Anda di halaman 1dari 73

1

Luka Tak Sembuh

Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang dengan keluhan telapak kaki kanannya
terdapat luka yang tidak sembuh-sembuh walau sudah diobati. Satu minggu yang
lalu, luka sebesar uang logam makin lama luka makin membesar disertai nanah
dan bau. Pasien memiliki riwayat diabetes militus sejak 2 tahun yang lalu dan
mendapatkan pengobatan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya luka
ulkus pada telapak kaki kanan. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium GDS dan HbA1C, serta konseling dengan bagian gizi untuk
mengatur pola makan.

STEP I
1. Diabetes meilitus:
- Gangguan metabolik secara klinis bersifat heterogen dengan manifestasi
hilangnya toleransi glukosa
- Peningkatan gula darah akibat turunnya insulin/ kelainan dari sekresi
insulin
Kesimpulan: Gangguan metabolik bersifat heterogen dengan manifestasi
peningkatan glukosa darah akibat kelainan sekresi dan fungsi insulin
2. Pemeriksaan HbA1C:
- Untuk mendeteksi apakah sebelumnya sudah pernah mengalami DM atau
belum
- Zat yang terbentuk dari ikatan glukosa dan Hb
Kesimpulan: Pemeriksaan glukosa dengan melibatkan ikatan glukosa dan Hb
sebagai indikasi rutinitas pasien mengkonsumsi obat

STEP II
1. Apa saja faktor resiko DM?
2. Klasifikasi DM?
3. Bagaimana patofisiologi DM?
4. Bagaimana hubungan riwayat DM dengan luka yang tidak sembuh?
5. Tanda dan gejala DM?
2

6. Pemetiksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan?


7. Bagaiman komplikasi DM?
8. Bagaimana terapi farmakologi DM?
9. Bagaimana terapi non farmakologi DM?
10. Bagaimana pengaturan gizi dan pola makan bagi penderita DM?

STEP III
1. Faktor resiko:
- Keturunan
- Usia
- Gaya hidup
- Obesitas
- Stress
- Kehamilan
- Hipertensi
- Ras
2. Klasifikasi DM
- DM tipe 1
- DM tipe 2
- DM gestasional
- DM tipe lain pradiabetes
defek genetik fungsi sel beta
3. Patofisiologi DM
a. DM insulin resistensi insulin obesitas

Glukosa darah
Gangguan metabolisme KH kerusakan sel β
Glikolisis dan glukoneogenesis autoimun
Glikogenesis
b. Infeksi pankreas pankreatitis rusak sel eksokrin – endokrin
defisiensi imun penumpukan gula darah DM
4. Hubungan riwayat DM dengan luka di kaki
3

Hiperglikemia komplikasi neuropati dipengaruhi tekanan


pembuluh darah kelainan sistem saraf sensorik dan motorik
perubahan kulit dan otot perubahan distribusi pada kulit dan otot
telapak kaki ulkus
5. Tanda dan gejala DM
- Polifagia
- Poliuria
- Polidipsia
- Penglihatan
- BB
- Cepat lelah
6. Pemeriksaan penunjang
- HbA1C
- GDP
- Darah rutin
- Kolesterol
- Urinalisis
- TTGD
- GDPP
7. Komplikasi DM
- Makro : penyakit jantung koroner dan stroke
- Mikro : retinopati, nefropati, neuropati
- Komplikasi diabetes mielitus metabolik akut
- HHNK (Hiperglikemia, Hiperosmolar Non-Ketotik)
8. Farmakologi DM
- Terapi insulin
- Obat oral : gol. Sulfonilurea
Biguanid
Glitazone
Inhibitor glukosidase
- DM + hipertensi : ACE inhibitor
β bloker
4

- DM + kolesterol : fibrat dan statin


9. Non-farmakologi DM
- Diet
- Olahraga
- Kontrol gula darah
- Konsultasi masalah gizi

STEP IV
1. Ras : berpengaruh terhadap gaya hidup
Usia : fungsi organ yang menurun
2. a. DM tipe 1 (Insulin Dependent)
DM tipe 1 ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan difisiensi insulin
absolute atau berat. Pemberian insulin sangat penting pada pasien dengan
DM tipe 1.
- sel β pankreas rusak insulin
- Autoimun
- < 40 tahun
b. DM tipe 2
Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap kerja insulin
disertai defisiensi relative pada sekresi insulin. Individu yang terkena
dapat lebih resisten atau mengalami defisiensi sel β yang lebih parah, dan
kelainannya dapat ringan atau parah. Meskipun insulin diproduksi oleh sel
β pda pasien ini, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi
resistensi, dan kadar glukosa darah meningkat. Gangguan kerja insulin
juga memengaruhi metabolisme lemak sehingga meningkatkan kadar asam
lemak bebas dan trigliserida serta menurunkan kadar lipoprotein
berdensitas tinggi (HDL).
- Adanya resistensi insulin karena reseptor rusak
- > 40 tahun
5

c. DM tipe 3
Diabetes tipe 3 merujuk pada berbagai penyebab spesifik lain untuk
peningkatan kadar glukosa darah: penyakityang tidak melibatkan
pankreas, terapi obat dll.
- Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
d. DM gestasional (DM tipe 4)
DM tipe ini didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang
ditemukan pertama kali pada saat kehamilan. Saat kehamilan, plasenta dan
hormone plasenta menimbulkan resistensi insulin yang paling mencolok
pada trimester ketiga.
- Aktivitas plasenta
- Ketergantungan hormon

e. Sel β pankreras akut insulin respon (fase 1), cepat


Fase 2, sekresi insulin, lama
Hormon yang mempengaruhi:
 Glukagon : mengubah gula otot untuk digunakan oleh sel
 Pankreatik polipeptida
 Somatostatin
6. HbA1C : 2,5 % - 5,0 %
- GDP : 90 – 110 mg/dl
- GDS : 120 – 200 mg/dl
- Kolesterol : LDL < 100 dan HDL > 40-60
- TTGO : < 140 mg/dl
- GDPP : < 200 mg/dl
HbA1c merupakan kombinasi glukosa dan hemoglobin dewasa
(HbA). Jumlah hemoglobin dewasa yang terglikosilasi membentuk HbA1c
berhubungan langsung dengan kadar glukosa darah rata-rata dalam darah.
Tidak seperti tes urine dan glukosa darah, yang dipengaruhi oleh keadaan
6

saat pemeriksaan.misalnya diet yang ketat menjelang pemeriksaan.


Pemeriksaan HbA1c tidak dipengaruhi oleh kadar glukosa darah saat itu,
tapi merupakan indikator kadar glukosa darah rata-rata beberapa bulan
sebelumnya.
Kadar HbA1c menggambarkan kontrol glikemik kadar glukosa 2-3
bulan sebelumnya. Karena itu dianjurkan untuk diperiksa setiap 3 bulan
sekali, setidaknya 2 kali setahun. Fruktosamin mengambarkan kadar
glukosa 2-3 minggu sebelumnya. Penggunaan kombinasi kedua
pemeriksaan yakni HbA1c dan fruktosamin bermanfaat karena walaupun
keduanya serupa menggambarkan kontrol glikemik tetapi berbeda jangka
waktu kadar glukosa yang digambarkannya. Kadar fruktosamin berguna
untuk memantau yang lebih cepat sedangkan HbA1c untuk jangka waktu
yang lebih lama.
Ada beberapa keadaan dimana salah satu parameter terpengaruh,
sedangkan yang lainnya tidak misalnya kadar HbA1c terganggu / tidak tepat
pada keadaan dengan anemia hemolitik, hemoglobinopati, dan
hemakromatosis serta retikulositosis. Thalasemia dan hemoglobinopati
seperti Hb C, Hb S, Hb E, dll yang menyebabkan usia eritrosit memendek
menyebabkan penurunan kadar HbA1c. Pada cara kromatografi penukar
kation Hb C dan Hb S terhitung pada Hb total dan menurunkan hasil
perhitungan HbA1c. Sebaliknya Hb F, Hb H dan Hb Bart mungkin
menyebabkan HbA1c tinggi palsu, tergantung pada cara analisis.

Manfaat :
- Menilai kualitas pengendalian diabetes dengan tujuan untuk mencegah
komplikasi diabetes dan menilai efektivitas perubahan terapi setelah 2-3
bulan.
- Merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status
glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe DM
- Bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik
Indikasi :
- Dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM
7

- Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal


penanganan
- Pemeriksaan seanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan
pengendalian

Kadar glikat Hemoglobin pada diabetes


Normal / kontrol glukosa Glikat Hemoglobin (%)

Nilai normal 3,5 – 5,5


Kontrol glukosa baik 3,5 – 6,0
Kontrol glukosa sedang 7,0 – 8,0
Kontrol glukosa buruk Lebih dari 8,0

Mikrokopis Makrokokopis

Gejala dan
tanda Komplikasi
Pemeriksaan
penunjang

Fisiologi
Klasifikasi DM Diabetes Mielitus
gula darah

Faktor resiko Terapi


Patofisiologi

Farmakologi Non farmakologi

Gaya hidup

Pola makan Olahraga


8

STEP V
1. Bagaimana fisiologi pengaturan gula darah?
2. Struktur dan fungsi organ yang berperan dalam pengaturan gula darah?
3. Hormon yang berperan dalam pengaturan gula darah?
4. Kelainan pengaturan gula darah?
5. Komplikasi DM serta mekanismenya?
6. Penyuluhan life style ?
7. Terapi DM?

STEP VI
(Belajar mandiri)

STEP VII
1. Fisiologi gula darah
mekanisme sel dasar untuk sekresi insulin dari sel – sel beta
pancreas sebagai respon terhadap kenaikan kadar gula darah yaitu faktor
pengatur utama sekresi insulin. Sel – sel beta tersebut mempunyai
sejumlah besar pengangkut glukosa (GLUT-2) yang memungkinkan
terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan nilai
kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam
sel, glukosa akan terfosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh glukokinase.
Langkah ini agaknya menjadi penentu kecepatan metabolisme glukosa di
sel beta dan dianggap sebagai mekanisme utama untuk mendeteksi
glukosa dan menyesuaikan jumlah insulin yang disekresikan denga kadar
glukosa darah. Glukosa-6fosfat selanjutnya dioksidasi untuk membentuk
adenosi trifosfat (ATP), yang menghambat kanal kalium yang peja ATP di
sel. Penutupan kanal kalium akan mendepolarisasikan membran sel
sehingga akan membuka kanal natrium bergabung voltase. Yang sensitif
terhadap voltase membran. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk
kalsium yang merangsang penggabungan vesikel yang berisi insulin
dengan membran sel dan sekresi insulin ke dalam cairan ekstrasel melalui
eksositosis (Guyton, 2012).
9

Zat-zat nutrisi lain, seperti asam amino tertentu, dapat juga


dimetabolisme oleh sel beta untuk meningkatkan akdar ATP imtrasel dan
merangsang sekresi insulin. Beberapa hormon, seperti glukagon, gastric
inhibitory peptide, dan asetilkolin akan meningkatkan kadar kalsium
intrasel melalui jaras sinyal lainnya dan memperkuat efek glukosa,
meskipun hormon-hormon ini tidak memiliki pengaruh yang besar
terhadap sekresi insulin tanpa adanya glukosa. Hormon-hormon lainnya,
yang meliputi somatostatin dan norepinefrin, menghambat eksositosis
insulin (Guyton, 2012).
Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar
tergantung dari ekstraksi glukosa, sintesis glikogen dan glukogenolisis
dalam hati. Selain itu jaringan otot dan adipose juga mempergunakan
glukosa sebagai sumber energi mereka. Jika kadar glukosa dalam darah
meningkat maka pulau langerhans pancreas sel B akan mensekresikan
Insulin untuk menganabolik glukosa, asam – asam lemak dan asam – asam
asmino menjadi glikogen yang akan disimpan di dalam hati sehingga
kadar glukosa dalam darah akan kembali normal.
Akan tetapi jika kadar glukosa dalam darah menurun maka pulau
langerhans pancreas sel A akan mensekresikan glukagon untuk
meningkatkan kembali kadar glukosa plasma melalui peningkatan
pemecahan glikogen melalui peningkatan katabolisme protein Pengaturan
fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar tergantung dari ekstraksi
glukosa, sintesis glikogen dan glukogenolisis dalam hati. Selain itu
jaringan otot dan adipose juga mempergunakan glukosa sebagai sumber
energi mereka. Jika kadar glukosa dalam darah meningkat maka pulau
langerhans pancreas sel B akan mensekresikan Insulin untuk
menganabolik glukosa, asam – asam lemak dan asam – asam asmino
menjadi glikogen yang akan disimpan di dalam hati sehingga kadar
glukosa dalam darah akan kembali normal.
Akan tetapi jika kadar glukosa dalam darah menurun maka pulau
langerhans pancreas sel A akan mensekresikan glukagon untuk
meningkatkan kembali kadar glukosa plasma melalui peningkatan
10

pemecahan glikogen melalui peningkatan katabolisme protein (Guyton,


2012).
Mekanisme yang dipakai untuk mencapai pengaturan gula darah:
a. Hati berfungsi sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang
sangat penting. Artinya, saat glikosa darah meningkat hingga
konsentrasi yang tinggi, yaitu sesudah makan, dan kecepatan
sekresi insulin juga meningkat, sebanyak 2/3 dari seluruh glukosa
yang diabsorpsi dari usus dalam wakstu singkat akan disimpan di
hati dalam bentuk glikogen. Lalu, selama beberapa jam berikutnya,
bila konsentrasi glukosa darah dan sekresi insulin berkurang, hati
akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara
ini, hati mengurangi fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai
kira-kira 1/3 dari fluktuasi yang dapat terjadi (Guyton, 2012).
b. Fungsi insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistem
pengatur umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa
darah normal. Bila konsentrasi glukosa darah meningkat sangat
tinggi, sekresi insulin akan terjadi. Insulin selanjutnya akan
mengurangi konsentrasi glukosa darah kembali ke nilai normalnya.
Sebaliknya, penurunan kadar glukosa darah akan
merangsangsekresi glukagon, selanjutnya glukagon ini akan
berfungsi secara berlawanan, yakni akan meningkatkan kadar
glukosa darah agar kembali ke nilai normalnya. Pada sebagian
besar kondisi yang normal, mekanisme umpan balik insulin ini
jauh lebih penting daripada mekanisme glukagon, namun pada
keadaan kelaparan atau pemakaian glukosa yang berlebihan selama
aktivitas fisik dan keadaan stres yang lain, mekanisme glikagon
juga menjadi bernilai (Guyton, 2012).
c. Selain itu, pada keadaan hipoglikemia berat, timbul suatu efek
langsung akibat kadar glukosa darah yang rendah terhadap
hipotalamus, yang akan merangsang sistem saraf simpatis.
Selanjutnya, hormon epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar
adrenal menyebabkan pelepasan glukosa lebih lanjut dari hati. Jadi,
11

epinefrin juga membantu melindungi agar tidak timbul


hipoglikemia yang berat (Guyton, 2012).
d. Dan akhirnya, sesudah beberapa jam dan beberapa hari, sebagai
responterhadap hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi
hormon pertumbuhan dan kortisol, dan kedua hormon ini
mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel
tubuh, dan sebaliknya akan menambah jumlah pemakaian lemak.
Hal ini juga akan mengembaikan kadar glukosa darah menjadi
normal (Guyton, 2012).

Gambar 1. Mekanisme Pengaturan Gula darah (Guyton, 2012).

2. Struktur dan fungsi organ yang berperan dalam pengaturan gula darah
a. Hepar
Sumber utama glukosa plasma adalah absorpsi glukosa oleh usus
yang berasal dari pemecahan makanan, glukoneogenesis (pembentukan
12

glukosa dari prekursor non-glukosa) dan glikogenolisis (pemecahan


simpanan glikogen menjadi glukosa) (Guyton, 2012).
Proses pengaturan kadar glukosa plasma merupakan mekanisme
homeostasis yang diatur sedemikian rupa dalam rentang yang sempit dan
diatur dengan halus. Kadar glukosa plasma tidak boleh menurun terlalu
rendah karena glukosa merupakan satu-satunya sumber energi yang dapat
digunakan oleh otak dan eritrosit. Kadar glukosa plasma juga tidak boleh
meningkat terlalu tinggi karena dapat mempengaruhi tekanan osmotik dan
bila kadar glukosa plasma sangat tinggi akan menyebabkan dehidrasi
seluler (Guyton, 2012).
Pengaturan kadar glukosa plasma melibatkan hepar, jaringan
ekstrahepatik dan beberapa hormon. Sel-sel hepar dapat dilewati glukosa
dengan bebas melalui transporter GLUT 2, sedangkan pada jaringan
ekstrahepatik glukosa memerlukan transporter yang diatur oleh insulin
untuk dapat masuk kedalam sel. Dalam pengaturan kadar glukosa plasma,
selain insulin juga dibutuhkan peranan dari glukagon. Kedua hormon
tersebut merupakan hormon yang disekresikan oleh sel pankreas. Sel β
pankreas mensekresikan insulin dan sel α pankreas mensekresikan
glukagon (Guyton, 2012).
Insulin bekerja untuk menurunkan kadar glukosa plasma dengan
cara meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan lemak dan otot melalui
transporter GLUT 4. Insulin juga akan mengaktivasi enzim glikogen
sintase dan menghambat enzim fosforilase. Glikogen sintase merupakan
enzim yang bertanggung jawab dalam polimerisasi monosakarida
membentuk glikogen, sedangkan fosforilase merupakan enzim yang
bertanggung jawab dalam pemecahan glikogen menjadi glukosa. Dengan
demikian insulin akan menyebabkan peningkatan glikogenesis dan
menghambat glikogenolisis (Guyton, 2012).
Glukagon menyebabkan peningkatan glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Glukagon meningkatkan glikogenesis dengan cara
mengaktivasi adenil siklase dan meningkatkan cAMP intraseluler pada
hepar. Hal ini akan mengaktivasi fosforilase melalui protein kinase
13

sehingga terjadi pemecahan glikogen. Dengan adanya glukagon maka


glukoneogenesis juga akan meningkat (Ganong, 2012).
Pada keadaan puasa, sebagian besar glukosa tubuh berada pada
insulin-independent tissue yaitu 50% berada pada jaringan otak, 25%
berada pada hepar dan saluran pencernaan, sedangkan 25% berada pada
insulin-dependent tissue yaitu otot dan jaringan lemak. Kadar glukosa
plasma akan menurun karena pasokan sumber glukosa yang berasal dari
absorbsi usus terhenti. Namun hal ini akan segera direspon oleh tubuh.
Terjadinya penurunan kadar glukosa plasma akan merangsang sel α
pankreas untuk merespon dengan mensekresikan glukagon. Seperti yang
telah dijelaskan diatas glukagon bekerja dengan meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga meningkatkan kadar glukosa
plasma (Guyton, 2012).
Pada beberapa jam puasa tubuh mulai menggunakan energi yang
berasal dari simpanan energi. Sekitar 75% glukosa yang disekresikan oleh
hepar berasal dari pemecahan glikogen. Dalam keadaan ini kadar glukosa
plasma masih konstan. Hal ini akan menjaga kadar glukosa plasma untuk
utilisasi organ seperti otak. Namun cadangan glikogen dalam hepar hanya
terbatas dan lama-kelamaan akan menipis. Setelah seseorang puasa selama
8-12 jam maka hampir seluruh simpanan glikogen dalam hati akan
terkuras. Oleh karena itu di dalam hepar mulai dilakukan proses
glukoneogenesis (Guyton, 2012).
Glukoneogenesis merupakan pembentukan glukosa dari senyawa
non-karbohidrat. Prekursor glukoneogenesis ini merupakan produk akhir
dari metabolisme karbohidrat (piruvat, laktat), lemak (gliserol) dan protein
(asam amino). Mekanisme glukoneogenesis ini juga merupakan cara untuk
membersihkan produk metabolisme jaringan dari dalam darah seperti
laktat yang dihasilkan oleh otot dan eritrosit serta gliserol yang dihasilkan
oleh jaringan lemak (Guyton, 2012).
Sesaat setelah makan, kadar glukosa plasma akan meningkat dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah makan, jarang melebihi 140
mg/dl dan kembali pada kadar sebelum makan setelah 2-3 jam.
14

Peningkatan kadar glukosa plasma ini akan menstimulasi sekresi insulin


oleh sel β pankreas. Sekresi insulin, selain distimulasi oleh peningkatan
kadar glukosa darah, juga distimulasi oleh produksi hormon inkretin oleh
usus. Insulin akan meningkatkan penyimpanan glukosa, menghambat
pembentukan glukosa oleh hepar dan meningkatkan ambilan glukosa oleh
sel otot dan lemak sehingga menyebabkan penurunan kadar glukosa
plasma. Kombinasi dari hiperinsulinemia dan hiperglikemia ini akan
menstimulasi ambilan glukosa oleh jaringan perifer dan jaringan
splanchnic yaitu hepar dan usus, penyimpanan glukosa dalam bentuk
glikogen oleh hepar dan pembentukan triaselgliserol oleh asam lemak
(Guyton, 2012).

b. Hipofisis
Sistem saraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus; merupakan hubungan yang paling nyata antara system saraf
pusat dan system endokrin. Kelenjar hipofosis memberi respon terhadap
releasing hormon - hormon tropik hipofisis, hormon - hormon yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis diangkut bersama darah dan merangsang
kelenjar - kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormon - hormon kelenjar
sasaran. Akhirnya, hormon- hormon kelenjar sasaran bekerja pada
neuromekanisme atau pada sel-sel hipofisis dan memodifikasi sekresi
hormon. Modalitas pengaturan umpan balik yang lain dimana substansi
metabolic yang diatur oleh hormon tersebut.contoh misalnya insulin dan
glukosa,respon terhadap insulin akan mengubah kadar glukosa dalam
darah. Ketika kadar glukosa meningkat, insulin disekresi. Jika kadar
glukosa turun, insulin dihentikan. Walaupun beberapa hormone hipofisis
dapat mempengaruhi pelepasan insulin secara tidak langsung. Oleh karena
itu, dalam karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi
monosakarida dan diabsorpsi terutama di dalam duodenum dan jejunum.
Sesudah di absorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara
waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula (Guyton, 2012).
15

c. Pankreas
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan
kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa
darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama
dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar
pankreas (Kramer, 1995).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor
hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan
enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk
proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung – gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan
enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-
peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan
melalui membran sel (Kramer, 1995).
Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat
dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar
glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin.
Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat
pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi
insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup
rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas (Kramer, 1995).
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin,
setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah
proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran
sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang
berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
16

“kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan


tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah,
melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan
selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan
fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP.
Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni
proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan
ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti
kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang
memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan
kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin
melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat
dijelaskan (Kramer, 1995).
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel
tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi
glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain
termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya
obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak
pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea
receptor (SUR) pada membran sel beta (Kramer, 1995).
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan
kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya
berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang
biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang
berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi
mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis,
baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua
fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga
kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan
metabolisme glukosa yang fisiologis (Ward, 1984).
17

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah


sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel
beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya
mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan
untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam,
segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat
penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya
berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial.
Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara
fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah
terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah
postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang
ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif (Ward, 1984).

Glucose Ca2+
K+ channel Insulin
GLUT-2 Channel Release
shut Opens

Glucose K+ 

Glucose-6-phosphate Insulin + C peptide
Depolarization Cleavage

ATP of membrane enzymes


Proinsulin
Glucose signaling
preproinsulin
Preproinsulin
B. cell Insulin Synthesis

Gambar 2. Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi Glukosa (Kramer, 1995).

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2


(sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat
secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah
18

berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil


alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif
lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan
oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor
resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari
sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1
tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan
sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada
hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa
darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif
perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh
fase 1. Pada gambar dibawah ini (Gambar 2) diperlihatkan dinamika
sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu
(Impaired Glucose Tolerance = IGT), dan Diabetes Mellitus Tipe 2 (Ward,
1984).
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh
aksi insulin yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi
fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan
tambahan (ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas
normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah
keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar
glukosa darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa
hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya (Ward, 1984).

Intravenous Second
glucose
Insulin stimulation Phase
IGT
Secreti
on First-Phase

Normal

Basal
19

Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses


metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini
sangat krusial perannya dalam proses utilisasi (pemanfaatan atau
penggunaan) glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada
otot, lemak, dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan
lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor
substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara
insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna
bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak,
meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas.
Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan
kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan
translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra
ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme (Gambar 3). Untuk
mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan
mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi
insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya
resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor
etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2 (Girard, 1995).
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan
dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan
hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa
melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut
berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar
glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa
secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara
normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala
jaringan (hepar) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
20

semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis


dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari
hepar (Girard, 1995).

Gambar 4. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di


jaringan perifer 1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran
sel, 3. transportasi glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5.
GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula (Girard,
1995)

Gangguan baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan


gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi
glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah.
Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus.
Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling
sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua
faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan
kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin),
disertai oleh faktor lingkungan (environment). Sedangkan pada diabetes
tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin
secara absolut (Girard, 1995).
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan
pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin
21

yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara


langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa
darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial
(HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit)
setelah beban glukosa (makan atau minum) (Girard, 1995).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin
merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis,
perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula
gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa
darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada
gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid
darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah
diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan
sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara substitusi
insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi
insulin (insulin sensitizer) (Girard, 1995).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan
kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan
gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap
dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi
Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada
tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh
mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan
kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT)
didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO),
berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila
kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga
sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) (Girard, 1995).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap
diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi berulangkali
setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan
22

yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari


diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula
oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan
jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi
yang meluas (Girard, 1995).
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan
atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat
tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab
hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari
kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin
serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi.
Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat
secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular
telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi
insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa
maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi
tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi
pula tingkat produksi glukosa dari hepar (Girard, 1995).

3. Hormon yang berperan dalam pengaturan gula darah


a. Insulin
Insulin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh sel-sel beta dari
pankreas dan merupakan pusat pengaturan metabolisme karbohidrat dan
lemak dalam tubuh. Insulin menyebabkan sel-sel di hati, otot rangka, dan
jaringan lemak untuk menyerap glukosa dari darah. Dalam hati dan otot
rangka, glukosa disimpan sebagai glikogen, dan dalam sel lemak (adiposit)
disimpan sebagai trigliserida (Guyton, 2012).
Masuknya glukosa ke dalam sel otot rangka dan ke jaringan adiposa
hanya melalui pembawa di membran plasma yang dikenal sebagai glucose
transporter. Glukosa transpoter ini adalah glucose transporter 4 atau yang
lebih dikenal dengan istilah GLUT 4. GLUT 4 ini ditemukan pada jaringan
23

adiposa dan otot serat lintang. Insulin meningkatkan mekanisme difusi


terfasilitasi glukosa ke dalam sel-sel tergantung insulin tersebut melalui
transporter recitment. Reseptor tersebut diinsersikan ke dalam membran
plasma sebagai respon terhadap peningkatan sekresi insulin, sehingga
terjadi peningkatan pengangkutan glukosa ke dalam sel (Guyton, 2012).
Apabila sekresi insulin berkurang, GLUT 4 tersebut sebagian ditarik
dari membran sel dan dikembalikan ke simpanan intrasel.
Fungsi hormon insulin:
1. Pengangkutan glukosa dan asam amino melewati membran
2. Pembentukan glikogen dalam hati dan otot rangka
3. Perubahan glukosa menjadi trigliserida
4. Sintesis asam nukleat
5. Sintesis protein

Terdapat lima reseptor insulin pada sel diantaranya


(Bertram&Katzung, 2012):
GLUT 1 : Semua jaringan terutama sel darah merah, otak
GLUT 2 : Sel beta pankreas, hati, ginjal, usus
GLUT 3 : Otak, ginjal, plasenta
GLUT 4 : Otot , jaringan adiposa
GLUT 5 : Usus, ginjal

b. Glukagon
Glukagon ialah suatu peptida hormon disekresikan oleh pankreas
untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Efeknya adlah kebalikan dari
insulin, yang menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon dihasilkan oleh
sel α pankreas (Guyton, 2012).
Pankreas melepaskan glukagon ketika kadar glukosa dalam darah
menurun, sehingga menyebabkan hati untuk mengkonveksi glikogen yang
disimpan menjadi glukosa, yang dilepaskan ke dalam aliran darah. Sekresi
glukagon dirangsang oleh (Guyton,2012):
1. Hipoglikemia
24

2. Epinefrin
3. Asetilkolin
Glukagon umumnya mengangkat jumlah glukosa dalam darah
dengan mempromosikan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Glukosa
disimpan dalam hati dalam baentuk glikogen, yang merupakan pati dari
molekul glukosa. Ketika glukagon mengikat ke reseptor glukagon, sel-sel
hati mengubah glikogen menjadi polimer molekul glukosa individu, dan
melepaskan ke dalam aliran darah yang dikenal dengan proses
glikogenolisis. Selain proses glikogenolisis, glukagon mendorong hati dan
ginjal untuk mensintesis glukosa tambahan yang dikenal dengan
glukoneogenesis. Glukagon juga mengatur tingkat produksi glukosa
melalui lipolisis (Guyton, 2012).

c. Epinefrin
Dikenal sebagai adrenalin adalah hormon dan neurotransmitter.
Epinefrin memiliki banyak fungsi dalam tubuh, epinefrin adalah salah satu
dari sekelompok monoamin yang disebut katekolamin. Hal ini dihasilkan
dalam beberapa neuron dari sistem saraf pusat, dan dalam sel chromaffin
dari medula adrenal dari asam amino fenilanin dan tirosin (Guyton, 2012).
Epinefrin bekerja pada hampir semua jaringan tubuh. Fungsi
kerjanya berbeda berdasarkan tipe jaringan dan ekspresi jaringan reseptor
adrenergik. Adrenalin adalah nonselektif agonis dari semua reseptor
adrenergik. Epinefrin yang mengikat reseptor memicu sejumlah perubahan
metabolik. Reseptor mengikat α-adrenergik menghambat insulin yang
disekresi oleh sel beta pankreas, merangsang glikogenolisis di hati dan
otot, dan merangsang glikolisis dalam otot. Reseptor β-adrenergik
mengikat reseptor memicu sekresi glukagon yang dihasilkan oleh sel alfa
pankreas, meningkatkan hormon adrenokortikotropik (ACTH) oleh sekresi
pada kelenjar pituitari, dan meningkatkan lipolisis oleh jaringan adiposa.
Bersama-sama, efek ini menyebabkan peingkatan glukosa darah dan asam
lermak, menyediakan substrat untuk produksi energi dalam sel di seluruh
tubuh (Guyton, 2012).
25

d. Glukokortikoid
Kortisol / hidrokortisol adalah hormon steroid atau glukokortikoid
diproduksi oleh zona fasiculata dari korteks adrenal. Fungsi utamanya
adalah untuk meningkatkan gula darah melalui glukoneogenesis, menekan
sistem kekebalan tubuh, dan membantu dalam metabolisme lemak, protein
dan karbohidrat (Guyton, 2012).
Kortisol memainkan peranan penting dalam glikogenolisis.
Glikogenolisis dirangsang oleh epinefrin, namun kortisol memfasilitasi
aktivasi fosforilasi glikogen, yang penting untuk efek epinefrin pada
glikogenolisis. Peningkatan kadar kortisol, jika berkepanjangan dapat
menyebabkan proteolisis dan pengecilan otot (Guyton, 2012).

4. Kelainan pengaturan gula darah


a. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan keadaan dimana kadar gula dalam darah
itu dibawah normal. Hal ini diakibatkan pelepasan berlebihan insulin oleh
pancreas serta kelainan pembentukan glukosa di hati. Jadi, hipoglikemia
ini berkaitan dengan mekanisme glikogenesis pada tubuh (Longo, 2012).
Tahap glikogenesis yaitu pembentukan glikogen dari glukosa.
Tahap pertama yaitu alfa-D-glukosa dengan ATP melalui enzim
glukokinase dan heksokinase, akan menghasilkan glukosa 6 fosfat dan
ADP. Tahap kedua glukosa 6 fosfat ini melalui proses dengan enzim
fosfoglukomutase akan menjadi glukosa 1 fosfat. Tahap ketiga glukosa 1
fosfat dan UTP (Uridin Tri Pospat) akan menghasilkan UTP-glukosa dan
piroposfat (Ppi). Tahap empat UDP glukosa dan glikogen primer akan
menghasilkan glikogen tidak bercabang. Tahap lima enzim glikogen
sintetase membentuk ikatan alfa 1,4 glikosidik (rantai lurus) dari glikogen.
Tahap terakhir enzim pencabang (branching enzyme) akan membentuk
ikatan alfa 1,6 (rantai cabang) dari glikogen (Longo, 2012).
Glikogenesis merupakan pembentukan glikogen dari glukosa yang
dikonversi. Glikogen bisa menjadi sumber energi dan sangat erat
26

kaitannya dengan kondisi fisik dan emosional. Insulin glikogen disintesis


melalui stimulus defosforilas dari sintesis glikogen (Longo, 2012).
Terjadinya hipoglikemia adalah ketika pembentukan glukosa atau
glikogen yang (glikogenesis) tanpa disertai dengan proses glikogenolisis
yang merombak glukosa. Akibatknya, insulin terus terpacu untuk
bertambah stimulusnya sehingga mengakibatkan penderita hipoglikemia
mengalami gula darah rendah. Hipoglikemia terjadi karena gula sangat
cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan.
Kadar insulin yang tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang
cepat (Longo, 2012).
Gejala (Longo, 2012):
1. Stadium parasimpatik : lapar,mual,tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu ,sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara.
3. Stadium simpatik : keringat dingin pada muka ,bibir atau tangan
gemetar.
4. Stadium gangguan otak berat : tidak sadar,dengan atau tanpa kejang.

b. Hiperglikemia
Pada keadaan kritis, terdapat stres dimana terjadi aktivasi sistim
aksis hipothalamus-pituatary-adrenal (HPA) dengan dilepaskannya
kortisol dari kelenjar adrenal. Peningkatan kortisol mengakibatkan
peningkatan dari pelepasan epinefrin, norepinefrin, glukagon dan growth
hormone. Aktivasitersebut merupakan komponen yang esensial dalam
adaptasi terhadap suatu penyakit dan stres untuk memelihara homeostasis
sel dan organ. Milieu metabolik hiperglikemia yang disebabkan oleh stres
terjadi pada pasien nondiabetik dengan keadaan kritis sangat kompleks.
Kombinasi dari berbagai faktor, termasuk adanya pelepasan yang
berlebihan dari hormon counter regulatory seperti glukagon, growth
hormone, katekolamin, glukokortikoid, dan sitokin seperti interleukin (IL)
-1, IL-6, dan tumor necrosis factor-α (TNF–α) ditambah dengan
pemberian katekolamin, dektrosa dan nutrisi sebagai terapi penunjang
27

pada pasien dengan keadaan kritis, serta terjadinya defisiensi insulin


relatif, dan lemahnya pengambilan glukosa perifer memegang peranan
penting dari terjadinya hiperglikemia pada keadaan stres (Longo, 2012).
Glukagon adalah mediator hormonal primer dari glukoneogenesis.
Pada pasien dengan keadaan kritis, kadar glukagon serum meningkat
secara signifikan, hal ini disebabkan oleh stimulasi adrenergik oleh
katekolamin dan oleh sitokin. Sitokin seperti TNF-α dan IL-1 dan
katekolamin secara independen dan sinergis juga berperan dalam
meningkatkan produksi glukosa hati. Kadar insulin biasanya normal
ataupun menurun, walaupun didapatkan resistensi insulin perifer. Diduga
pelepasan insulin terhambat akibat peningkatan aktivasi dari reseptor
pankreatik alfa. Penyebab resistensi insulin adalah IL-1 dan TNF – α yang
menghambat pelepasan insulin. Katekolamin juga berperan dalam
menginhibisi pengikatan insulin dengan transporter insulin.
Glukokortikoid mengganggu pengambilan glukosa pada otot-otot rangka
dan growth hormone menghambat jalur insulin dengan mengurangi
reseptor (Longo, 2012).

5. Komplikasi DM serta mekanismenya


a. Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra
regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan),
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dkelompokkan menjadi dua bagian yaitu (Ganong, 2012).:
 Akibat hiperglikemi
 Akibat ketosis
28

Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem


homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.
Akibat lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi
benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat dan 3 beta
hidroksi butirat, dalam keadaan normal kadar 3 beta hidroksi butirat
meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak
begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel
tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa (Ganong,
2012).
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke
dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi
glikogen , menghambat lipolisis pada sel lemak, menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui
siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut
akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi
utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat
keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra
regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu
sensitivitas insulin (Ganong, 2012).
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif
terhadap hormon kontra regulasi yang berlebihan glukagon, epinefrin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Defisiensi insulin dapat
disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau
eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut,
menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu
29

sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan yang terjadi terutama


meibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat (Ganong, 2012).
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang
paling berperan dalam ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat
proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA adalah
suatu penghambat cartnitine acyl transferase yang bekerja pada
transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan
ketogenesis. Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak
teregulasi dengan baik, bila kadar insulin rendah maka kadar glukagon
darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons
insulin pada sel-sel lemak dan hati (Ganong, 2012).
Kadar epinefrin dan kortisol darah menngikat pada KAD.
Hormon pertumbuhan pada awal terapi KAD kadarnya kadang-
kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada
akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton,
glukonoegenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses
KAD terjadi maka akan terjadi stres berkepanjangan (Ganong, 2012).

b. Komplikasi Kronik
Hiperglikemia menyebabkan terjadi komplikasi pada DM. Pada
keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan pembentukan Protein
Glikasi non enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika (Ganong, 2012).
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya
kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
a) Patofisiologi Retinopati Diabetik
30

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada


retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama,
hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygenintermediates
(ROIs) dan advanced glycationendproducts (AGEs). ROIs dan
AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta
merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO),
prostasiklin, insulin-likegrowth factor-1 (IGF-1), dan endotelin
yang akan memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik
mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan
ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel
(Ganong, 2012).
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal
intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth
factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC.
VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesionmolecule-1
(ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan
endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan
sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi,
hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan
ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada
membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan
kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein
plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous (Ganong,
2012).
b) Patofisiologi Nefropati Diabetik
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati
paling banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal.
Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan
31

perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar


seperti protein dapat lolos ke dalam kemih. Akibat nefropati
diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati
diabetik ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( >0.5 gr/24
jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol
tekanan darah (Ganong, 2012).
c) Neuropati Diabetik
Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung
dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab
tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui peningkatan
stress oksidatif yang meningkatkan Advance Glycosylated End
products (AGEs), akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide,
mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas Na/K ATPase,
dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa berkombinasi
dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat
dirusak oleh radikal bebasi dan lemak, menghasilkan AGE yang
kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu,
glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem
pertahanan menjadi kurang efisien (Sudoyo, 2009).
Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan
polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat
berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di
dalam sel neuron, yang menganggu kesetimbangan gradien
osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam
sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi
menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan
prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf
menurunkan aktivitas Na/K ATPase (Sudoyo, 2009).
Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol
aktivitas Na/K ATPase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh
kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas
32

Na/K ATP ase. Selain itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan


penurunan aliran darah ke saraf perifer (Sudoyo, 2009).

2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati
tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih
seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit, kardiovaskular
dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin
puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner
sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Sudoyo, 2009).
a) Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada
50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris yang timbul saat
beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak
mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat
tidak timbul pada penderita diabetes sehigga perlu perhatian yang
lebih teliti (Sudoyo, 2009).
33

b) Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas
kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga
penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita
diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan
arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa (Sudoyo, 2009):
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia

c) Penyakit pembuluh darah


Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.
Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar
pada diabetes dibanding pada orang normal. Risiko ini akan
meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti
dislipidemia, obesitas, hipertensi atau merokok. Penyakit
pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi
pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di
bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer
biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV.
Faktor faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang
disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses gangren
diabetik. Pada penderita dengan gangren dapat mengalami
amputasi, sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, ataupun
kematian (Sudoyo, 2009).
34

d) Kaki Diabetik
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi
pada kaki yang disebabkan oleh Diabetes Melitus. Faktor utama
yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler serta infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah
sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan
oleh penderita. Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam
terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat
di bagi menjadi (Sudoyo, 2009):

1. Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap
trauma seperti kelainan makro vaskuler dan mikro vaskuler,
jenis kelamin, merokok dan neuropati otonom. Faktor yang
meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati
motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility dan
komplikasi DM yang lain seperti mata kabur (Sudoyo, 2009).
2. Faktor presipitasi
- Perlukaan di kulit (jamur)
- Trauma.
- Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
3. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka.
- Derajat luka.
- Perawatan luka.
- Pengendalian kadar gula darah.
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi Diabetes Melitus
terjadi ketidak rataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga
aliran lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada
mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen
arteri akan tersumbat dan mana kala aliran kolateral tidak cukup,
akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. Manifestasi
35

angiopati pada pembuluh darah penderita Diabetes Melitus antara


lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita
muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati
adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering
mengenai bagian distal dari arteri Femoralis Profunda, arteri
Poplitea, arteri Tibialis dan arteri Digitalis Pedis (Sudoyo, 2009).
Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai jadi kurang
baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit di atasi dan tidak jarang
memerlukan amputasi. Perubahan viskositas darah dan fungsi
trombosit, penebalan membrana basalis serta penurunan produksi
protasiklin akan memacu terbentuknya mikro trombus dan
penyumbatan mikro vaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan
timbulnya iskemia organ atau jaringan yang bersangkutan,
termasuk serabut saraf perifernya (Sudoyo, 2009).
Infeksi di mulai dari kulit celah jari kaki dan dengan cepat
menyebar melalui jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi
menyerang kapsul, tendon dan otot kaki maupun pada tungkai
hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya timbul di
atas kaput metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya di atas
lokasi tersebut, terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar
lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi
osteomielitis sekunder (Sudoyo, 2009).
Sedangkan kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes
biasanya multi bakterial yaitu gram negatif, gram positif dan
anaerob yang bekerja secara sinergik. Infeksi sering berlangsung
agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk gangren yang
selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu,
50% dari kasus ulkus / gangren diabetes akan mengalami infeksi
akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembangnya bakteri pathogen.Jika kadar gula darah tidak
36

terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini disebabkan
pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin seperti
katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan dan glukagon yang
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah (Sudoyo, 2009).
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya
fungsi netrofil dan gangguan sistim imunologi. Sebagai mana
diketahui, dalam melaksanakan fagositosis, sel PMN
membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktifitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel
PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi.
Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang
mengalami kekurangan insulin ada tiga faktor yang berperan pada
penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik. Faktor pertama
adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki
kurang baik hingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor
kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk
perkembangan bakteri patogen dan faktor ketiga ialah karena
adanya pintas arterio venosa di subkutis yang terbuka hingga aliran
nutrien tidak sampai ke tempat infeksi (Sudoyo, 2009).
Gangguan mikro sirkulasi dan neuropati punya hubungan
yang erat dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik
pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung
kaki. Hal ini di sebut sebagai fenomena dying back, di mana ada
teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf semakin
rentan untuk di serang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas,
ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena. Gangguan
mikro sirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf keadaan ini bersama dengan proses jalur
sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati juga
akan menurunkan aliran darah ke perifer hingga aliran tidak cukup
dan terjadi iskemia dan bahkan gangren (Ganong, 2012).
37

Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atropi otot-


otot instrinsik yang menimbulkan kelemahan pada kaki dan
keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah
dermis hingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat
atropi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan perobahan
keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan dan
menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat
pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal. Seiring dengan
berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi
infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren.
Chargot foot merupakan derfomitas kaki diabetik akibat neuropati
yang klasik dengan 4 tahap perkembangan (Ganong, 2012):
a) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan
bengkak.
b) Terjadi di solusi, fragmentasi dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
c) Terjadi fraktur dan kolap persendian.
d) Timbul ulserasi plantaris pedis.
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita
kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan
dari luar. Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal
tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi
yang di terima menimbulkan reflek untuk meningkatkan reaksi
pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang
menyakitkan dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih besar. Sebagian impul akan
diteruskan ke otak dan di sini sinyal di olah dan kemudian respon
di kirim melalui saraf motorik (Ganong, 2012).
Pada penderita Diabetes Melitus yang telah mengalami
neuropati perifer saraf sensorik pasien tidak merasakan dan tidak
menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien tidak
merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak kaki.
38

Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis atau


ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan
keselamatan pasien. Berbagai macam mekanisme terjadinya luka
dapat terjadi pada pasien Diabetes Melitus, seperti (Ganong, 2012):
- Tekanan rendah tetapi terus-menerus dan berkelanjutan (Luka pada
tumit karena lama berbaring, dekubitus).
- Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
- Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki)
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama
adalah akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini
mengakibatkan:
- Perubahan aliran darah
- Produksi keringat berkurang atau tidak ada
- Hilangnya tonus vasomotor.
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang
terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami
dehidrasi serta jadi kering dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi
dan selanjutnya timbul selulitis, ulkus ataupun gangren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arterio venosa
hingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada perubahan
komposisi, fungsi dan sifat viskoelastisitas hingga daya tahan jaringan
lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah terjadi ulkus (Ganong,
2012).

6. Terapi non-farmakologi DM
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari:
pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus-menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetes oral dan injeksi
insulin. Terapi farmakologis pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi
39

non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar


glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis
tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan
sebelumnya (Sudoyo, 2009).
A) Terapi Gizi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetesi). Terapi gizi
medis ini pada prinsipnya adalah pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual (Sudoyo, 2009).
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara
lain :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan snsitivitas reseptor insulin
6. Memperbaiki system koagulasi darah.
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah mendekati normal ;
- Glukosan puasa berkisar 90-130mg/dl
- Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
- Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil lipid ;
- Kolesterol LDL < 100 mg/dl
- Kolesterol HDL > 40 mg/dl
- Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini
difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan
40

pola kebiasaan makan, status nutrisi dan factor khusus lain yang perlu
diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan
diabetes, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan
mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana (Sudoyo, 2009).
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status
gizi, status kesehatan,aktivitas fisik, dan factor usia. Selain itu juga terdapat
beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan,
gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain-lain. Pada keadaan infeksi berat
dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertingbangkan
pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalaj pentingnya
adalah masalah ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi di dalam
lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada
(Sudoyo, 2009).
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari
makanan yang akan dimakan oleh diabetes. Diabetes harus dapat melakukan
perubahan pola makan ini secara konsisten bauk dalam jadwal, jumlah, dan
jenis makanan sehari-hari (Sudoyo, 2009).
Komposisi bahan makanan yang akan dimakan terdiri dari
makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta
mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetes secara tepat (Sudoyo, 2009).
a. Karbohidrat.
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetes
tidak boleh boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energy sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian
asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty
acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4
kilokalori (Sudoyo, 2009).

Rekomendasi pemberian karbohidrat:


41

1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat,


lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis
karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya berasal dari
sumber karbohidrat.
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energy, maka jumlah
karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan per hari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrosa sebagai sumber energy tidak perlu dibatasi, namun
jangan sampai lebih dari total kalori per hari.
6. Sebagian pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin,
aspartame, acesulfam dan sukralosa.
7. Penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari.
8. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
9. Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

b. Protein.
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana
diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka
perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energy sebesar 4 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein :
1. Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energy per hari.
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3. Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg berat badan per hari.
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai
0,85 gram/kg berat badan per hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dari protein hewani
42

c. Lemak.
Lemak mempunyai kandungan energy sebesar 9 kilokalori per
gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin A,
D, E, dan K. berdasarkan ikatan karbonnya, lemak dikelompokan menjadi
lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan
kolesterol sangat disarnkan bagi diabetesi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes.
Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid =
MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar
glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetes dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan
meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit.
PUFA mengandung asam lemak amega 3 yang dapat menurunkan kadar
sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein
lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga
dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, 2009).
Rekomendasi pemberian lemak :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksiamal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol
LDL ≥ 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat di konsumsi
200 mg per hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksiamal 10% dari
asupan kalori per hari.
43

Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada


tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai
indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca (Sudoyo, 2009).
a. Penentuan status gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam
kilogram) dibagi tinggi badan (dalam diameter) kuadrat (Sudoyo, 2009).
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :
- Berat badan kurang < 18,5
- Berat badan normal 18,5 - 22,9
- Berat badan lebih ≥ 23,0
- Dengan resiko 23 -24,9
- Obes I 25 – 29,9
- Obes II ≥ 30
b. Penentuan status gizi berdasarkan rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman
berdasarkan rumus :
Berat Badan Idaman (BBI kg) = (TB cm – 100) – 10%
Untuk laki-laki < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman tidak
dikurangi 10%.
Penentuan status gizi dihitung dari :
(BB aktual : BB idaman) x 100%
Berat badan kurang BB < 90% BBI
Berat badan normal BB 90 – 110% BBI
Berat badan lebih BB 110 – 120% BBI
Gemuk BB > 120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan
rumus Brocca.
c. Penentuan kebutuhan kalori per hari :
1. Kebutuhan basal :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
Wanita : BB idaman (kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
44

- Umur diatas 40 tahun : - 5%


- Aktivitas ringan : + 10%
(duduk-duduk, nonton televise dll)
- Aktivitas sedang : + 20%
(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)
- Aktivitas berat : + 30%
(olahragawan, tukang becak dll)
- Berat badan gemuk : - 20%
- Berat badan lebih : - 10%
- Berat badan kurus : + 20%
3. Stress metabolik : + 10% - 30%
(infeksi, opersi, stroke, dll)
4. Kehamilan trimester I dan II : + 300%
5. Kehamilan trimester III dan menyusui : + 500%

Makanan tesebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi


(20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan
(10-15%) di antara makan besar (Sudoyo, 2009).
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan normal, kecuali dalam
pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah
pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan
penderita (Sudoyo, 2009).

Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1700 kalori = 1020 kalori dari karbohidrat
yang setara dengan 255 gram karbohidrat (1020 kalori: 4 kalori/gram
karbohidrat)
2. Protein 20% = 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari protein yang setara
dengan 85 gram protein (340 kalori : kalori/ gram protein)
3. Lemak 20% = 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari lemak yang setara
dengan 37,7 gram lemak ( 340 kalori : 9 kalori/gram lemak)
45

Jenis Bahan Makanan


Ada beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan jenis makanan
yang tidak dianjurkan atau dibatasi bagi penderita Diabetes Mellitus yaitu
(ADA, 2007):
a. Sumber karbohidrat
Bahan makanan sumber karbohidrat kompleks diantaranya nasi, beras
merah, mie, kacang, kentang, ubi, singkong, gandum, sagu, sereal, dan
roti (ADA, 2007).
b. Sumber Protein Rendah Lemak
Bahan makanan sumber protein rendah lemak diantaranya: ayam tanpa
kulit, ikan, susu, skim, yoghurt, tahu, tempe, dan kacang-kacangan
(ADA, 2007).
c. Buah
Papaya, apel, pisang, kedondong, salak semangka, jeruk, pir,
belimbing, melon, dan buah mangga
d. Sayuran
Sayuran dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan A dan sayuran
golongan B
1) Sayuran golongan A
Sayuran yang bebas dikonsumsi, mengandung sedikit sekali
energi, protein dan karbohidrat. Contohnya: gambas (oyong),
lobak, selada, jamur segar, mentimun, tomat, sawi, toge, kangkung,
terong, kembang kol, lobak, labu air (ADA, 2007).
2) Sayuran golongan B
Sayuran golongan B adalah sayuran yang boleh
dikonsumsi, tetapi dibatasi 100 gram setiap hari. Jenis sayuran
golongan B diantaranya buncis, daun melinjo, daun pakis, daun
singkong, daun papaya, labu siam, katuk, pare, nangka muda,
jagung muda, genjer kacang kapri, jantung pisang, labu, waluh,
daun beluntas, bayam, kacang panjang, dan wortel (ADA, 2007).
Bahan makanan yang tidak dianjurkan bagi penderita diabetes
sebagai berikut (ADA, 2007):
46

a. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir,gula aren, jeli,


sirup, susu kental manis, kue-kue manis, cake, dodol, buah-buahan
yang diawetkan dengan gula, es krim, dan soft drink
b. Mengandung banyak lemak seperti fast food, gorengan, dan cake.
c. Mengandung bayak natrium seperti telur asin, kornet, ikan asin,
dendeng, bumbu-bumbu seperti soda kue, ragi, MSG, dan garam dapur
(jika menderita gangguan ginjal hipertensi atau penyakit jantung)

Untuk membantu mengatasi masalah kegemukan dan diabetes


mellitus, perlu mengatur kadar gula agar berada dalam kondisi normal (60-
120 mg/dl). Strategi yang dapat diterapkan adalah konsumsi makanan
yang paling rendah meningkatkan gula darah tetapi memberikan rasa
kenyang. Caranya dalah mengkonsumsi produk pangan dengan indeks
glisemik (IG) rendah dan indeks kekenyangan (IK) tinggi (ADA, 2007).
Indeks glisemik (IG) adalah respon gula darah setelah
mengkonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat. Secara umum pangan
IG rendah dicirikan dengan kaya serat dan miskin karbohidrat sehingga
lambat untuk dicerna misalnya kedelai, apel, jeruk, dan anggur. Selain itu
bahan makan IG rendah biasanya memiliki IK tinggi sehingga laju
pencernaan dan absorsinya yang lambat akan memperpanjang stimulasi
reseptor-reseptor nutrient di dalam usus. Hal ini akan memberikan
perasaan kenyang lebih lama. Karena itu, bahan makanan IG rendah dan
IK tinggi merupakan bahan makanan pengekang nafsu makan (ADA,
2007).

Tabel 1. Indeks Glikemik (ADA,2007)


47

Tabel 2. Indeks Kekenyangan (ADA, 2007)


48

Pembagian Makanan Sehari Berdasarkan Standar Diet Diabetes


Melitus
Penderita diabetes mellitus biasanya kana mendapat diet DM yang
perhitungan energinya disesuaikan dengan kebutuhan tubuhnya sehari-
hari. Dibawah ini dijabarkan pembagian porsi makanan sehari dan nilai
gizinya berdasarkan standar diet DM (ADA, 2007).
Tabel 3. Pembagian porsi makanan dan nilai gizi berdasarkan standar diet (ADA,
2007)
49

Daftar bahan makanan dinyatakan dalam dua ukuran yaitu gram


(g) dan ukuran rumah tangga (URT) untuk memudahkan penggunaan.
Dibawah ini keterang ukuran rumah tangga (ADA, 2007).

Tabel 4. Konversi ukuran gram ke ukuran rumah tangga (ADA, 2007)


50

B) Latihan jasmani
Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas
fisik merupakan salah satu dari ke empat pilar tersebut. Aktivitas minimal
otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru,
dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-
hari, seperti misalnya : bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci,
makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir,
tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan
tadi tanpa disadari oleh diabetes, telah sekaligus menjalankan pengelola
terhadap DM sehari-hari (Sudoyo, 2009).
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan
berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan,
diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap
pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan masing-masing diabetes.
Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam
keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus
melakukan kegiatan fisik (Sudoyo, 2009).
Manfaat, resiko, dan hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan
dengan latihan jasmani seorang diabetes:
a. Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali
glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi
HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan resiko
komplikasi diabetes dan kematian (Sudoyo, 2009).
b. Selain mengurangi resiko, latihan jasmani akan memberikan pengaruh
yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arterial, sensitivitas
barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent,
aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara denyut jantung dan
tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif), hipertrigliseridemi
dan fibrinolysis. Angka kesakitan dan kematian pada diabetes yang
aktif, 50% lebih rendah disbanding mereka yang santai (Sudoyo,
2009).
51

c. Pada DM tipe I, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan


metabolik, hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan.
Tetapi latihan endrance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi
endotel vascular. Dari penelitian epidiomelogi retro dan prospektif,
juga terbukti bahwa latihan jasmani yang teratur akan mencegah
komplikasi makro maupun mikrovaskular serta meningkatkan harapan
hidup (Sudoyo, 2009).
d. Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan
memperbaiki kapasitas latihan aerobic, kekuatan otot dan mencegah
osteoporosis (Sudoyo, 2009).
Diabetes yang mendapatkan terapi insulin, hipoglikemia disertai
kadar insulin yang berlebihan merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian, terutama pada saat pemulihan (Sudoyo, 2009).
Bila insulin disuntikan pada lengan atau paha, akan memperbesar
kemungkinan terjaid hipoglikemia karena peningkatan hantaran insulin
melalui darah akibat pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi.
Sehingga dianjurkan penyuntikan di daerah abdomen sebelum latuhan
jasmani. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan,
yaitu pada saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani
dikerjakan dalam wktu lama dan dalam keadaan metabolic yang tak
terkendali, akan menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari
hati, disertai peningkatan produksi benda-benda keton (Sudoyo, 2009).
Prinsip latihan jasmani bagi diabetes, persis sama dengan prinsip
latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti :
frekuensi, intensitas, durasi dan jenis.
- Frekuensi: jumlah olehraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan
teratur 3-5 kali perminggu
- Intensitas : ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
- Durasi : 30-60 menit
- Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan
kemampuankardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan
bersepeda.
52

Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta


memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot
besar. Latihan jasmani bagi diabetes tipe I, sebaiknya dilakukan pada pagi
hari. Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum
Heart Rate (MHR) yaitu : 220 – umur, setelah MHR didapatkan, dapat
ditentukan Target Heart Rate (THR). Sebagai contoh : suatu latihan bagi
seorang diabetes berumur 50 tahun disasarkan sebesar 75%, maka THR =
75% x (220 – 60) = 120. Dengan demikian, diabetes tersebut dalam
melakukan latihan jasmani, sasaran denyut nadinya adalah sekitar
120/menit (Sudoyo, 2009).
Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
- Pemanasan (Warm-up). Bagian kegiatan ini dilakukan sebelum
memasuki latihan yang sebenarnya, dengan tujuan untuk
mempersiapkan berbagai system tubuh seperti menaikan suhu tubuh,
meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan.
Pemanasan juga perlu untuk menghindari cedera akibat latihan.
Pemanasan cukup dilakukan selama 5-10 menit (Sudoyo, 2009).
- Latihan inti (conditioning). Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi
mencapai THR, agar mendapatkan manfaat latihan. Bila THR tak
tercapai, maka diabetes tak akan mendapat manfaat latihan. Sedang
bila lebih dari THR, mungkin malah bias mendapatkan resiko yang tak
diinginkan (Sudoyo, 2009).
- Pendinginan (cooling-down). setelah selesai melakukan latihan
jasmani, sebaiknya dilakukan pendinginan. Tahap ini dilakukan untuk
mencegah penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri
pada otot setelah melakukan latihan jasmani, atau pusing akibat masih
terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Bila latihan berupa jogging,
maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap berjalan untuk
beberapa menit. Bila bersepeda, tetap mengayuh sepeda, tetapi tanpa
beban. Pendinginan dilakukan selama kurang-lebih 5-10 menit, hingga
denyut jantung mendekati denyut nadi saat istirahat (Sudoyo, 2009).
53

- Peregangan (stetching). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk


melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang dan
menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi
mereka yang berusia lanjut (Sudoyo, 2009).
Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang, karena akan :
- Memberikan lebih banyak tenaga
- Membuat jantung lebih kuat
- Meningkatkan sirkulasi
- Memperkuat otot
- Meningkatkan kelenturan
- Meningkatkan kemampuan bernafas
- Membantu mengatur berat badan
- Memperlambat proses penuaan
- Memperbaiki tekanan darah
- Memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain
- Mengurangi stress
- Melawan akibat-akibat kekurangan aktivitas

7. Terapi DM
a. Anti Diabetik Oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan
untuk Diabetes Militus dan telah dipasarkan diindonesia yakni golongan
Sulfonilurea, Meglitinid, Biguanid, Tiazolidinedion, dan Penghambat α-
glikosidase (Tanu, 2012).
1. Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari
tolbutamid, tolazinamid, asetoheksimid, dan klorpropamid. Sedangkan
generasi kedua terdiri dari gliburid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid
(Tanu, 2012).
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues,
kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans
pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive
54

K channel pada membrane sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi


membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan
terbukanya kanal Ca makan ion Ca2+ akan masuk ke sel β,
merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin
dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide-C. Pada penggunaan
jangka panjang atau dosis yang besar dapat mengakibatkan
Hipoglikemia (Tanu, 2012).
Sulfonylurea berikatan dengan reseptor sulfonylurea dengan
berat molekul 140 kDa dan afinitas tinggi yang berhubungan dengan
kanal kalium satu arah yang sensitive ATP di sel β pankreas bagian
dalam. Pengikatan sulfonylurea menghambat efluks ion kalium melalui
kanal tersebut dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi membuka
suatu kanal kalsium bergerbang-tegangan dan menimbulkan influks
kalsium dan pelepasan insulin (Bertram&Katzung, 2010).
Pemberian sulfonylurea dalam jangka panjang pada penderita
diabetes tipe 2 mengurangi kadar glucagon serum, yang dapat ikut
berperan menimbulkan efek hipoglikemik obat ini. Mekanisme
penekanan sulfonylurea terhadap kadar glucagon ini masih belum jelas
namun agaknya melibatkan inhibisi tidak langsung akibat peningkatan
pelepasan insulin dan somatostatin yang menghambat sekresi sel α
(Bertram&Katzung, 2010).
Berbagai sulfonylurea mempunyai sifat kinetic berbeda, tetapi
absorbs melalui saluran cerna scukup efektif. Makanan dan keadaan
hiperglikemia dapat mengurangi absorbsi. Untuk mencapai kadar
optimal di plasma, sulfonylurea dengan masa paruh pendek akan lebih
efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar
90-99% terikat oleh protein plasma terutama albumin (Tanu, 2012).
Tolbutamid di absorbsi dengan baik namun cepat
dimetabolisme di hati. Lama kerjanya relative pendek dengan waktu
paruh eliminasi 4-5 jam, dan paling baik diberikan dalam dosis terbagi.
Karena waktu paruhnya yang pendek, obat ini menjadi sulfonylurea
yang paling aman digunakan pada pasien diabetes lansia.
55

Hipoglikemia yang berkepanjangan jarang dilaporkan, kebanyakan


pada penderita yang mendapat obat tertentu (misalnya, dikumanol,
fenilbutazon, dan beberapa sulfonamide) yang menghambat
metabolisme tolbutamid (Bertram&Katzung, 2010).
Klorpropamid mempunyai waktu paruh 32 jam dan
dimetabolisme secara perlahan di hati menjadi produk yang masih
memiliki aktivitas biologis kira-kira 20-30 diekskresikan dalam bentuk
utuh ke dalam urin. Klorpropamid juga berinteraksi dengan obat yang
disebutkan sebelumnya yang bergantung pada katabolisme oksidatif
hati, serta dikontraindikasikan pada penderita insufisiensi hati atau
ginjal. Dosis yang lebih tinggi dari 500 mg perhari meningkatkan
resiko terjadinya ikterus. Dosis pemeliharaannya adalah 250 mg
perhari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Reaksi
hipoglikemia berkepanjangan lebih sering terjadi pada pasien lansia
dan obat ini dikontraindikasikan untuk kelompok pasien tersebut. Efek
samping lain mencakup hyperemic flush setelah meminum alcohol
pada pasien yang memiliki predisposisi genetic dan hiponatremia
akibat dilusi. Toksisitas hematologic (leucopenia transien, dan
trombositopenia) terjadi kurang dari 1% pasien (Bertram&Katzung,
2010).
Tolazamid sebanding dengan klorpropamid dalam hal potensi,
tetapi lama kerjanya lebih pendek. Tolazamid diserap lebih lambat
ketimbang sulfonylurea yang lain, dan efeknya terhadap kadar gula
darah tidak tampak untuk beberapa jam. Waktu paruhnya sekitar 7
jam. Tolazamid dimetabolisme menjadi senyawa yang tetap
mempunyai efek hipoglikemik. Jika lebih dari 500mg tolazamid/ hari
dibutuhkan, dosis tersebut harus dibagi atau diberikan dua kali sehari
(Bertram&Katzung, 2010).
Sulfonilurea generasi kedua lebih sering digunakan ketimbang
sulfonylurea generasi pertama di AS karena efek sampingnya lebih
jarang terjadi dan kurang berinteraksi dengan obat-obat lain. Senyawa
sulfonylurea yang poten ini (gliburid, glipizid, dan glimepirid) harus
56

digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular


atau pada pasien lansia karena hipoglikemia terutama bahaya bagi
lansia tersebut (Bertram&Katzung, 2010).
Gliburid dimetabolisme di hati menjadi produk dengan
aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal yang biasa
diberikan adalah 2,5 mg/hari atau lebih kecil, dan dosis pemeliharaan
rerata adalah 5-10 mg/ hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada
pagi hari. Suatu bentuk formulasi “micronized”gliburid kini tersedia
dalam berbagai ukuran tablet. Akan tetapi, terdapat beberapa
pertanyaan mengenai kesetaraannya secara biologis dengan bentuk
non-micronized, dan FDA menganjurkan pemantauan secara hati-hati
untuk mentitrasi kembali dosis bila kita ingin mengganti menggunakan
obat yang diberikan dari dosis gliburid standar atau dari obat-obat
sulfonylurea yang lain (Bertram&Katzung, 2010).
Gliburid mempunyai beberapa efek samping yaitu potensi
menimbulkan hipoglikemia dan meningkatkan bersihan air bebas (free
water clearance). Gliburid dikontraindikasikan pada gangguan hati dan
pada penderita dengan insufisiensi ginjal. Glipizid mempunyai waktu
paruh terpendek yaitu 2-4 jam dari golongan obat-obat yang lebih
poten. Untuk mendapatkan efek maksimum dalam mengurangi
hiperglikemia postprandial, obat ini harus diberikan 30 menit sebelum
sarapan karena absorpsinya terhambat bila obat diberikan bersama
makanan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5mg/hari yang dapat
dinaikan sampai 15 mg/ hari yang diberikan sebagai dosis tunggal.
Bila dosis harian yang lebih tinggi diperlukan, dosis tersebut harus
dibagi dan diberikan sebelum makan. Dosis maksimum yang
dianjurkan adalah 40mg/ hari meskipun beberapa penelitian
mengindikasikan bahwa efek terapeutik maksimum dicapai dengan
dosis sebesar 15-20 mg (Bertram&Katzung, 2010).
Glimepirid telah disetujui untuk digunakan sekali sehari
sebagai monoterapi atau dalam bentuk kombinasi dengan insulin.
Glimepirid menurunkan kadar glukosa darah dengan dosis terendah
57

dari sulfonylurea manapun, dosis tunggal harian sebesar 1 mg, terbukti


efektif dan dosis maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. obat ini
bekerja dalam waktu lama dengan waktu paruh 5 jam sehingga dapat
diberikan 1 kali sehari. Glimepirid di metabolisme sepenuhnya oleh
hati menjadi produk inaktif (Bertram&Katzung, 2010).
Obat yang meningkatkan resiko hipoglikemia sewaktu
penggunaan sulfonylurea adalah insulin, alcohol, feniformin,
sulfonamide, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
anabolic steroid, fenfluramin, dan klofibrat. Propanolol dan
penghambat adrenoreseptor β lainnya menghambat reaksi takikardia,
berkeringat, dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab
termasuk oleh ADO, sehingga keadaan hipoglikemia menjadi lebih
hebat tanpa diketahui. Sulfonylurea terutama klorpropamid dapat
menurunkan toleransi terhadap alcohol, hal ini ditunjukan dengan
kemerahan terutama di muka dan leher (flush), reaksi mirip disulfiram
(Tanu, 2012).

2. Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secretagogue yang
relative baru. Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat ini
disetujui untuk digunakan secara klinis pada tahun 1998. Obat ini
memodulasi pelepasan isulin dari sel β dengan mengatur efluks kalium
melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih tempat kerja
molekularnya dengan sulfonylurea karena meglitinid memiliki dua
tempat pengikatan yang sama dengan sulfonylurea dan satu tempat
pengikatan yang berbeda (Bertram&Katzung, 2010).
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan
konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah
ditelan, namun lama kerjanya 5-8 jam. Obat ini dimetabolisme
CYP3A4 di hati dengan waktu paruh dalam plasma selama 1 jam.
Karena onsetnya yang cepat, penggunaan repaglinid diindikasikan
58

untuk mengendalikan lonjakan kadar glukosa setelah makan. Obat ini


seharusnya ditelan sesaat sebelum makan dengan dosis sebesar 0,25-4
mg (maksimum, 16 mg/hari). Hipoglikemia beresiko timbul apabila
pasien terlambat makan atau terlewatkan makan atau terdapat sedikit
karbohidrat dalam makanan tersebut. Obat ini harus digunakan secara
hati-hati. Repaglinid dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur dalam struktur
obat ini sehingga repaglinid dapat digunakan pada pasien diabetes tipe
2 yang alergi terhadap sulfonylurea atau sulfur (Bertram&Katzung,
2010).

3. Derivat D-Fenilalanin
Nateglinid, suatu derivate D-fenilalanin adalah insulin
secretatogue terbaru yang tersedia secara klinis. Nateglinid
merangsang pelepasan insulin secara sangat cepat dan berlangsung
sementara dari sel β melalui penutupan kanal K+ yang sensitive ATP.
Obat ini juga memulihkan sebagian pelepasan awal insulin sebagai
respon terhadap uji toleransi glukosa intravena. Hal tersebut dapat
menjadi keuntungan obat ini karena diabetes tipe 2 berkaitan dengan
hilangnya respons awal terhadap insulin. Restorasi sekresi insulin yang
lebih normal dapat menekan pelepasan glukoisa diawal waktu makan
dan menimbulkan penurunan produksi glukosa di endogen atau
glukosa di hati (Bertram&Katzung, 2010).
Nateglinid ditelan sesaat sebelum makan. Obat ini diabsorbsi
dalam waktu 20 menit setelah pemberian obat oral dan waktu kadar
puncaknya kurang dari 1 jam serta dimetabolisme di hati oleh CYP2C9
dan CYP3A4 dengan waktu paruh selama 1,5 jam. Lama kerja obat ini
kurang dari 4 jam. Nateglinid memperkuat respons sekretorik insulin
terhadap beban glukosa namun efeknya sangat berkurang pada
keadaan normoglikemia. Insidens hipoglikemia akibat nateglinid
mungkin paling rendah dari golongan insulin secretagogue dan
59

memiliki keuntungan dalam hal keamanan penggunaannya pada pasien


dengan penurunan berat pada fungsi ginjal (Bertram&Katzung, 2010).

4. Biguanida
Biguanida sebenernya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu
obat antihiperglikemik. Obat ini tidak menyebabkan rangsangan
sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia.
Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan
sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi
karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase)
(Tanu, 2012).
Kerja biguanid dalam menurunkan kadar gula darah tidak
bergantung pada sel β pankreas yang berfungsi. Pasien dengan diabetes
tipe 2 sangat jarang mengalami hipoglikemia selama puasa maupun
hiperglikemia postprandial setelah pemberian biguanid. Hipotesis
mengenai mekanisme kerja preparat ini meliputi penurunan
glukoneogenesis di hati dan ginjal, perlambatan absorpsi glukosa dari
saluran cerna dengan peningkatan konversi glukosa menjadi laktat oleh
eritrosit, dan stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan
peningkatan bersihan glukosa dari darah serta penurunan kadar
glucagon plasma (Bertram&Katzung, 2010).
Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam, tidak berikatan
dengan protein plasma, tidak dimetabolisme dan diekskresikan oleh
ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blockade glukoneogenesis oleh
metformin, obat ini dapat mengganggu metabolisme asam laktat dihati.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, biguanid menumpuk sehingga
meningkatkan resiko asidosis laktat, yang agaknya menjadi suatu
komplikasi yang bergantung pada dosis biguanid tersebut
(Bertram&Katzung, 2010).
Biguanid tidak boleh digunakan pada kehamilan, pasien
penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit
jantung kongestif serta penyakit paru dengan hipoksia kronik. Pada
60

pasien yang akan diberikan zat kontras intravena atau yang akan
dioperasi, pemberian obat ini sebaiknya dihentikan terlebih dahulu
(Tanu, 2012).

5. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion (Tzd) bekerja dengan menurunkan resistensi
insulin. Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam
metabolisme lipid dan glukosa dan diferensiasi adiposit. Tzd
merupakan ligan peroxisome proliferator-activated receptor-gamma
(PPAR-γ), yaitu bagian dari superfamili steroid dan tiroid di reseptor
inti, reseptor PPAR ini ditemukan di otot, lemak, dan hati. Reseptor
PPAR-γ bersifat kompleks dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat
dalam metabolisme glukosa dan lipid, transduksi sinyal insulin, dan
diferensiasi adiposity dan jaringan lainnya (Bertram&Katzung, 2010).
Pioglitazon memiliki aktivitas PPAR-α dan PPAR-γ. Obat ini
diserap dalam waktu dua jam setelah ditelan. Meskipun keberadaan
makanan dapat menghambat penyerapan, bioavailabilitas totalnya
tidak terpengaruh. Pioglitazon dimetabolisme oleh CYP2C8 dan
CYP3A4 menjadi metabolit aktif. Bioavailabilitas sejumlah besar obat
lain juga diuraikan oleh enzim tersebut dapat dipengaruhi oleh
pemberian pioglitazon, termasuk kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen. Dapat diberikan sehari sekali dengan dosis awal 15-30 mg.
efek obat ini dalam mengurangi trigliserida lebih bermakna ketimbang
efek rosiglitazon. Rosiglitazon cepat diserap dan terikat oleh protein
plasma. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif oleh
CYP2C8 dan pada tingkat yang lebih rendah oleh CYP2C9. Obat ini
diberikan sekali atau dua kali sehari dengan dosis total 4-8 mg
(Bertram&Katzung, 2010).

6. Inhibitor Alfa-Glukosidase
Obat golongan penghambat alfa glikosidase ini dapat
memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di
61

intestine. Dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase di brush


border intestine, dapat mencegah glukosa plasma pada orang normal
dan pasien DM. Karena kerjanya tidak dipengaruhi sekresi insulin,
maka tidak akan menyebabkan efek hipoglikemik. Akarbose dapat
digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang
glukosa postprandialnya sangat tinggi (Tanu, 2012).
Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba
dan miglitol suatu derivate desoksi nojirimisin, secara kompetitif juga
menghambat glukoamilase dan sukrase tetapi efeknya pada α-amilase
pankreas lemah. Kedua preparat dapat menurunkan glukosa plasma
postprandial pada DM tipe 1 dan 2, dan pada tipe 2 dengan
hiperglisemia yang hebat dapat menurunkan HbA1c (Tanu,2012).

Tabel 5. Obat hipoglikemik oral yang tersedia di Indonesia


Nama Generik Dosis Dosis Awal Lama Kerja Frekuensi
Maksimal (jam) (kali)
Sulfonylurea
Klorpropamid 500 50 6-12 1
Glibenklamid 15-20 2.5 12-24 1-2
Glipisid 20 5 10-16 1-2
Glikasid 240 80 10-20 1-2
Glikuidon 120 30 10-20 2-3
Glipisid GITS 20 5 1
Glimepirid 6 1 1
Biguanid
Metformin 2500 500 1-3
Inhibitor α
glukosidase
Acarbose 300 50 1-3
62

b. Terapi Insulin
Insulin merupakan obat utama pada IDDM (Insulin dependent
diabetes mellitus) dan beberapa jenis DM tipe 2. Insulin dapat diberikan
dalam berbahgai cara intravena (i.v), Intramuskular (i.m), dan subcutan
(s.c). Preparat insulin dibedakan berdasarkan lama kerjanya (rapid-acting
insulins, short-acting insulins, intermediate-acting insulins, dan long
acting insulins) (Setiabudy, 2008).
Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak dapat di atasi dengan OAD oral, pasien DM
pascapancreatektomi, atau DM gestasional, DM dengan ketoasidosis,
koma non ketosis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi (DM
tipe 1 dan DM tipe 2). Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan
tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga
memperbaiki semua aspek metabolisme, dan yang terakhir inilah yang
umumnya sukar dicapai (Setiabudy, 2008)..
Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut :
a. Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren,
ketoasidosis, dan koma.
b. Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary
control.
c. Penurunan badan yang drastis
d. Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis
maksimal.
e. Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat.

Tabel 6. Macam-macam terapi insulin berdasarkan farmakokinetik (Dipiro et al,


2008)
Tipe Insulin Onset (jam) Peak (jam) Durasi (jam) Durasi
Maksimun
(jam)
Rapid acting
Aspart 15-30 menit 1-2 3-5 5-6
63

Lispro 15-30 menit 1-2 3-4 4-6


Glulisine 15-30 menit 1-2 3-4 5-6
Inhaled 15-30 menit 1-2 6 8
human
insulin
Short acting
Regular 0,5-1 jam 2-3 3-6 6-8
Intermediate
acting
NPH 2-4 jam 4-6 8-12 14-18
Long acting
Detemir 2 jam 6-9 14-24 24
Glargin 4-5 jam - 22-24 24

Keadaan mendekati normoglisemia dicapai pada DM dengan


multiple dosis harian insulin atau dengan infusion pump therapy, yang
tujuannya mencapai glukosa darah puasa antara 90-120 mg/dL. (5-6,7
mM), glukosa 2 jam postprandial < 150 mg/dL (8,3 mM), HbA1c < 7%
(atau 6,5%). Pada pasien yang kurang disiplin atau kurang patuh terhadap
terapi, mungkin perlu dicapai nilai glukosa darah puasa yang lebih tinggi
(140 mg/dL atau 7,8 mM) dan postprandial 200-250 mg/dL atau 11,1-13,9
mM (Setiabudy, 2008).
Kebutuhan insulin harian. Produksi insulin pada orang nomal,
sehat yang kurus antara 18-40 U per hari atau 0,2-0,5 U/Kg berat badan
per hari, dan hampir 50% disekresi pada keadaan basal, 50% yang lain
karena adanya asupan makanan. Sekresi basal insulin sekitar 0,5-1 U/jam,
setelah asupan glukosa oral dalam jumlah besar, sekresi meningkat
menjadi 6 U/jam. Pada orang non diabetic dengan obesitas dan resisten
insulin, sekresi meningkat 4x lipat atau lebih tinggi (Setiabudy, 2008).
Pada berbagai populasi pasien DM tipe 1, rata-rata dosis insulin
dibutuhkan berkisar antara 0,6-0,7 U/Kg berat badan per hari, sedangkan
pasien obesitas membutuhkan dosis lebih tinggi (2 U/Kg berat badan per
64

hari) karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin (Setiabudy,


2008).
Kombinasi insulin, Insulin regular dapat dikombinasi dengan
beberapa jenis insulin lain. Bila dikombinasi dengan insulin lente maka
efeknya akan lebih lambat. Bila insulin regular dikombinasi dengan insulin
lente maka efeknya akan lebih lambat. Bila insulin regular dikombinasikan
dengan insulin ultralente dengan perbandingan 1:3. Untuk mencegah
perubahan masa kerja kombinasi seperti ini harus segera diberikan secara
terpisah. Insulin lente dapat disuntikan atau diberikan secara terpisah.
Insulin lente dapat dikombinasikan tanpa mengubah aktivitas dari
komponen (Setiabudy, 2008).
Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5-
150 U sehari tergantung dari keadaan pasien. Selain faktor-faktor tersebut
di atas, untuk penetapan dosis perlu dketahui kadar glukosa darah puasa
dan dua jam sesudah makan serta kadar glukosa dalam urin empat porsi,
yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan jam 21-7 (Setiabudy,
2008).
Dosis terbagi insulin digunakan pada DM : (1) yang tidak stabil
dan sukar dikontrol, (2) bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak
dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal per hari, dan (3) pasien yang
membutuhkan insulin lebih dari 100 U per hari (Setiabudy, 2008).
Penatalaksanaan pasien DM. Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5
U/KgBB. Pasien IDDM yang baru belum perlu diberi insulin karena
kadang terjadi remisi dan pada periode ini insulin tidak dibutuhkan. Untuk
terapi awal, regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan
dan diberikan 2 kali sehari. Untuk DM dewasa yang kurus: 8-10 U insulin
kerja sedang diberikan 20-30 menit sebelum makan pagi dan 4-5 U
sebelum makan malam, DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U
sebelum makan malam. Dosis ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil
pemeriksaan glukosa darah dan urin (Setiabudy, 2008).
Hipoglikemia merupakan efek samping yang sering terjadi pada
pemberian insulin ini yang dosisnya terlalu besar, tidak tepatnya waktu
65

makan dengan waktu tercapainya kadar puncak insulin, atau karena


adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
missal insufisiensi adrenal atau pituitary, ataupun akibat kerja fisik yang
berlebihan (Setiabudy, 2008).
Reaksi alergi dan resistensi. Penggunaan insulin rekombinan dan
insulin yang lebih murni, telah dapat menurunkan insiden reaksi alergi dan
resistensi. Meski demikian kadang-kadang reaksi tersebut masih dapat
terjadi akibat adanya bekuan atau atau terjadinya denaturasi preparat
insulin, atau kontaminan, atau akibat pasien sensitif terhadap senyawa
yang ditambahkan pada proses formulasi preparat insulin (missal: Zn,
protamin, fenol, dll). Reaksi alergi lokal pada kulit yang sering terjadi
karena IgE atau resistensi akibat timbulnya antibody IgG. Reaksi alergi
kulit umumnya dapat di atasi dengan antihistamin sedangkan bila reaksi
tersebut hebat atau terjadi resistensi, dapat diberikan glukokortikoid.
Tetapi tentu kortikosteroid ini tidak dapat diberikan terlalu lama karena
efek hiperglisemianya (Priyanto, 2009).
Lipoatrofi jaringan lemak subkutan ditemapat suntikan dapat
timbul akibat variant respon imun terhadap insulin, sedangkan
lipohipertrofi dimana terjadi penumpukan lemak subkutan akibat efek
lipogenik insulin yang kadarnya tinggi pada daerahh tempat suntikan
(Priyanto, 2009).
Efek samping lainnya. Edema, rasa kembung di abdomen dan
gangguan visus, timbul pada banyak pasien DM dengan hiperglikemia
hebat atau ketoasidosis yang sedang diterapi dengan insulin, dan ini
berhubungan dengan peningkatan berat badan sekitar 0,5 sampai 2,5 Kg.
Umumnya edema akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu
kecuali bila ada gangguan fungsi ginjal dan jantung. Kaitannya dengan
permeabilitas kapiler akibat kontrol metabolik yang tidak adekuat
(Priyanto, 2009).
66

8. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik,
koma hiperglikemia, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia
(poliuria, polidipsi, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir
(IHD, retinopati, penyakit vaskuler perifer, neuropati perifer), atau
komplikasi akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya
ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja
saat melakukan pemeriksaan darah atau urin. Maka hal di atas harus di
tanyakan secara lengkap (Mahler, 2007).
Riwayat Penyakit Dahulu
 Apakah pasien diketahuii mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana
manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan
untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan pemeriksaan urin, tes darah,
HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan
mengenai komplikasi sebelumnya (Mahler, 2007).
 Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia.
 Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit
vakular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus,
perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom
(gejala gastroparesis-muntah, kembung, diare).
 Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.
 Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
 Hipertensi-terapi
 Diet/berat badan/olahraga.

Riwayat Pengobatan
 Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-
obatan hipoglikemia oral, atau insulin?
 Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya
kortikosteroid, siklosporin)?
 Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol?
67

 Apakah pasien memiliki alergi?

Riwayat Keluarga dan Sosial


 Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
 Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?
 Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan
sebagainya (pasangan/pasien/perawat)?

2) Pemeriksaan Fisik
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada
seluruh tubuh. Maka dalam pemeriksaan fisik harus dilakukan
pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya ditemukan beberapa kelainan
sebagai berikut (Mahler, 2007):
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah
satu resiko DM sebagai berikut (Mahler, 2007):
 Usia > 45 tahun
 Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2
 Hipotensi (> 140/90 mmHg)
 Riwayat DM dalam keluarga
 Riwayat abotus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >
4000 gram
 Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau TG > 250 mg/dl
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT
dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka.
Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahap sementara menuju DM.
Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM. 1/3 tahap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. TGT sering
berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT
sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia (Mahler, 2007).
68

Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi


DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan
sekunder dapat segera diterapkan (Mahler, 2007).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Mahler, 2007).

Gambar 5. Keadaan-keadaan yang mungkin ditemukan dalam pemeriksaan fisik

 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa


(Mahler, 2007).
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) >200mg/dl
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) >126 mg/dl
3. Kadar glukosa plasma >200 mg/dl pada 2 jam sesudah diberi beban
glukosa 75 gram pada TTGO
69

Tabel 7: kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (Mahler, 2007).
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar Plasma Vena <110 110-199 >200
glukosa
darah Plasma <90 90-199 >200
sewaktu Kapiler
(mg/dl)
Kadar Plasma Vena <110 110-125 >126
glukosa
Darah puasa Plasma <90 90-109 >110
(mg/dl) Kapiler

Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan


Toleransi Glukosa
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva
pada pasien wanita. Jika keluhan khas pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa >126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM
(Mahler, 2007).
70

Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa


(Mahles, 2007)

Untuk keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah
71

sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa
oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembedahan >200mg/dL
(Mahler, 2007)
9. Penatalaksanaan yang Komprehensif pada Diabetes Melitus (Algoritma)

Keluhan klinis diabtetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)

GDP : > 126 <126 ≥ 126 110-125 <110


GDP : ≥ 200 <200 ≥ 200 110-199 <110

Ulang GDS atau GSP

>126 <126 TTGO


≥200 <200 GD 2 jam

≥200 140-199 <140

DIABETES MELITUS TGT GDPT


normal
Evaluasi status gizi nasihat umum
Evaluasi penyulit DM perencanaan makan
Evaluasi dan perencanaan makan latihan jasmani
Sesuai kebutuhan berat idaman
Belum perlu obat penurun glukosa

GDP : Glukosa darah puasa


GDS : Glukosa darah sewaktu
GDPT : Glukosa darah puasa terganggu TGT : Toleransi Glukosa Terganggu
72

Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa


1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dl
3. Konsentrasi glukosa darah > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO “
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari
yang sama, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik berat seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuria,
polidipsi, polifagia, dan BB menurun cepat. Cara diagnostik dengan
kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologis
pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa
darah puasa 2 jam pasca pembebanan untuk DM gestasional juga
dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
73

DAFTAR PUSTAKA

ADA, Standards of Medical Care in Diabetes—2007. Diabetes Care 30:S4-S41,


2007.
Bertram & Katzung, 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
Dipiro, J. T., Robert, L. T., Gary, C. Y., Gary, R. M., Barbara, G.W., Michael, P.
2008. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach Sevent Edition. The
McGraw Hill Companies, New York
Dipiro. 2008. Pharmacologhy Approach.
Ganong. 2012. Patofisiologi Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed )
NIDDM and glucose transport in cells. Molecular Endocrinology and
Development CNRS Meudon, France: 6 – 16.
Guyton, AC & Hall,2012. Buku Ajar Fisiologi Manusia. EGC, Jakarta.
Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 –80
Mahler RJ and Adler ML. Type 2 diabetes mellitus: Update on diagnosis,
pathophysiology and treatment. J Clin Endocrinol Metab 2007; 84
(4):1165- 71.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi & Terminologi Medis. Jakarta. LESKONFI
Setiabudy, R. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Fakultas Kedokteran-
Universitas Indonesia, Jakarta
Sudoyo, A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid III.
Interna Publishing, Jakarta
Tanu, Ian. 2012. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin dependent
diabetes mellitus. Diabetes Care 7 : 491 – 502

Anda mungkin juga menyukai