

Sukamulya, Kelurahan Winduherang, dan Kelurahan Cipari.

26
Badan Pusat Statistik Kuningan, Kecamatan Cigugur dalam Angka 2017, Kuningan, 2017, hlm 3

49
Peta Wilayah Kecamatan Cigugur

Sumber : BPS Kabupaten Kuningan, “Cigugur Dalam Angka 2017”

Adapun batas-batas wilayah dari Kecamatan Cigugur yaitu :27

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Gunung Ciremai

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kadugede

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kuningan

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kuningan.

Curah hujan di Kecamatan Cigugur selama tahun 2016, rata-rata

sekitar 218 mm dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Maret

yang mencapai 447 mm dengan hari hujan rata-rata 11 hari, sedangkan

27
Badan Pusat Statistik Kuningan, Statistik Daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, 2016, hlm 1

50
kemarau terjadi di Bulan Juli dan September.28 Dengan curah hujan

yang cukup tinggi beserta kondisi tanah yang subur lahan di

Kecamatan Cigugur sangat cocok untuk diolah dan ditanami sepanjang

tahun sehingga sebagian besar penduduknya bertani dan berkebun.

Jumlah penduduk di Kecamatan Cigugur pada tahun 2016

tercatat sebanyak 46.307 jiwa, terdiri dari 23.684 penduduk laki-laki

dan 22.623 penduduk perempuan. Angka rata-rata kepadatan

penduduk Kecamatan sebesar 1.668 jiwa/km2 Komposisi penduduk

didominasi oleh penduduk pada kelompok usia 15-55 tahun. Hal ini

menunjukan jumlah penduduk usia kerja di Kecamatan Cigugur cukup

tinggi.29

Dalam hal fasilitas pendidikan di Kecamatan Cigugur sudah

sangat memadai, jumlah fasilitas pendidikan yang ada di Kecamatan

Cigugur saat ini berjumlah 57 sekolah, terdiri atas 13 Taman Kanak-

Kanak, 5 Raudhatul Athfal, 25 Sekolah Dasar Negeri, 2 Madrasah

Ibtidaiyah, 6 Sekolah Menegah Pertama, 2 Madrasah Tsanawiyah, 2

Sekolah Menengah Atas, 1 Madrasah Aliyah dan 3 Sekolah

Kejuruan.30

28
Badan Pusat Statistik Kuningan, Op.cit.
29
Ibid, hlm 21
30
Ibid, hlm 45

51
b. Kondisi Sosial dan Budaya

Untuk keadaan sosial di Kecamatan Cigugur yang mayoritas

masih merupakan pedesaan budaya solidaritas, gotong royong,

kekompakan, keharmonisan, dan tata krama masih sangat terjaga.

Norma- norma yang berasal dari adat istiadat masih dipegang teguh,

adanya rasa saling menghormati serta toleransi tinggi yang hidup pada

masyarakat Cigugur menjadikan berbagai kehidupan beragama pun

dapat hidup damai berdampingan.

Mayoritas penduduk Kecamatan Cigugur memeluk agama

Islam, yaitu sebanyak 40.871 jiwa, ada 4.285 jiwa beragama Katholik,

202 jiwa beragama Kristen, 2 jiwa beragama Hindu, 4 jiwa beragama

Budha, serta 236 lainnya merupakan penghayat yang termasuk

didalamnya Sunda Wiwitan.31 Di setiap desa terdapat fasilitas

peribadatan berupa masjid, musholla, langgar/surau, dan gereja, untuk

fasilitas berupa langgar/surau dapat dipastikan berjumlah lebih dari

satu di tiap-tiap desa.

c. Kondisi Perekonomian

Dalam struktur perekonomian Kabupaten Kuningan sektor

pertanian merupakan sektor yang sangat dominan, oleh karena itu

dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Kuningan

31
Ibid, hlm 83-84

52
berpihak kepada pembangunan perekonomian rakyat terutama di

daerah pedesaan guna meningkatkan kesejahteraan petani.

Secara umum sektor pertanian pun masih merupakan kegiatan

ekonomi paling utama pada masyarakat Cigugur. Potensi yang ada di

Kecamatan Cigugur dapat dikategorikan menjadi dua sektor yaitu

pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian. Dalam hal

ini Kecamatan Cigugur memberikan kontribusi yang cukup besar

terhadap PAD Kabupaten Kuningan baik dari sektor pertanian maupun

non pertanian. Pendapatan daerah yang terbesar dari sektor pertanian

terutama pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan.

Adapun pendapatan daerah dari sektor non pertanian yang terbesar

dari perdagangan yang disusul dari jasa dan lainnya yang merupakan

gabungan beberapa komoditas diluar tersebut di atas.

Untuk hasil panen, pada tahun 2016 dari luas panen tanaman

padi sawah seluas 1.628 Ha diperoleh produksi padi sawah sebesar

10.228 Ton sehingga didapat produktivitas padi sawah sebesar 62,83

Kw/Ha. Produktivitas padi sawah terbesar terdapat di Kelurahan

Cigugur yaitu sebesar 63,26 Kw/Ha. Selain itu, dengan lahannya yang

subur hewan ternak pun berkembang baik disini. Pada tahun 2016 di

Kecamatan Cigugur populasi sapi perah sebanyak 6.520 ekor, 3.014

53
ekor babi, 2.239 ekor domba, 71 ekor kerbau, 44 ekor sapi potong, dan

ada sekitar 15 ekor kuda.32

2. Masyarakat Adat Karuhun Urang

a. Sejarah AKUR

AKUR atau yang lebih dikenal masyarakat dengan Agama Djawa

Sunda maupun Sunda Wiwitan, merupakan suatu kepercayaan yang

hidup terpusat di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Sunda

wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda

terdahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan

Sunda asli / kepercayaan masyarakat asli Sunda.33 Adat Karuhun

Urang merupakan budaya spiritual yang berisikan tuntunan-tuntunan

luhur mengenai bagaimana manusia harus berperilaku. Apa yang

dimaksud dengan hukum suci yang harus dihayati dengan hati namun

juga dengan kesadaran dan keyakinan terhadap Gusti Si Kang Sawiji-

wiji yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kosmologi mistisisme Jawa

dikenal "Sangkan Paraning Dumadi" yaitu suatu pandangan yang

32
Ibid, hlm 101
33
Roger L Dixon, Sejarah Suku Sunda, jurnal veritas, Oktober, 2000, hlm 203

54
menyadarkan tentang asal-usul kehidupan, perkembangan dan juga

tujuan hidup manusia.34

Agama Djawa Sunda didirikan oleh Pangeran Sadewa Alibasa

Kusuma Wijaya Ningrat yang dikenal dengan Pangeran Madrais atau

Kyai Madrais, putra Pangeran Alibasa (Pangeran Gebang yang ke

sembilan) dari pernikahannya dengan R. Kastewi keturunan kelima

dari Tumenggung Jayadipura Susukan.35

Madrais dilahirkan di Susukan Ciawi Gebang pada tahun 1822.

Kemudian pada tahun 1825 dia dititipkan kepada Ki Sastra Wedana

seorang Kuwu di Cigugur, dengan harapan kelak dapat meneruskan

perjuangan leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan.36

Masyarakat sekitar kemudian menamainya Agama Djawa Sunda

karena Kyai Madrais sering mengupas dan mengajarkan nila-nilai

kebangsaan dalam tradisi spiritual Jawa dan Sunda. Sebenarnya Kyai

Madrais mendirikan ADS mempunyai maksud terselubung, yaitu

untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Cigugur khususnya dan

Kuningan Jawa Barat umumnya untuk melawan penjajahan Belanda.

Akibatnya Kyai Madrais pernah ditangkap dan dibuang oleh Belanda

34
Selu Margaretha Kushendrawati, Sebuah Fenomena Religiositas Masyarakat di Kuningan Jawa
Barat, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol XXIII No 1, 2004, hlm 40
35
Djatikusuma, Spiritual Culture of Karuhun Urang Tradition, (Kuningan: Cagar Budaya Nasional,
1999), hlm. 1.
36
Djatikusuma, Paseban Tri Panca Tungal, (Kuningan: Cagar Budaya Nasional, 1979), hlm.5.

55
ke Boven Digul Papua Barat pada Tahun 1901.37 Kyai Madrais pun

meninggal dunia pada tahun 1939 dan dimakamkan di Pasir Cigugur.

Sepeninggalannya Kyai Madrais, bimbingan kepada pengikutnya

dilanjutkan oleh putranya Pangeran Tejabuana Alibasa. Namun sekitar

tahun 1964, pada masa Indonesia dalam transisi dari pemerintahan

Orde Lama ke Orde Baru, ADS dibubarkan. ADS dianggap sebagai

bentuk agama baru diluar agama yang sudah ada di Indonesia.

Masyarakat ADS pada akhirnya dianjurkan masuk dalam salah satu

agama seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha ataupun

Konghucu.38

Pada akhirnya, kebanyak pengikut Madrais kemudian lebih

memilih masuk agama Katolik. Terdapat 1770 orang pengikut Madrais

memeluk agama Katolik. Setelah 17 tahun memeluk agama Katolik

(1964-1981), Pangeran Djatikusuma (anak Pangeran Tejabuana) pada

tanggal 11 Juli 1981 menyatakan diri keluar dari Agama Katolik, dan

kembali mendirikan PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang)

yang diikuti oleh sekitar 1600 orang pengikutnya.39 Akibatnya timbul

kekhawatiran dari pihak Pastor akan kembalinya penganut Katolik ke

37
Selu Margaretha Kushendrawati, Sebuah Fenomena Religiositas Masyarakat di Kuningan Jawa
Barat, hlm 367
38
Wawancara dengan Bapak Wahyu, Sesepuh AKUR sekaligus Kepala Sekolah SMP Tri Mulya pada
tanggal 6 Nopember 2017
39
Saidi, Anas, Abdul Aziz dkk, Menekuk Agama, Membangun Tahta (Kebijakan Agama Orde Baru),:
Desantara, 2004, hlm.312.

56
Agama Djawa Sunda. Maka untuk menghormati Pastor Pangeran

Djatikusuma melarang bekas pengikutnya yang sudah beragama

(Katolik) untuk kembali ke ADS kecuali jika secara resmi sudah

menyatakan keluar dari agama Katolik. Rupanya hal tersebut malah

menjadi bumerang. Pangeran Djatikusuma telah dituduh menyuruh

murtad massal terhadap mantan pengikutnya yang telah memeluk

agama lain. Selanjutnya PACKU dengan surat dari Kejari No. 44

tahun 1982 telah dibubarkan lagi oleh pemerintah. Maka sejak

dilarangnya PACKU dia menyebut ajarannya dengan Adat Karuhun

Urang yang disingkat menjadi AKUR. Dengan AKUR ini ia masih

dapat mengembangkan ajarannya dengan leluasa. 40

b. Sosiografi masyarakat AKUR

Adat Karuhun Urang terkonsentrasi di Kecamatan Cigugur,

lebih tepatnya di Kelurahan Cigugur. Untuk jumlah penghayat yang

ada di wilayah Kelurahan Cigugur berkisar 200 orang, namun adapula

beberapa penghayat yang berada diluar Kecamatan Cigugur ataupun

diluar Kabupaten Kuningan.

Pusat dari kegiatan kesenian, spiritual dan keagamaannya

berada di Gedung Cagar Budaya Paseban Tri Panca Tunggal-

40
Wawancara dengan Bapak Wahyu, Sesepuh AKUR sekaligus Kepala Sekolah SMP Tri Mulya pada
tanggal 6 Nopember 2017

57
Kepangeranan Gebang Kinatar yang berlokasi di Kelurahan Cigugur.

Selain itu didepannya juga terdapat taman serta terdapat SMP Tri

Mulya yang merupakan ulayat dari masyarakat AKUR. Hal inilah

yang menjadi penyebab terpusatnya masyarakat AKUR di Kelurahan

Cigugur. 41

Untuk kesehariannya, sama seperti rata-rata masyarakat di

Kecamatan Cigugur, masyarakat AKUR banyak yang mencari mata

pencaharian dengan bertani dan bekebun. Namun ada pula sedikit

yang bekerja di Kantor Pemerintahan ataupun di Perbankan.

B. Implementasi Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan

Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran pada

Masyarakat Adat Karuhun Urang oleh Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan

Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance.

Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap

kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak

akan dapat berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan

sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi

41
Wawancara dengan Bapak Jumali, Sesepuh AKUR, yang sedang berjaga di pos tamu di depan
Gedung Paseban pada tanggal 4 Desember 2017

58
terwujudnya good governance.42 Dengan adanya hukum, tatanan serta

nilai serta kaidah moral positif yang ada di masyarakat dapat diinvertarisir

dengan sedemikian rupa serta mengikat, agar dapat menciptakan tatanan

yang stabil dan berkeadilan bagi masyarakat itu sendiri.43

Pelayanan administrasi kependudukan merupakan bagian dari

urusan wajib Pemerintah Daerah yang dilaksanakan oleh Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

mempunyai tugas dalam memberikan pelayanan pencatatan peristiwa

kependudukan yang yang diatur sesuai dengan Undang-Undang No. 23

Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Administrasi Kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk

dan Pencatatan Sipil di Daerah. Dalam menjalankan pemerintahan pejabat

negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara.

Salah satu pencatatan peristiwa kependudukan ini adalah penerbitan

Akta Kelahiran yang merupakan bagian dari pelayanan administrasi

kependudukan yang dikategorikan ke dalam peristiwa penting yang

dialami oleh penduduk. Penerbitan Akta Kelahiran bagi seseorang

sangatlah penting karena merupakan bukti autentik pengakuan dari negara

atas keberadaannya. Dengan dimilikinya Akta Kelahiran maka negara

42
Soeprapto Hartono Hadi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2008, hlm 7
43
B Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum, Yogyakarta, Thafa Media, 2012, hlm 5-7

59
telah mengakui status kewarganegaraan dan status hukumnya dan

berkewajiban untuk melindungi hak-hak sipilnya.

Di Kabupaten Kuningan, pelayanan penerbitan Akta Kelahiran

dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)

khususnya menjadi tugas pokok Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil.

Selain bertugas menerbitkan Akta Kelahiran, Bidang Pelayanan

Pencatatan Sipil juga memiliki tugas untuk penerbitan Akta Kematian,

Perkawinan non-Islam, Perceraian, Perubahan Status Anak dan

Pewarganegraan.

Berkaitan dengan implementasi Permendagri Nomor 9 Tahun 2016,

oleh Disdukcapil Kuningan telah dilaksanakan sesuai dengan amanat yang

terkandung dalam Permendagri tersebut. Perihal implementasinya

terhadap masyarakat AKUR, dinyatakan bahwa masyarakat AKUR yang

belum terdaftar sebagai organisasi pada Direktorat Kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat sepenuhnya mempergunakan

Permendagri tersebut sebagai dasar hukum untuk pembuatan Akta

Kelahiran mereka. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pelayanan

Pencatatan Sipil Iwan Dradjat Santana, SH sebagai berikut :44

“Masyarakat AKUR, atau yang lebih dikenal dengan Sunda


Wiwitan digolongkan sebagai masyarakat adat yang sebetulnya terkait
dengan masalah pencatatan adalah sama. Sama disini berkenaan dengan
tatacara, prosedur, termasuk dengan persyaratan. Sejak awal pencatatan

44
Wawancara dengan Iwan Dradjat Santana, Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Kabupaten
Kuningan, pada tanggal 7 Nopember 2017

60
administrasi kependudukan tidaklah bersifat diskriminatif, sepanjang
memenuhi persyaratan formal dan materil. Disini yang tidak dapat
dipenuhi oleh masyarakat AKUR adalah persyaratan materil yaitu tidak
dapatnya mereka membuktikan perkawinannya. Sementara peran
Disdukcapil ini hanya mencatatkan laporan terhadap peristiwa kelahiran
yang dilaporkan masyarakat sepanjang memenuhi persyaratan. Akibatnya
secara hukum karena mereka tidak dapat membuktikan perkawinannya,
anak yang lahir dari perkawinan tersebut hanya memilik hubungan
hukum dengan ibunya saja. Dengan adanya Permendagri Nomor 9 Tahun
2016 ini sebetulnya tidak ada pengaruh karena tetap AKUR ini masih
dikategorikan sebagai masyarakat adat yang berafiliasi/hanya dalam
konteks kebudayaan saja. Dalam Permendagri tersebut terdapat pula
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Untuk SPTJM ini
sebenarnya bukanlah sebagai pengganti daripada buku nikah, melainkan
bagi mereka yang sebelumnya sudah menikah secara agama akan tetapi
perkawinannya belum dicatatkan atau dengan kata lain Kawin
Siri/Agama. Itupun dengan syarat perkawinan tersebut haruslah sudah
tercantum dalam Kartu Keluarga (KK). Sementara bagi masyarakat
AKUR ini meskipun sudah dilakukan pernikahan akan tetapi pernikahan
itu tidak dicatat di KK.”

Berdasarkan pada pemaparan tersebut, yang menjadi kendala

adalah tidak terdaftarnya Komunitas AKUR ini secara resmi pada

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini

berdampak luas pada aspek administrasi kependudukan. Salah satunya

tidak tercatatnya perkawinan mereka pada KK yang berdampak pada

sulitnya mengurus akta kelahiran bagi anak mereka.

Terkait dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan penghayat

kepercayaan yang tidak memiliki organisasi, maka perkawinannya tidak

dapat dicatatkan, karena tidak memenuhi Pasal 81 PP No.37 Tahun 2007.

Oleh karena perkawinannya tidak tercatat, sehingga tidak memiliki akta

61
perkawinan (sebagai bukti adanya suatu perkawinan), maka anak yang

dilahirkan adalah anak luar kawin.45 Adapun bunyi dari pasal tersebut:

Pasal 81
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan
Pemuka Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan olehorganisasi penghayat
kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat
perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara
teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Permendagri tersebut, berkenaan dengan dapat digantinya

Akta Perkawinan dengan SPTJM, dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri

Nomor 9 dijelaskan bahwa :

“Dalam hal persyaratan berupa akta nikah/kutipan akta

perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak

terpenuhi, pemohon melampirkan SPTJM kebenaran sebagai pasangan

suami isteri”.

Akan tetapi, karena masyarakat AKUR ini tidak dapat mencatatkan

perkawinannya di KK dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa:

45
Direktorat Pencatatan Sipil, Panduan Pencatatan Sipil, Direktorat Jendral Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri, 2015, hlm 34

62
“Dalam hal persyaratan berupa akta nikah/kutipan akta
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, dan status hubungan dalam keluarga pada KK tidak
menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami isteri, dicatat
dalam register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran dengan elemen
data sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”.

Dalam lampiran Permendagri tersebut, sesuai apa yang dimaksud

dengan Pasal 5 ayat (1) ini terdapat formulasi kalimat kutipan akta

kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

status hubungan pada KK tidak menunjukan hubungan perkawinan

sebagai suami isteri.

Apabila dilihat dari formulasi kalimat kutipan akta kelahiran

tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak hanya memiliki hubungan hukum

dengan ibunya saja apabila yang mengajukan tidak dapat menunjukan

bukti perkawinannya dan tidak tercatat dalam KK. Artinya bagi

masyarakat AKUR yang tidak dapat menunjukan bukti perkawinannya

pada KK walaupun dengan menggunakan SPTJM seklipun tetap hanya

nama ibu yang disebutkan dalam akta sehingga pemenuhan haknya masih

dirasa setengah-setengah belum secara utuh.

Akan tetapi, dalam pelaksanaanya masih ada celah yang

digunakan dalam pencatatan Akta Kelahiran bagi masayarakat AKUR

63
tersebut. Yaitu apabila dalam KK nya sudah tercantum statusnya sebagai

pasangan suami isteri. Hal ini dikemukakan oleh Iwan Dradjat Santana,

SH. Bahwa :46

“Dulu persyaratan membuat KK cukup mengisi formulir F1-01


yang diketahui oleh Desa. Sehingga Dinas Kependudukan tidak
mengetahui bahwa yang bersangkutan sudah menikah atau tidak. Apabila
dalam formulir tersebut dinyatakan sudah menikah maka akan dianggap
benar karena yang mengeluarkannya pun merupakan suatu lemabaga
yang harus dipercaya, dalam pembuktiannya pun sulit untuk mendatangi
orang satu persatu. Apabila suatu saat ada kekeliruan tanggung jawab
hukumnya adalah yang mengeluarkan surat tersebut. Akan tetapi
sekarang peraturannya lebih ketat, bagi mereka yang ingin
perkawinannya tercantum dalam KK maka mereka harus terlebih dahulu
membuktikan perkawinannya dengan melampirkan buku nikah atau akta
perkawinannya.”
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagi

masyarakat AKUR yang dari dulu perkawinannya sudah tercantum pada

KK mereka dapat mengurus Akta kelahiran bagi anak-anaknya

menggunakan SPTJM tersebut. Formulasinya pun tidak hanya

berdasarkan garis keturunan ibu saja, melainkan ayah dan ibunya. Akan

tetapi tetap dalam pelaksananaanya terdapat frase : “yang perkawinannya

belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan.” Dalam hal tersebut,

permasalahan masih belum bisa dikatakan selesai. Dengan adanya frase

tersebut dirasakan pemenuhan haknya masih belum juga dirasa utuh.

Meskipun ada kemajuan karena tidak hanya nama ibu saja yang

46
Wawancara dengan Iwan Dradjat Santana, Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Kabupaten
Kuningan, pada tanggal 4 Desember 2017

64
dicantumkan, timbul kesan lain berkenaan perkawinan mereka yang belum

diakui oleh Negara. Hal tersebut tentumya sangat berdampak pada

psikolog anak kelak, dan juga respon dari masyarakat luar yang mungkin

akan adanya anggapan bahwa anak tersebut merupakan anak luar kawin.

Selain itu, celah lain bagi mereka yang ingin memperoleh akta

kelahiran anaknya tanpa hanya mengikuti garis keturunan ibunya saja atau

bahkan tanpa adanya frase yang telah disebutkan diatas, dapat

melaksanakan perkawinannya dihadapan Pemuka dari organisasi

penghayat kepercayaan lain. Banyak Pemuka yang berkenan untuk

membantu masyarakat AKUR dalam mengurus perkawinannya, salah

satunya adalah dari Aji Dipa. Akan tetapi, munculnya isu pada masyarakat

AKUR bahwa yang menikah melalui Pemuka dari Aliran Kperecayaan

lain dianggap keluar dari AKUR dan mengikuti Kepercayaan dari Pemuka

yang mengawinkannya, menimbulkan keresahan sehingga hanya yang

benar-benar terdesak sajalah yang melakukannya.47

Sebagai perbandingan, hal sebaliknya terjadi pada masyarakat

Kanekes atau yang lebih dikenal dengan Suku Baduy, pengahayat Sunda

Wiwitan yang desanya berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten

Lebak, Rangkasbitung. Berdasarkan pemaparan salah satu Penghayat

47
Keterangan ini didapat secara lisan dari wawancara bersama Bapak Wahyu, Sesepuh AKUR
sekaligus Kepala Sekolah SMP Tri Mulya pada tanggal 6 Nopember 2017

65
Sunda Wiwitan yang biasa dipanggil Kang Sarpin, bahwa masyarakat

Pengahayat Sunda Wiwitan disini dapat mengurus Akta Kelahirannya

dengan menggunakan STPJM di Disdukcapil Kabupaten Lebak. Hal

tersebut disebabkan karena pencantuman status perkawinan yang

menunjukan adanya hubungan suami isteri dalam KK cukup dengan

menggunakan surat keterangan nikah masyarakat Sunda Wiwitan.48

Berdasarkan perbandingan tersebut dapat terlihat bahwa Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebak lebih tolerir

terhadap masyarakat pengahayat kepercayaan dibandingkan dengan di

Kabupaten Kuningan. Hal tersebut berdampak pada timbulnya kembali

kesan diskriminatif pada masyarakat AKUR. Padahal Sunda Wiwitan di

Kanekes pun statusnya masih sama seperti AKUR yang belum terdaftar

sebagai organisasi pada Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Meskipun pada dasarnya Disdukcapil Kabupaten Kuningan

tidaklah salah dalam penerapan aturan, akan tetapi tidak ada salahnya

untuk lebih lunak terhadap masyarakat pengahayat kepercayaan seperti

apa yang dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten Lebak. Hal tersebut demi

melindungi hak-hak sipil masyarakat AKUR yang bagaimanapun juga

tetap merupakan bagian dari warga Negara Indonesia yang harus

48
Wawancara dengan Kang Sarpin, Salah satu Pengahayat Sunda Wiwitan yang mengurus Akta
Kelahiran anaknya dengan menggunakan SPTJM di Disdukcapil Rangkasbitung, pada tanggal 29
Nopember 2017

66
diperhatikan pemenuhannya walaupun masih dengan adanya batasan-

batasan tertentu.

C. Respon dan Hambatan Yang Dialami Oleh Masyarakat Adat

Karuhun Urang dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 Tahun 2016

Diskriminasi masih menjadi hambatan utama bagi masyarakat

AKUR dalam hal pemenuhan hak-hak mereka. Yang menjadi pokok

permasalahan disini adalah berkenaan dengan pencatatan kelahiran.

Adanya Permendagri No. 9 Tahun 2016 dirasa sama sekali tidak

mengakomodir kebutuhan mereka terkait pencatatan kelahiran. Padahal

disebutkan dengan jelas didalam konsideran, Permendagri tersebut dibuat

demi meningakatkan cakupan kepemilikan akta kelahiran yang tentu saja

peraturan tersebut haruslah mengakomodir seluruh lapisan masyarakat

tanpa terkecuali demi menghindarai adanya kesan diskriminatif. Hukum

disini berperan sebagai instrumen dalam mewujudkan tujuan dari Negara.

Dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, seharusnya Permendagri

tersebut sebagai suatu instrumen hukum haruslah dapat mengakomodir

seluruh lapisan masyarakat, karena setiap kelemahan sistem hukum akan

memberikan influence terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.49

49
Soeprapto Hartono Hadi, Op.cit.

67
Akibatnya adalah timbul kesan dari masyarakat AKUR yang

beranggapan Permendagri tersebut bersifat diskriminatif. Dampaknya

mereka malah merasa semakin terbebani karena merasa terpinggirkan

dimana lagi-lagi kebijakan pemerintah sama sekali dirasa tidak dapat

memenuhi hak-hak mereka sebagai bagian dari warga Negara Indonesia.

Dalam pelaksanaan Permendagri No.9 Tahun 2016, masyarakat

AKUR yang tidak dapat membuktikan perkawinannya secara hukum

ataupun yang dalam KK tidak menunjukan hubungan suami isteri maka

dalam Akta Kelahirannya hanyalah mengikuti garis keturunan ibunya saja.

Imbasnya muncul kekecewaan dari masyarakat AKUR karena meskipun

telah muncul peraturan tentang peningkatan cakupan kepemilikan akta

kelahiran, peraturan tersebut sama sekali tidak berdampak positif bagi

mereka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu penghayat Sunda

Wiwitan ini berekenaan Permendagri tersebut :50

“Bagi masyarakat AKUR dengan adanya Permendagri tersebut


masih belum dirasakan dampak yang signifikan, hak-hak nya masih belum
secara penuh diakui oleh Negara. Padahal kami pun sama disini adalah
warga Negara Indonesia. Harapannya adalah tidak ada diskriminasi atau
dibeda-bedakan, pemerintah jangan sampai acuh. Yang menjadi masalah
utama dari sulitnya pencatatan akta kelahiran adalah karena perkawinan
yang dianggap tidak sah oleh Negara. Dampaknya rata-rata dari
masyarakat AKUR yang memiliki akta kelahiran ini hanya mengikuti
garis keturunan ibu saja, artinya dengan adanya Permendagri ini sama
sekali tidak membawa perubahan kea arah yang lebih baik bagi kami”.

50
Wawancara dengan Bapak Rohaman dan Diding, Penghayat Sunda Wiwitan Cigugur, pada tanggal
4 Desember 2017

68
Hal senada diungkapkan oleh Bapak Wahyu selaku penghayat

sekaligus Kepala Sekolah dari SMP Tri Mulya yang merupakan sekolah

dimana para pengahayat Sunda Wiwitan menuntut ilmu :51

“Negara Indonesia adalah Negara hukum, oleh karena itu segala


sesuatunya haruslah berdasarkan pada hukum. Sudah menjadi kewajiban
sebagai warga Negara untuk taat kepada hukum. Namun untuk masalah
Permendagri No.9 Tahun 2016 ini terbentur dengan beberapa masalah.
Yang salah satunya adalah belum terdaftarnya AKUR sebagai organisasi.
Ada alasan tertentu mengapa AKUR ini tidak mendaftarkan diri sebagai
suatu organisasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak dapatnya penghayat
Sunda Wiwitan ini mendapatkan Akta Perkawinan yang berimbas pula
pada perolehan Akta Kelahiran. Sebenarnya apabila ada keperluan
mendesak, penghayat Sunda Wiwitan ini dapat dinikahkan melalui
Pemuka dari Organisasi lain yang pada aturannya memang Pemuka ini
berhak untuk membuatkan Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan,
yang mana surat ini menjadi salah satu syarat untuk dicatatkan di Kantor
Pencatatan Sipil. Apabila hal tersebut dilakukan makan prosedur untuk
memperoleh Akta Kelahirannya bisa berjalan sama seperti pada
umumnya”.
Berdasarkan pemaparan diatas, hambatan utama yang menjadi

kendala bagi masyarakat AKUR dalam memperoleh pemenuhan hak nya

dalam bidang pencatatan kelahiran adalah karena tidak terdaftarnya

AKUR sebagai Organisasi pada Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa. Adapun alasan mereka enggan mendaftarkan diri ini

adalah karena adanya rasa trauma dari masa lalu dikarenakan pada Tahun

1964 dan juga Tahun 1982 telah dua kali dibubarkan. Sehingga ada rasa

51
Wawancara dengan Bapak Wahyu, Sesepuh AKUR sekaligus Kepala Sekolah SMP Tri Mulya pada
tanggal 6 Nopember 2017

69
takut terulang kembali pembuburan apabila mereka mendaftarkan diri

sebagai organisasi.

Namun demi ketertiban hukum, memang alangkah baiknya apabila

AKUR didaftarkan sebagai organisasi. Organisasi Penghayat Kepercayaan

itu sendiri adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di

Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata. Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi

Penghayat Kepercayaan telah terinventarisasi pada Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata.52

Adapun syarat agar suatu Kepercayaan dapat terdaftar sesuai

dengan yang tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Bersama Menteri Dalam

Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan Nomor 41

Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa meliputi:

Pasal 5
(1) Gubernur menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan
untuk provinsi.

52
Sekarang Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa dan Tradisi Ditjen Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Reintegrasi Departemen Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Tanggal 27 Januari 2012, menyatakan bahwa Direktorat Pembinaan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi dan perubahan selanjutnya sesuai Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Tanggal 17 April 2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 593)

70
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;
b. program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris;
c. Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional atau
sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e. Foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f. Riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto
copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang
terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing
sebanyak 1 lembar:
g. formulir isian;
h. data lapangan;
i. foto tampak depan dengan papan nama alamat
kantor/sekretariat;
j. Nomor Pokok Wajib Pajak;
k. Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;
l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
m. surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal
dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan
sekretaris; dan
n. surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan
partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani
ketua dan sekretaris.

Dengan demikian diharapkan apabila telah terdaftarnya AKUR

pada Direktorat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa segala

hak-hak nya dapat terpenuhi karena telah mengikuti prosedur yang ada.

71
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dibahas pada bab sebelumnya,

maka hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagi berikut:

1. Adat Karuhun Urang (AKUR) atau yang lebih dikenal dengan

sebutan Agama Djawa Sunda maupun Sunda Wiwitan, terpusat di

Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.

Sebagai suatu aliran kepercayaan, AKUR sampai saat ini masih

mengalami kesulitan terutama dalam bidang pencatatan sipil. Salah

satunya, berkenaan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Cakupan

Kepemilikan Akta Kelahiran. Implementasi Permendagri tersebut

pada masyarakat AKUR tidak dilaksanakan oleh Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan. Alasan

Disdukcapil tidak melaksanakan Permendagri tersebut adalah karena

Permendagri itu tidak digunakan untuk masyarakat adat tetapi untuk

masyarakat umum. Alasan tersebut tidaklah berdasar, karena

Disdukcapil Kabupaten Lebak justru telah melaksanakan

Permendagri tersebut untuk masyarakat Adat Baduy. Dengan

72
demikian ada perbedaan implementasi antara Disdukcapil Kabupaten

Kuningan dengan Kabupaten Lebak.

2. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi pemenuhan hak dari

tiap warga negaranya. Salah satunya caranya adalah dengan

menjadikan hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu hukum haruslah dapat memenuhi setiap

kebutuhan masyarakat dan juga harus dapat mengakomodir setiap

lapisan masyarakat. Adapun respon secara umum dari masyarakat

AKUR perihal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun

2016 tentang Percepatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran,

sebenarnya masyarakat AKUR telah mengetahui perihal adanya

Permendagri tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terhambat

oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Kuningan yang tidak mau melayani pengurusan Akta Kelahiran dari

masyarakat AKUR, sehingga Permendagri ini tidak bisa

memberikan kemudahan bagi masyarakat AKUR untuk mengurus

Akta Kelahiran anaknya.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diajukan penulis sebagai hasil dari penelitian

ini yang sekiranya dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang terlibat juga

berkepentingan adalah sebagai berikut :

73
1. Negara bersamaan dengan aparaturnya harus terus memberikan

perhatian terhadap para penghayat kepercayaan karena

bagaimanapun juga mereka termasuk bagian dari warga negara yang

harus selalu dijunjung tinggi hak-haknya. Instansi terkait yakni

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan

sebagai pelayan publik, selama tidak menyalahi aturan maupun

prosedur baiknya lebih terbuka dalam pelayanan administrasi bagi

para penghayat kepercayaan demi menghilangkan kesan adanya

diskriminasi terhadap para penghayat sebagai kaum minoritas.

2. Bagi Komunitas AKUR, ada baiknya untuk dipertimbangakan

kembali menjadi organisasi yang terdaftar pada Direktorat

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa demi kemudahan

dalam proses pelayanan pencatatan sipil serta demi ketertiban

hukum.

74
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, ( Bandung : PT Citra Aditya


Bakti, 2000)
Abdul Rahman Ghazali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2003)
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria, “Hukum dan Hukum Islam”, (Bandar Lampung :
CV Sinsar Sakti, 2007)
Anton M. Moeliono, “Kamus Besar Basaha Indonesia”, (Jakarta : Balai Pustaka,
1988)
B Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, (Yogyakarta: Thafa Media, 2012)
Bambang sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, (PT RajaGrafindo Persada,
1997)
Ishaq, “Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)
Mahmud Yunus, “Hukum Perkawinan dalam Islam”, (Jakarta : Hilda Karya Agung,
1986)
Nashriana, “Perlindungan Hukum bagi Anak di Indonesia”, (Jakarta : Rajawali Pers,
2011)
Ronny Hanitijo Soemitro, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri”, (Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2001)
Saidi, Anas, Abdul Aziz dkk, “Menekuk Agama, Membangun Tahta (Kebijakan
Agama Orde Baru)”,( Desantara, 2004)
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991)
Soedikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum”, (Yogyakarta : Liberty, 1991)
Soemiyati, “Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan”,
(Yogyakarta : Liberti, 1999)
Soeprapto Hartono Hadi, “Pengantar Tata Hukum Indonesia”, (Yogyakarta, Liberty,
2008)

75
Soerjono Soekanto, “Hukum Adat Indonesia”, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2012)
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitan Hukum”, (Jakarta)
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, “Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil di Indonesia”, Ed.1, Cet 2, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1996)

Jurnal dan Makalah

Maria Fransiska Anne, “Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan


Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya dengan
Undang-Undang Perkawinan (suatu Analisa Yuridis)”, (Depok : Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia, 2009)
Muchsin, “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”,
(Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
2003)
Roger L Dixon, “Sejarah Suku Sunda”, dimuat dalam jurnal veritas, Oktober, 2000
Selu Margaretha Kushendrawati, “Sebuah Fenomena Religiositas Masyarakat di
Kuningan Jawa Barat”, dimuat dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol
XXIII No 1, 2004,
Tendi, “Sejarah Agama Djawa Sunda Di Cigugur Kuningan 1939-1964”, (Tesis
Magister Humaniora, Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)

Laporan

Djatikusuma, “Paseban Tri Panca Tungal”, (Kuningan: Cagar Budaya Nasional,


1979)
Djatikusuma, “Spiritual Culture of Karuhun Urang Tradition”, (Kuningan: Cagar
Budaya Nasional, 1999),

76
“Kecamatan Cigugur dalam Angka”, (Kuningan: Badan Pusat Statistik
Kuningan,2017)
“Panduan Pencatatan Sipil”, Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementrian Dalam Negeri, 2015
“Statistik Daerah Kecamatan Cigugur”, ((Kuningan: Badan Pusat Statistik
Kuningan,2016)

Sumber Online

Informasi Kependudukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, “Permasalahan


Rendahnya Kepemilikan Akta Kelahiran”, diakses dari
http://infoduk.babelprov.go.id/content/permasalahan-rendahnya-kepemilikan-akta-
kelahiran

Instrumen Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang 23 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan
Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tatacara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Informasi
Administrasi Kependudukan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan
Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran

77
Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

78
LAMPIRAN

79
80
81
82
83
FORMULASI KALIMAT KUTIPAN AKTA KELAHIRAN ANAK YANG DILAHIRKAN
DALAM ATAU SEBAGAI AKIBAT PERKAWINAN YANG BELUM TERCATAT
SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TETAPI STATUS HUBUNGAN
DALAM KELUARGA PADA KK MENUNJUKKAN HUBUNGAN PERKAWINAN
SEBAGAI SUAMI ISTERI

NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN:


NO……………………

PENCATATAN SIPIL

WARGA NEGARA…………………………..

KUTIPAN AKTA KELAHIRAN

Berdasarkan Akta Kelahiran Nomor………………………………………............................

bahwa di…………………………………. pada tanggal……………......................................

………………………….tahun………………………………………………………………

………………………………………………………………..... …………………telah lahir:

……………………………………………………………………………………………….

anak ke ……………………………………………………………………………………….

dari…………………………………………………………………………………………….

……………………………………dan……………………………………………………….

yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kutipan ini dikeluarkan……………………………….

Pada tanggal…………………………………………..

Kepala………………………………………………..

TTD
NAMA
NIP

84
FORMULASI KALIMAT KUTIPAN AKTA KELAHIRAN ANAK YANG DILAHIRKAN
DALAM ATAU SEBAGAI AKIBAT PERKAWINAN YANG BELUM TERCATAT
SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN STATUS HUBUNGAN
DALAM KELUARGA PADA KK TIDAK MENUNJUKKAN HUBUNGAN
PERKAWINAN SEBAGAI SUAMI ISTERI

NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN:


NO……………………

PENCATATAN SIPIL

WARGA NEGARA…………………………..

KUTIPAN AKTA KELAHIRAN

Berdasarkan Akta Kelahiran Nomor………………………………………............................

bahwa di…………………………………. pada tanggal……………......................................

………………………….tahun………………………………………………………………

………………………………………………………………..... …………………telah lahir:

……………………………………………………………………………………………….

anak ke ……………………………………………………………………………………….

dari…………………………………………………………………………………………….

Kutipan ini dikeluarkan……………………………….

Pada tanggal…………………………………………..

Kepala………………………………………………..

TTD
NAMA
NIP

85
SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2016

TENTANG
PERCEPATAN PENINGKATAN CAKUPAN KEPEMILIKAN AKTA KELAHIRAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pada hakekatnya Negara berkewajiban


memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap
penentuan status pribadi dan status hukum setiap
peristiwa kelahiran yang dialami oleh penduduk
termasuk perlindungan terhadap hak anak yang
berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk akta
kelahiran;

86
b. bahwa kepemilikan akta kelahiran sebagai wujud
pengakuan negara atas identitas anak masih
rendah, sehingga perlu adanya percepatan dalam
kepemilikan akta kelahiran;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Percepatan Peningkatan Cakupan
Kepemilikan Akta Kelahiran;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang


Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 262,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5475);

87
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);

5. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang


Kementerian Dalam Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 12);

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun


2010 Tentang Formulir Dan Buku Yang Digunakan
Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun


2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Dalam Negeri (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 564), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 69 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 43

88
Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Dalam Negeri (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1667);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG


PERCEPATAN PENINGKATAN CAKUPAN KEPEMILIKAN
AKTA KELAHIRAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan


Orang Asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Warga Negara Indonesia yang selanjutnya
disingkat WNI adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara Indonesia.
3. Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang
mengajukan permohonan pembuatan akta
kelahiran.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun.
5. Penolong kelahiran adalah orang yang
menolong proses kelahiran diluar medis.

89
6. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang
melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang
dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
7. Register Akta Kelahiran adalah daftar yang
memuat data outentik mengenai peristiwa
kelahiran, yang diterbitkan dan ditanda tangani
oleh pejabat berwenang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8. Kutipan Akta Kelahiran adalah kutipan data
outentik yang dipetik sebagian dari register akta
kelahiran, yang diterbitkan dan ditandatangani
oleh pejabat berwenang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

9. Kartu Keluarga yang selanjutnya disingkat KK


adalah kartu identitas keluarga yang memuat
data tentang nama, susunan, dan hubungan
dalam keluarga, serta identitas anggota
keluarga.
10. Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang
selanjutnya disingkat KTP-el adalah Kartu
Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang
merupakan identitas resmi Penduduk sebagai
bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana.

90
11. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
yang selanjutnya disingkat SIAK adalah sistem
informasi yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi
pengelolaan informasi administrasi
kependudukan di tingkat penyelenggara dan
Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan.
12. Instansi Pelaksana adalah perangkat
pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung
jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan
dalam urusan kependudukan dan pencatatan
sipil.
13. Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana yang
selanjutnya disingkat UPT Instansi Pelaksana
adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang
bertanggung jawab kepada Instansi Pelaksana.
14. Pelayanan Pengurusan Akta Kelahiran secara
online adalah proses pengurusan akta kelahiran
yang pengiriman data/berkas persyaratannya
dilakukan dengan media elektronik yang
berbasis web dengan memanfaatkan fasilitas
teknologi komunikasi dan informasi.
15. Mengunggah adalah proses mengirim
data/berkas dari komputer ke server aplikasi
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
16. Pencatatan kelahiran secara manual adalah
pencatatan kelahiran yang dilakukan oleh

91
pemohon dengan mengisi formulir yang telah
disediakan oleh Instansi Pelaksana.
17. Pencatatan kelahiran secara online adalah
pencatatan kelahiran yang dilakukan oleh
pemohon dengan mengisi aplikasi elektronik.
18. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak
Kebenaran Data Kelahiran yang selanjutnya
disebut dengan SPTJM Kebenaran Data
Kelahiran adalah pernyataan yang dibuat oleh
orang tua kandung/wali/pemohon dengan
tanggung jawab penuh atas kebenaran data
kelahiran seseorang, dengan diketahui 2 (dua)
orang saksi.
19. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak
Kebenaran Sebagai Pasangan Suami Isteri yang
selanjutnya disebut SPTJM kebenaran sebagai
pasangan suami isteri adalah pernyataan yang
dibuat oleh orang tua kandung/wali/pemohon
dengan tanggung jawab penuh atas status
hubungan perkawinan seseorang, dengan
diketahui 2 (dua) orang saksi.
20. Saksi dalam Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Mutlak adalah orang yang melihat atau
mengetahui penandatanganan Surat
Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak.
21. Laman resmi
http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/
layananonline adalah laman yang dibuat oleh

92
Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
untuk fasilitasi pelayanan pencatatan kelahiran
secara on line.
22. Tandatangan secara elektronik adalah
tandatangan Pejabat Pencatatan Sipil yang
dilakukan secara langsung dan melalui proses
pemindaian.
23. Quick Response Code yang selanjutnya disebut
QR Code adalah sebuah barcode yang berisi
informasi tentang data kelahiran yang tercetak
pada akta kelahiran.

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, meliputi:

a. Persyaratan pencatatan kelahiran:dan


b. Tata cara pencatatan kelahiran

Bagian Kesatu

Persyaratan Pencatatan Kelahiran

Pasal 3

93
(1) Persyaratan pencatatan kelahiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dengan
memenuhi syarat berupa:
(3) surat keterangan lahir dari
dokter/bidan/penolong kelahiran;
(4) akta nikah/kutipan akta perkawinan;
(5) KK dimana penduduk akan didaftarkan sebagai
anggota keluarga;
(6) KTP-el orang tua/wali/pelapor; atau
(7) paspor bagi WNI bukan penduduk dan orang
asing.
(2) Pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui
asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya
dilakukan dengan:
c. melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
dari Kepolisian; atau
d. menggunakan SPTJM kebenaran data
kelahiran yang ditandatangani oleh
wali/penanggungjawab.

Pasal 4

(4) Dalam hal persyaratan berupa surat keterangan


lahir dari dokter/bidan/penolong kelahiran,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a tidak terpenuhi, pemohon melampirkan
SPTJM kebenaran data kelahiran.
(5) Dalam hal persyaratan berupa akta
nikah/kutipan akta perkawinan sebagaimana

94
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, pemohon melampirkan SPTJM
kebenaran sebagai pasangan suami isteri.
(6) SPTJM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemohon.

Pasal 5

(3) Dalam hal persyaratan berupa akta


nikah/kutipan akta perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, dan status hubungan dalam keluarga
pada KK tidak menunjukkan status hubungan
perkawinan sebagai suami isteri, dicatat dalam
register akta kelahiran dan kutipan akta
kelahiran dengan elemen data sebagaimana
tercantum dalam lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(4) Dalam hal persyaratan berupa akta
nikah/kutipan akta perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, dan status hubungan dalam keluarga
pada KK menunjukkan status hubungan
perkawinan sebagai suami isteri, dicatat dalam
register akta kelahiran dan kutipan akta
kelahiran dengan elemen data sebagaimana
tercantum dalam lampiran yang merupakan

95
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.

Bagian Kedua

Tata Cara Pencatatan Kelahiran

Pasal 6

Tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan dengan
cara:
a. manual; atau
b. online.

Pasal 7

(1) Pencatatan kelahiran secara manual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
dilakukan di Instansi Pelaksana, UPT Instansi
Pelaksana, dan tempat lain yang sudah
melakukan kerjasama dengan Instansi
Pelaksana.
(2) Pencatatan kelahiran secara manual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan cara:
a. pemohon mengisi dan menandatangani surat
keterangan kelahiran dan menyerahkan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 kepada petugas;

96
b. petugas melakukan verifikasi dan validasi
terhadap persyaratan serta merekam data
kelahiran dalam database kependudukan;

c. pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana


atau UPT instansi pelaksana menandatangani
dan menerbitkan register akta kelahiran dan
kutipan akta kelahiran; dan
d. kutipan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
pada huruf c diberikan kepada pemohon

Pasal 8

(1) Pencatatan kelahiran secara online sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, terdaftar dalam
KK yang sama dengan penduduk yang akan
dicatatkan kelahirannya dan dilakukan di tempat
yang memiliki akses internet.
(2) Pencatatan kelahiran secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. pemohon melakukan registrasi pada
http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/layan
anonline untuk mendapatkan hak akses
sebagai pengguna aplikasi pencatatan
kelahiran;

97
b. pemohon yang telah mendapatkan hak akses
sebagaimana dimaksud huruf a, mengisi
formulir pada aplikasi pencatatan kelahiran
dan mengunggah persyaratan:
1) surat keterangan lahir dari
dokter/bidan/penolong kelahiran;
2) akta nikah/kutipan akta perkawinan;dan
3) paspor bagi WNI bukan penduduk dan
orang asing.
c. pemohon yang telah mengisi formulir aplikasi
pencatatan kelahiran dan melengkapi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf b mendapatkan tanda bukti
permohonan;
d. petugas pada instansi pelaksana melakukan
verifikasi dan validasi data permohonan
dengan basis data/biodata yang tersimpan
dalam SIAK;
e. setelah dilakukan verifikasi dan validasi data,
pejabat pencatatan sipil pada instansi
pelaksana menandatangani dan menerbitkan
register akta kelahiran;
f. pejabat pencatatan sipil pada instansi
pelaksana membubuhkan tandatangan
secara elektronik pada kutipan akta
kelahiran;
g. petugas mengirimkan pemberitahuan melalui
surat elektronik kepada Pemohon; dan

98
h. pemohon dapat mencetak kutipan akta
kelahiran yang telah ditandatangani secara
elektronik oleh pejabat pencatatan sipil.
(3) Kutipan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h, hanya dapat dicetak 1
(satu) kali.
(4) Dalam hal terjadi kesalahan dalam pencetakan
Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemohon melapor kepada Instansi
Pelaksana melalui surat elektronik.

BAB III

SPESIFIKASI BLANGKO REGISTER AKTA KELAHIRAN


DAN

KUTIPAN AKTA KELAHIRAN

Bagian Kesatu

Blangko Register Akta Kelahiran

Pasal 9

(1) Pencatatan kelahiran menggunakan spesifikasi


blangko register akta kelahiran
(2) Spesifikasi blangko register akta kelahiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a. bahan baku;
b. desain;

99
c. ukuran;
d. warna; dan
e. jumlah halaman.

Pasal 10

Bahan baku register akta kelahiran sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a, terdiri dari:

a. kertas : HVS (Woodfee Paper); dan


b. gramatur : 100 gram/ m2.

Pasal 11

Desain register akta kelahiran sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, terdiri dari:

a. desain sekuriti berupa relief text bertuliskan “Catatan


Sipil Republik Indonesia” dan ornamen gelombang
parabol dan hiperbol menjadi satu kesatuan yang
disebut bagian relief;
b. di tengah terdapat Relief Text Gradasi;
c. relief background berupa garis gelombang yang tidak
terputus, dan mempunyai ketebalan garis sampai
0.03 mm;
d. ditengah terdapat line raster yang membentuk logo
Garuda; dan
e. nomor seri pengaman blangko.

Pasal 12

100
Ukuran register akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c, yaitu dengan ukuran :
22,7 x 30,5cm.

Pasal 13

Warna register akta kelahiran sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d, yaitu dengan warna dasar
biru muda.

Pasal 14

Jumlah halaman register akta kelahiran, sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e, yaitu 1 (satu)
halaman.

Bagian Kedua

Kutipan Akta Kelahiran

Pasal 15

Pencatatan kelahiran menggunakan blangko kutipan


akta kelahiran manual dan kutipan akta kelahiran on line

Pasal 16

Spesifikasi blangko kutipan akta kelahiran manual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, terdiri dari:

101
a. bahan baku;
b. desain;
c. ukuran;
d. warna; dan
e. tanda pengaman.

Pasal 17

Bahan baku blangko Kutipan Akta Kelahiran manual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, terdiri
dari:

a. kertas : watermark berlambang Garuda


Pancasila;
b. gramatur : 120 – 135 Gram/m2;
c. berbentuk continous form.

Pasal 18

Desain cetakan blangko kutipan akta kelahiran manual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, meliputi:

a. dicetak dengan mesin khusus continous form 6 (enam)


warna;
b. di bagian tengah kutipan akta kelahiran terdapat
cetakan lambang Garuda Pancasila;
c. lambang Garuda Pancasila sebagaimana dimaksud
pada huruf b dicetak menggunakan tinta sekuriti
(invisible ink) dan bisa dilihat dengan menggunakan
lampu ultra violet (UV);

102
d. di tengah kutipan akta kelahiran bagian atas dibubuhi
lambang Garuda Pancasila yang dicetak dengan
menggunakan hologram;
e. di bagian tengah kutipan akta kelahiran dibawah
lambang Garuda Pancasila tertulis “Republik
Indonesia”;
f. menggunakan desain sekuriti berupa relief teks
bertuliskan “Republik Indonesia” dengan ornamen
bergelombang parabol dan hiperbol;
g. di bagian tengah terdapat relief teks gradasi;
h. relief background berupa garis gelombang yang tidak
terputus, dan mempunyai ketebalan garis sampai 0.03
mm;
i. di bagian tengah kutipan akta kelahiran terdapat line
raster yang membentuk logo Garuda Pancasila;
j. bingkai berupa Guilloche 2 (dua) warna yang berupa
garis yang sambung menyambung mempunyai
kerapatan dan kerenggangan yang berbeda-beda serta
mempunyai ketebalan garis sampai 0,03 mm; dan
k. sebelah kanan atas dicetak nomor seri blangko akta
kelahiran sebagai nomor kendali atau pengaman.

Pasal 19

Ukuran blangko kutipan akta kelahiran sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 huruf c, yaitu 29,7 x 21 cm.

Pasal 20

103
Warna dasar blangko kutipan akta kelahiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, yaitu
dengan warna dasar biru muda dan 2 (dua) warna
bingkai biru muda dan hijau muda.

Pasal 21

Tanda pengaman blangko kutipan akta kelahiran


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e, terdiri
dari:

a. kertas pengaman (security) mempunyai watermark


gambar Garuda Pancasila, tersebar;
b. tidak memendar (UV Dull Quality UV) sinar ultra violet
(UV);
c. terdapat serat pengaman (fiber) yang memantul dua
warna biru dan hijau dan hanya dapat dilihat dengan
sinar ultra violet (UV);
d. terdapat gambar Garuda Pancasila dengan hologram;
dan
e. terdapat bacaan “COPY” secara diagonal apabila
dokumen kutipan akta kelahiran di foto copy.

Pasal 22

Spesifikasi kutipan akta kelahiran online sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15 meliputi:

a. desain;
b. ukuran; dan
c. tanda pengaman.

104
Pasal 23

Desain cetakan kutipan akta kelahiran online


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, meliputi:

a. di bagian tengah kutipan akta kelahiran terdapat


cetakan lambang Garuda Pancasila;
b. di bagian tengah kutipan akta kelahiran dibawah
lambang Garuda Pancasila tertulis “Republik
Indonesia”; dan
c. bingkai berupa Guilloche yang berupa garis yang
sambung menyambung mempunyai kerapatan dan
kerenggangan yang berbeda-beda serta mempunyai
ketebalan garis sampai dengan 0,03 mm.

Pasal 24

Ukuran Kutipan Akta Kelahiran online sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, yaitu 21 cm x 29,7
cm.

Pasal 25

(1) Tanda pengaman Kutipan Akta Kelahiran online


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c,

105
berupa QR Code sebagai alat verifikasi dan
autentikasi atas kebenaran data yang tertuang dalam
kutipan akta kelahiran.
(2) Verifikasi dan autentikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berupa data NIK pemilik akta, nomor
akta, NIK pemohon, nama petugas yang memproses
dan Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana
yang menerbitkan akta kelahiran.

BAB IV

PELAPORAN

Pasal 26
(1) Kepala Instansi Pelaksana atas nama
Bupati/Walikota melaporkan data peningkatan
cakupan kepemilikan akta kelahiran
kabupaten/kota secara kumulatif kepada
gubernur setiap bulan paling lambat tanggal 28
(dua puluh delapan).
(2) Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Provinsi atau Kepala Biro yang membidangi
urusan kependudukan dan pencatatan sipil atas
nama Gubernur melaporkan rekapitulasi data
peningkatan cakupan kepemilikan akta
kelahiran skala Provinsi secara kumulatif kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil setiap bulan
paling lambat tanggal 5 (lima).

106
Pasal 27
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil atas nama Menteri memberikan teguran tertulis
kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Provinsi atau Kepala Biro yang membidangi
urusan kependudukan dan pencatatan sipil yang
tidak melaporkan rekapitulasi data peningkatan
cakupan kepemilikan akta kelahiran skala Provinsi
secara kumulatif kepada Menteri

BAB V

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

(1) Akta kelahiran yang diterbitkan secara online dan


manual mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(2) Seluruh data yang diisi dalam formulir aplikasi
permohonan pencatatan kelahiran secara online
menjadi tanggung jawab Pemohon.
(3) Dalam hal Pemohon memberikan informasi yang
tidak benar atau memberikan dokumen yang tidak
sesuai dengan fakta yang sebenarnya, akta kelahiran
yang diterbitkan dinyatakan tidak sah.

Pasal 29

(1) Dalam hal register akta kelahiran dan/atau kutipan


akta kelahiran rusak/hilang, Instansi Pelaksana atau
UPT Instansi Pelaksana menerbitkan kembali.

107
(2) Dasar penerbitan register akta kelahiran karena
hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan kutipan akta kelahiran atau fotocopy
kutipan akta kelahiran penduduk dan melampirkan
surat keterangan kehilangan dari kepolisian.

Pasal 30

(1) Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana


tempat penduduk berdomisili dapat menerbitkan
kutipan kedua akta kelahiran sebagai pengganti
kutipan akta kelahiran yang hilang/rusak.
(2) Penerbitan kutipan kedua akta kelahiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
berkoordinasi dengan Instansi Pelaksana atau UPT
Instansi Pelaksana tempat register akta kelahiran
diterbitkan.
(3) Penerbitan kutipan kedua akta kelahiran yang hilang
melampirkan surat keterangan kehilangan dari
kepolisian.
(4) Dasar penerbitan kutipan kedua akta kelahiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan
register akta kelahiran dan/atau fotocopy kutipan
akta kelahiran penduduk.

Pasal 31

Ketentuan dan format mengenai:


a. formulasi elemen data dalam register akta
kelahiran;

108
b. formulasi elemen data dalam kutipan akta
kelahiran;
c. formulasi elemen data dalam kutipan akta
kelahiran bagi anak yang tidak diketahui asal
usulnya atau keberadaan orang tuanya;
d. desain blangko register akta kelahiran;
e. desain blangko kutipan akta kelahiran manual;
f. desain kutipan akta kelahiran online
g. formulasi kalimat register akta kelahiran;
h. formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah;
i. formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang belum tercatat sesuai
peraturan perundang-undangan tetapi status
hubungan dalam keluarga pada KK
menunjukkan status hubungan perkawinan
sebagai suami isteri;
j. formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang belum tercatat sesuai
peraturan perundang-undangan dan status
hubungan dalam keluarga pada KK tidak
menunjukkan status hubungan perkawinan
sebagai suami isteri ;

109
k. formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak
yang tidak diketahui asal usulnya atau
keberadaan orang tuanya;
l. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak
(SPTJM) kebenaran data kelahiran;
m. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak
(SPTJM) kebenaran sebagai pasangan suami
istri;
n. laporan data peningkatan cakupan kepemilikan
akta kelahiran kabupaten/kota; dan
o. laporan data peningkatan cakupan kepemilikan
akta kelahiran provinsi.
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

(1) Blangko Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta


Kelahiran yang masih ada sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini, tetap berlaku sampai dengan
habisnya persediaan blangko pada Instansi
Pelaksana.
(2) Pelayanan pencatatan kelahiran secara online mulai
diterapkan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan

110
BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Pada saat Peraturan Menteri mulai berlaku, Lampiran III


huruf A dan Lampiran IV huruf A Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 2003 tentang Spesifikasi,
Pengadaan dan Pengendalian Blangko Kartu Keluarga,
Kartu Tanda Penduduk, Buku Register Akta dan Kutipan
Akta Catatan Sipil dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 34

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 24 Februari 2016.

MENTERI DALAM NEGERI

111
REPUBLIK INDONESIA

Ttd

TJAHJO KUMOLO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 29 Februari 2016.

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR


325.

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO HUKUM,

ttd

W. SIGIT PUDJIANTO
NIP. 19590203 198903 1 001.

112

Anda mungkin juga menyukai