Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang dengan keluhan telapak kaki kanannya
terdapat luka yang tidak sembuh-sembuh walau sudah diobati. Satu minggu yang
lalu, luka sebesar uang logam makin lama luka makin membesar disertai nanah
dan bau. Pasien memiliki riwayat diabetes militus sejak 2 tahun yang lalu dan
mendapatkan pengobatan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya luka
ulkus pada telapak kaki kanan. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium GDS dan HbA1C, serta konseling dengan bagian gizi untuk
mengatur pola makan.
STEP I
1. Diabetes meilitus:
- Gangguan metabolik secara klinis bersifat heterogen dengan manifestasi
hilangnya toleransi glukosa
- Peningkatan gula darah akibat turunnya insulin/ kelainan dari sekresi
insulin
Kesimpulan: Gangguan metabolik bersifat heterogen dengan manifestasi
peningkatan glukosa darah akibat kelainan sekresi dan fungsi insulin
2. Pemeriksaan HbA1C:
- Untuk mendeteksi apakah sebelumnya sudah pernah mengalami DM atau
belum
- Zat yang terbentuk dari ikatan glukosa dan Hb
Kesimpulan: Pemeriksaan glukosa dengan melibatkan ikatan glukosa dan Hb
sebagai indikasi rutinitas pasien mengkonsumsi obat
STEP II
1. Apa saja faktor resiko DM?
2. Klasifikasi DM?
3. Bagaimana patofisiologi DM?
4. Bagaimana hubungan riwayat DM dengan luka yang tidak sembuh?
5. Tanda dan gejala DM?
2
STEP III
1. Faktor resiko:
- Keturunan
- Usia
- Gaya hidup
- Obesitas
- Stress
- Kehamilan
- Hipertensi
- Ras
2. Klasifikasi DM
- DM tipe 1
- DM tipe 2
- DM gestasional
- DM tipe lain pradiabetes
defek genetik fungsi sel beta
3. Patofisiologi DM
a. DM insulin resistensi insulin obesitas
Glukosa darah
Gangguan metabolisme KH kerusakan sel β
Glikolisis dan glukoneogenesis autoimun
Glikogenesis
b. Infeksi pankreas pankreatitis rusak sel eksokrin – endokrin
defisiensi imun penumpukan gula darah DM
4. Hubungan riwayat DM dengan luka di kaki
3
STEP IV
1. Ras : berpengaruh terhadap gaya hidup
Usia : fungsi organ yang menurun
2. a. DM tipe 1 (Insulin Dependent)
DM tipe 1 ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan difisiensi insulin
absolute atau berat. Pemberian insulin sangat penting pada pasien dengan
DM tipe 1.
- sel β pankreas rusak insulin
- Autoimun
- < 40 tahun
b. DM tipe 2
Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap kerja insulin
disertai defisiensi relative pada sekresi insulin. Individu yang terkena
dapat lebih resisten atau mengalami defisiensi sel β yang lebih parah, dan
kelainannya dapat ringan atau parah. Meskipun insulin diproduksi oleh sel
β pda pasien ini, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi
resistensi, dan kadar glukosa darah meningkat. Gangguan kerja insulin
juga memengaruhi metabolisme lemak sehingga meningkatkan kadar asam
lemak bebas dan trigliserida serta menurunkan kadar lipoprotein
berdensitas tinggi (HDL).
- Adanya resistensi insulin karena reseptor rusak
- > 40 tahun
5
c. DM tipe 3
Diabetes tipe 3 merujuk pada berbagai penyebab spesifik lain untuk
peningkatan kadar glukosa darah: penyakityang tidak melibatkan
pankreas, terapi obat dll.
- Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
d. DM gestasional (DM tipe 4)
DM tipe ini didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang
ditemukan pertama kali pada saat kehamilan. Saat kehamilan, plasenta dan
hormone plasenta menimbulkan resistensi insulin yang paling mencolok
pada trimester ketiga.
- Aktivitas plasenta
- Ketergantungan hormon
Manfaat :
- Menilai kualitas pengendalian diabetes dengan tujuan untuk mencegah
komplikasi diabetes dan menilai efektivitas perubahan terapi setelah 2-3
bulan.
- Merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status
glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe DM
- Bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik
Indikasi :
- Dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM
7
Mikrokopis Makrokokopis
Gejala dan
tanda Komplikasi
Pemeriksaan
penunjang
Fisiologi
Klasifikasi DM Diabetes Mielitus
gula darah
Gaya hidup
STEP V
1. Bagaimana fisiologi pengaturan gula darah?
2. Struktur dan fungsi organ yang berperan dalam pengaturan gula darah?
3. Hormon yang berperan dalam pengaturan gula darah?
4. Kelainan pengaturan gula darah?
5. Komplikasi DM serta mekanismenya?
6. Penyuluhan life style ?
7. Terapi DM?
STEP VI
(Belajar mandiri)
STEP VII
1. Fisiologi gula darah
mekanisme sel dasar untuk sekresi insulin dari sel – sel beta
pancreas sebagai respon terhadap kenaikan kadar gula darah yaitu faktor
pengatur utama sekresi insulin. Sel – sel beta tersebut mempunyai
sejumlah besar pengangkut glukosa (GLUT-2) yang memungkinkan
terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan nilai
kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam
sel, glukosa akan terfosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh glukokinase.
Langkah ini agaknya menjadi penentu kecepatan metabolisme glukosa di
sel beta dan dianggap sebagai mekanisme utama untuk mendeteksi
glukosa dan menyesuaikan jumlah insulin yang disekresikan denga kadar
glukosa darah. Glukosa-6fosfat selanjutnya dioksidasi untuk membentuk
adenosi trifosfat (ATP), yang menghambat kanal kalium yang peja ATP di
sel. Penutupan kanal kalium akan mendepolarisasikan membran sel
sehingga akan membuka kanal natrium bergabung voltase. Yang sensitif
terhadap voltase membran. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk
kalsium yang merangsang penggabungan vesikel yang berisi insulin
dengan membran sel dan sekresi insulin ke dalam cairan ekstrasel melalui
eksositosis (Guyton, 2012).
9
2. Struktur dan fungsi organ yang berperan dalam pengaturan gula darah
a. Hepar
Sumber utama glukosa plasma adalah absorpsi glukosa oleh usus
yang berasal dari pemecahan makanan, glukoneogenesis (pembentukan
12
b. Hipofisis
Sistem saraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus; merupakan hubungan yang paling nyata antara system saraf
pusat dan system endokrin. Kelenjar hipofosis memberi respon terhadap
releasing hormon - hormon tropik hipofisis, hormon - hormon yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis diangkut bersama darah dan merangsang
kelenjar - kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormon - hormon kelenjar
sasaran. Akhirnya, hormon- hormon kelenjar sasaran bekerja pada
neuromekanisme atau pada sel-sel hipofisis dan memodifikasi sekresi
hormon. Modalitas pengaturan umpan balik yang lain dimana substansi
metabolic yang diatur oleh hormon tersebut.contoh misalnya insulin dan
glukosa,respon terhadap insulin akan mengubah kadar glukosa dalam
darah. Ketika kadar glukosa meningkat, insulin disekresi. Jika kadar
glukosa turun, insulin dihentikan. Walaupun beberapa hormone hipofisis
dapat mempengaruhi pelepasan insulin secara tidak langsung. Oleh karena
itu, dalam karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi
monosakarida dan diabsorpsi terutama di dalam duodenum dan jejunum.
Sesudah di absorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara
waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula (Guyton, 2012).
15
c. Pankreas
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan
kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa
darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama
dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar
pankreas (Kramer, 1995).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor
hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan
enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk
proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung – gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan
enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-
peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan
melalui membran sel (Kramer, 1995).
Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat
dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar
glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin.
Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat
pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi
insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup
rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas (Kramer, 1995).
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin,
setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah
proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran
sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang
berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
16
Glucose Ca2+
K+ channel Insulin
GLUT-2 Channel Release
shut Opens
Glucose K+
↑
Glucose-6-phosphate Insulin + C peptide
Depolarization Cleavage
Gambar 2. Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi Glukosa (Kramer, 1995).
Intravenous Second
glucose
Insulin stimulation Phase
IGT
Secreti
on First-Phase
Normal
Basal
19
b. Glukagon
Glukagon ialah suatu peptida hormon disekresikan oleh pankreas
untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Efeknya adlah kebalikan dari
insulin, yang menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon dihasilkan oleh
sel α pankreas (Guyton, 2012).
Pankreas melepaskan glukagon ketika kadar glukosa dalam darah
menurun, sehingga menyebabkan hati untuk mengkonveksi glikogen yang
disimpan menjadi glukosa, yang dilepaskan ke dalam aliran darah. Sekresi
glukagon dirangsang oleh (Guyton,2012):
1. Hipoglikemia
24
2. Epinefrin
3. Asetilkolin
Glukagon umumnya mengangkat jumlah glukosa dalam darah
dengan mempromosikan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Glukosa
disimpan dalam hati dalam baentuk glikogen, yang merupakan pati dari
molekul glukosa. Ketika glukagon mengikat ke reseptor glukagon, sel-sel
hati mengubah glikogen menjadi polimer molekul glukosa individu, dan
melepaskan ke dalam aliran darah yang dikenal dengan proses
glikogenolisis. Selain proses glikogenolisis, glukagon mendorong hati dan
ginjal untuk mensintesis glukosa tambahan yang dikenal dengan
glukoneogenesis. Glukagon juga mengatur tingkat produksi glukosa
melalui lipolisis (Guyton, 2012).
c. Epinefrin
Dikenal sebagai adrenalin adalah hormon dan neurotransmitter.
Epinefrin memiliki banyak fungsi dalam tubuh, epinefrin adalah salah satu
dari sekelompok monoamin yang disebut katekolamin. Hal ini dihasilkan
dalam beberapa neuron dari sistem saraf pusat, dan dalam sel chromaffin
dari medula adrenal dari asam amino fenilanin dan tirosin (Guyton, 2012).
Epinefrin bekerja pada hampir semua jaringan tubuh. Fungsi
kerjanya berbeda berdasarkan tipe jaringan dan ekspresi jaringan reseptor
adrenergik. Adrenalin adalah nonselektif agonis dari semua reseptor
adrenergik. Epinefrin yang mengikat reseptor memicu sejumlah perubahan
metabolik. Reseptor mengikat α-adrenergik menghambat insulin yang
disekresi oleh sel beta pankreas, merangsang glikogenolisis di hati dan
otot, dan merangsang glikolisis dalam otot. Reseptor β-adrenergik
mengikat reseptor memicu sekresi glukagon yang dihasilkan oleh sel alfa
pankreas, meningkatkan hormon adrenokortikotropik (ACTH) oleh sekresi
pada kelenjar pituitari, dan meningkatkan lipolisis oleh jaringan adiposa.
Bersama-sama, efek ini menyebabkan peingkatan glukosa darah dan asam
lermak, menyediakan substrat untuk produksi energi dalam sel di seluruh
tubuh (Guyton, 2012).
25
d. Glukokortikoid
Kortisol / hidrokortisol adalah hormon steroid atau glukokortikoid
diproduksi oleh zona fasiculata dari korteks adrenal. Fungsi utamanya
adalah untuk meningkatkan gula darah melalui glukoneogenesis, menekan
sistem kekebalan tubuh, dan membantu dalam metabolisme lemak, protein
dan karbohidrat (Guyton, 2012).
Kortisol memainkan peranan penting dalam glikogenolisis.
Glikogenolisis dirangsang oleh epinefrin, namun kortisol memfasilitasi
aktivasi fosforilasi glikogen, yang penting untuk efek epinefrin pada
glikogenolisis. Peningkatan kadar kortisol, jika berkepanjangan dapat
menyebabkan proteolisis dan pengecilan otot (Guyton, 2012).
b. Hiperglikemia
Pada keadaan kritis, terdapat stres dimana terjadi aktivasi sistim
aksis hipothalamus-pituatary-adrenal (HPA) dengan dilepaskannya
kortisol dari kelenjar adrenal. Peningkatan kortisol mengakibatkan
peningkatan dari pelepasan epinefrin, norepinefrin, glukagon dan growth
hormone. Aktivasitersebut merupakan komponen yang esensial dalam
adaptasi terhadap suatu penyakit dan stres untuk memelihara homeostasis
sel dan organ. Milieu metabolik hiperglikemia yang disebabkan oleh stres
terjadi pada pasien nondiabetik dengan keadaan kritis sangat kompleks.
Kombinasi dari berbagai faktor, termasuk adanya pelepasan yang
berlebihan dari hormon counter regulatory seperti glukagon, growth
hormone, katekolamin, glukokortikoid, dan sitokin seperti interleukin (IL)
-1, IL-6, dan tumor necrosis factor-α (TNF–α) ditambah dengan
pemberian katekolamin, dektrosa dan nutrisi sebagai terapi penunjang
27
b. Komplikasi Kronik
Hiperglikemia menyebabkan terjadi komplikasi pada DM. Pada
keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan pembentukan Protein
Glikasi non enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika (Ganong, 2012).
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya
kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
a) Patofisiologi Retinopati Diabetik
30
2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati
tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih
seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit, kardiovaskular
dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin
puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner
sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Sudoyo, 2009).
a) Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada
50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris yang timbul saat
beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak
mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat
tidak timbul pada penderita diabetes sehigga perlu perhatian yang
lebih teliti (Sudoyo, 2009).
33
b) Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas
kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga
penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita
diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan
arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa (Sudoyo, 2009):
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
d) Kaki Diabetik
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi
pada kaki yang disebabkan oleh Diabetes Melitus. Faktor utama
yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler serta infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah
sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan
oleh penderita. Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam
terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat
di bagi menjadi (Sudoyo, 2009):
1. Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap
trauma seperti kelainan makro vaskuler dan mikro vaskuler,
jenis kelamin, merokok dan neuropati otonom. Faktor yang
meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati
motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility dan
komplikasi DM yang lain seperti mata kabur (Sudoyo, 2009).
2. Faktor presipitasi
- Perlukaan di kulit (jamur)
- Trauma.
- Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
3. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka.
- Derajat luka.
- Perawatan luka.
- Pengendalian kadar gula darah.
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi Diabetes Melitus
terjadi ketidak rataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga
aliran lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada
mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen
arteri akan tersumbat dan mana kala aliran kolateral tidak cukup,
akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. Manifestasi
35
terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini disebabkan
pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin seperti
katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan dan glukagon yang
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah (Sudoyo, 2009).
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya
fungsi netrofil dan gangguan sistim imunologi. Sebagai mana
diketahui, dalam melaksanakan fagositosis, sel PMN
membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktifitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel
PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi.
Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang
mengalami kekurangan insulin ada tiga faktor yang berperan pada
penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik. Faktor pertama
adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki
kurang baik hingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor
kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk
perkembangan bakteri patogen dan faktor ketiga ialah karena
adanya pintas arterio venosa di subkutis yang terbuka hingga aliran
nutrien tidak sampai ke tempat infeksi (Sudoyo, 2009).
Gangguan mikro sirkulasi dan neuropati punya hubungan
yang erat dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik
pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung
kaki. Hal ini di sebut sebagai fenomena dying back, di mana ada
teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf semakin
rentan untuk di serang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas,
ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena. Gangguan
mikro sirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf keadaan ini bersama dengan proses jalur
sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati juga
akan menurunkan aliran darah ke perifer hingga aliran tidak cukup
dan terjadi iskemia dan bahkan gangren (Ganong, 2012).
37
6. Terapi non-farmakologi DM
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari:
pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus-menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetes oral dan injeksi
insulin. Terapi farmakologis pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi
39
pola kebiasaan makan, status nutrisi dan factor khusus lain yang perlu
diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan
diabetes, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan
mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana (Sudoyo, 2009).
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status
gizi, status kesehatan,aktivitas fisik, dan factor usia. Selain itu juga terdapat
beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan,
gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain-lain. Pada keadaan infeksi berat
dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertingbangkan
pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalaj pentingnya
adalah masalah ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi di dalam
lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada
(Sudoyo, 2009).
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari
makanan yang akan dimakan oleh diabetes. Diabetes harus dapat melakukan
perubahan pola makan ini secara konsisten bauk dalam jadwal, jumlah, dan
jenis makanan sehari-hari (Sudoyo, 2009).
Komposisi bahan makanan yang akan dimakan terdiri dari
makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta
mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetes secara tepat (Sudoyo, 2009).
a. Karbohidrat.
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetes
tidak boleh boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energy sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian
asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty
acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4
kilokalori (Sudoyo, 2009).
b. Protein.
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana
diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka
perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energy sebesar 4 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein :
1. Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energy per hari.
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3. Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg berat badan per hari.
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai
0,85 gram/kg berat badan per hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dari protein hewani
42
c. Lemak.
Lemak mempunyai kandungan energy sebesar 9 kilokalori per
gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin A,
D, E, dan K. berdasarkan ikatan karbonnya, lemak dikelompokan menjadi
lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan
kolesterol sangat disarnkan bagi diabetesi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes.
Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid =
MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar
glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetes dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan
meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit.
PUFA mengandung asam lemak amega 3 yang dapat menurunkan kadar
sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein
lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga
dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, 2009).
Rekomendasi pemberian lemak :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksiamal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol
LDL ≥ 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat di konsumsi
200 mg per hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksiamal 10% dari
asupan kalori per hari.
43
Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1700 kalori = 1020 kalori dari karbohidrat
yang setara dengan 255 gram karbohidrat (1020 kalori: 4 kalori/gram
karbohidrat)
2. Protein 20% = 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari protein yang setara
dengan 85 gram protein (340 kalori : kalori/ gram protein)
3. Lemak 20% = 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari lemak yang setara
dengan 37,7 gram lemak ( 340 kalori : 9 kalori/gram lemak)
45
B) Latihan jasmani
Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas
fisik merupakan salah satu dari ke empat pilar tersebut. Aktivitas minimal
otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru,
dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-
hari, seperti misalnya : bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci,
makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir,
tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan
tadi tanpa disadari oleh diabetes, telah sekaligus menjalankan pengelola
terhadap DM sehari-hari (Sudoyo, 2009).
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan
berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan,
diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap
pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan masing-masing diabetes.
Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam
keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus
melakukan kegiatan fisik (Sudoyo, 2009).
Manfaat, resiko, dan hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan
dengan latihan jasmani seorang diabetes:
a. Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali
glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi
HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan resiko
komplikasi diabetes dan kematian (Sudoyo, 2009).
b. Selain mengurangi resiko, latihan jasmani akan memberikan pengaruh
yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arterial, sensitivitas
barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent,
aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara denyut jantung dan
tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif), hipertrigliseridemi
dan fibrinolysis. Angka kesakitan dan kematian pada diabetes yang
aktif, 50% lebih rendah disbanding mereka yang santai (Sudoyo,
2009).
51
7. Terapi DM
a. Anti Diabetik Oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan
untuk Diabetes Militus dan telah dipasarkan diindonesia yakni golongan
Sulfonilurea, Meglitinid, Biguanid, Tiazolidinedion, dan Penghambat α-
glikosidase (Tanu, 2012).
1. Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari
tolbutamid, tolazinamid, asetoheksimid, dan klorpropamid. Sedangkan
generasi kedua terdiri dari gliburid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid
(Tanu, 2012).
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues,
kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans
pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive
54
2. Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secretagogue yang
relative baru. Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat ini
disetujui untuk digunakan secara klinis pada tahun 1998. Obat ini
memodulasi pelepasan isulin dari sel β dengan mengatur efluks kalium
melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih tempat kerja
molekularnya dengan sulfonylurea karena meglitinid memiliki dua
tempat pengikatan yang sama dengan sulfonylurea dan satu tempat
pengikatan yang berbeda (Bertram&Katzung, 2010).
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan
konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah
ditelan, namun lama kerjanya 5-8 jam. Obat ini dimetabolisme
CYP3A4 di hati dengan waktu paruh dalam plasma selama 1 jam.
Karena onsetnya yang cepat, penggunaan repaglinid diindikasikan
58
3. Derivat D-Fenilalanin
Nateglinid, suatu derivate D-fenilalanin adalah insulin
secretatogue terbaru yang tersedia secara klinis. Nateglinid
merangsang pelepasan insulin secara sangat cepat dan berlangsung
sementara dari sel β melalui penutupan kanal K+ yang sensitive ATP.
Obat ini juga memulihkan sebagian pelepasan awal insulin sebagai
respon terhadap uji toleransi glukosa intravena. Hal tersebut dapat
menjadi keuntungan obat ini karena diabetes tipe 2 berkaitan dengan
hilangnya respons awal terhadap insulin. Restorasi sekresi insulin yang
lebih normal dapat menekan pelepasan glukoisa diawal waktu makan
dan menimbulkan penurunan produksi glukosa di endogen atau
glukosa di hati (Bertram&Katzung, 2010).
Nateglinid ditelan sesaat sebelum makan. Obat ini diabsorbsi
dalam waktu 20 menit setelah pemberian obat oral dan waktu kadar
puncaknya kurang dari 1 jam serta dimetabolisme di hati oleh CYP2C9
dan CYP3A4 dengan waktu paruh selama 1,5 jam. Lama kerja obat ini
kurang dari 4 jam. Nateglinid memperkuat respons sekretorik insulin
terhadap beban glukosa namun efeknya sangat berkurang pada
keadaan normoglikemia. Insidens hipoglikemia akibat nateglinid
mungkin paling rendah dari golongan insulin secretagogue dan
59
4. Biguanida
Biguanida sebenernya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu
obat antihiperglikemik. Obat ini tidak menyebabkan rangsangan
sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia.
Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan
sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi
karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase)
(Tanu, 2012).
Kerja biguanid dalam menurunkan kadar gula darah tidak
bergantung pada sel β pankreas yang berfungsi. Pasien dengan diabetes
tipe 2 sangat jarang mengalami hipoglikemia selama puasa maupun
hiperglikemia postprandial setelah pemberian biguanid. Hipotesis
mengenai mekanisme kerja preparat ini meliputi penurunan
glukoneogenesis di hati dan ginjal, perlambatan absorpsi glukosa dari
saluran cerna dengan peningkatan konversi glukosa menjadi laktat oleh
eritrosit, dan stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan
peningkatan bersihan glukosa dari darah serta penurunan kadar
glucagon plasma (Bertram&Katzung, 2010).
Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam, tidak berikatan
dengan protein plasma, tidak dimetabolisme dan diekskresikan oleh
ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blockade glukoneogenesis oleh
metformin, obat ini dapat mengganggu metabolisme asam laktat dihati.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, biguanid menumpuk sehingga
meningkatkan resiko asidosis laktat, yang agaknya menjadi suatu
komplikasi yang bergantung pada dosis biguanid tersebut
(Bertram&Katzung, 2010).
Biguanid tidak boleh digunakan pada kehamilan, pasien
penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit
jantung kongestif serta penyakit paru dengan hipoksia kronik. Pada
60
pasien yang akan diberikan zat kontras intravena atau yang akan
dioperasi, pemberian obat ini sebaiknya dihentikan terlebih dahulu
(Tanu, 2012).
5. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion (Tzd) bekerja dengan menurunkan resistensi
insulin. Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam
metabolisme lipid dan glukosa dan diferensiasi adiposit. Tzd
merupakan ligan peroxisome proliferator-activated receptor-gamma
(PPAR-γ), yaitu bagian dari superfamili steroid dan tiroid di reseptor
inti, reseptor PPAR ini ditemukan di otot, lemak, dan hati. Reseptor
PPAR-γ bersifat kompleks dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat
dalam metabolisme glukosa dan lipid, transduksi sinyal insulin, dan
diferensiasi adiposity dan jaringan lainnya (Bertram&Katzung, 2010).
Pioglitazon memiliki aktivitas PPAR-α dan PPAR-γ. Obat ini
diserap dalam waktu dua jam setelah ditelan. Meskipun keberadaan
makanan dapat menghambat penyerapan, bioavailabilitas totalnya
tidak terpengaruh. Pioglitazon dimetabolisme oleh CYP2C8 dan
CYP3A4 menjadi metabolit aktif. Bioavailabilitas sejumlah besar obat
lain juga diuraikan oleh enzim tersebut dapat dipengaruhi oleh
pemberian pioglitazon, termasuk kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen. Dapat diberikan sehari sekali dengan dosis awal 15-30 mg.
efek obat ini dalam mengurangi trigliserida lebih bermakna ketimbang
efek rosiglitazon. Rosiglitazon cepat diserap dan terikat oleh protein
plasma. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif oleh
CYP2C8 dan pada tingkat yang lebih rendah oleh CYP2C9. Obat ini
diberikan sekali atau dua kali sehari dengan dosis total 4-8 mg
(Bertram&Katzung, 2010).
6. Inhibitor Alfa-Glukosidase
Obat golongan penghambat alfa glikosidase ini dapat
memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di
61
b. Terapi Insulin
Insulin merupakan obat utama pada IDDM (Insulin dependent
diabetes mellitus) dan beberapa jenis DM tipe 2. Insulin dapat diberikan
dalam berbahgai cara intravena (i.v), Intramuskular (i.m), dan subcutan
(s.c). Preparat insulin dibedakan berdasarkan lama kerjanya (rapid-acting
insulins, short-acting insulins, intermediate-acting insulins, dan long
acting insulins) (Setiabudy, 2008).
Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak dapat di atasi dengan OAD oral, pasien DM
pascapancreatektomi, atau DM gestasional, DM dengan ketoasidosis,
koma non ketosis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi (DM
tipe 1 dan DM tipe 2). Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan
tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga
memperbaiki semua aspek metabolisme, dan yang terakhir inilah yang
umumnya sukar dicapai (Setiabudy, 2008)..
Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut :
a. Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren,
ketoasidosis, dan koma.
b. Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary
control.
c. Penurunan badan yang drastis
d. Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis
maksimal.
e. Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat.
8. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik,
koma hiperglikemia, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia
(poliuria, polidipsi, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir
(IHD, retinopati, penyakit vaskuler perifer, neuropati perifer), atau
komplikasi akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya
ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja
saat melakukan pemeriksaan darah atau urin. Maka hal di atas harus di
tanyakan secara lengkap (Mahler, 2007).
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien diketahuii mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana
manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan
untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan pemeriksaan urin, tes darah,
HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan
mengenai komplikasi sebelumnya (Mahler, 2007).
Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia.
Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit
vakular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus,
perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom
(gejala gastroparesis-muntah, kembung, diare).
Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.
Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
Hipertensi-terapi
Diet/berat badan/olahraga.
Riwayat Pengobatan
Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-
obatan hipoglikemia oral, atau insulin?
Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya
kortikosteroid, siklosporin)?
Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol?
67
2) Pemeriksaan Fisik
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada
seluruh tubuh. Maka dalam pemeriksaan fisik harus dilakukan
pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya ditemukan beberapa kelainan
sebagai berikut (Mahler, 2007):
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah
satu resiko DM sebagai berikut (Mahler, 2007):
Usia > 45 tahun
Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2
Hipotensi (> 140/90 mmHg)
Riwayat DM dalam keluarga
Riwayat abotus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >
4000 gram
Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau TG > 250 mg/dl
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT
dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka.
Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahap sementara menuju DM.
Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM. 1/3 tahap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. TGT sering
berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT
sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia (Mahler, 2007).
68
Tabel 7: kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (Mahler, 2007).
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar Plasma Vena <110 110-199 >200
glukosa
darah Plasma <90 90-199 >200
sewaktu Kapiler
(mg/dl)
Kadar Plasma Vena <110 110-125 >126
glukosa
Darah puasa Plasma <90 90-109 >110
(mg/dl) Kapiler
Untuk keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah
71
sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa
oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembedahan >200mg/dL
(Mahler, 2007)
9. Penatalaksanaan yang Komprehensif pada Diabetes Melitus (Algoritma)
DAFTAR PUSTAKA