Anda di halaman 1dari 5

Tari Jaipong, Pengubah Stereotipe Wanita Sunda

Oleh:
Hosea Dandy Wibowo (185060500111023)
Novelia Mega Atenta Sembiring Meliala (185060500111025)
Oliver Hartanto (185060500111027)
Deurucci Sabda Furqoni (185060500111045)
Faikar Rafiuddin Muhtada (185060500111056)

Tari Jaipong merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa
Barat yang banyak diminati dan sangat popular di Indonesia. Tarian yang sering
ditampilkan dalam berbagai acara dan festival ini merupakan penggabungan dari
beberapa seni tradisional seperti pencak silat, ketuk tilu, wayang golek, dan lain
sebagainya.
Keluwesan penari Jaipong dalam menggerakkan tubuh serta memainkan
selendang sesuai irama kendang menjadi sebuah daya tarik tersendiri dari tarian
tradisional asal Jawa Barat ini. Tarian Jaipong sangat terkenal dengan gerakan
tariannya yang lenggak-lenggok senada dengan iringan musiknya.
Tari Jaipong dipertunjukkan dengan diiringi musik tradisional Jawa Barat
yang bernama Degung. Musik ini seperti orkestra yang merupakan kumpulan dari
beragam alat musik tradisional seperti Kecapi, Saron, Kendang, Gong, dan Seruling.
Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari Tari Jaipong adalah pada iringan musiknya
yang menghentak dari bunyi kendang. Musik ini supaya memudahkan para penari
melakukan tiap-tiap gerakan di tarian tersebut karena hentakan dari kendang ini
seringkali senada dengan lenggak-lenggok tarian Jaipong. Selain itu biasanya juga ada
iringan Sinden, wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya
sebagai penyanyi satu-satunya. Pesinden yang baik harus mempunyai kemampuan
komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik.
Menurut sejarahnya, kesenian gerak tari ini diciptakan oleh seniman kelas
kakap yang bernama Haji Suanda dari Karawang. Haji Suanda adalah seorang
seniman yang sangat berbakat dimana beliau menguasai berbagai jenis kesenian dari
banyak daerah terutama kesenian di daerah karawang, seperti ketuk tilu, wayang
golek, topeng banjet, hingga gerakan bela diri yang dikenal dengan sebutan pencak
silat.
Tarian ini mulai di kenalkan kepada masyarakat sekitar pada tahun 1976
melalui sebuah media kaset yaitu “Suanda Grup”. Pada saat itu Haji Suanda dan tim
masih menggunakan alat music sederhana untuk mengiringi tariannya seperti
gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden. Ternyata respon masyarakat pada
waktu itu bisa dikatakan cukup baik dan akhirnya tarian tersebut menjadi salah satu
sarana hiburan di Karawang. Pada waktu itu, tarian ini belum disebut sebagai tari
Jaipong.
Dikarenakan tarian ini sangatlah menarik, maka tak heran banyak seniman-
seniman yang tertarik dan aktif belajar gerakan tari kreasi baru dari Haji Suanda ini.
Salah satunya adalah Gugum Gumbira, seorang komposer Sunda, pemimpin orkestra,
koreografer, dan pengusaha asal Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Setelah
menguasainya beliau memodifikasi ulang gerakan-gerakan dan mengkombinasikan
tarian tersebut dari berbagai kesenian-kesenian lain seperti ketuk tilu, kliningan dan
juga tari ronggeng , dan akhirnya menjadi sebuah pengembangan yang dinamakan
Tari Jaipong. Tarian ini pun dikenalkan ke masyarakat Bandung, dengan tujuan agar
jangkauan tarian ini bukan hanya di wilayah karawang saja.
Tari Jaipong bisa berkembang dengan begitu pesat dikarenakan oleh
melunturnya ketertarikan masyarakat terhadap tarian-tarian yang lain karena
gerakannya yang monoton, sehingga ini menjadi kesempatan emas bagi Gugum
Gumbira untuk dapat memamerkan gerakan Jaipongan sebagai tarian yang baru dan
inovatif.
Melihat respon masyarakat yang cukup tertarik dengan tarian ini, pada akhir
tahun 1979 tari Jaipong pun mengalami peningkatan yang cukup besar, dan hal ini
dapat dilihat dari bagaimana pementasannya, properti yang dipakai, dan banyaknya
masyarakat yang berminat untuk mempelajari dan menguasai tarian ini.
Semakin dikenal oleh masyarakat, pada tahun 1900an tari Jaipong ini bahkan
ditampilkan di beberapa film layar lebar di Indonesia yang dimana merupakan salah
satu pusat hiburan pada waktu tersebut, hingga akhirnya tak heran bahwa tarian
semakin dikenal dan diminati banyak daerah, mulai dari Jawa Barat seperti Sukabumi,
Cianjur, Bogor, hingga ke seluruh pelosok negeri.
Dalam sejarah perkembangan tari Sunda, tercatat bahwa etika dalam budaya
aristrokat feodalisme kehidupan kaum priyayi/menak Sunda sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat Sunda, yang pada akhirnya etika tradisi ini menjadi standar
ukuran karakteristik masyarakat Sunda. Pembentukan kesenian tradisional yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat kala itu juga mendapat pengaruh dari tatanan
etika arsitrokat feodalisme tersebut. Gugum Gumbira sebagai pencipta tari Jaipong
berlatar belakang budaya tradisi yang kuat, di sisi lain ia hidup di lingkungan
masyarakat kota. Dalam lingkungan pergaulannya di Kota Bandung (tahun 70-an),
bentuk kesenian yang digandrungi muda-mudi saat itu berasal dari barat, salah
satunya tari. Tari dari barat yang begitu dinamis dan enerjik, kontras dengan tari
Sunda yang lamban dan mononton berkat pemberlakuan berbagai aturan (patokan)
dalam masyarakat Sunda. Pemikiran kritisnya yang kuat akan keberadaan kesenian
tradisional Sunda membuatnya mulai mencari bentuk tari tradisional yang bisa
menjadi media pergaulan kaum muda kota/modern.
Terdapat dua faktor yang membentuk daya dinamika irama dalam tarian
Jaipongan. Pertama, Gugum sangat mengidolakan gaya menari dari seorang ronggeng
yang pada masa aristokrat dipandang rendah. Baginya tarian ronggeng memiliki daya
pesona tersendiri. Hal ini mempengaruhi bagian isi (pencungan) dalam koreografi
Jaipongan. Kedua, penekanan pada nilai estetika tari yang dinamis dengan intensitas
pergerakan yang tinggi mencerminkan karakterisitik kaum perempuan Sunda (mojang
Priangan) yang cantik, anggun, gesit dan lincah, serta punya daya tarik. Gugum
Gumbira menghendaki gambaran ideal perempuan Sunda secara realistis dengan
mengekspresikan hal tersebut dalam tariannya. Eksploitasi karakteristik perempuan
Sunda sangat tercermin dalam karya tari Jaipong ciptaanya.
Upaya Gugum dalam menggali lebih dalam tentang potensial seni, termasuk
ruh kasundaan-nya terlihat dalam penghayatan terhadap tatanan kearifan tradisi yang
nilai-nilainya terus hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Aura sensualitas keperempuanan yang menjadi sari (mamanis/pasieup) tari Jaipong
dikenal dengan istilah 3G (gitek, geol dan goyang). Mengenai hal ini, perlu
ditekankan bahawa terdapat persoalan nilai yang berlaku dalam tatanan budaya
Sunda. Gerakan gitek, geol dan goyang bukan semata-mata untuk mengumbar
erotisme dan sensualitas, tetapi juga terkait dengan makna “kesuburan”. Sumardjo
(2003: 99) menjelaskan bahwa pergerakan dari pusar adalah simbol kecerdasan,
sedangkan pinggul merupakan simbol kreativitas.
Tari Jaipong menampilkan image erotis lewat dominansi gerakan bahu dan
pinggul dalam pola gerak tarinya. Karena itu pada awal kemunculanya, tari kreasi ini
menimbulkan pro dan kontra serta dipandang mempunyai konotasi negatif di
masyarakat. Masyarakat Jawa Barat yang menjunjung keluruhan budi dan moral
menilai gerakan pinggil yang ditarikan tidak etis dipertotontonkan di depan umum.
Perkembangan tari Jaipong mengalami proses yang menarik. Pertentangan dan
cercaan tidak menghentikan perkembangannya. Tari jaipong yang masuk ke dalam
ranah tari kreasi baru membuatnya dapat dikembangkan oleh siapapun, sehingga
bermunculan seniman-seniman baru yang mengkreasikan tari Jaipong. Menjamurnya
tari baru melahirkan berbagai grup tari yang kerap mengisi acara-acara sebagai media
hiburan, mulai dari acara pernikahan, pesta rakyat hingga acara kenegaraan.
Popularitas tari Jaipong semakin melambung, dan pada akhirnya masyarakat nasional
maupun internasional mengenal tari Jaipong sebagai ikon tari dari Jawa Barat.
Pada perkembangan selanjutnya, era globalisasi dan modernisasi membawa
pengaruh bagi perkembangan tari Jaipong. Kemajuan ilmu pengetahuan serta
hadirnya seni-seni modern yang mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat
menjadi tantangan baru bagi seniman Jaipong. Hal ini mendorong terjadinya
transformasi teknik, fungsi dan nilai-nilai yang terdapat dalam pertunjukan tari.
Dilihat dari aspek psikografisnya, tari jaipongan ini ditujukan untuk kalangan
menengah ke bawah sampai dengan menengah ke atas, dapat mengerti dan dapat
memahami suatu kesenian. Dengan demikian tari jaipong dalam memenuhi kebutuhan
individu dan sosial merupakan cara yang digunakan sebagai penyampaian ekspresi
jiwa dalam konteks keberkaitannya dengan kepentingan lingkungan. Oleh karena itu
tari jaipong juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi, pemujaan, dan
pernyataan batin manusia dalam kaitannya dengan ekspresi kehendak.
Jaipongan sebagai bentuk seni mengandung simbol-simbol tertentu yang dapat
dimengerti dan ditafsirkan oleh penikmatnya. Simbol menjadi sesuatu yang penting
bagi manusia. Seperti dalam hal filsafat, Jaipongan mengandung simbol sebagai
pemberontakan dan kebebasan dari kaum perempuan yang selalu terbelunggu dengan
berbagai aturan yang sangat mengikat, sehingga membatasi ruang gerak dari kaum
perempuan.
Filosofi dari tarian ini tersirat dari setiap gerakan yang ada. Gerakan pencak
silat yang ada dalam tarian ini menunjukkan bahwa membuktikan bahwa seni tidak
membeda-bedakan laki-laki dan perempuan dalam bentuk apapun, semuanya berada
di titik kesetaraan.
Gerak pencak, gibas, tangkis, dan giwar di tarian ini ingin menonjolkan sisi
maskulin dan kejantanan, dimana gerakan ini diatur dan ditempatkan sedemikian rupa
sehingga dalam tarian ini selain memperlihatkan keindahan dan kelembutan wanita,
namun bukan berarti wanita tidak dapat memiliki kekuatan layaknya seorang pria.
Gerak cingeus yang sangat terlihat dari betapa gesitnya para penari dalam
menggerakan anggota badan mereka menunjukkan bahwa wanita pun cekatan dan
luwes dalam menghadapi kehidupan.
Gerakan kaki seperti gerak sonteng, depok, dan minced menggambarkan
bahwa perempuan Sunda masa kini tidak sama seperti dahulu yang cenderung malas,
melainkan lebih gesit dan dapat beradaptasi dengan sekitarnya.
Gerakan liukan tubuh yang lentur dalam tari Jaipong ini menunjukkan
bagaimana seorang wanita pun dapat fleksibel dalam menghadapi tantangan dan
persoalan kehidupan.
Gerak galeong dengan mata yang melirik menggambarkan kemampuan dalam
menyuarakan pendapat serta berkomunikasi telah dimiliki oleh wanita masa kini.
Disamping gerakan yang penuh makna, variasi dari tempo musik yang
terkadang cepat, sedang, lambat menunjukkan bahwa perempuan Sunda tidak
monoton dan dapat beradaptasi dengan cepat tidak sama seperti dirinya yang dulu.
Perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap
dalam gerak Jaipongan. Banyak orang yang memiliki pendapat bahwa perempuan
Sunda adalah pemalas seperti yang diungkapkan di atas, namun bila membaca
Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut
sudah tidak relevan lagi dengan karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara
pendapat mengenai perempuan Sunda senang berdandan dan cantik, hal ini tentu saja
tidak perlu diperdebatkan lagi karena apabila kita melihat penampilan penari
Jaipongan pasti akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan
kecantikan. Yang dapat para penikmat tari Jipongan tinjau dan terapkan bagi para
kaum Hawa yang merasa terlalu tak percaya diri atau malu dengan diri sendiri,
misalnya karena tinggi dan berat badan, warna kulit, bentuk wajah tak sesuai dengan
keinginan terutama bagi wanita Sunda.
Dari gerakan dan musik diatas maka dapat disimpulkan bahwa Tari Jaipong
sendiri berusaha untuk menggambarkan perempuan Sunda masa kini yang enerjik,
penuh semangat dan tidak pantang menyerah, ramah, genit, berani, gesit dan lincah,
namun tetap kuat dan santun. Diharapkan dari tarian ini dapat mengubah stereotip
lama yaitu wanita Sunda yang elok parasnya namun buruk perilakunya.

Anda mungkin juga menyukai