Anda di halaman 1dari 3

Farmakokinetika Beberapa sifat opioid yang secara klinis penting diringkaskan di Tabel 31-2.

A. Penyerapan Sebagian besar analgesik opioid diserap baik jika diberikan melalui rute subkutis,
intramuskulus, dan oral. Namun, karena efek firstpass , dosis oral opioid (mis. morfin) mungkin harus
jauh lebih tinggi daripada dosis parenteral untuk menghasilkan efek terapeutik. Terdapat variabilitas
antarpasien yang cukup besar dalam metabolisme first-pass opioid sehingga prediksi dosis oral yang
efektif sulit dibuat. Analgesik tertentu seperti kodein dan oksikodon efektifjika diberikan per oral karena
metabolisme first-passnya rendah. Insuflasi hidung opioid tertentu dapat menghasilkan kadar terapeutik
dalam darah secara cepat dengan menghindari metabolisme first-pass . Rute lain pemberian opioid
adalah mukosa oral melalui tablet isap, dan transdermis melalui tempelan transdermis. Terakhir dapat
menyalurkan analgesik poten selama berhari-hari. Baru-baru ini diperkenalkan sistem transdermis
iontoforetik yang memungkinkan pemberian fentanil tanpa-jarum untuk analgesia yang dikontrol sendiri
oleh pasien ( patient-controll ed analgesia ).

B. Distribusi Penyerapan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah suatu fungsi dari berbagai
faktor fisiologik dan kimiawi. Meskipun semua opioid berikatan dengan protein plasma dengan afinitas
beragam, obat-obat ini cepat meninggalkan kompartemen darah dan mengendap paling tinggi di
jaringan yang banyak mendapat darah, misalnya otak, paru, hati, ginjal, dan limpa. Konsentrasi obat di
otot rangka mungkin jauh lebih rendah, tetapi jaringan ini berfungsi sebagai cadangan utama karena
jumlahnya yang besar. Meskipun aliran darah ke jaringan lemak jauh lebih rendah daripada ke jaringan
dengan tingkat perfusi tinggi namun faktor faktor akumulasi dapat menjadi penting, terutama setelah
pemberian dosis-tinggi dengan frekuensi tinggi atau infus kontinu opioid yang sangat lipofilik dan
dimetabolisasi lambat mis. fentanil

C. Metabolisme Opioid umumnya diubah menjadi metabolit-metabolit polar (terutama glukuronida),


yang kemudian mudah diekskresikan oleh ginjal. Sebagai contoh, morfin, yang mengandung gugus
hidroksil bebas, terutama mengalami konjugasi menjadi morfin-3-glukuronida (M3G), suatu senyawa
dengan sifat neuroeksitatorik. Efek neuroeksitatorik M3G tampaknya tidak diperantarai oleh reseptor µ
tetapi lebih oleh sistem GABA/glisinergik. Sebaliknya, sekitar 10% morfin dimetabolisasi menjadi morfin-
6-glukuronida (M6G), suatu metabolit aktif dengan potensi analgesik empat sampai enam kali daripada
senyawa induknya. Namun, metabolit-metabolit yang relatif polar ini memiliki kemampuan terbatas
untuk menembus sawar darah-otak dan mungkin tidak banyak berperan menghasilkan efek-efek SSP
lazim dari morfin yang diberikan secara akut. Bagaimanapun, akumulasi berbagai metabolit ini dapat
menimbulkan efek samping yang tidak disangka-sangka pada pasien dengan gagal ginjal atau jika
dilakukan pemberian morfin dosis yang terlalu besar atau dosis tinggi dalam jangka-panjang. Hal ini
dapat menyebabkan eksitasi SSP (kejang) yang dipicu oleh M3G atau penguatan atau pemanjangan efek
opioid yang ditimbulkan oleh M6G. Penyerapan M3G, dan dengan derajat yang lebih rendah, M6G, oleh
SSP dapat ditingkatkan oleh pemberian secara bersamaan probenesid atau obat yang menghambat
pengangkut obat P-glikoprotein. Seperti morfin, hidromorfon dimetabolisasi oleh konjugasi,
menghasilkan hidromorfon-3-glukuronida (H3G), yang memiliki sifat mengeksitasi SSP. Namun,
hidromorfon belum terbukti membentuk metabolit 6-glukuronida dalam jumlah signifikan. Efek
berbagai metabolit aktif ini perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan ginjal sebelum mereka
diberi morfin atau hidromorfon, khususnya jika dosisnya tinggi. Ester (mis., heroin, remifentanil) cepat
dihidrolisis oleh esterase jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, yang kemudian dikonjugasikan dengan asam glukuronat. Metabolisme
oksidatif di hati merupakan rute utama penguraian opioid fenilpiperidin (meperidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil) dan akhirnya meninggalkan hanya sejumlah kecil senyawa induk yang tidak mengalami
perubahan untuk ekskresi. Namun, Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan pada mereka yang
mendapat obat dosis tinggi berulang kali dapat terjadi akumulasi metabolit terdemetilisasi meperidin,
normeperidin. Dalam konsentrasi tinggi, normeperidin dapat menyebabkan kejang. Sebaliknya, belum
pernah dilaporkan adanya metabolit aktif dari fentanil. Isozim P450v CYP3A4 memetabolisasi fentanil
melalui N -dealkilasi di hati. CYP3A4 juga terdapat di mukosa usus halusdan berperan dalam
metabolisme first-pass fentanil jika obat ini diberikan per oral. Kodein, oksikodon, dan hidrokodon
mengalami metabolisme oleh isozim isozim P450 CYP2D6 hati, menghasilkan metabolit-metabolit
dengan potensi yang lebih kuat. Sebagai contoh, kodein mengalami demetilasi menjadi morfin.
Polimorfisme genetik CYP2D6 pernah dibuktikan dan dikaitkan dengan perbedaan respons analgesik di
antara pasien. Bagaimanapun, metabolit oksikodon dan hidrokodon mungkin tidak terlalu penting; saat
ini senyawa induk dipercayai berperan penting dalam sebagian besar efek analgetik kedua obat ini.
Namun, oksikodon dan metabolitnya dapat menumpuk pada keadaan gagal ginjal dan dilaporkan dapat
menyebabkan efek yang berkepanjangan dan mengantuk. Pada kasus kodein, perubahan menjadi
morfin mungkin lebih signifikan karena afinitas kodein itu sendiri terhadap reseptor opioid lemah.
Karenanya, pasien mungkin tidak mengalami efek analgesik yang signifikan atau mengalami respons
berlebihan akibat perbedaan dalam konversi metabolik ini. Dengan demikian, pemberian rutin kodein,
khususnya pada golongan pediatrik, kini sedang dipertimbangkan.

D. Ekskresi

Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronida analgesik opioid, diekskresikan terutama di urin.
Sejumlah kecil obat yang tidak mengalami perubahan juga dapat ditemukan di urin. Selain itu, konjugat
glukuronida ditemukan di empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan sebagian kecil dari
proses ekskresi.

3. Pemakaian selama kehamilan—Pada wanita hamil yang secara kronik menggunakan opioid, janin
dapat mengalami ketergantungan fisik in utero dan memperlihatkan gejala-gejala lucut pada periode
pascapartus dini. Dosis harian serendah 6 mg heroin (atau ekivalennya) yang digunakan oleh ibu sudah
dapat menyebabkan sindrom lucut ringan pada bayi, dan jumlah dua kali lipat dari itu dapat
menimbulkan gejala dan tanda yang parah, termasuk iritabilitas, menangis, diare, atau bahkan kejang.
Dikenalinya masalah ini dibantu oleh anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Jika gejala lucut
dinilai ringan, terapi ditujukan untuk mengontrol gejala-gejala ini dengan menggunakan obat seperti
diazepam; pada gejala lucut yang lebih parah, digunakan tingtur opium berkamfora (paregorik; 0,4 mg
morfin/mL) dalam dosis oral 0,12-0,24 ml/ kg. Metadon oral (0,1-0,5 mg/kg) juga dapat diberikan.

Anda mungkin juga menyukai