Anda di halaman 1dari 3

TUGAS AKHIR BUDAYA MINANG

“Tugas ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budaya Minang”

Disusun Oleh

DHIOTRIMA YUSDA / 16 - 007

Kelas : M.3.D

Dosen : Dr. Dahnil Johar, S.E, M.P

Fakultas Ekonomi dan Bisni

Program Studi Manajemen

Universitas Bung Hatta

2019
Persoalan Sengketa tanah yang terjadi di Kampung Penulis

Bagi masyarakat Minangkabau tanah ulayat adalah unsur pengikat bagi masyarakat untuk
tinggal di suatu wilayah dan merupakan identitas masyarakat yang secara konstitusional
dilindungi oleh UUD 1945. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban setiap orang untuk
menjaga aset tersebut agar tidak tergilas oleh perkembangan zaman. Hingga hari ini, diskursus
tanah ulayat tidak kunjung selesai. Ketidakjelasan pengaturan tanah ulayat dalam peraturan
perundang-undangan, kerapkali menjadi alasan pembenar dalam memarjinalkan keberadaan
tanah ulayat. Di samping itu, batas-batas tanah ulayat yang hanya berdasarkan “peta ingatan”
dari Penguasa Adat pun menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan tanah ulayat. Bukan
merupakan suatu hal yang aneh, bila permasalahan tanah ulayat menjadi sumber sengketa dan
penyumbang perkara terbesar pada lembaga peradilan di Sumatera Barat.

Tak sekali terjadi, konflik horizontal di tengah masyarakat yang berujung pada gugatan
sengketa kepemilikan tanah di Sumatera Barat. Bahkan menimbulkan permusuhan antara satu
kaum yang masih berada dalam satu desa sehingga membuat situasi yang tidak kondusif dalam
pergaulan antar masyarakat.

Permasalahan tanah ulayat ini juga terjadi di daerah pariaman, diawali karena masalah
letak batok batas tanah, merembas hingga menimbulkan permusuhan dua keluarga. Hubungan
Pertetanggaan yang sudah terjalin selama puluhan tahun menjadi hilang seketika dikarenakan
persoalan batas tanah yang sepele.

Peletakan batok batas tanah oleh salah satu keluarga berbuntut panjang, tetangga dari
keluarga Ibu Ani (inisial) yang bernama Ibu Ida merasa bahwa batok tanah yang tiba-tiba dibuat
oleh Keluarga Ibu Ani tidak sesuai dengan semesetinya. Keluarga Ibu Ida merasa bahwa batok
batas tanah itu sudah memasuki wilayah tanah dari mereka. Tanpa pikir panjang Keluarga Ibu ida
tanpa basa-basi langsung membuat batok tanah yang baru di sebelah batok tanah yang dibuat
oleh keluarga Ibu Ani.

Persoalan ini tidak hanya sampai seperti itu saja. Keluarga ibu Ida yang merasa masih
tidak terima serta merta memanggil keluarganya yang ada di luar daerah untuk melakukan
pengepungan di sekitar rumah keluarga ibu Ani. Dengan melontarkan ungkapan yang kasar serta
ancaman keluarga Ibu Ida memanggil-manggil Ibu Ani yang ada di dalam rumah, karena saking
takutnya dengan hal tersebut membuat keluarga Ibu Ani sampai tidak mau keluar dari rumah
mereka.

Utusan desa yang di datangkan oleh para tetangga untuk melakukan pembicaraan tidak
mampu berbuat banyak, keluarga ibu Ida tetap teguh dengan pendapatnya. Bahkan polisi sudah
turun tangan untuk mengatasi persoalan ini.

Solusi/Saran/Usul terhadap permasalahan ini:

Untuk menyelesaikan masalah ini di haruskan mengundang salah satu keluarga dari
masing-masing keluarga untuk melakukan pembicaraan yang di mediasi oleh datuak atau
panghulu di desa melalui suatu musyawarah dimana pepatah minang mengatakan “bulek aia dek
pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo
dilayangkan”

NIniak mamak masing-masing keluarga seharusnya memabantu menyelesaikan di desa,


dengan mempertimbangkan hubungan pertetanggan yang sudah terjalin selama puluhan tahun
tersebut, pada dasarnya melalui pengadilan adalah langkah terakhir dalam menyelesaikan
sengketa di Minangkabau maka alahkah bagusnya diselesaikan secara adat dan musyawarah

Anda mungkin juga menyukai