Skenario
Seorang laki-laki 45 tahun, datang ke poliklinik dengan jalan pincang, karena
nyeri yang hebat pada sendi ibu jari kaki kanan. Dialami penderita saat bangun pagi
tadi, menurut penderita semalam ia masih sempat belanja di mall bersama keluarga.
Riwayat keluhan seperti sudah sering dialami penderita.
IV. Pertanyaan
1. Jelaskan anatomi dari sistem muskuloskeletal !
2. Jelaskan bagaimana reaksi biokimia pada kasus !
3. Jelaskan definisi nyeri sendi !
4. Sebutkan faktor penyebab nyeri sendi !
5. Jelaskan patomekanisme nyeri karena inflamasi dan gangguan mekanik !
6. Jelaskan patomekanisme tiap gejala !
7. Hubungan usia dengan gejala pada skenario?
8. Bagaimana gambaran kelainan-kelainan sendi yang dikarenakan oleh
inflamasi dan gangguan mekanik ?
9. Jelaskan penyakit-penyakit yang menyebabkan nyeri sendi !
10. Bagaimana cara pencegahan nyeri sendi ?
11. Jelaskan langkah-langkah diagnosis !
12. Jelaskan DD dan DS !
V. Jawaban Pertanyaan
1. Anatomi sistem muskuloskeletal
Otot
Jaringan tubuh yang berfungsi mengubah energi kimia menjadi kerja mekanik
sebagai respon tubuh terhadap perubahan lingkungan.
Rangka (Skeletal)
Bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, & tulang rawan (cartilago)
sebagai tempat menempelnya otot & memungkinkan tubuh untuk
mempertahankan sikap & posisi.
OTOT
a. Otot Polos
Memiliki satu inti yang berada ditengah, dipersarafi oleh saraf otonom
(involunter), serat otot polos (tidak berserat), terdapat diorgan dalam tubuh
(viseral), sumber Ca2+ dari CES, sumber energi terutama dari metabolisme
aerobik, awal kontraksi lambat, kadang mengalami tetani, tahan terhadap
kelelahan.
c. Otot Jantung
Memiliki 1 inti yang berada ditengah, dipersarafi oleh saraf otonom
(involunter), serat otot berserat, hanya ada dijantung, sumber Ca+ dari CES &
RS, sumber energi dari metabolisme aerobik, awal kontraksi lambat, tidak
mengalami tetani & tahan terhadap kelelahan.
TULANG
a. Ossa longa (tulang panjang) : tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contoh
Os humerus
b. Ossa breva (tulang pendek) : tulang yang ketiga ukurannya hampir sama
besar, contoh Os carpi
c. Ossa plana (tulang pipih) : tulang yang ukuran lebarnya terbesar, contoh Os
parietale
d. Ossa Irreular (tulang tak beraturan) : contoh Os Sphenoidale
e. Ossa pneumatica (tulang berongga udara) : contoh Os maxilla
TULANG RAWAN
a. Tulang rawan hialin : matriks mengandung serat kolagen, jenis kartilago yang
paling banyak dijumpai, misalnya pada hidung, laring, trakhea.
b. Tulang rawan elastis : lebih banyak serat elastis yang mengumpul pada
dinding lakuna yang mengelilingi kondrosit, misalnya auricula dan tube
eustachia
c. Fibrokartilago : menyatu dengan tulang rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa
yang berdekatan, misalnya pada meniscus dan diskus intervertebralis.
SENDI
a. Sinarthrosis yaitu sendi yang terdapat kesinambungan karena diantara kedua
ujung tulang yang bersendi terhadap suatu jaringan.
b. Diarthrosis yaitu sendi yang terdapat ketidaksinambungan karena diantara
tulang yang bersendi terdapat rongga.
Dari skenario, organ terkait adalah sendi yaitu sendi pada ibu jari kaki atau
Articulationes Metatarsophalangeae. Sendi tersebut berada diantara Os. Metatarsi I
dan Os. Phalanx Proximalis I, yang dihubungkan dengan Lig. Metatarsale
transversum profundum dan Lig. Collateralia.
Sendi-sendi jari kaki bisa dikelompokkan sebagai Articulationes
metatarsophalangeae dan Articulationes interphalangeae pedis proximales et
distales. Rentang pergerakan semua sendi jari tersebut dibatasi oleh Ligg. collateralia
yang ketat dan di inferior oleh Ligg. plantaria.
Ibu jari kaki kanan, Ossesamoideum laterale dan mediale adalah tulang yang
berbentuk separuh bola. Masing-masing tulang memiliki permukaan sendi dorsal
yang sedikit cembung, yang berartikulasi dengan permukaan sendi plantar Caput
ossis metatarsi I yang menyerupai lekukan sebuah alur. Ossa sesamoidea melindungi
tendo-tendo dari friksi yang terlalu besar. Revalensi fungsionalnya terletak pada
perpanjangan lengan ungkit otot yang bekerja sehingga menghemat tenaga.
Terbentuknya ossasesamoidea merupakan hasil dari adaptasi fungsional di daerah
tendo yang tertekan.
2. Reaksi Biokimia
Manusia mengubah nukleosida purin utama, adenosine dan guanin menjadi
asam urat melalui intermediate serta reaksi. Reaksinya sebagai berikut:
Adenosine mengalami proses deminase menjadi inosin dengan bantuan enzim
adenosine deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosidat inosin dan guanine, yang
dikatalis oleh enzim nukleosida purin fosforilase,akan melepas senyawa basa purin
dan amonium (NH4+ ). Hipoxantin dan guanine selanjutnya membentuk xantin dalam
reaksi yang dikatalis masing-masing oleh enzim xantin oksidase dan guanase.
Kemudian, xantin teroksidase menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalis
oleh enzim xantin oxidase. Dengan demikian, xantin oksidase merupakan lokus yang
essensial bagi intervensi farmakologis penderita hiperurisemia atau gout
Nyeri akibat adanya inflamasi diawali dengan adanya antigen yang berupa mikroba, dan
agen-agen lain yang dapat menimbulkan inflamasi. Kemudian terjadilah aktivasi sel T helper
yang selanjutnya memberi respon terhadap antigen tersebut dan akan mengaktifkan sel T
CD4+.
Dari hasil aktivasi sel T CD4+ ini kemudian terbentuklah sitokinin. Sitokinin tersebut,
kemudian akan mengaktifkan sel B, anti makrofag, dan aktifasi sel endotel. Dari ketiga
proses aktifasi tersebut, proses aktivasi selanjutnya yang menimbulkan nyeri adalah proses
aktivasi makrofag yang kemudian mengaktifkan lagi sitokin, dari hasil aktivasi sitokin ini
kemudian terbentuk fibroblas, kondrosit, dan sel sinovial yang selanjutnya merangsang
pelepasan kolagenase, stromelisin, elastase, PGE2( yang merupakan salah satu mediator nyeri
yang dibentuk melalui jalur metabolit asam arakidonat), dan enzim lain. Jalur lain yang
menimbulkan nyeri adalah proses dari aktivasi sel endotel yang kemudian memicu
pengeluaran molekul adhesi dan selanjutnya mengakumulasi sel radang yang kembali
merangsang terbentuknya prostaglandin.
Dari proses di ataslah yang kemudian terbentuk rasa nyeri pada inflamasi sendi.
AA (Asam Arakidonat) merupakan suatu asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty
acid) yang dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase sel. Proses metabolitnya melalui
salah satu dari dua jalur utama, yaitu jalur siklooksigenase yang menyintesis prostaglansin
(sebagai mediator dari nyeri yang akan terjadi) dan juga menyintesis tromboksan, jalur lain
dinamakan jalur lipoksigenase yang menyintesis leukotrien dan lipoksin.
Melalui dua jalur dari proses metabolit asam arakidonat inilah mediator-mediator nyeri sendi
akibat adanya inflamasi terbentuk, contohnya prostaglandin.
b. Gangguan mekanik
Mekanisme nyeri akibat gangguan mekanik pada dasarnya sama seperti mekanisme
nyeri akibat inflamasi. Perbedaannya hanya penyebab stimulus atau rangsangannya saja.
Nyeri akibat gangguan mekanik disebabkan oleh adanya stimulus atau rangsangan akibat
penuaan atau efek mekanik, misalnya: pengapuran, kekurangan atau kelebihan cairan
sinovial, dll. Proses mekanisme nyeri terdiri dari: transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi.
9.1 Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan
kekakuan pada sendi.
10. Pencegahan
Untuk mencegah kekakuan dan nyeri sendi, dapat dilakukan dengan edukasi
pasien tentang diet dan lifestyle. Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain
menurunkan berat badan, mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari
merokok, dan konsumsi air yang cukup. Modifikasi diet pada penderita obesitas
diusahakan untuk mencapai indeks masa tubuh yang ideal, namun diet yang terlalu
ketat dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya dihindari.
Pada penderita artritis gout dengan riwayat batu saluran kemih disarankan untuk
mengkonsumsi 2 liter air tiap harinya dan menghindari kondisi kekurangan cairan.
Untuk latihan fisik penderita artritis gout sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan.
Latihan fisik ringan berupa latihan gerak sendi seperti senam, bersepeda atau
berenang dan tidak dianjurkan untuk melakukan aktifitas berat seperti lari ataupun
mengangkat benda yang berat yang menyebabkan beban yang besar pada persendian
kaki pasien. karena dikhawatirkan akan menimbulkan trauma pada sendi.
2. CT-Scan
CT-Scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit
degenatif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada
orang tua. CT-Scn bermanfaat untuk mengevaluasi struktur didaerah dengan
anatomi yang kompleks dimana struktur yang saling berhimpitan
menyulitkan pandangan pada foto konvensional. Misalnya koalisi
talokakaneus yang tidak dapat dilihat pada foto konfensional, sakroilitis
(terutama yang disebabkan infeksi ) dan kolap capu femoris akibat
osteonekrosis yang memerlukan joint replacement. Sendi stemiklavicular
yang sangat sulit di lihat dengan foto konvensional cukup jelas terlihat
dengan CT- Scan.
3. MRI
MRI membawa keuntungan bagi pencitraan muskuloskeletal karna
kesanggupannya memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat di
perlihatkan oleh pemeriksaan radiologi konvensional. Struktur jaringan
lunak sendiri seperti meniskus dan ligamen crusiatum lutut dapat di
perlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama
dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik intavena seperti
gadolinium. Demikian juga kelainan lain seperti efusi sendi, kistapoplitea,
gangliona, kista meniskus dan burusitis dapat dilihat dengan jelas dengan
integritas tendo dapat dilihat. MRI makin populer untuk mengevaluasi
ligamen antara tulang- tulang carpal dan fibrokartilago triangular.
4. USG (Ultrasonografi)
Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa USG dapat
mendeteksi robekan rotator cuff dengan tepat. Hasilnya juga baik dalam
mengevaluasi penumpukan cairan seperti efusi sendi, kista poplitea dan
ganglioma, sehingga dapat dipakai untuk menuntun aspirasi cairan sendi
maupun ditempat lain tendo yang terletak superfisial seperti tendi achiles
dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan adanya robekan. USG tampak
menjajikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang
memberikan informasi tentang struktur mikrotrabekula yang berkaitan
dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat deinilai langsung dengan teknik
radiografi. Informasi ini saling melengkapi dengan informasi tentang
komposisi mineral tulang dan mengevaluasi resiko fraktur pada pasien. USG
juga telah dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.
12. DD dan DS
Kata Kunci DS DD
AG OA RA
Laki-laki ++ +/- +/-
Umur 45 tahun + + +
12.1 Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan
kekakuan pada sendi.
12.1.1 Epidemiologi
Di Asia, China dan India menduduki peringkat 2 teratas sebagai negara dengan
epidemiologi osteoartritis tertinggi yaitu berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang
menderita osteoartritis lutut. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
hasil dari wawancara pada usia ≥ 15 tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik
sebesar 24,7%. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan
prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% dan provinsi dangan prevalensi terendah
adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur angka prevalensinya cukup
tinggi yaitu sekitar 27% Prevelensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi,
yaitu mencapai 15.5% pada pria dan 12.7% pada wanita.Diperkirakan 1 sampai 2 juta
orang usia lanjut di Indonesia menderita cacat karena OA. Oleh karena itu tantangan
terhadap dampak OA akan semakin besar karena semakin banyaknya populasi yang
berusia tua.
12.1.2 Etiologi
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak
diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun
perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai
oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja,
olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer
lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder.
Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk
mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas
sendi yang mengganggu aktivitas sehari – hari.
12.1.7 Komplikasi
Komplikasi dari Osteoartritis adalah osteonekrosis spontan sendi lutut, bursitis,
artropati mikrokristal (sendi lutut dan tangan)
12.1.8 Prognosis
Prognosis pada pasien dengan osteoarthritis bergantung pada sendi yang terlibat
dan pada kondisi tingkat keparahan.
12.2.1 Epidemiologi
Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia.
Dalam buku ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu
negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa
di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi sebesar
7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda halnya, dengan
studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih rendah
sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang
lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang
dari 0,4% baik didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa
Tengah mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah
urban.
Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita
di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi
pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama,
AS, wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk
meninggal dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut.
12.2.2 Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan
dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA),
yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi
esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon
imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA.
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino
homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T
mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis.
e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok
12.2.3 Faktor Resiko Artritis Reumatoid
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated. Obesitas juga merupakan faktor
resiko
12.2.6 Penatalaksanaan
Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer.
Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak
ikan cod), kompres panas dan dingin serta massase untuk mengurangi rasa nyeri,
olahraga dan istirahat, dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi
komplementer berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive.
Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid
Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000”,
Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa
nyeri dan kekakuan sendi.
2. Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan
Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok
obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit dan mengurangi
respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor
dengan hati-hati.
3. Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis
dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka
panjang yang serius.
Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan
kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur
tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak
luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis
digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
12.2.7 Komplikasi
Komplikasi RA umumnya tidak bersifat fatal. Namun penyakit ini bersifat
progresif sehingga keterbatasan dan nyeri sendi dapat semakin berat bila tidak
diobati.
12.2.8 Prognosis
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar
40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi,
hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak
seperti penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain
mungkin menunjukkan progresi penyakit yang kronis. Prognosis yang buruk dapat
dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada tes radiologi awal,
adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP Rheumatoid
arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung
menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena
masalah kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara
keseluruhan, tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari
populasi umum.
12.3 Artritis Gout / Pirai
Atritis Gout adalah suatu kumpulan gejala yang timbul akibat adanya deposisi
kristalmono sodium urat pada jarigan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam
cairan ekstraseluler. Istilah tersebut perlu dibedakan dengan hiperurisemia, yaitu
peninggian kadar asam urat serum lebh dari 7,0 mg/dl pada laki-laki dan 6,0 mg/dl
pada perempuan. Hiperurisemia adalah gangguan metabolisme yang mendasari
terjadinya gout.
Disebut atritis gout apabila serangan inflamasi terjadi pada artikular atau
periartikular seperti bursa dan tendon. Tingginya kadar asam urat serum juga dapat
menyebabkan kelainan pada ginjal, deposisi pada jarigan lainnya, serta berkaitan
dengan jejadian dan mortalitas kardiovaskuler.
12.3.1 Etiologi
Penyakit ini dikaitkan dengan adanya abnormalitas kadar asam urat dalam
darah dengan akumulasi endapan kristal monosodium urat, yang terkumpul di dalam
sendi. Keterkaitan antara gout dengan hiperurisemia yaitu adanya produksi asamurat
yang berlebih, menurunya eksresi asam urat melalui ginjal atau mungkin karena
keduanya.
12.3.2 Epidemiologi
Prevalensi atritis gout di Amerika Serikat sekitar 13.6 kasus per 1000 lelaki dan
6,4 kasus per 1000 perempuan. Prevalensi ini berada di tiap negara,
berkisar antara 0,27% di Amerika hingga10,3% di Selandia Baru. Peningkatan
insidensgout dikaitkan dengan perubahan pole diet dan gaya hidup, peningkatan
kasus obesitas dan sindrom metabolik.
12.3.4 PemeriksaanPenunjang
- Pemeriksaan laboratorium serum : Serum urat darah, asam urat urin 24 jam
- Pemeriksaan analisis cairan sendi :
- Temuan kristal monosodium urat
- Cairan sendi sesuai kondisi inflamasi (leukosit 5.000-80.000/mm)
- Pemeriksaan sekitar sendi.
12.3.5 Prognosis
Rata-rata, setelah serangan awal, diramalkan 62% yang tidak diobati akan
mendapat serangan ke 2 dalam 1 tahun, 78% dalam 2 tahun, 89% dalam 5 tahun serta
93% dalam 10 tahun.Seiring perjalanan waktu, pasien yang tidak diobati dengan
serangan berulang akanmempunyai periode interkritikal yang lebih pendek,
meningkatnya juml ah sendi yang terserang, dan meningkatnya disability.
Diperkirakan 10-20% pasien dengan pengendalian yang jelek atau tidak diobatiakan
mengalami perkembangan tofi dan 29% nefrolitiasis pada kurang lebih 11tahun
setelah serangan awal.
12.3.6 Penatalaksanaan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
OAINS di gunakan untuk memungkinkan stabilisasi membran lisomal,
menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisomal, dan enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke tempat peradangan,
menghambat proliferasi selular, menetralisasi radikal oksigen, menenkan rasa nyeri.
Yang paling banyak digunakan adalah aspirin dan ibuprofen.
Obat ini mengurangi pembengkakan pada sendi yang terkena dan meringankan rasa
nyeri.
Aspirin merupakan obat tradisional untuk artritis rematoid; obat yang lebih baru
memiliki lebih sedikit efek samping tetapi harganya lebih mahal. Dosis awal adalah 4
kali 2 tablet (325 mgram)/hari. Telinga berdenging merupakan efek samping yang
menunjukkan bahwa dosisnya terlalu tinggi. Gangguan pencernaan dan ulkus
peptikum, yang merupakan efek samping dari dosis yang terlalu tinggi, bisa dicegah
dengan memakan makanan atau antasid atau obat lainnya pada saat meminum
aspirin.
Misoprostol bisa membantu mencegah erosi lapisan lambung dan
pembentukan ulkus gastrikum, tetapi obat ini juga menyebabkan diare dan tidak
mencegah terjadinya mual atau nyeri perut karena aspirin atau obat anti peradangan
non-steroid lainnya.
Obat slow-acting
Obat slow-acting kadang merubah perjalanan penyakit, meskipun perbaikan
memerlukan waktu beberapa bulan dan efek sampingnya berbahaya. Pemakaiannya
harus dipantau secara ketat.
Obat ini biasanya ditambahkan jika obat anti peradangan non-steroid terbukti
tidak efektif setelah diberikan selama 2-3 bulan atau diberikan segera jika
penyakitnya berkembang dengan cepat.
Kortikosteroid
Kortikosteroid (misalnya prednison) merupakan obat paling efektif untuk
mengurangi peradangan di bagian tubuh manapun.Kortikosteroid efektif pada
pemakaian jangka pendek dan cenderung kurang efektif jika digunakan dalam jangka
panjang, padahal artritis rematoid adalah penyakit yang biasanya aktif selama
bertahun-tahun. Untuk menghindari resiko terjadinya efek samping, maka hampir
selalu digunakan dosis efektif terendah
Imunosupresif
Obat imunosupresif (contohnya metotreksat, azatioprin dan cyclophosphamide)
efektif untuk mengatasi artritis rematoid yang berat.
Obat ini menekan peradangan sehingga pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau
diberikan kortikosteroid dosis rendah.
Efek sampingnya berupa penyakit hati, peradangan paru-paru, mudah terkena
infeksi, penekanan terhadap pembentukan sel darah di sumsum tulang dan perdarahan
kandung kemih (karena siklofosfamid).
Selain itu azatioprine dan siklofosfamid bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker.
Metotreksat diberikan per-oral (ditelan) 1 kali/minggu, digunakan untuk
mengobati artritis rematoid stadium awal. Siklosporin bisa digunakan untuk
mengobati artritis yang berat jika obat lainnya tidak efektif.
Pendidikan
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah
penyakit dan penatalaksanaan AR kepada pasien merupakan hal yang amat penting
untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, pasien AR
diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi, dan
kognitif yang terganggu akibat penyakitnya.
Peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakitnya telah terbukti akan
meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri yang dialami.
Terapi lainnya
Bersamaan dengan pemberian obat untuk mengurangi peradangan sendi, bisa
dilakukan latihan-latihan, terapi fisik, pemanasan pada sendi yang meradang dan
kadang pembedahan.
LAPORAN TUTORIAL
SISTEM MUSKULOSKELETAL
MODUL 1
“NYERI SENDI”
Hall, JE., Guyton, AC.. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11.
Amerika: Saunders Elsevier; 2008.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, AW.,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam Vol. III. Ed ke-
4 Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, AW., dkk. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Ed ke-
5.Jakarta; Internapublishing; 2015.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, AW., dkk. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed ke-6.
Jakarta; Internapublishing; 2015.
T. Edward Stephanus., Dr. DR, DKk, 2009 “ Ilmu Penyakit Dalam Jilid III“ balai
penerbit FKUI : Jakarta. Hal 2556-2560
Tanto, C., Calistania, C., Mulansari, N.. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Ed. Ke-4.
Jakarta: FK UI; 2014.