PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beribu pulau yang
sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut,selat dan teluk, sedangkan
daerah lainnya adalah daratan yang didalamnya juga memuat kandungan air
tawar dalam bentuk sungai,danau,rawa, dan waduk. Demikian luasnya
wilayah laut Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar
wilayah laut memanfaatkan kelautan sebagai mata pencaharian.
Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas
tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai
kebudayaan pesisir (Geertz,h.,)
Secara kuantitas jumlah penduduk Indonesia yang merupakan terbesar
kelima di dunia, yaitu lebih kurang 220 juta jiwa. Dan lebih dari 50 persen
diantaranya hidup dan bermukim di sekitar wilayah pesisir. Sehingga
beberapa antaranya menggantungkan segala kebutuhannya pada hasil laut
tersebut.
Daerah pesisir merupakan daerah yang sangat terkait dengan hajat
hidup banyak orang, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
tersebut. Menurut Mashyuk/ulhak dalam Proceeding Book Simposium Ilmu
Administrasi Negara untuk Indonesia daerah pesisir adalah daerah pertemuan
antara pengaruh daratan dan lautan , ke arah darat sampai pada daerah masih
adanya pengaruh pembesan air laut dan angin laut , dank e aarah laut sampai
pada daerah masih ada pengaruh air tawar yang memiliki beragam sumber
daya. Secara social ekonomi walayah pesisir merupakan aktivitas masyarakat
bersosialisasi, yaitu kepemerintahan,social,ekonomi budaya , pertahanan dan
keamanan.
Di dalam masyarakat maritim ada berbagai macam karakter-karakter
yang terbentuk, dari segala macam karakter tersebut tentu saja harus ada suatu
wadah untuk mengumpulkan pendapat masyarakat maritime tersebut agar
tercipta suasana yang tentram demi terwujudnya suatu tujuan bersama yang
menguntungkan kehidupan masyarakat maritim.
Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan sumber daya tersebut,
maka di berbagai wilayah Indonesia ada beberapa masyarakat yang
membentuk sebuah organisasi untuk merancang dan memplementasikan
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji adalah ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian organisasi sosial terlebih dahulu
Untuk mengetahui tipe-tipe pesisir pantai
BAB 2
PEMBAHASAN
Struktur inti/elementer dari kelompok/organisasi ini ialah P.Laut atau Juragan dan
Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai
pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan dan keterampilan
manajerial, sementara Para Sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan
keterampilan kerja/produksi semata.
Suatu perubahan structural yang berarti terjadi ketika suatu usaha prikanan
mengalami perkembangan jumlah unit prahu dan alat-alat produksi yang dikuasai
oleh seorang P.Laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh dari kapitalisme. Untuk
pengembangan dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin
pelayaran dan proses produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk
mengelola perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota
yang beroperasi di laut, membangun jaringan pemerasan dan lain-lain. Di sinilah pada
awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan
yang di sebut P.Darat/P.Laut. untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di
laut, P.Darat merekrut juragan-juragan baru untuk menggantikan posisinya dalam
memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang dan meningkat jumlahnya. Para
P.Laut/juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagian
lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang
direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah P.Caddi,
sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi
baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih
kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron client.
Hubungan patron-cilent memolakan dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan,
pendidikan informal, sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap
ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,
2. Pendekatan Sosiologi
Berdasarkan pendekatan sosiologi, diantaranya dikemukakan oleh :
Serikat Nelayan Indonesia (SNI) adalah organisasi nelayan tradisional yang didirikan
pada tanggal 6 Desember 2007 di Denpasar Bali. Pertemuan Bali merupakan
musyawarah nasional nelayan tradisional Indonesia yang pertama yang dilalui dari
proses perjalanan panjang konsolidasi di tingkat Desa-Kabupaten dan Propinsi di
Sumatera Utara, Pantura Jawa, dan Sulawesi. Pertemuan ini mengeluarkan beberapa
Tujuan
Membangun solidaritas dan persatuan antar organisasi nelayan tradisional
dalam rangka memajukan keadilan sosial dalam hubungan ekonomi yang
berkeadilan, kedaulatan pangan, kedaulatan atas sumberdaya laut dan pesisir,
serta pelestarian cara-cara penangkapan tradisional yang ramah lingkungan.
Selain itu, terbentuk juga kelompok nelayan kolam air tawar, usaha
pengasapan ikan, pengawas masyarakat kegiatan perikanan dan pertanian,
pekerja bongkar muat kapal, pekerja transportasi, serta kelompok pengelola
air bersih.
Pengaturan
”Dulu sangat kumuh karena memang cenderung tidak ada cetak biru dari
pemerintah mengenai penataan perkampungan nelayan,” katanya.
”Masa awal diberi tahu cara-cara yang baik dan bagaimana pengaturan harus
dilakukan, memang ada yang tidak terima. Bahkan, ada yang lari dari ajakan,”
katanya.
Saudara dari keluarga istrinya pun pada masa-masa awal itu juga sempat
menentang aktivitasnya. Resistensi tersebut muncul karena sebagian besar
warga sudah telanjur menjalani kehidupan dengan kebiasaan lama. ”Banyak
yang mengatakan, kami sejak dulu model ikolah (seperti inilah). Tidak perlu
diatur lagi,” kenang Darpius.
Ia menganalisis, sikap itu muncul karena cara pandang sebagian nelayan yang
berpikir keseharian dan cenderung tak memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan kegiatan produktif. ”Sebagian besar cenderung keras dalam
bersikap dan berbahasa. Itu bisa dimaklumi karena dipengaruhi faktor alam
dan lingkungan,” katanya.
Hal itu berbuah ketika tahun 2010 dia melakukan perlawanan pada
pemerintah yang berencana mengambil sekitar 30.000 kubik kayu di kawasan
hutan Nagari Sungai Nyalo, Kabupaten Pesisir Selatan. Kayu-kayu besar itu
akan ditebang untuk kebutuhan pembangunan rumah korban gempa bumi di
Kabupaten Padang Pariaman pada 30 September 2009. Padahal, jika hutan itu
jadi digunduli, dampaknya kerusakan lingkungan hingga ke Nagari Ampang
Pulai dan sekitarnya. Posisinya sebagai pegawai negeri sipil tak membuat
Darpius kendur menentang kebijakan pemerintah ketika itu.
”Saya tantang mereka, kalau memang mau diteruskan, sekalian saja saya
suruh masyarakat membabat habis semua hutan yang ada. Rencana
penebangan hutan itu tidak jadi dilakukan karena kami juga mendapat
dukungan pemerintah pusat.”
Kini, bagi warga nagari yang melanggar dan merusak lingkungan, mekanisme
sanksi sosial berupa pengucilan mulai diperketat. ”Bentuknya bisa berupa
tidak diberi bantuan, tidak diajak dalam kelompok, dan sebagainya,” kata
Darpius.
”Alasan saya kenapa mau seperti ini karena memang saya senang
bermasyarakat dan cinta lingkungan. Bukan mau dilirik orang, tetapi karena
paling tidak ini akan berguna buat anak cucu saya,” ucap anak kelima dari
tujuh bersaudara itu.
Ketika nelayan tradisional berharap negara dalam hal ini pemerintah bersikap
lebih aktif dalam melakukan perlindungan kepada nelayan tradisional justru
yang ada ancaman dalam bentuk regulasi. Lahirnya Undang-Undang Nomer
27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil mengatur apa
yang disebut dengan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Dalam pasal
16 sampai dengan pasal 22. HP3 telah menjadi sarana dan alat baru dalam
politik penguasaan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan HP3 “subyek
hukum” dapat mengusai bagian tertentu dan kolom tertentu dari laut dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sertifikat HP3 dapat pula menjadi agunan ke
lembaga perbankan untuk peminjaman uang. dan celakanya siapapun boleh
mendapat HP3.
Dalam catatan KNTI sudah banyak nelayan tradisional yang tidak boleh lagi
melewati lokasi pantai milik perusahaan pariwisata maupun budidaya mutiara
dan banyak industri lain. Pantai tidak lagi menjadi milik publik.
1. Kondisi Alam
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap
menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika
dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka
pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada
waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian
nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru,
masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu,
tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal
pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah
jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan
demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau
sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan
yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi
hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi
ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara
SUMBER : http://sni.or.id/tentang-kami/\
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/31/02123581/Memberdayakan.
Nelayan.dengan.Organisasi
http://knti.or.id/