Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dhiotrima Yusda

NPM : 1610011211007
Kelas : M.5.B

Kegiatan Politik Bung Hatta selama menempuh pendidikan

Hatta mulai berorganisasi ketika sekolah di ELS Padang, selama hidup di padang Hatta juga
meluangkan waktunya berkumpul dengan teman-temannya dan bergabung dalam suatu klub
sepak bola pribumi. Setelah mulanya menjadi anggota biasa, akhirnya Hatta dipilih sebagai
bendahara, lalu juga menjadi sekertaris di klub tersebut. Hatta memang mengetahui kegiatan
seperti itu, disamping untuk memuaskan hobinya, sebagai proses pembelajaran dalam
kehidupan berorganisasi dan bekerja dalam kelompok untuk kepentingan bersama.

Waktu Hatta masuk ke MULO di Padang, sudah banyak anak-anak Indonesia yang bersekolah di
MULO. Sekolah itu terbuka bagi murid-murid yang datang dari sekolah Belanda dan yang berasal
dari HIS. Sejak Hatta duduk di kelas dua MULO, perhatiannya terhadap masalah-masalah di luar
pelajaran sekolah bertambah besar. Sejak Sarikat Usaha memperjuangkan agama di sekolah
MULO, Hatta sudah berhubungan dengan perkumpulan tersebut. Terutama dengan
sekretarisnya, Engku Taher Marah Sutan, seorang idealis yang giat berkerja dengan tidak kenal
lelah. Kalau tidak ada dia, Sarikat Usaha tidak menjadi pusat pertemuan orang-orang terkemuka
serta kaum cerdik pandai di Padang. Hampir setiap hari Hatta datang ke perkumpulan Sarikat
Usaha untuk mengasah otaknya dengan masalah-masalah yang tidak diajarkan di MULO.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal
perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan
saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran
Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah


atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika
itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik
mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat
itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan
membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman
Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia
Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke
Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta
mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!”
begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah
ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama
Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih
mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat
Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman
sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau
yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan.
Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota,
mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula
mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder
Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia
beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan
akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal
organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak
dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat
kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya
sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang
mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man
of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu
Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu
menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip
tulisan-tulisan Hatta.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam
Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische
Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang
pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging
semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto
Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di
koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai
1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi
informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula
tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.

Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan
kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah.
Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah,
yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme
belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai
Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian
pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra.
Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika
itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische
Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah
pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota
Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia
dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di
Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya
dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya
dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.

Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan
Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui
proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua
Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan
kemudian ke Banda selama 6 tahun.

Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama
Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak
Proklamator Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai