Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3
bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000;
Kallenbach et al. 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/GFR
berkurang hingga di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai kondisi uremia, maka pasien
mengalami gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan End Stage Renal Disease (ESRD).

Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan sebesar 20-25% setiap
tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al. 2009). Menurut data PERNEFRI
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai 70.000, namun yang terdeteksi menjalani gagal
ginjal kronis dan menjalani cuci darah/haemodialysis hanya sekitar 4000 sampai dengan
5000 saja. Angka mortalitas pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat seiring
meningkatnya angka kejadian penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung
sebagai penyebabnya dan komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Menurut data
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, gagal ginjal kronik menempati urutan ke 6 penyebab
kematian yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan
yang dilakukan di RSUP Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati
Jakarta jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629 orang.

Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan (Markum 2009) yaitu
pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet kalium, diet natrium, dan
pembatasan cairan yang masuk. Kedua, dialisis dan transplantasi ginjal merupakan terapi
pengganti pada pasien. Terapi pengganti yang sering dilakukan pada pasien GGK adalah
dialisis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Anatomi dan fisiologi ginjal ?
2. Definisi CKD ?
3. Tahap perkembangan CKD ?
4. Etiologi dari CKD ?
5. Stadium dari CKD ?

1
6. Patofisiologi CKD ?
7. Manifestasi klinis dari CKD ?
8. Pemeriksaan diagnostik dari CKD ?
9. Penatalaksanaan dari CKD ?
10. Komplikasi dari CKD ?
11. Asuhan keperawatan dari CKD ?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan anatomi fisiologi ginjal
2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan definisi dan tahapan perkembangan CKD
3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan etiologi dan stadium CKD
4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi dan manifestasi klinis CKD
5. Mahasiswa/i mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik dan komplikasi CKD
6. Mahasiswa/i mampu menjelaskan asuhan keperawatan CKD

1.4 Manfaat Makalah


Karya tulis ini diharapkan bisa menambah referensi dan informasi dalam bidang
kesehatan, serta dapat dijadikan tambahan ke perpustakaan dalam pengembangankarya
tulis selanjutnya, khususnya mahasiswa/i Universitas Bhakti Kencana Bandung.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologis Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada
sisi ini, terdapat hilus ginjal, yaitu tempat struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem
limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal
sangat bervariasi tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi
lain. Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal).
Beratnya bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz dkk.2008).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true capsule
(kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak peri renal. Di sebelah
kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna
kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus
oleh fasia gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya
perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma
ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat
metastasis tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal atau disebut jarinagn lemak pararenal (Aziz dkk. 2008).

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang

3
rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan
ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum, dan kolon (Aziz dkk. 2008).
Ginjal kanan tingginya sekitar 1 cm di atas ginjal kiri (Faiz &Moffat 2004).

Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Di
dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam medula banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas
glomeruli dan tubuli ginjal. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh
difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme tubuh disekresi
bersama air dalam bentuk urin (Aziz dkk. 2008).

Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises
ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks
minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises
terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri otot polos yang mampu berkontraksi
untuk mengalirkan urin sampai ureter (Aziz dkk. 2008). Ginjal bekerja untuk menyaring
darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap harinya dan juga membuang sisa-sisa
metabolisme serta kelebihan cairan tubuh melalui urin. Selain membuang sisa-sisa
metabolisme tubuh melalui urin, ginjal berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti Diuretik
Hormon (ADH)
4
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel
darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah, kalsitriol atau
vitamin D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D yang berfungsi mengatur tekanan darah
dengan cara mengatur keseimbangan kadar kalsium, dan hormon prostaglandin (Aziz
dkk. 2008).

2.2 Definisi CKD


Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel,
yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration
Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach
et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan
abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang
mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal

2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan
pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya,
darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam
ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah
kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-
zat tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan
cairan dan zat-zat kimia di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke

5
dalam darah. Juga mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan
ikut keluar bersama urin (Syamsir & Iwan 2007). Pada gagal ginjal kronik penderita
hanya dapat berusaha menghambat laju tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar
tidak menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat
berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan
sifatnya menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita
tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari
normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal kronik, antara
lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).

2.3 Tahapan Perkembangan CKD


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik

2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria

3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal

6
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

2.4 Etiologi CKD


Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1 atau tipe 2)
dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah
IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi adalah
rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga mengalami
dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik. Etiologi gagal ginjal
kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat
diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar
44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10%
(Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena
glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra
dalam Sudoyo et al. 2009).

Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas, antara lain (Price &
Wilson 2003):
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi Pielonefritis kronis/refluks nefropati
tubulointerstitial
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE

7
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik
herediter Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria
dan uretra

2.5 Stadium CKD


Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem yaitu Cause, GFR
category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik merupakan stadium 5 dari CKD
atau biasa disebut dengan End-stage Renal Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik
apabila dari hasil tes nilai eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.

Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease:
Kategori GFR (KDIGO 2013) :

GFR
GFR (ml/min/1.73 m2) Terms
category
G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased*

G3a 45–59 Mildly to moderately decreased

8
G3b 30–44 Moderately to severely decreased

G4 15–29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure

* Relatif pada level dewasa


Kategori Albuminuria (KDIGO 2013) :
ACR AER ACR
Terms
category (mg/24hrs) (mg/mmol)

A1 < 30 <3 Normal to mildly


increased

A2 30-300 3–30 Moderately increased*

A3 > 300 >30 Severely increased**

* Relatif pada level dewasa


** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)
GFR = glomerular filtration rate
AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

2.6 Patofisiologi CKD


Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk mengeluarkan sisa
metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga terjadi
keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi
nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal
menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Selanjutnya penurunan
fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa
metabolisme dalam tubuh.

Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu dinamakan
penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam keadaan
normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat

9
diketahui dengan tes GFR. Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN
baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan
pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari
beberapa kali. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah
cairan yang diminum.

Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari massa
nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10% dari
keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri
(pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi
ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal
kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum merasakan keluhan, tetapi
sudah ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan
lemas, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.

2.7 Manifestasi Klinis CKD


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat dan progresif
dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis lain yang serius. Tidak
seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi
secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-bulan, atau
bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan pada stadium
akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang mengakibatkan
gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar. Manifestasi klinis gagal ginjal kronik
(Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

10
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku

11
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.8 Pemeriksaan Diagnostik CKD


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24
jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/
serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah
diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.

12
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus,
uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.

13
Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.9 Penatalaksanaan CKD


Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Suwitra (2007) antara lain: Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan
penyakit ginjal kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah
tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat,
gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra
2007).

14
LFG Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr
ml/mnt
˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
(SN) atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah


penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
(intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko gangguan
kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat
antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting
Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler


Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.

5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

15
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit
ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi

b. Pemberian pengikat fosfat


Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumnium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral,

16
untuk menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan
kalsium acetate. Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan
efek sampingnya.

c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)


Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan
mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))


Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan.
Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi
fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan
penumpukan barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi
metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid
(PTH)>2,5 kali normal.

3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air
yang keluar baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan
berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari
(sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-
800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-
obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah
dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

17
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan
darah derajat edema yang terjadi.

6. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan
sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk
kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah
untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh dengan
toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah
akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam
seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali
hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

18
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih
rendah (Rosidana 2011).

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air
dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).

19
Indikasi inisiasi terapi dialisis:
1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %

2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup
optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :

20
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama
pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

2.10 Komplikasi CKD


Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:


1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang
tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau
intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan
pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan
eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.

2. Penyakit vascular dan hipertensi


Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik.
Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor
risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik
disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak
cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme

21
jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.

3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi,
namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer,
yang dapat menyebabkan dehidrsi.

4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini
sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab
oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol
kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik
merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat.
Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.

5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual,
muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta
angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi
pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau
napas yang menyerupai urin.

6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan
penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan
libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang
abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan
pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.

7. Neurologis dan psikiatrik

22
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup
tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus,
klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat
kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan
yang tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport
kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi
yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless
leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian
kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan
terdapat peningkatan risiko bunuh diri.

8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi.
Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat mengaktivasi
efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya
protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran
peritoneal.

10. Penyakit jantung


Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum
atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan
cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan
proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung
yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.

23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS CKD
Kasus :
Seorang wanita, 30 tahun berat badan 60kg dengan keluhan di seluruh tubuh semenjak 2
bulan SMRS. Keluhan menetap dan diraskan semakin bertambah parah. bengkak
muncul di bagian kaki terlebih dahulu kemudian seluruh tubuh. Selain bengkak, pasien
juga mengeluhkan adanya sesak yang dirasakan setiap saat. Sesak diperberat oleh
aktivitas. Pada saat tidur pasien tidur menggunakan 6 bantal dan sering terbangun karena
sesak pada malam hari. Sesak tidak berkurang dengan aktivitas. Pasien batuk berdahak,
warna putih, berbusa, dan tidak ada darah. Nyeri perut disangkal oleh pasien, namun
pasien sering mengeluhkan nyeri pinggang semenjak 2 bulan SMRS. Nyeri dirasakan berupa
pegal-pegal yang hilang timbul. Pada pasien terdapat gangguan buang air kecil (BAK),
BAK dirasakan menjadi lebih jarang dan kurang lancar. Sekali buang air kecil kurang lebih
setengah gelas aqua. Dalam sehari pasien buang air kecil sebanyak 5x. Tekanan darah
180/110mmHg, frekwensi nafas 30 kali/menit. Didapatkan rales pada kedua basal paru.
Pemeriksaan darah : kadar hemoglobin 7,3 g/dl, MCV dan MCHC normal, ureum 421
mg/dl, kreatinin 32 mg/dl. Pemeriksaan ultrasonografi didaatkan ukuran kedua ginjal
mengecil, densitas cortex meningkat, batas medulla cortex kabur.

Asuhan Keperawatan :
1. Anamnesis
a. Identitas
Nama : Ny. U
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mulyorejo
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Sumber informasi : Klien dan keluarga
Tgl pengkajian : 22 April 2019

24
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. U
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mulyorejo
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Status dalam keluarga : Suami

c. Keluhan utama
Klien mengeluhkan kaki makin hari bengkak

d. Riwayat penyakit sekarang


Klien masuk rumah sakit melalui IGD pada tanggal 22 April 2019 dengan
keluhan sesak tanpa aktifitas, batuk berdahak serta nyeri pinggang. Tanda-tanda
vital ketika masuk rumah sakit yaitu tekanan darah : 180/110, Nadi : 88x/mnt,
RR : 30x/mnt, S : 36,7 °C.

e. Riwayat penyakit dahulu


Klien memiliki keluhan bengkak dan nyeri pinggang sejak 2 bulan SMRS.

f. Diagnosa medis
Cronic Kidney Disease ( CKD )

g. Pola Aktivitas
Pola kebiasaan Saat sakit Saat tidak sakit
Nutrisi
Makan :
Frekuensi :
Jenis :
Porsi :
Minum :

25
Frekuensi :
Jenis :
Porsi :
Eliminasi
BAK :
Frekuensi :
Warna :
Jenis :
Bau :
BAB :
Frekuensi :
Warna :
Jenis :
Bau :
Personal Hygiene
Mandi :
g.kuku :
Keramas :
Gosok Gigi :
Pola Istirahat
Tidur siang :
Tidur malam :
Pola aktivitas
Saat dirumah :
Saat di RS :

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan yang dirasakan saat ini:
Kesadarannya compos mentis, GCS 14. Klien merasakan badannya lemas
TD : 180/110mmHg
RR : 30x/menit
N :-

26
S :-

Data Etiologi Masalah keperawatan

DS: - Klien mengeluh Vaskuler Kelebihan volume cairan


bengkak di seluruh
tubuhnya sejak Hipertensi
2 bulan SMRS
- Klien mengatakan Vasokontriksi pembuluh
bengkak nya darah, peningkatan
menetap dan tekanan darah dalam
arteri
semakin bertambah
parah
Merusak pembuluh darah
nefron secara langsung
DO:
- Bengkak
Ginjal kehilangan
muncul di
kemampuan LFG
bagian kaki
terlebih
dahulu GFR menurun

kemudian
menjalar ke Hipertrofi structural dan
seluruh tubuh fungsional

Terjadi peningkatan
aldosterone intranal

Hiperfiltrasi

Peningkatan kapiler darah


glomerulus

27
Adaptasi fungsi mal

Adaptasi nefron

Selerosis nefron

Penurunan fungsi nefron


progresif

GGK

Penurunan cadangan
ginjal

Proteinuria/albuminiria

Hipoalbuminuria

Pembengkakan di seluruh
tubuh

Kelebihan volume
cairan vaskuler

DS : Arterio selerosis Gangguan pertukaran


- Klien mengeluh gas
sesak disetiap saat suplai darah ginjal turun
- Klien mengatakan GFR
sesak diperberat oleh
aktivitas turun GGK

28
DO :
- Saat tidur
menggunakan 6 Retensi Na
bantal dan sering
bangun karena sesak
Total CES naik
- Klien batuk
berdahak, putih
Tekanan kapiler naik
berbusa tapi tidak
berdarah
- Sesak tidak Volume intertial naik

berkurang saat
aktivitas Edema

Preload naik beban

Jantung naik hipertropi

Ventrikel kiri payah

Jantung kiri

Bendungan atrium kiri


meningkat

Tekanan vena pulmonalis

Kapiler paru naik

Edema paru

Gangguan pertukaran
gas

29
DS : Retensi Na total Nyeri kronik
- Klien mengeluh yeri
pinggang sejak bulan CES naik tek
SMRS
- Klien mengeluh Kapiler naik
nyeri berupa pegal-
pegal yang hilang Volume interstisial naik
timbul
- Klien mengatakan Edema
jarang dan kurang
lancar pada BAK Beban jantung naik
DO:
- Hasil TD 180/110 Hipertropi ventrikel kiri
mmHg
Payah jantung kiri

COP turun

Suplai O2 jaringan turun

Metabolisme aerob

Asam laktat meningkat

Nyeri kronik
DS: Retensi Na Intoleransi aktivitas
- Klien mengeluh ↓
sesak tanpa Payah jantung kiri
melakukan aktifitas ↓
- Klien mengatakan COP turun
tubuhnya merasa ↓
lemah Suplai O2 jaringan turun

30
DO: Metabolisme anaerob

- peningkatan
Timbunan as.laktat naik
Tekanan darah

180/110 mmHg
Fatigue, nyeri sendi
- Sesak tanpa

melakukan aktifitas
Intoleransi aktivitas

Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler paru.
3. Nyeri akut berhubungan dengan retensi urine
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay
oksigen
Intervensi :
Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Kelebihan NOC: NIC:
Fluid Management:
volume cairan Fluid balance
1. Pertahankan intake dan
berhubungan Tujuan : output secara akurat
dengan Setelah dilakukan 2. Kolaborasi dalam
pemberian diuretik
mekanisme tindakan keperawatan
3. Batasi intake cairan pada
pengaturan selama 3x24 jam hiponatremi dilusi dengan
melemah kelebihan volume cairan serum Na dengan jumlah
kurang dari 130 mEq/L
teratasi dengan kriteria:
4. Atur dalam pemberian
1. Tekanan darah (4) produk darah (platelets dan
2. Nilai nadi radial dan fresh frozen plasma)
perifer (4) 5. Monitor status hidrasi
(kelembaban membrane
3. MAP (4)
mukosa, TD ortostatik, dan
4. CVP (4) keadekuatan dinding nadi)
5. Keseimbangan intake 6. Monitor hasil laboratorium
yang berhubungan dengan
dan output dalam 24
retensi cairan (peningkatan
jam (4) kegawatan spesifik,
6. Kestabilan berat peningkatan BUN,
penurunan hematokrit, dan

31
badan (4) peningkatan osmolalitas
7. Serum elektrolit (4) urin)
7. Monitor status
8. Hematokrit (4)
hemodinamik (CVP, MAP,
9. Asites (4) PAP, dan PCWP) jika
10. Edema perifer (4) tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap
dehidrasi, kram otot dan
aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan
keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder
sebelum insersi peritoneal
kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter
dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium
dan periksa kimia darah
(jumlah BUN, serum
kreatinin, serum Na, K, dan
PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai

32
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan
outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan gejala
yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler,
dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan
dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR,
suhu, dan respon klien
selama dialisis
Monitor tanda infeksi
(peritonitis)
2. Gangguan NOC: NIC:
Respiration status: Gas Oxygen Therapy
Pertukaran gas
Exchange 1. Pertahankan kepatenan
berhubungan jalan napas
Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
dengan
Setelah dilakukan
tambahan sesuai resep
perubahan keperawatan selama 2x24
jam klien Gangguan 3. Anjurkan pasien untuk
membran mendapatkan resep oksigen
pertukaran gas teratasi
kapiler paru. dengan kriteria hasil: tambahan sebelum
1. Tekanan oksigen di perjalanan udara atau
darah arteri (PaO2) (4) perjalanan ke dataran tinggi
2. Tekan karbondioksida yang sesuai
di darah arteri 4. Konsultasi dengan tenaga
(PaCO2) (4) kesehatan lain mengenai
3. PH arterial (4) penggunaan oksigen
4. Saturasi oksigen (4) tambahan saat aktivitas
5. Keseimbangan perfusi dan/atau tidur
ventilasi (4) 5. Pantau efektivitas terapi
6. Sianosis oksigen (pulse oximetry,
BGA)
6. Observasi tanda pada
oksigen yang disebabkan
hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen liter

33
8. Monitor posisi dalam
oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelektasis
Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa tidak
mengganggu pasien dalam
bernapas
3. Nyeri akut NOC : NIC :
Pain Control Pain Management
berhubungan
Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri
dengan retensi selama 2x24, nyeri terhadap kualitas hidup
teratasi dengan kriteria klien (misalnya tidur, nafsu
urine
hasil:
makan, aktivitas, kognitif,
1. Kenali awitan nyeri
suasana hati, hubungan,
(2)
kinerja kerja, dan tanggung
2. Jelaskan faktor
jawab peran).
penyebab nyeri (2)
2. Kontrol faktor lingkungan
3. Gunakan obat
yang mungkin
analgesik dan non
menyebabkan respon
analgesik (2)
ketidaknyamanan klien
4. Laporkan nyeri yang
(misalnya temperature
terkontrol
ruangan, pencahayaan,
suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai
cara (farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.
Observasi tanda-tanda non
verbal dari ketidaknyamanan,
terutama pada klien yang
mengalami kesulitan
berkomunikasi
4. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan
dengan gangguan Setelah dilakukan Tenaga Rehabilitasi Medik
ketidakseimbanga keperawatan selama 3x24 dalam merencanakan
n suplay oksigen jam pasien bertoleransi
program terapi yang tepat.
terhadap aktivitas

34
Kriteria hasil: 2. Bantu klien untuk
1. Saturasi Oksigen saat mengidentifikasi aktivitas
aktivitas (4) yang mampu dilakukan
2. Nadi saat aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih
3. RR saat aktivitas (4) aktivitas konsisten yang
4. Tekanan darah sistol sesuai dengan kemampuan
dan diastol saat fisik, psikologi dan social
istirahat (4) 4. Bantu untuk
Mampu melakukan mengidentifikasi dan
aktivitas sehari-hari mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
(ADLs) secara mandiri
yang diinginkan
(4) 5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu
luang
7. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
13. Monitor respon
kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat

35
pasien
Monitor responfisik, emosi,
social dan spiritual.

36
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3
bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000;
Kallenbach, Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi gagal ginjal kronik bercvariasi antara
negara yang satu dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi
penyebaba paling abnyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh
hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia
penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus,
obstruksi, dan infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang
dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.

4.2 Saran
Diharapkan mahasiswa dapat memahami materi yang telah di berikan, dan dapat
mempresentasikan di dalam melakukan tindakan keperawatan dalam praktik, khususnya
pada klien yang mengalami Chronic Kidney Disease dan mampu memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan Chronic Kidney Disease.

37

Anda mungkin juga menyukai