Anda di halaman 1dari 33

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Rerangka Teoritis
2.1.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan (agency theory) yaitu teori yang membahas tentang
suatu hubungan atau kontrak keagenan yang terjadi antara pemegang saham
(principal) dengan manajemen (agent). Prinsipal mempekerjakan agen untuk
melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian
otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen (Anthony dan
Govindarajan, 2011). Jika agen tidak berbuat sesuai kepentingan prinsipal,
maka akan terjadi konflik keagenan (agency conflict), sehingga memicu biaya
keagenan (agency cost). Konflik kepentingan yang terjadi antara agen dan
principal dalam mencapai kemakmuran yang dikehendakinya disebut sebagai
masalah keagenan. Dalam teori keagenan menunjukkan bahwa terdapat dua
potensial konflik keagenan. Pertama, masalah agensi antara manajemen dan
pemegang saham dan kedua, masalah agensi antara pemegang saham
mayoritas dan pemegang saham minoritas. Pada masalah agensi yang
pertama, konflik kepentingan muncul karena adanya hubungan kontraktual
antara principal dan agen. Konflik kepentingan semakin meningkat karena
pemegang saham tidak dapat memonitor aktivitas manajer sehari-hari untuk
memastikan bahwa manajer bekerja sesuai dengan kepentingan pemegang
saham. Pemegang saham tidak memiliki informasi yang cukup tentang
kinerja manajer, disisi lain manajer memiliki lebih banyak informasi
mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan.
Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang
dimiliki oleh pemegang saham dan manajer. Kondisi ini dikenal dengan
asimetri informasi (asymmetric information). Dengan adanya asimetri
informasi tersebut, manajemen mendapatkan dorongan untuk memaksimalkan
kepentingan pribadinya dengan memanfaatkan keterbatasan informasi yang
dimiliki pemegang saham. Oleh karena itu manajemen tidak akan selalu
12

bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh pemegang saham, contohnya


seorang manajer akan memiliki alternatif pencatatan akuntansi yang akan
memperbesar laba akuntansi ketika bonus yang akan didapatkan oleh manajer
tersebut bersumber pada laba perusahaan, alternatif ini akan membuat bonus
manajer semakin besar dan menurunkan kekayaan pemegang saham.
Masalah agensi yang kedua akan terjadi apabila terdapat pemegang
saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas
akan muncul pada saat pemegang saham secara aktif menginvestasikan
sumber dayanya dalam jumlah besar untuk mengontrol suatu perusahaan
secara langsung maupun tidak langsung sehingga kepemilikan akan
terkonsentrasi pada suatu entitas atau individu tertentu. Pergeseran konflik ini
terjadi karena pemegang saham mayoritas dapat mengendalikan manajemen
agar membuat keputusan yang menguntungkan pemegang saham mayoritas,
tanpa memikirkan kepentingan seluruh pemegang saham termasuk pemegang
saham minoritas. Pemegang saham mayoritas memiliki kendala absolute
sehingga dapat melakukan tindakan yang menguntungkan pemegang saham
mayoritas tetapi merugikan pemegang saham minoritas.
Adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi yang terjadi antara
pemegang saham dan manajer mendorong manajer untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya kepada pemegang saham terutama jika
informasi yang disajikan tersebut berhubungan dengan pengukuran kinerja
manajemen. Hal ini mendorong manajer menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui oleh pemegang saham sehingga digunakan
untuk kepentingan diri sendiri. Konflik kepentingan tersebut dapat
menyebabkan timbulnya suatu biaya yang disebut dengan agency cost. Biaya
keagenan (agency cost) adalah biaya yang dikeluarkan pemilik untuk
mengatur dan mengawasi kinerja para manajer sehingga mereka bekerja
untuk kepentingan perusahaan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa
hubungan keagenan terjadi ketika satu atau lebih individu yang disebut
sebagai prinsipal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut agen,
untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk
13

membuat keputusan kepada agen tersebut. Adanya pemisahan kepemilikan


oleh principal dengan pengendalian agen dalam sebuah organisasi cenderung
menimbulkan konflik keagenan diantara principal dan agen, konflik yang
terjadi kemungkinan dikarenakan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan. Pada teori ini
membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan
residual cost. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh
prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati
dan mengontrol perilaku agen. Bonding cost merupakan biaya yang
ditanggung oleh agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal.
Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya
kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan. Dengan
laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan
dapat meminimalkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan.
Dengan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai
pertanggungjawaban kinerjanya, principal dapat menilai, mengukur dan
mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen.

2.1.1.2. Teori Sinyal (Signalling Theory)


Signalling theory dijelaskan yang menurut Thiono (2012) menyatakan
bahwa pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi lebih baik mengenai
perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut
kepada calon investor agar harga saham perusahaannya meningkat dan Wolk
dalam Thiono (2012), menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai
dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak
eksternal, yang dimotivasi karena asimetris informasi (asymmetri
information) antara perusahaan dan pihak luar, dimana informasi yang
diberikan dapat di respon sebagai sinyal positif atau negatif oleh perusahaan.
Perusahaan (agent) mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan
(principal) dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor,
14

kreditor). Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan


menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga
yang rendah untuk perusahaan.

2.1.1.3. Penghindaran pajak (Tax avoidance )


Penghindaran Pajak (tax avoidance ) adalah “arrangement of a
transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a
manner unintended by the tax law” (Brown, 2012). Untuk memperjelas,
penghindaran pajak umumnya dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax
evasion), di mana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan cara-cara
yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak
sedangkan penghindaran pajak (tax avoidance) dilakukan secara “legal”
dengan memanfaatkan celah yang terdapat dalam peraturan perpajakan yang
ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan transaksi yang
tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.
Penghindaran pajak merupakan salah satu upaya meminimalisasi
beban pajak yang sering dilakukan oleh perusahaan, karena masih berada
dalam bingkai peraturan perpajakan yang berlaku. Meski penghindaran pajak
bersifat legal, dari pihak pemerintah tetap tidak menginginkan hal tersebut.
Fenomena penghindaran pajak di Indonesia dapat dilihat dari rasio pajak (tax
ratio) negara Indonesia. Rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah
dalam mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali PDB dari
masyarakat dalam bentuk pajak. Semakin tinggi rasio pajak suatu negara,
maka semakin baik kinerja pemungutan pajak negara tersebut (Darmawan
dan Sukartha, 2014).
Menurut Fadhilah (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) telah menyebutkan tiga karakter penghindaran pajak
yaitu:
1) Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seakan-akan
terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena
ketiadaan faktor pajak.
15

2) Memanfaatkan loopholes dari Undang-Undang atau menerapkan


ketentuan -ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu
yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat Undang-Undang.
3) Para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan
penghindaran pajak dengan syarat wajib pajak.

Contoh kasus penggelapan pajak antara lain:


a. melaporkan omset lebih kecil dari yang seharusnya,
b. transaksi ekspor fiktif,
c. pemalsuan dokumen keuangan perusahaan,
d. menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya
fiktif,
e. melakukan mark up nilai barang yang diimpor.
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku, masih terdapat celah-celah
(loopholes) yang dapat dimanfaatkan perusahaan agar perusahaan dapat
membayar pajak secara optimal dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan
antara lain:
a. memilih bentuk usaha yang memiliki tarif pajak terendah,
b. memilih alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak
terendah, misalnya: Biaya Perjalanan Dinas yang dikeluarkan oleh
perusahaan sebaiknya tidak diberikan dalam bentuk lump sum,
melainkan dengan cara reimbursement. Karena jika diberikan dalam
bentuk lump sum, maka merupakan objek PPh Pasal 21 bagi
karyawan yang melakukan perjalanan dinas,
c. memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar,
d. merinci transaksi biaya yang merupakan objek pemotongan PPh dan
yang bukan objek pemotongan PPh, misal: Biaya Pemeliharaan
Kendaraan (ganti oli kendaraan), antara biaya oli dengan biaya
service bengkel dirinci secara jelas, sehingga yang merupakan objek
pemotongan PPh adalah biaya service-nya saja.
Masih banyak cara-cara yang bisa dilakukan dalam rangka melakukan
penghindaran pajak dan penghematan pajak dengan cara legal yang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Laba bersih
yang tinggi diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi,
kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan
16

pembayaran yang optimal. Wajib pajak pribadi atau badan akan dikenakan
tarif pajak yang merupakan persentase tertentu yang telah ditentukan dalam
peraturan pajak dalam menentukan jumlah pajak yang terutang. Lalu yang
dimaksud tarif pajak efektif atau effective tax rate (ETR) adalah persentase
tarif pajak yang berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak
tertentu (Waluyo, 2014). ETR didefinisikan sebagi rasio beban pajak untuk
tujuan laporan keuangan terhadap pendapatan sebelum pajak (Halperin dan
Sansing, 2005). Cash Effective Tax Rate (CETR) merupakan cara untuk
mengukur tax avoidance dengan rasio pembayaran pajak secara kas (cash
taxes paid) atas laba perusahaan sebelum pajak penghasilan (pretax income).

2.1.1.4. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan rasio utama dalam seluruh laporan keuangan,
karena tujuan utama perusahaan adalah hasil operasi/ keuntungan.
Keuntungan adalah hasil akhir dari kebijakan dan keputusan yang diambil
manajemen. Rasio keuntungan akan digunakan untuk mengukur keefektifan
operasi perusahaan sehingga menghasilkan keuntungan pada perusahaan.
Rasio profitabilitas sangat penting bagi semua pengguna laporan
tahunan, khususnya investor ekuitas dan kreditor. Bagi investor ekuitas, laba
merupakan satu-satunya faktor penentu perubahan nilai efek/sekuritas.
Pengukuran dan peramalan laba merupakan pekerjaan paling penting bagi
investor ekuitas. Bagi kreditor, laba dan arus kas operasi umumnya
merupakan sumber pembayaran bunga dan pokok.
Menurut Kasmir (2016), Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk
menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga
memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini
ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan
investasi. Penelitian ini menggunakan ROA untuk mengukur tingkat
profitabilitas perusahaan, karena ROA menunjukkan efektifitas perusahaan
dalam mengelola aktiva baik modal sendiri maupun dari modal pinjaman,
investor akan melihat seberapa efektif perusahaan dalam mengelola aset.
17

ROA juga mampu mengukur kemampuan perusahaan manghasilkan


keuntungan pada masa lampau untuk kemudian diproyeksikan di masa yang
akan datang. Semakin tinggi ROA, semakin tinggi keuntungan perusahaan
sehingga semakin baik pengelolaan aset perusahaan. Kasmir (2016)
mengatakan bahwa “ Rasio Profitabilitas merupakan rasio untuk menilai
kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan”. Dalam praktiknya,
jenis-jenis rasio profitabilitas yang dapat digunakan, adalah:

1. Profit Margin (profit margin on sales)


Profit Margin on Sales atau Ratio Profit Margin atau
margin laba atas penjualan merupakan salah satu rasio yang
digunakan untuk mengukur margin laba atas penjualan. Jika angka
rasio lebih tinggi, maka menunjukan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu, atau
sebaliknya jika rasio rendah maka perusahaan dianggap tidak
efektif.

Gambar 2.1
Rumus Profit Margin on Sales

Penjualan Bersih – HPP


Profit Margin on Sales = X 100%
Sales

2. Return on Assets (ROA)


Return on assets menunjukan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba bersih dari aktiva yang dipergunakan. Dengan
mengetahui rasio ini, akan dapat diketahui apakah perusahaan
efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional
perusahaan. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik
produktivitas asset dalam memperoleh keuangan bersih.

Gambar 2.2
Rumus Return On Assets
18

Laba setelah pajak


ROA = X 100%
Total Assets

3. Return on Equity (ROE)


Return on Equity (ROE) merupakan rasio untuk mengukur
laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini
menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri.Semakin tinggi
rasio ini, semakin baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin
kuat, demikian pula sebaliknya.

Gambar 2.3
Rumus Return on Equity

Earning After Interest and Tax


ROE = X 100%
Equity

4. Laba per lembar saham


Rasio laba per lembar saham atau disebut juga rasio nilai
buku merupakan rasio untuk mengukur keberhasilan manajemen
dalam mencapai keuntungan bagi pemegang saham. Rasio ini
diukur dengan membandingkan laba bersih perusahaan dengan
jumlah saham yang beredar.

Gambar 2.4
Rumus Laba per Lembar Saham

Laba
Laba per Lembar Saham = X 100%
Saham yang beredar

2.1.1.5. Leverage
Rasio leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa besar
perusahaan dibiayai dengan utang. Sedangkan dalam arti luas Kasmir (2016)
19

mengatakan bahwa rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan


perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka panjang
maupun jangka pendek apabila perusahaan dilikuidasi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa leverage digunakan oleh suatu perusahaan bukan hanya
untuk membiayai aktiva, modal serta menanggung beban tetap melainkan
juga untuk memperbesar penghasilan.
Socio dan Nigro (2012) menyebutkan karakteristik tingkat perusahaan
dan hubungan dengan leverage bervariasi sesuai dengan pandangan yang
berbeda dari teori keuangan, yaitu:

1. The trade-off theory


Teori ini menyatakan bahwa perusahaan memilih leverage yang
optimal setelah membandingkan kerugian dan keuntungan yang
akan diperoleh dengan utang atau ekuitas.

2. The pecking order theory


Teori ini berhubungan dengan masalah informasi asimetris yang
menegaskan bahwa nilai optimal leverage tidak ada.

2.1.1.6. Konsep Corporate Governance


Banyak definisi mengenai corporate governance yang telah
dikemukakan baik oleh para ahli perorangan, institusi maupun badan-badan
berwenang lainnya dari dalam maupun luar negeri. Corporate governance
sendiri tercipta karena akibat adanya principal-agent problem. Pemegang
saham sebagai principal memiliki modal untuk diinvestasikan, tetapi
pemegang saham tidak memiliki kapasitas atau waktu untuk bisa mengelola
modal yang dimilikinya. Oleh karena itu, pemegang saham memperkerjakan
pihak profesional yaitu manajemen untuk mengelola modalnya. Tugas dari
manajemen sebagai agent adalah memaksimalkan kekayaan pemegang
saham. Namun, manajemen memiliki insentif untuk melakukan hal-hal lain
selain memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Disinilah letak
pentingnya corporate governance, yaitu sebagai penjamin dilindunginya hak-
20

hak pemegang saham. Masalah antara manajemen dan pemilik modal ini
tentu saja menimbulkan biaya-biaya.
Seiring dengan konsep tersebut, terdapat beberapa pengertian untuk
memperjelas mengenai corporate governance. Menurut Fadhilah (2014)
memaparkan bahwa corporate governance adalah sebuah struktur, sistem,
dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk
memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam
jangka waktu yang cukup panjang.
Menurut Maharani dan Suardana (2014) corporate governance adalah
sutau mekanisme administratif yang mengatur tentang suatu hubungan-
hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham
dan kelompok kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-
hubungan ini ditunjukan dalam bentuk berbagai ketentuan dan sistem intensif
sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk menentukan tujuan-tujuan
perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja
yang dihasilkan
Penerapan corporate governance sudah banyak diterapkan oleh
perusahan-perusahaan di seluruh dunia, termasuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Penerapan praktik corporate governance dalam Badan Usaha Milik
Negara diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-
MBU/2002 pasal 1 tentang penerapan praktik corporate governance pada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berdasarkan peraturan tersebut
dijelaskan bahwa corporate governance adalah:
“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya serta berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.”
Dari semua pengertian yang telah dijelaskan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa corporate governance yaitu :
1. Merupakan suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis
antara peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para
stakeholder lainnya.
21

2. Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas


pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

a. Prinsip- Prinsip Good Corporate Governance


Ada lima prinsip-prinsip dasar corporate governance yang
dikenal dengan TARIF yaitu transparency, accountability,
responsibility, independency dan fairness. Pieris dan Wiryawan
(2008) menjabarkan prinsip-prinsip GCG tersebut sebagai berikut:

a. Transparency (Keterbukaan Informasi)


Transparansi yaitu keterbukaan informasi, baik
dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Dalam mewujudkan transparency ini,
perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup
akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan tersebut.
Manfaat yang dapat dipetik dari prinsip ini yaitu
stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin
terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan.
Jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan
tepat, akan dimungkinkan terhindarnya bauran
kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam
manajemen.
22

b. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur,
sistem, dan pertanggung jawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif. Salah satu implementasi prinsip ini yaitu
kewajiban untuk memiliki komisaris independen dan
komite audit serta memberdayakan fungsi pengawasan
dewan komisaris. Bila prinsip accountability ini
diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak
dan kewajiban, wewenang, tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan
adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar
dari agency problem (benturan kepentingan peran).

c. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah
kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku. Penerapan prinsip ini
dimaksudkan agar perusahaan menyadari bahwa dalam
kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak
negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat.

d. Independency (Kemandirian)
Independensi adalah suatu keadaan dimana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapn
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Untuk meningkatkan independensi, maka perusahaan
23

hendaknya mengembangkan aturan, pedoman, dan


praktik di tingkat corporate board terutama di tingkat
dewan komisaris dan direksi.

e. Fairness (Kewajaran)
Kewajaran bisa didefinisikan sebagai perlakuan
yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak
stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip
fairness sangat diperlukan karena sering kali muncul
benturan kepentingan antara manajemen dan pemegang
saham maupun antara pemegang saham mayoritas dan
pemegang saham minoritas agar fairness dapat
diberlakukan secara efektif, maka harus adanya peraturan
perundang-undangan yang jelas, tegas, dan dapat
diterapkan secara konsisten.

b. Manfaat Penerapan Good Corporate Governance


Dalam penerapan Good Corporate Governance mempunyai
berbagai manfaat. menurut Forum of Corporate Governance in
Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat yang diperoleh, antara
lain :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya
proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan
peningkatan efisiensi operasional perusahaan serta lebih
meningkatkan pelayanan terhadap stakeholders;
2. Mempermudah perolehan dana pembiayaan yang lebih
murah hingga dapat lebih meningkatkan corporate value;
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk
menanamkan modal di Indonesia;
24

4. Pemegang saham akan merasa puas atas kinerja


perusahaan karena akan meningkatkan shareholders
value dan deviden.

c. Karakteristik Corporate Governance


Efisiensi dan efektifitas corporate governance sebagai
suatu sistem pengelolaan perusahaan dipengaruhi oleh beberapa
karakteristik. Karakteristik corporate governance terbagi dalam
dua bagian yaitu internal governance dan external governance
seperti yang dijelaskan Jensen dan Meckling (1976). Internal
governance meliputi struktur dewan direksi, kepemilikan
manajerial dan kompensasi eksekutif. Sedangkan external
governance terdiri dari institusional ownership, pasar dan tingkat
pendanaan dengan hutang (debt financing). Karakteristik tersebut
berguna untuk menyelesaikan konflik agensi yang terjadi di
Indonesia.
Karakteristik corporate governance berdasarkan Keputusan
Direksi PT Bursa Efek Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang
Peraturan Nomor I-A Tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat
Ekuitas Selain Saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat
wajib memiliki saham sebagai berikut :

1. Komisaris independen yang jumlahnya secara


proporsional sebanding dengan jumlah saham yang
dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan
ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh
komisaris.

2. Komite audit dimana anggotanya minimal berjumlah 3


(tiga) orang dan diketuai oleh seorang komisaris
independen.
25

3. Seketaris perusahan.
Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini
memadukan tentang karakteristik corporate governace
dari internal maupun eksternal. Karakteristik corporate
governance yang digunakan adalah dewan komisaris
independen dan kepemilikan institusional.

2.1.1.6.1. Kepemilikan Institusional


Kepemilikan institusional merupakan suatu kepemilikan saham yang
dimiliki oleh suatu institusi atau lembaga seperti pemerintah, perusahaan
asuransi, investor luar negeri, bank dan kepemilikan institusi lain, kecuali
kepemilikan individual (Dewi dan Jati, 2014). Karena adanya tanggung jawab
suatu perusahaan kepada pemegang saham, maka pemilik instusional
memiliki insentif untuk memastikan bahwa manajemen perusahaan membuat
keputusan yang akan memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Pada
pengungkapan suka rela menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan
institusional yang lebih besar lebih memungkinkan untuk mengeluarkan,
meramalkan dan memperkirakan sesuatu lebih spesifik, akurat dan optimis
(Khurana dan Moser ,2013). Pemilik institusional ikut serta dalam
pengawasan dan pengelolaan perusahaan namun pemilik institusional
mempercayakan pengawasan dan pengelolaan tersebut kepada dewan
komisaris karena itu merupakan tugas dewan komisaris yang mewakili
pemilik institusional.

2.1.1.6.2. Dewan Komisaris Independen


Menurut Fadhilah (2014), komisaris independen didefinisikan sebagai
seorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham
pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direksi atau dewan
komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada suatu perusahaan yang
terkait dengan perusahaan pemilik dan pengawasan terhadap performa
manajemen perusahaan. Berdasarkan Peraturan BI No.8/4/PBI/2006,
26

komisaris independen merupakan bagian dari dewan komisaris yang memang


benar-benar berada dalam posisi netral dan tidak memiliki hubungan keluarga
atau hubungan kepentingan dengan komisaris lainnya atau direksi atau pihak
yang dapat mengurangi posisi independensinya.
Salah satu fungsi utama dari komisaris independen adalah untuk
menjalankan fungsi monitoring yang bersifat independen terhadap kinerja
manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris dapat menyeimbangkan
kekuatan pihak manajemen (terutama CEO) dalam pengelolaan perusahaan
melalui fungsi monitoring-nya.
Independensi merupakan salah satu elemen penting yang
mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris independen. Untuk lebih
meningkatkan efektifitas komisaris independen, jumlah komisaris independen
dalam satu perusahaan ditetapkan paling sedikit 30% dari jumlah seluruh
komisaris atau paling sedikit 1 (satu) orang. Keberadaan komisaris
independen dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang lebih obyektif dan
independen, untuk menjaga fairness, serta mampu memberikan keseimbangan
antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap
kepentingan pemegang minoritas, bahkan kepentingan para stakeholder
lainnya (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006).
]
2.1.1.7. Ukuran Perusahaan
Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga
mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan,
sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat.
Menurut Annisa (2017), ukuran perusahaan adalah suatu skala atau nilai yang
dapat mengklasifikasikan suatu perusahaan ke dalam kategori besar atau kecil
berdasarkan total aset, log size, dan sebagainya. Keputusan ketua Bapepam
No. Kep. 11/PM/1997 menyebutkan perusahaan kecil dan menengah
berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total
aktiva tidak lebih dari seratus milyar, sedangkan perusahaan besar adalah
badan hukum yang total aktivanya diatas seratus milyar. Perusahaan besar
biasanya lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding
perusahaan dengan total aset yang kecil. Pada dasarnya ukuran perusahaan
27

hanya terbagi pada tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm),
perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm).
Penentuan perusahaan ini didasarkan pada total asset perusahaan
(Machfoedz, 1994). Kategori ukuran perusahaan yaitu:

a. Perusahaan Besar
Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki kekayaan
bersih lebih besar dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan.
Memiliki penjualan lebih dari Rp 50 Milyar/tahun.

b. Perusahaan Menengah
Perusahaan menengah adalah perusahaan yang memiliki kekayaan
bersih Rp 1-10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki hasil
penjualan lebih besar dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar.

c. Perusahaan Kecil
Perusahaan kecil adalah perusahaan yang memiliki kekayaan
bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan
dan memiliki hasil penjualan minimal Rp 1Milyar/tahun.

2.1.2. Penelitian Terdahulu


Pada penelitian yang dilakukan oleh Annisa (2017), Return on Asset
(ROA) dan leverage berpengaruh terhadap penghindaran pajak yang
dilakukan perusahaan. Ukuran perusahaan dan koneksi politik tidak
berpengaruh terhadap penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan.
Penelitian Annisa dan Kurniasih (2012) menunujukan, Komite audit
dan kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
Kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, dan dewan
komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance .
Swingly dan Sukartha (2015), Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
karakter eksekutif dan ukuran perusahaan berpengaruh positif pada tax
avoidance , sedangkan leverage berpengaruh negatif pada tax avoidance .
Variabel komite audit dan sales growth tidak berpengaruh pada tax
avoidance.
28

Menurut Kurniasih dan Sari (2013), Hasil penelitian ini menunjukan


bahwa Return on Assets, Leverage, Corporate Governance. Ukuran
Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal berpengaruh signifikan secara
simultan terhadap tax avoidance perusahaan manufaktur di BEI periode
2007-2010; Return On Assets (ROA), ukuran perusahaan dan kompensasi
rugi fiskal berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tax avoidance
sedangkan leverage dan corporate governance tidak berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap tax avoidance .
Pada penelitian Ardyansah dan Zulaikha (2014), Hasil dari penelitian
ini adalah variabel size (ukuran perusahaan), variabel leverage, variabel
komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective
tax rate (ETR), sedangkan variabel profitability dan variabel capital intensity
ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate
(ETR).
Penelitian yang diperoleh Damayanti dan Susanto (2015), Risiko
perusahaan dan Return on Assets (ROA) berpengaruh terhadap tax avoidance.
Komite audit, kualitas audit dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance .
Menurut Maharani dan Suardana (2014), Dewan komisaris
independen, kualitas audit, komite audit, dan Return on Assets (ROA)
berpengaruh negatif terhadap tax avoidance. Risiko perusahaan berpengaruh
positif terhadap tax avoidance. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance.
Harrigton dan Smith (2014), Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
Coporate capital structure berpengaruh terhadap penghindaran pajak,
penelitian ini umumnya lebih kuat ketika perusahaan melakukan
penghindaran pajak diidentifikasi oleh pengendalian industri. Penelitian ini
menawarkan kemungkinan alasan untuk mengharapkan pengaruh industri
pada jangka panjang ETR tunai (misalnya, perbedaan transfer pricing,
teknologi , anak perusahaan, dll ). Tes formal ini menyebabkan potensial pada
kas ETR jangka panjang yang tersisa untuk penelitian masa depan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2013), Hasil dari
penelitian ini menemukan bahwa adanya hubungan yang positif antara
29

Komisaris Independen, Komite Audit dan Investor Institutional terhadap


Effective Tax Rate.
Penelitian dari Noor et al. (2010), Ukuran perusahaan dan intensitas
persediaan berpengaruh positif terhadap ETR. Return on Assets (ROA),
leverage, dan intensitas aset tetap berpengaruh negatif terhadap ETR. Untuk
jenis bisnis perusahaan diperoleh hasil bahwa industri produk, perdagangan
dan jasa, produk konsumsi, pertanian, teknologi, dan properti memiliki ETR
yang rendah dibandingkan sektor lainnya.
Fadhilah (2014) menunjukan hasil penelitiannya yaitu, kepemilikan
institusional dan proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
tax avoidance. Komite audit berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
Kualitas audit berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.
Pada penelitian Richardson dan Lanis (2007), Pengaruh leverage
terhadap tax avoidance menyatakan bahwa untuk variabel leverage, karena
adanya beban bunga akan mengurangi pajak, maka semakin tinggi nilai utang
jangka perusahaan maka nilai ETR perusahaan akan semakin rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewinta dan Setiawan (2016), Hasil
ini menunjukan bahwa Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, Profitabilitas
dan Pertumbuhan Penjualan berpengaruh positif terhadap Tax avoidance .
Namun, variabel Leverage tidak berpengaruh terhadap Tax avoidance .

2.2. Rerangka Konseptual


Secara singkat penelitian ini menerangkan bagaimana pengaruh
profitabilitas, leverage, kepemilikan institusional dan dewan komisaris
independen terhadap penghindaran pajak dengan ukuran perusahaan sebagai
variabel moderasi pada perusahaan yang terdaftar di BEI periode tahun 2012-
2016. Teori agensi adalah teori yang menyatakan adanya hubungan antara
pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dan pihak yang menerima
wewanang (agen). Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu akan
bertindak untuk kepentingan mereka sendiri yaitu sang agen (Anthony dan
Govindarajan, 2011). Seperti sifat dasar manusia yang selalu mementingkan
diri sendiri dari pada orang lain, sehingga dapat mendorong untuk berperilaku
30

dan bertidak untuk kepentingan sendiri. Sistem perpajakan di Indonesia yang


menggunakan self assessment system yaitu wewenang yang diberikan oleh
pemerintah untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
pajak sendiri. Penggunaaan dari self assessment system dapat memberikan
kesempatan pihak agen untuk menghitung penghasilan kena pajak yang
serendah mungkin, sehingga beban pajak yang ditanggung perusahaan
menjadi turun. Hal ini dilakukan pihak agen karena adanya asimetirs
informasi terhadap pihak prinsipal, dengan melakukan manajemen pajak
maka pihak agen akan memperoleh keuntungan tersendiri yang tidak bisa
didapatkan dari kerjasama dengan pihak prinsipal.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat rerangka konseptual
untuk mempermudah menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini, hal
tersebut dapat dijelaskan pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.5 Rerangka Konseptual

Variabel Independen
Profitabilitas H1

Variabel Dependen
H2
Leverage

Penghindaran Pajak
Corporate Governance
H3

Kepemilikan Institusional

H4
Dewan Komisaris Independen H5
Ukuran
H6 Perusahaan
H7 H8 H9

Variabel Moderasi

2.3. Pengembangan Hipotesis


Terdapat sembilan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
mengenai hubungan profitabilitas, leverage, kepemilikan institusional dan
komisaris independen dengan variabel terikat yaitu penghindaran pajak (tax
31

avoidance) dan ukuran perusahaan sebagai variabel moderasi seperti


disebutkan di bawah ini :

2.3.1. Pengaruh Profitabilitas terhadap Penghindaran Pajak

Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan


bahwa perusahaan tersebut mampu mengelola asetnya dengan baik sehingga
mempunyai lebih banyak insentif pajak dan kesempatan untuk melakukan
perencanaan pajak. Seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 36
Tahun 2008 pasal 6 ayat (1b) yang menjelaskan bahwa penyusutan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun dapat dijadikan pengurang laba kena pajak
perusahaan, sehingga beban pajak perusahaan menjadi rendah. Jika dikaitkan
dengan teori sinyal maka perusahaan dapat mengatur laba nya dengan baik
sehingga memberikan sinyal baik pada pihak luar terhadap perusahaan.
Hasil penelitian Annisa (2017) menemukan adanya pengaruh
profitabilitas terhadap effective tax rate, Semakin tinggi nilai ROA berarti
semakin baik kinerja perusahaan dengan menggunakan aset sehingga
diperolehnya laba yang besar. Laba yang meningkat berakibat pada ROA
yang juga meningkat. Profitabilitas perusahaan dengan penghindaran pajak
akan memiliki hubungan yang positif dan apabila perusahaan ingin
melakukan penghindaran pajak maka harus semakin efisien dari segi beban
sehingga tidak perlu membayar pajak dalam jumlah besar. Perusahaan yang
memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk memposisikan diri
dalam tax planning yang mengurangi jumlah beban kewajiban perpajakan
(Chen et al., 2010). Apabila rasio profitabilitas tinggi, berarti menujukkan
adanya efisiensi yang dilakukan oleh pihak manejemen. Laba yang meningkat
mengakibatkan profitabilitas perusahaan juga meningkat, sehingga jumlah
pajak yang harus dibayarkan juga meningkat atau dapat dikatakan ada
kemungkinan upaya dari perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak.
32

Pada penelitian Maharani dan Suardana (2014), mendapatkan hasil


yang berbeda, yaitu Return on Assets (ROA) merupakan satu indikator yang
mencerminkan performa keuangan perusahaan, semakin tinggi nilai ROA,
maka akan semakin bagus performa perusahaan tersebut. Perusahaan yang
memperoleh laba diasumsikan tidak melakukan tax avoidance karena mampu
mengatur pendapatan dan pembayaran pajaknya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1: profitabilitas berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak.

2.3.2. Pengaruh Leverage terhadap Penghindaran Pajak

Leverage yaitu penggunaan dana dari pihak eksternal berupa hutang


untuk membiayai investasi dan asset perusahaan. Diindikasikan yaitu
semakin tinggi rasio leverage, berarti semakin tinggi utang pada pihak ketiga
dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari utang tersebut. Jika
dikaitkan dengan teori sinyal maka perusahaan dapat mengatur utangnya
dengan baik sehingga dapat membayar pajak lebih sedikit dan memberikan
sinyal baik pada pihak luar terhadap perusahaan.
Hasil penelitian Richardson dan Lanis (2007); Kurniasih dan Sari
(2013) dan Darmawan dan Sukartha (2014) menyatakan bahwa leverage
berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak. Ketika perusahaan lebih
banyak mengandalkan pembiayaan dari hutang daripada pembiayaan yang
berasal dari ekuitas untuk operasinya, maka perusahaan akan memiliki ETR
yang lebih rendah. Hal ini karena perusahaan yang mempunyai tingkat hutang
yang lebih tinggi, akan membayar bunga pajak yang lebih tinggi sehingga
membuat nilai ETR menjadi lebih rendah. Hal ini dikarenakan tingkat
leverage yang tinggi akan mengakibatkan beban pajak yang rendah dimana
biaya bunga yang ditimbulkan oleh pembiayaan dengan hutang merupakan
biaya yang dapat dikurangkan dari pajak (tax deductible). Hal ini membuat
33

perusahaan lebih memilih untuk melakukan kegiatan modal dengan hutang


supaya dapat memanfaatkan keuntungan dari beban pajak yang ditimbulkan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada


penelitian ini adalah sebagai berikut:

H2: Leverage berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak.

2.3.3. Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Penghindaran


Pajak
Kepemilikan Institusional adalah saham perusahaan yang dipegang
oleh institusi lain. Pemilik institusional mempunyai tugas memantau,
mendisiplinkan dan mempengaruhi agen, dan hal ini sesuai dengan teori
keagenan yaitu adanya asimetri informasi terhadap prinsipal dan agen, agar
agen dapat mendapatkan laba yang besar sehingga menguntungkan pemilik
institusional diindikasikan adanya penghindaran pajak yang dilakukan agen,
karena tekanan dari pemilik untuk mendapatkan laba yang optimal. Institusi
ini merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap
investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Annisa dan Kurniasih
(2012) menemukan bahwa pemilik institusional memainkan peran penting
dalam memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer. Seharusnya
hal ini dapat memaksa manajemen untuk menghindari perilaku
mementingkan diri sendiri, tapi pemilik institusional ini juga memiliki
insentif untuk memastikan bahwa manajemen membuat keputusan yang dapat
memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham institusional, karena
terkonsentrasinya struktur kepemilikan belum mampu memberikan kontrol
yang baik terhadap tindakan manajemen atas sikap opportunities-nya dalam
melakukan manajemen laba. Keberadaan pemilik institusional tersebut
mengindikasikan adanya tekanan dari pihak institusional kepada manajemen
perusahaan untuk melakukan kebijakan pajak yang agresif untuk
memaksimalkan perolehan laba untuk investor institusional. Kepemilikan
institusional di duga dapat mempengaruhi adanya penghindaran pajak pada
34

perusahaan, dalam penelitian Desai dan Dharmapala (2009) menyatakan


kepemilkan institusional adalah ukuran utama dalam corporate governance
dalam menengahi adanya penghindaran pajak pada perusahaan yang
mempengaruhi nilai perusahaan, dengan adanya kontrol dan tingkat
pengawasan yang tinggi dari kepemilikan institusional akan memberikan
aspek positif pada penghindaran pajak, yaitu adanya perencanaan pajak yang
lebih baik yang dapat mengakibatkan penurunan hutang pajak dan laba bersih
yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai perusahaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H3: Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap penghindaran


pajak.

2.3.4. Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Penghindaran


Pajak
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa komisaris diangkat berdasarkan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi
dengan pemegang saham utama, anggota direksi atau dewan komisaris lainnya.
Komisaris independen menjadi penengah antara manajemen perusahaan dan
pemilik perusahaan dalam mengambil kebijakan agar tidak melanggar hukum
termasuk strategi yang terkait, tetapi karena adanya perbedaan kepentingan
agen malah melakukan kepentingan demi diri sendiri yaitu melakukan
penghindaran pajak karena mengoptimalkan laba yang diinginkan pemilik yang
menyebabkan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pemilik dan agen, hal ini
sesuai dengan teori keagenan. Penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2013)
yang menyatakan terdapat hubungan positif antara komisaris independen
dengan effective tax rate (ETR) dengan menunjukkan bahwa pengawasan yang
dilakukan oleh komisaris independen dilakukan agar tidak terjadi asimetri
informasi yang terjadi antara manajemen perusahaan dengan para stakeholder.
Adanya komisaris independen didalam perusahaan akan membuat setiap
perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan komisaris beserta
35

manajemen perusahaan dan para stakeholder akan memberikan jaminan hasil


yang efektif dan efisien termasuk pada kebijakan mengenai besaran tarif pajak
efektif perusahaan, kemungkinan manajemen memilih penghindaran pajak
sebagai bentuk pengoptimalan laba untuk pemilik. Hasil ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah dan Zulaikha (2014) menemukan
hasil komisaris independen berpengaruh signifikan positif terhadap effective
tax rate (ETR) dan menyatakan bahwa proporsi komisaris independen yang
semakin besar dapat berpengaruh pada beban pembayaran pajak yang lebih
tinggi karena perusahaan cenderung akan melaporkan jumlah pajak sesuai
dengan tarif pajak yang berlaku terhadap keuntungan yang diperoleh
perusahaan.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Diantari dan Ulupui (2016)
menyatakan Komisaris independen berpengaruh negatif terhadap penghindaran
pajak (tax avoidance). Semakin besar jumlah ukuran dewan komisaris maka
dimungkinkan akan semakin besar pula tindakan pajak agresif yang dilakukan
oleh perusahaan. Kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris
mampu meningkatkan pengawasan kinerja direksi dimana dengan semakin
banyaknya komisaris independen maka pengawasan dari manajemen akan
semakin ketat. Pengawasan yang semakin ketat akan membuat manajemen
bertindak lebih berhati - hati dalam mengambil keputusan dan transparan
dalam menjalankan perusahaan sehingga tax avoidance dapat diminimalkan.
Secara aktif komisaris independen dapat mendorong manajemen untuk
mematuhi peraturan perundangan pajak yang berlaku dan mengurangi risiko
seperti rendahnya kepercayaan investor dan menurunnya reputasi perusahaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H4: Dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap


penghindaran pajak.
36

2.3.5. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak

Adanya perusahaan yang besar biasanya mereka terbebani dengan


adanya pembayaran pajak yang besar karena total aset dan laba mereka lebih
besar, sehingga perusahaan tersebut lebih memilih dalam menghindari pajak
untuk mengoptimalkan total asetnya, hal tersebut dapat mencerminkan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaran pajak dan hal ini
sesuai dengan teori sinyal, yang mengindikasikan perusahaan terkesan bagus
atau baik ketika pajak yang diterima perusahaan mempunyai nilai yang kecil.
Secara umum biasanya ukuran perusahaan diproksi dengan total asset karena
nilai total asset biasanya sangat besar dibandingkan variabel keuangan
lainnya, maka dengan tujuan untuk mengurangi peluang heteroskedastis,
variabel asset menjadi Log (asset) atau Ln (asset). Annisa (2017) mengatakan
bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2012-2015 dan menurut
Rusydi (2013) mengatakan bahwa fenomena penghindaran pajak tidak hanya
dilakukan oleh perusahaan besar saja, namun perusahaan skala menengah dan
kecil sekalipun akan mampu melakukan tindakan penghindaran pajak, namun
jumlahnya tidak terlalu berdampak pada pendapatan negara. Namun, menurut
Dewinta dan Setiawan (2016) mengatakan berbeda, yaitu semakin tinggi
aktivitas tax avoidance di perusahaan yang disebabkan karena perusahaan
dengan jumlah total aset yang relatif besar cenderung lebih mampu dan lebih
stabil dalam menghasilkan laba. Hal tersebut menimbulkan adanya
peningkatan jumlah beban pajak sehingga mendorong perusahaan untuk
melakukan praktik tax avoidance. Karena semakin besar ukuran
perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks. Jadi
hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan adanya celah-celah
untuk melakukan tindakan penghindaran pajak (tax avoidance) dari setiap
transaksi. Dengan demikian, perusahaan besar lebih memiliki aktivitas
operasi perusahaan yang lebih banyak dan rumit sehingga dimanfaatkan
dalam keputusan penghindaran pajak (tax avoidance).
37

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada


penelitian ini adalah sebagai berikut:

H5: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak.

2.3.6. Pengaruh Ukuran Perusahaan dalam Memoderasi Pengaruh


Profitabilitas dengan Penghindaran Pajak

Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap profit yang akan didapat


perusahaan, menurut Dewinta dan Setiawan (2016) mengatakan, yaitu
tingginya aktivitas tax avoidance di perusahaan yang disebabkan karena
perusahaan dengan jumlah total aset yang relatif besar cenderung lebih
mampu dan lebih stabil dalam menghasilkan laba. Hal tersebut menimbulkan
peningkatan jumlah beban pajak sehingga mendorong perusahaan untuk
melakukan praktik tax avoidance. Karena semakin besar ukuran
perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks. Jadi
hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan adanya celah-celah
untuk melakukan tindakan penghindaran pajak (tax avoidance) dari setiap
transaksi. Dengan demikian, perusahaan besar lebih memiliki aktivitas
operasi perusahaan yang lebih banyak dan rumit sehingga dimanfaatkan
dalam keputusan penghindaran pajak (tax avoidance). Jika dikaitkan dengan
teori sinyal maka perusahaan besar dapat mengatur laba nya dengan baik
sehingga memberikan sinyal baik pada pihak luar terhadap perusahaan.
Hasil penelitian Annisa (2017) menemukan adanya pengaruh positif
profitabilitas terhadap effective tax rate, Semakin tinggi nilai ROA berarti
semakin baik kinerja perusahaan dengan menggunakan aset sehingga
diperolehnya laba yang besar. Laba yang meningkat berakibat pada ROA
yang juga meningkat. Profitabilitas perusahaan dengan penghindaran pajak
akan memiliki hubungan yang positif dan apabila perusahaan ingin
melakukan penghindaran pajak maka harus semakin efisien dari segi beban
sehingga tidak perlu membayar pajak dalam jumlah besar. Perusahaan yang
memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk memposisikan diri
38

dalam tax planning yang mengurangi jumlah beban kewajiban perpajakan


(Chen et al., 2010). Apabila rasio profitabilitas tinggi, berarti menujukkan
adanya efisiensi yang dilakukan oleh pihak manejemen. Laba yang meningkat
mengakibatkan profitabilitas perusahaan juga meningkat, sehingga jumlah
pajak yang harus dibayarkan juga meningkat atau dapat dikatakan ada
kemungkinan upaya dari perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak.
Dapat disimpulkan bahwa adanya kinerja perusahaan yang semakin
baik dengan menggunakan aset sehingga diperolehnya laba yang besar. Laba
yang meningkat berakibat juga pada ROA yang juga meningkat dan
pengukuran perusahan diliat dari Log natural dari aset maka dari itu jika
perusahaan makin besar maka transaksi yang dilakukan akan semakin
kompleks. Jadi hal itu memungkinkan perusahaan besar mempunyai
profitabilitas yang tinggi dan hal ini ukuran perusahaan memperkuat
profitabilitas terhadap penghindaran pajak, karena perusahaan besar
mempunyai laporan keuangan yang kompleks sehingga dapat memanfaatkan
celah-celah yang ada untuk melakukan tindakan penghindaran pajak (tax
avoidance) dari setiap transaksi, karena perusahaan besar juga memiliki
profitabilitas yang tinggi maka beban pajaknya pun akan tinggi, yang
menyebabkan manajemen untuk melakukan perencanaan pajak dengan
melakukan penghindaran pajak agar tidak membayar pajak terlalu tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H6: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh profitabilitas terhadap


penghindaran pajak.

2.3.7. Pengaruh Ukuran Perusahaan dalam Memoderasi Pengaruh


Leverage dengan Penghindaran Pajak

Perusahaan yang besar biasanya akan memiliki utang yang besar juga,
menurut Dewinta dan Setiawan (2016) mengatakan, yaitu tingginya aktivitas
tax avoidance di perusahaan yang disebabkan karena perusahaan dengan
39

jumlah total aset yang relatif besar cenderung lebih mampu dan lebih stabil
dalam menghasilkan laba. Hal tersebut menimbulkan peningkatan jumlah
beban pajak sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan praktik tax
avoidance. Karena semakin besar ukuran perusahaannya, maka transaksi
yang dilakukan akan semakin kompleks. Jadi hal itu memungkinkan
perusahaan untuk memanfaatkan adanya celah-celah untuk melakukan
tindakan penghindaran pajak (tax avoidance ) dari setiap transaksi. Dengan
demikian, perusahaan besar lebih memiliki aktivitas operasi perusahaan yang
lebih banyak dan rumit sehingga dimanfaatkan dalam keputusan
penghindaran pajak (tax avoidance ). Jika dikaitkan dengan teori sinyal maka
perusahaan dapat mengatur utangnya dengan baik sehingga dapat membayar
pajak lebih sedikit dan memberikan sinyal baik pada pihak luar terhadap
perusahaan.
Dalam Penelitian Cahyono, Andini dan Raharjo (2016) menyatakan
Leverage adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan hubungan
antara hutang perusahaan terhadap modal maupun aset perusahaan. Rasio
leverage menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan oleh
perusahaan. Rasio leverage juga menunjukan risiko yang dihadapi
perusahaan. Seperti pada hasil penelitian Richardson dan Lanis (2007)
menyatakan bahwa ketika perusahaan lebih banyak mengandalkan
pembiayaan dari hutang daripada pembiayaan yang berasal dari ekuitas untuk
operasinya, maka perusahaan akan memiliki ETR yang lebih rendah. Hal ini
karena perusahaan yang mempunyai tingkat hutang yang lebih tinggi, akan
membayar bunga pajak yang lebih tinggi sehingga membuat nilai ETR
menjadi lebih rendah atau dapat dikatakan perusahaan melakukan
penghindaran pajak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran
perusahaan maka akan semakin tinggi tingkat penggunaan utang, semakin
besar ukuran perusahaan maka semakin besar kebutuhan pendanaannya dan
perusahaan dapat melakukan utang untuk mendanainya. Jadi, utang akan
meningkat seiring bertambahnya ukuran perusahaan. Perusahaan yang lebih
40

besar memiliki fasilitas lebih dalam memasuki pasar untuk mendapatkan


pembiayaan eksternal.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H7: Ukuran perusahaan memperlemah pengaruh leverage terhadap


penghindaran pajak.

2.3.8. Pengaruh Ukuran Perusahaan dalam Memoderasi Pengaruh


Kepemilikan Institusional dengan Penghindaran Pajak

Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham yang


dimiliki oleh institusi seperti pemerintah, perusahaan asuransi, investor luar
negeri, atau bank kecuali kepemilikan individual. Pemilik institusional
mempunyai tugas memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi agen, dan
hal ini sesuai dengan teori keagenan yaitu adanya asimetri informasi terhadap
prinsipal dan agen, agar agen dapat mendapatkan laba yang besar sehingga
menguntungkan pemilik institusional diindikasikan adanya penghindaran
pajak yang dilakukan agen, karena tekanan dari pemilik untuk mendapatkan
laba yang optimal. Perusahaan yang besar akan berpengaruh juga terhadap
kepemilikan institusional, menurut Dewinta dan Setiawan (2016)
mengatakan, yaitu semakin tingginya tax avoidance di perusahaan yang
disebabkan karena perusahaan dengan jumlah total aset yang relatif besar
cenderung lebih mampu dan lebih stabil dalam menghasilkan laba. Hal
tersebut menimbulkan peningkatan jumlah beban pajak sehingga mendorong
perusahaan untuk melakukan praktik tax avoidance. Karena semakin besar
ukuran perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin
kompleks. Dengan demikian, perusahaan besar lebih memiliki aktivitas
operasi perusahaan yang lebih banyak dan rumit sehingga dimanfaatkan
dalam keputusan penghindaran pajak (tax avoidance). Dalam hal ini pemilik
institusional ikut serta dalam pengawasan dan pengelolaan sehingga mereka
ingin meminimumkan pembayaran pajaknya dengan melakukan perencanaan
41

pajak dalam rangka ingin menghindari pajak yang seharusnya ditanggung


perusahaan. Cara yang dilakukan tidak melanggar aturan, karena lebih
memanfaatkan adanya peluang untuk mengambil keputusan tindakan
penghindaran pajak (tax avoidance) pada perusahaan. Pada hal tersebut
manajemen lebih memanfaatkan celah-celah yang ada pada peraturan
ketentuan undang-undang perpajakan untuk menghindari pajak.
Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh suatu institusional.
Menurut Annisa dan Kurniasih (2012) menemukan bahwa pemilik
institusional memainkan peran penting dalam memantau, mendisiplinkan dan
mempengaruhi manajer. Seharusnya hal ini dapat memaksa manajemen untuk
menghindari perilaku mementingkan diri sendiri, tapi pemilik institusional ini
juga memiliki insentif untuk memastikan bahwa manajemen membuat
keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham
institusional, karena terkonsentrasinya struktur kepemilikan belum mampu
memberikan kontrol yang baik terhadap tindakan manajemen atas sikap
opportunities-nya dalam melakukan manajemen laba. Keberadaan pemilik
institusional tersebut mengindikasikan adanya tekanan dari pihak institusional
kepada manajemen perusahaan untuk melakukan kebijakan pajak yang
agresif untuk memaksimalkan perolehan laba untuk investor institusional.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Desai dan Dharmapala (2009)
menyatakan kepemilkan institusional adalah ukuran utama dalam corporate
governance dalam menengahi adanya penghindaran pajak pada perusahaan
yang mempengaruhi nilai perusahaan, dengan adanya kontrol dan tingkat
pengawasan yang tinggi dari kepemilikan institusional akan memberikan
aspek positif pada penghindaran pajak, yaitu adanya perencanaan pajak yang
dapat mengakibatkan penurunan hutang pajak dan laba bersih yang lebih
tinggi sehingga mempengaruhi nilai perusahaan. Jadi semakin besar
perusahaan maka kepemilikan institusional akan lebih mengawasi dari
pengelolaan perusahaan maka tingkat pengawasan yang dilakukan akan tinggi
dari kepemilikan institusional dan memberikan aspek positif pada
penghindaran pajak, yaitu adanya perencanaan pajak yang lebih baik.
42

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada


penelitian ini adalah sebagai berikut:

H8: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh kepemilikan institusional


terhadap penghindaran pajak.

2.3.9. Pengaruh Ukuran Perusahaan dalam Memoderasi Pengaruh


Dewan Komisaris Independen dengan Penghindaran Pajak

Semakin besar perusahaan mempunyai banyak komisaris independen,


Pada hasil penelitian yang dilakukan Dewinta dan Setiawan (2016)
mengatakan, yaitu tingginya aktivitas tax avoidance di perusahaan yang
disebabkan karena perusahaan dengan jumlah total aset yang relatif besar
cenderung lebih mampu dan lebih stabil dalam menghasilkan laba. Hal
tersebut menimbulkan peningkatan jumlah beban pajak sehingga mendorong
perusahaan untuk melakukan praktik tax avoidance. Karena semakin besar
ukuran perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin
kompleks. Jadi hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan
adanya celah-celah untuk melakukan tindakan penghindaran pajak (tax
avoidance ) dari setiap transaksi. Dengan demikian, perusahaan besar lebih
memiliki aktivitas operasi perusahaan yang lebih banyak dan rumit sehingga
dimanfaatkan dalam keputusan penghindaran pajak (tax avoidance).
Komisaris independen menjadi penengah antara manajemen perusahaan dan
pemilik perusahaan dalam mengambil kebijakan agar tidak melanggar hukum
termasuk strategi yang terkait, tetapi karena adanya perbedaan kepentingan
agen malah melakukan kepentingan demi diri sendiri yaitu melakukan
penghindaran pajak karena mengoptimalkan laba yang diinginkan pemilik
yang menyebabkan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pemilik dan agen,
hal ini sesuai dengan teori keagenan. Penelitian yang dilakukan oleh Hanum
(2013) yang menyatakan terdapat hubungan positif antara komisaris
independen dengan effective tax rate (ETR) dengan menunjukkan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen dilakukan agar tidak
43

terjadi asimetri informasi yang terjadi antara manajemen perusahaan dengan


para stakeholder. Adanya komisaris independen didalam perusahaan akan
membuat setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan
komisaris beserta manajemen perusahaan dan para stakeholder akan
memberikan jaminan hasil yang efektif dan efsisen termasuk pada kebijakan
mengenai besaran tarif pajak efektif perusahaan sehingga pembayaran pajak
yang dilakukan perusahaan menjadi lebih efisien. Berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah dan Zulaikha (2014) menemukan
hasil komisaris independen berpengaruh signifikan positif terhadap effective
tax rate (ETR) dan menyatakan bahwa proporsi komisaris independen yang
semakin besar dapat berpengaruh pada beban pembayaran pajak yang lebih
tinggi karena perusahaan cenderung akan melaporkan jumlah pajak sesuai
dengan tarif pajak yang berlaku terhadap keuntungan yang diperoleh
perusahaan.
Jadi,dapat disimpulkan bahwa komisaris independen dapat bertindak
sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi antara para manajer
internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat
kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good
corporate governance. Perusahaan besar cenderung melakukan pengawasan
yang lebih terhadap manajemen karena terkait aset yang cukup besar dengan
cara memberikan proporsi komisaris independen yang lebih besar sehingga
mampu melakukan perencanaan pajak yang lebih baik, salah satunya
melakukan penghindaran pajak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

H9: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh dewan komisaris


independen terhadap penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai