PENDAHULUAN
Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama
kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan
oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas . Thalasemia adalah
penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). (
Williams, 2005).
Gen thalasemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-
daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, timur tengah, sub benua
India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Amerika keturunan Italia
atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen untuk thalasemia β.
Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu
atau lebih gen thalasemia. (Kliegam,2012).
Ada dua jenis thalassemia yaitu alpha dan beta. Kedua jenis thalassemia ini
diwariskan dengan cara yang sama. Penyakit ini diturunkan oleh orangtua yang
memiliki mutated gen atau gen mutasi thalasemia. Seorang anak yang mewarisi satu
gen mutasi disebut pembawa atau carrier, atau yang disebut juga dengan
thalassemia trait (sifat thalassemia). Kebanyakan pembawa ini hidup normal dan
sehat. Anak yang mewarisi dua sifat gen, di mana satu dariibu dan satu dari ayah,
1
akan mempunyai penyakit thalassemia. Jika baik ibu maupun ayah adalah
pembawa, kemungkinan anak mewarisi dua sifat gen.(Williams,2005) dengan kata
lain mempunyai penyakit thalasemia, adalah sebesar 25 persen. Anak dari pasangan
pembawa juga mempunyai 50 persen kemungkinan lahir sebagai pembawa. Jenis
paling berbahaya dari alpha thalassemia yang terutama menimpa keturunan Asia
Tenggara, Cina dan Filipina menyebabkan kematian pada jabang bayi atau bayi
baru lahir. Sementara itu, anak yang mewarisi dua gen mutasi beta thalassemia akan
menderita penyakit beta thalassemia. (Williams,2005).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2. Etiologi thalasemia
4
Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-
anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa
dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai
beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada
suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta
5
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive.
Ketidak seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia
dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida
ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau
terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator
produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya
destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan
produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah
pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 ).
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda
urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino
tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-A, sedangkan kelainan pada rantai
alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F.
(Suriadi,2001).
Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi.
Sebagaian besar mengalami gangguan anemia ringan.
6
jantung, pankreas, kelenjar limphe akibat hemokromotosis, ikterus
ringan atau warna kulit mengkilap, kranial tebal dengan pipi menonjol
dan hidung datar; retardasi pertumbuhan; dan keterlambatan
perkembangan seksual.
3. Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan
kerusakan sel resultan yang mengakibatkan :
a. Splenomegali
b. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran
kepala, tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap
fraktur spontan.
c. Komplikasi jantung, seperti aritmia, perikarditis, CHF dan fibrosis serat
otot jantung.
d. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
e. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
f. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan pragmentasi coklat akibat defisit
zat besi.
g. Retardasi pertumbuhan dan komplikasi endokrin.
4. Gejala lain pada penderita Thalasemia adalah jantung mudah berdebar-
debar. Hal ini karena oksigen yang dibawah tersebut kurang, maka jantung
juga akan beusaha bekerja lebih keras sehingga jantung penderita akan
mudah berdebar-debar, lama-kelamaan jantung akan bekerja lebih keras
sehingga lebih cepat lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa penderita
bisa menjadi besar karena penghancuran darah terjadi di sana, selain itu
sumsum tulang juga bekerja lebih keras karena berusaha mengkompensasi
kekurangan Hb, sehingga tulang menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah
rapuh. Jika ini terjadi pada muka (tulang hidung maka wajah akan berubah
bentuk, batang hidung akan hilang/ melesak ke dalam (fasise cookey) ini
merupakan salah satu tanda khas penderita thalasemia.(hoffbrand
dkk,2006).
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai
beratnya gejala klinis(Doenges,2000) :
7
1. mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara
tingkatan tersebut sering tidak jelas. Anemia berat menjadi nyata pada
umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi.
2. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah
berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi.
Limpa yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan
menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling) dan
dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
3. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang
mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan
muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang
prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
4. Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik
tidak sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien
tidak sering mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan
besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
5. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada
Thalasemia mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl) Gejala
deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra
medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
6. Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia
mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan
Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Thalasemia intermedia
Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
7. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik,
anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan
banyak sel normoblas).
8. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi
(IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis hemoglobin
memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga
8
hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia
juga mempunyai HbE maupun HbS.
9. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat
meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
10. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi
memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya
atau tidak adanya sintetis rantai beta.
2.5. Klasifikasi thalasemia
1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
Sindrom thalassemia α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada
kromosom 16 (terdapat 2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan
nondelesi seperti gangguan mRNA pada penyambungan gen yang
menyebabkan rantai menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat,
yaitu:
a. Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α -Thalasemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin _ sedangkan tiga lokus globin yang
ada masih bisa menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat
gejala-gejala bila ia terkena thalasemia.
b. Delesi pada dua rantai α (α -Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari
HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang
ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer dan MCV(mean
corpuscular volume) 60-75 fl.
c. Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai anemia
hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan
retikulositosis. HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak
terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki pasangan dan
kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β 4). Dengan
banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam
eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita
9
dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan
MCV(mean corpuscular volume) 60-70 fl.
d. Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat
banyak Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya
rantai γ sehingga rantai γ membentuk tetramer sendiri menjadi γ4.
Manifestasi klinis dapat berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin
yang sangat anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb
menunjukkan 80-90% Hb Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA
atau HbF. Biasanya bayi yang mengalami kelainan ini akan beberapa
jam setelah kelahirannya.
2. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)
Thalassemia - β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek
kromosom 11.
a. Thalassemia β o
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga
tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan HbA
b. Thalassemia β +
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional
namun hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat
dibentuk walaupun hanya sedikit.
Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat
thalasemia. Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan
biasanya penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun.
Penderita bercirikan :
Lemah
Pucat
Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
Berat badan kurang
Tidak dapat hidup tanpa transfusi transfusi darah seumur hidupnya.
10
b. Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan,
biasanya hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait
digunakan untuk orang normal namun dapat mewariskan gen
thalassemia pada anak-anaknya:ditandai oleh splenomegali, anemia
berat, bentuk homozigot.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya :
Gizi buruk
Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati
(Hepatomegali), Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma
ringan saja
Gejala khas adalah :
Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung,
jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya
menjadi kelabu karena penimbunan besi.
2.6. Komplikasi pada thalasemia
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak
jantung yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
2. Komplikasi pada Tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat tubuh
kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang yang dapat
terjadi adalah sebagai berikut:
Nyeri persendian dan tulang
Osteoporosis
Kelainan bentuk tulang
Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah.
11
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel darah
yang memiliki bentuk tidak normal dan berakibat kepada meningkatnya
jumlah darah yang ada di dalam limpa, membuat limpa tumbuh lebih besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat akan
menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi terlalu aktif,
serta mulai menghancurkan sel darah yang sehat. Splenectomy atau operasi
pengangkatan limpa merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
ini. Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang serius, seperti flu dan
meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak Anda telah melakukan
operasi pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa berperan dalam
melawan infeksi. Segera temui dokter jika anak Anda memiliki gejala
infeksi, seperti nyeri otot dan demam, karena bisa berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan terjadinya
beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis hati atau penyakit
degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal menjadi rusak, lalu digantikan
oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena itu, penderita thalassemia
dianjurkan untuk memeriksa fungsi hati tiap tiga bulan sekali. Pencegahan
infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat antivirus, sedangkan
mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat dilakukan terapi khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif terhadap
zat besi. Para penderita thalassemia beta mayor, walaupun telah melakukan
terapi khelasi, dapat mengalami gangguan sistem hormon.Perawatan
dengan terapi pergantian hormon mungkin diperlukan untuk mengatasi
pertumbuhan dan masa pubertas yang terhambat akibat kelenjar pituitari
yang rusak. Ada beberapa komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat
terjadi usai pubertas seperti berikut ini:
-Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
-Pankreas – diabetes
12
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan
anak-anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para
remaja yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu tahun sekali
2.7. Pemeriksaan penunjang pada thalassemia
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
13
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Maureen,
1999). Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang
diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan
<13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait
kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun
ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal
ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Ngastiyah, 1997).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1
95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini
tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia
minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2%
dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb
A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat
terutama Hb F dan Hb A2.
c. Molecular diagnosis
14
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku.
2.8. Penatalaksanaan thalasemia
1. Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena,
namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan
secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang
berasal dari suplemen (transfusi).
c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan.Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih
dalam tahap penelitian.
d. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian
parenteral obat penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin
diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan
pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.
2. Penatalaksanaan Perawatan
a. Perawatan umum : makanan dengan gizi seimbang
b. Perawatan khusus :
1. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari
6 gr%) atau anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
15
2. Splenektomi. Dilakukan pada anak yang berumur lebih dari 2 tahun
dan bila limpa terlalu besar sehingga risiko terjadinya trauma yang
berakibat perdarahan cukup besar.
3. Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung zat besi.
4. Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses
hemosiderosis yaitu membantu ekskresi Fe. Untuk mengurangi
absorbsi Fe melalui usus dianjurkan minum teh.
5. Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak yang
sudah berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini masih sulit
dilaksanakan karena biayanya sangat mahal dan sarananya belum
memadai.
3. Penatalaksanaan Pengobatan
a. Penderita thalassemia akan mengalami anemia sehingga selalu
membutuhkan transfusi darah seumur hidupnya. Jika tidak, maka akan
terjadi kompensasi tubuh untuk membentuk sel darah merah. Organ
tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah pembesaran jantung,
pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-tulang panjang,
yang akirnya dapat mengakibakan gagal jantung, perut membuncit, dan
bentuk tulang wajah berubah dan sering disertai patah tulang disertai
trauma ringan.
b. Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada
organ-organ tubuh. Yang terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman ,
sementara penumpukan besi di dalam tubuh umumnya terjadi pada
jantung, kelenjar endokrin, sehingga dapat megakibatkan gagal
jantung, pubertas terlambat, tidak menstruasi, pertumbuhan pendek,
bahkan tidak dapat mempunyai keturunan.
c. Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit
hepatitis B, hepatitis C, dan HIV cenderung besar. Ini yang terkadang
membuat anak thalassemia menjadi rendah diri.
d. Karena thalassemia merupakan penyakit genetik, maka jika dua orang
pembawa sifat thalassemia menikah, mereka mempunyai kemungkinan
16
25% anak normal/ sehat, 50% anak pembawa sifat/ thalassemia minor,
dan 25% anak sakit thalassemia mayor.
4. Penatalaksanaan Pencegahan.
a. Pencegahan primer
penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk
mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak
mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2
hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia
(homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan
Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan
dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit.
Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir
adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu
kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin
sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk,
1996).
2.9. Asuhan Keperawatan pasien thalasemia
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Anamese
a) Identitas
b) Riwayat penyakit sekarang
c) Riwayat penyakit keluarga
d) Pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pola tidur dan istirahat
Pola aktivitas
Pola hubungan dan peran
Pola sensorik dan kognitif
17
Pola penanggulangan stress
Pola tata nilai dan kepercayaan
2) Pemeriksaan
a) Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum
Intequmen
Kepala dan leher
Torax dan paru
Abdomen
Kaji adanya tanda-tanda anemia, pucat, lemah, sesak nafas, hipoksia,
nyeri tulang dan dada, menurunya aktivitas, anoreksi apistaksis
berulang.
b) Pengkajian psikososial
Anak: perkembangan psikososial, kemampuan beradaptasi dengan
penyakit, mekanisme koping yang digunakan.
Keluarga: respon emosional keluarga, koping yang digunakan
keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stres.
2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan
b. Intoleransi aktivitas
c. Ketidakseimbangan nutrisi
d. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit
e. Kurangnya pengetahuan
3. Rencana keperawatan
Dari diagnosa keperawatan maka dapat disusun rencana tindakan
keperawatan sesuai dengan masalah:
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen ke sel.
Tujuan: agar perfusi jaringan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengisian oksigen seluler menjadi normal.
Kriteria hasil:
18
1. Pertukaran ventilasi yang adekuat
2. Pembekuan dalam batas normal
3. Awasi tanda-tanda vital
4. Kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa.
19
1. Pasien tidak mengalami kerusakan kulit
2. Pasien mempertahankan sirkulasi kulit yang adekuat
3. Pasien memahami tentang tindakan pencegahan untuk perawatan
kulit
4. Pasien dan anggota keluarga mendemonstrasikan tindakan
pencegahan untuk perawatan kulit.
Rasional:
1. Deteksi dini terhadap perubahan kulit dapat mencegah atau
meminimalkan kerusakan kulit.
2. Untuk mengurangi tekanan pada jaringan, meningkatkan sirkulasi
dan mencegah kerusakan kulit.
20
4. Minta keluarga klien untuk mengulangi kembali tentang materi yang
telah diberikan. Mengetahui seberapa jauh pemahaman keluarga serta
menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
4. Pelaksanaan
a. Melakukan pendekatan pada keluarga untuk menjelaskan tentang
penyakit thalasemia, penyebab tanda dan gejala.
b. Mengobservasi tanda-tanda vital.
c. Memberi penjelasan pada keluarga tentang penyakit thalashimea.
d. Kolaborasi dengan tim medis
5. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dalam proses keperawatan. Tujuan evaluasi
adalah untuk menilai apakah tujuan dalam keperawatan tercapai atau tidak
untuk melakukan pengkajian ulang untuk menilai apakah tujuan tercapai
sebagian, seluruhnya atau tidak tercapai dapat dibuktikan dari perilaku
pasien dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dalam hal ini juga sebagai
langka koreksi terhadap rencana keperawatan semula. Untuk mencapai
rencana keperawatan berikutnya yang lebih relevan.
6. Penkes
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah
perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan
yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan
keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan
25 normal. Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri
dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi
buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit.
Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir
adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
21
Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh
ketidaknormalan pada protein globin yang terdapat di gen. Jika globin alfa yang
rusak maka penyakit itu dinamakan alfa-thalassemia dan jika globin beta yang rusak
maka penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi dimulai dari
anemia hingga osteoporosis. Thalassemia harus sudah diobati sejak dini agar tidak
berdampak fatal. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi
darah, meminum beberapa suplemen asam float dan beberapa terapi.
3.2. Saran
Thalassemia ini harus sudah didiagnosis sejak dini dan diharapkan kepada
penderita agar peduli terhadap penyakitnya. Karena gejala awalnya seperti anemia
biasa, maka gejala tersebut jangan diabaikan dan lakukan pengobatan sejak dini
serta konsultasikan kepada dokter. Untuk menghindari resiko akibat penyakit
thalassemia, Pemerintah diharapkan agar menghimbau dan memberikan informasi
yang jelas kepada masyarakat mengenai penyakit thalassemia dengan jelas dan
bagaimana penanggulangan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
22
Hoffbrand. A.V & Petit,J.E. (2006). Kapita Selekta Hematologi . Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Kliegman Behrman. (20012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih
Bahasa Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif, Dkk. (2000). Kapita Selekta kedokteran Edisi 3 Jilid 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Maureen Okam, M.D (Harvard Media School). (1999). Thalassemia
Information. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muscari,Mary E.(2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ngastiyah .(1997). Perawatan Anak Sakit Edisi 1 . Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran
23