Teknik Persalinan Pada Wanita Dengan HIV

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pandemi HIV adalah salah satu masalah kesehatan yang serius yang
dihadapi dunia saat ini. AIDS telah menyebabkan kematian pada > 25 juta orang
sejak 1981 dan diperkirakan 38,6 juta orang hidup dengan HIV saat ini, dimana
2,3 jutanya adalah anak-anak (WHO, 2006).
Laporan epidemi AIDS Global (UNAIDS 2012) menunjukkan bahwa
terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% diantaranya
adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia
Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV. Menurut laporan
Perkembangan HIV-AIDS WHO-SEARO 2011, sekitar 1,3 juta orang (37%)
perempuan terinfeksi HIV (Kemenkes, 2013).
Epidemi HIV di Indonesia termasuk yang paling cepat berkembang di
Asia. Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Pada
akhir 2009, diperkirakan ada 333.200 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Sampai dengan tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497
(69,4%) kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru
setiap tahunnya telah mencapai sekitar 20000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat
21.551 kasus baru yang 57,1% diantaranya berusia 20-39 th. Sumber penularan
tertinggi (58,7%) terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman pada
pasangan heteroseksual. Pada tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada
kelompok ibu rumah tangga (18,1%) yang apabila hamil berpotensi menularkan
infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang
melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV
(Kemenkes, 2014).
Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin
meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, yang akan menularkan HIV pada pasangan
seksualnya. Pada ibu hamil, HIV bukan hanya ancaman bagi keselamatan jiwa
ibu, tetapi juga merupakan ancaman bagi anak yang dikandungnya karena
penularan yang terjadi dari ibu ke bayinya. Lebih dari 90% kasus anak HIV,
mendapatkan infeksi dengan cara penularan dari ibu ke anak (Kemenkes,
2013).

1
Transmisi HIV dari ibu ke bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan
atau pada saat menyusui disebut dengan transmisi perinatal. Transmisi
perinatal paling sering terjadi selama persalinan, yaitu sekitar 50-60%, dan
banyak faktor-faktor mempengaruhi resiko untuk terifeksi pada periode ini.
Secara umum, semakin lama dan semakin banyak jumlah kontak neonatus
dengan darah ibu dan sekresi servik dan vagina, maka semakin besar resiko
penularannya. Untuk itu, sangat penting bagi kita sebagai petugas kesehatan
untuk mempelajari kapan dan bagaimana cara persalinan pada wanita hamil
dengan HIV.
Sampai saat ini, masih dipercaya bahwa persalinan dengan cara sectio
secarea adalah cara persalinan yang paling aman untuk wanita hamil dengan
HIV. Meskipun pada beberapa literatur disebutkan bahwa persalinan wanita
HIV tidak harus melalui sectio sesarea asalkan telah memenuhi syarat-syarat
tertentu diantaranya jumlah viral load dan lamanya penggunaan ARV. Tapi hal
ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli sampai detik ini karena banyak
faktor yang mempengaruhi terjadinya transmisi perinatal itu sendiri. Untuk itu
sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara melakukan
terminasi kehamilan pada wanita hamil dengan HIV sehingga kemungkinan
transmisi perinatal selama persalinan bisa kita minimalisir.

1.2 Tujuan
Tujuan dilakukan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui
bagaimana teknik persalinan yang paling efektif pada wanita hamil dengan
HIV positif sehingga transmisi perinatal saat persalinan bisa diminimalisir.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan dan Infeksi HIV


2.1.1 Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita
yang terinfeksi HIV (Volderding, 1995).
Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk.
Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan
untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase
sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan
setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap
terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara
statistik. Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV
Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan
presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah
melahirkan tetap stabil (Mc Farland, 2003).
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV.
Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun
secara statistik tidak bermakna (Yunihastuti, 2003).
Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian
Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah
hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau
penurunan CD4 menjadi kurang dari 200 (Mc. Farland, 2003).

2.1.2 Pengaruh Infeksi HIV Pada Kehamilan


Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan
bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir
rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin (Volderding, 1995). Sedangkan
di negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi,
prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin
terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk
juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi (Mc. Farland,
2003).

3
2.1.3 Efek HIV/AIDS Terhadap Kematian Maternal
Infeksi HIV dapat mempengaruhi kematian maternal dalam beberapa
cara. Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS akan lebih rentan mengalami
kematian langsung maupun kematian obstetric seperti perdarahan post partum,
sepsis puerpuralis dan komplikasi dari sectio caesaria. Kematian yang
disebabkan oleh karena AIDS bisa terjadi secara langsung saat kehamilan
maupun sebagai penyebab tidak langsung akibat infeksi opportunistic seperti
tuberculosis yang berkembang lebih cepat saat hamil. Namun, United States
Public Health Service Task Force pada tahun 2009 melaporkan angka morbiditas
dan mortalitas tidak meningkat pada wanita seropositif yang asimptomatis
(Sheffield et al., 2010).
Di masa lampau, penyebab obstetrik langsung bertanggung jawab
terhadap sebagian besar kemaatian ibu, dimana penyebab utamanya adalah
perdarahan, hipertensi, persalinan macet dan komplikasi abortus. Pola penyebab
tersebut berubah di banyak tempat sejak munculnya komplikasi AIDS yang saat
ini banyak terjadi sebagai penyebab kematian ibu. Trio penyakit yang juga jadi
penyebab penting kematian ibu adalah AIDS, Tuberkulosis dan malaria. AIDS
juga menjadi factor yang ikut berperan sebagai penyebab kematian ibu di negara
berkembang, meskipun masih dalam jumlah yang kecil, oleh karena banyak
didapatkan akses yang mudah dalam pengobatan dan perawatan ibu yang
terkena AIDS. Sebelum penyebarluasan kemampuan highly active antiretroviral
therapy (HAART), AIDS masih menjadi penyebab utama kematian ibu di
beberapa area di Amerika Serikat. Dengan akses yang mudah untuk
mendapatkan HAART, kematian penderita AIS dapat ditekan, dan juga baru-baru
ini direkomendasikan pengobatan antiretroviral secara tepat untuk wanita hamil
dengan AIDS, yang mana dapat menurunkan angka komplikasi AIDS selama
kehamilan. Nanum demikian, pada beberapa negara yang sumber daya
manusianya masih buruk, akses untuk mendapatkan HAART masih banyak
mendapat kendala, sehingga HIV/AIDS masih menjadi massalah utama (Mc
Intyre, 2003).
Pada penelitian sekitar tahun 1990 di beberapa negara negara di Afrika
dan Asia menunjukkan peningkatan peranan AIDS dan komplikasi yang
berhubungan sebagai penyebab kematian maternal. Maternal Mortality Rate
(MMR) pada penelitian tersebut berkisar antara 400 hingga 900 per 100.000

4
kelahiran hidup. Pada penelitian di Zambia, menunjukkan angka kematian
maternal meningkat delapan kali lipat lebih tinggi pada dua decade terakhir,
meskipun pelayanan obstetrik telah diwujudkan. Penyebab tidak langsung dari
kematian maternal, 58% nya adalah karena malaria dan tuberculosis sebagai
komplikasi dari AIDS. Di daerah Rakai di Uganda, kematian maternal lima kali
lebih tinggi pada wanita yang positif terinfeksi HIV, mencapai angka lebih dari
1600 per 100.000 kelahiran hidup pada kelompok yang terinfeksi. Di Malawi dan
Zimbabwe, kematian yang berhubungan dengan kehamilan telah meningkat
menjadi 1,9 dan 2,5 kali setara dengan peningkatan epidemiologi AIDS (McIntyre
, 2003). peringkat keempat tertinggi penyebab kematian maternal di area
Tanzania. Di India, penelitian mengenai wanita yang terinfeksi HIV menunjukkan
angka kematian maternal yang tinggi. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP)
yang diikuti oleh tuberculosis milier merupakan penyakit komplikasi tersering
AIDS dan menjadi penyebab dari kematian maternal. Di Afrika Utara pada tahun
1998, AIDS merupakan penyebab kedua kematian maternal, dengan 13%
diantaranya meninggal di tahun pertama. Pada tahun 1999 hingga 2001, AIDS
tercatat sebagai penyebab kematian maternal sebanyak 17 kasus (McIntyre,
2003).
Defisiensi intake maternal dapat menyebabkan eksaserbasi dari
progresivitas HIV. Defisiensi vitamin A telah dibuktikan berhubungan dengan
progresivitas penyakit yang lebih cepat terhadap wanita yang terinfeksi HIV,
peningkatan transmisi HIV dari ibu ke janin serta peningkatan kadar viral load di
air susu ibu. Akan tetapi pemberian suplemen vitamin A tidak menunjukkan
penurunan risiko transmisi ibu ke janin, tapi mengurangi efek buruk dari
penyakitnya terhadap kesehatan ibu. Pada penelitian dengan jumlah sampel
yang besar di Nepal, menunjukkan pemberian suplemen Vitamin A atau beta
carotene dapat menurunkan kematian maternal sebanyak 44%. Di Tanzania,
pemberian suplemen multivitamin, yang tidak hanya mengandung vitamin A,
secara signifikan dapat meningkatkan jumlah absolut CD4+, CD3+, dan CD8+
(McIntyre , 2003).

2.1.4 Transmisi Vertikal HIV


Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-

5
26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum.
Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui,
24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan.
Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi
intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15%
setelah persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan
adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif (Mc
Farland, 2003).

2.1.4.1 Transmisi Intra Uterin


Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan (Mc Farland,
2003).
Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta.
Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV.
Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat
mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara
tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel
Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4 (Mc Farland, 2003).
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme
yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic
gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara,
seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi
virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi
HIV-1 (Mc Farland, 2003).
Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group
(PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virology positif
dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif (Mc Farland,
2003).
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada
transmisi antepartum seperti yang tercantum pada table 2.1. Malnutrisi yang
seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan resiko
transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan progresivitas
penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan prematuritas dan

6
menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas fetus. Pada penelitian
prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari 1,05 mmol/L) yang
dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata berhubungan
dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian Dreyfuss, dkk tidak dapat
membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan meningkatkan transmisi
antepartum atau sebaliknya (Mc Farland, 2003).

Tabel 2.1. Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko


penularan vertikal HIV dari ibu ke anak.
Periode Faktor
Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin A,
mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160,
malnutrisi, perokok, pengambilan sample vili korion,
amniosentesis.
Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara
persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan elektrode pada
kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi
vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan
dengan vakum atau forseps
Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis

2.1.4.2 Transmisi Intrapartum


Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui (Mc Farland, 2003).
Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal
yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan
lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS
sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%.
Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan duh tubuh
vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain
menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta

7
dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma
pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal (Mc Farland, 2003).
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks
atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan
prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau
forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4
jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai
dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum
persalinan (Mc Farland, 2003).
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko
penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun,
belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi.
Penelitian dari Women and Infants Transmission Study menunjukkan pada kadar
HIV ibu > 1,2 Garcia, dkk melaporkan 21% penularan HIV pada ibu dengan
kadar HIV menjelang atau saat persalinan 100.000 kopi/mL penularan yang
terjadi 63%. John, dkk menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu
dengan kadar HIV>43.000 kopi/mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak
terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa
kasus penularan tetap terjadi. John, dkk pada penelitiannya mengemukakan
transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan kadar HIV 1 juta kopi/mL.
Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan
kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan
linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya (Mc
Farland, 2003).
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi
perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena
sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian
menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium penyakit HIV ibu,
penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan kelahiran juga
memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir pertama kali
mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir
kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih lama berada
dijalan lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara tidak langsung
membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya (MC Farland, 2003).

8
2.1.4.3 Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah
1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air
susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan
kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai
minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi
rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah
persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam
bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan
berikutnya(Depkes RI, 2003).
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu,
defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air
susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak
terinfeksi HIV (Mc Farland, 2003).
Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi
HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses
payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi (Mc
Farland, 2003).

2.2 Penatalaksanaan Obstetrik


Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus
pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi
paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV (Volderding,
1995).
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan
transmisi HIV yang lebih rendah pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
yang menjalani seksio sesarea dibandingkan partus pervaginam (11,7 %
dibandingkan 17,6 % ) tanpa membedakan seksio elektif dan seksio emergensi.
Namun, ternyata penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan
yang bermakna secara statistik. Women and Infants Transmission Study
mengemukakan bahwa lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih

9
bermakna daripada seksio sesarea untuk menurunkan transmisi vertikal ( resiko
relatif 1,81 dibandingkan 1,13 ) (Mc Farland, 2003).
Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan resiko transmisi pada
partus pervaginam, seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European Mode
of Delivery Collaboration membandingkan transmisi perinatal pada wanita hamil
yang terinfeksi HIV-AIDS yang melahirkan pervaginam dan seksio sesarea
elektif. Ternyata seksio sesarea elektif dapat menurunkan resiko transmisi hingga
80 % dibandingkan partus pervaginam (1,8 % dibandingkan 10,5%). Demikian
juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV Group terhadap 15
penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara (Mc Farland, 2003).
Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan
pemberian antiretrovirus. Resiko transmisi akan berkurang sekitar 87 %. Karena
itu, saat ini seksio sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial
terhadap transmisi HIV vertikal (De Cherney, 2005).
Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers,
dkk mencoba teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal. Namun, pada
penelitian tersebut tersebut ternyata efek seksio sesarea dengan perdarahan
minimal hampir sama dengan pemberian antiretrovirus (transmisi HIV 6,3 %
dibanding 7,9 %). Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak
mendapat terapi antiretrovirus (Mc Farland, 2003).
Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi
obstetric lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio yang
mungkin terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS, terutama pada
stadium lanjut. Laporan PACTG 185 menyebutkan bahwa komplikasi minor
seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka, dan infeksi traktus urinarius
lebih banyak terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS dibandingkan dengan
kelompok non-HIV. Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi mayor
seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis (Mc Farland, 2003).
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan
resiko transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS . Salah
satunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan
0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi
partus pervaginam (Mc Farland, 2003).

10
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat
mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi
HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah (Mc Farland, 2003) :
1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat
antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil
pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan
ada sebelum persalinan.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat
terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG 076.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan
konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi
resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi,
anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
minggu ke-38 kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil
yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin
intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi
mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah
melahirkan atau tidak tergantung pada hasil
pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi
antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000
kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat
konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan,
sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea.
Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang
meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi, dan
operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio

11
direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama
seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3
jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan
sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang
mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV
tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak
terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada
persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan
harus mempertimbangkan keuntungan dan resiko
komplikasi seksio.
4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah
direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang
pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah.
Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan
cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani
persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan
berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan
seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika
diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode kepala, monitor
invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu
Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu
untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan (Zorilla, 2009 ; Royal
College, 2010). Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada
saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan obatnya sebelum
persalinan, jika diindikasikan sesudah persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV
positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV
diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis
2mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/jam sepanjang proses kelahiran. Pada
persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali

12
pusar sudah terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik
peripartum pada saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi (Morino,
2010; Chasela, 2010).
Ruangan operasi juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah
PROM sampai kepala dilahirkan melalui operasi incisi. Kelompok meta analisis
Internasional Perinatal HIV, menemukan bahwa resiko transmisi vertikal
meningkat 2% setiap penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan seksio
sesaria dikerjakan setelah terjadi PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada.
Pada kasus ini pemilihan jalan lahir harus disesuaikan secara individu. Oleh
karena itu, diusahakan agar membran tetap intak selama mungkin (Royal
College, 2010; Marino, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan ACOG
pada tahun 2000, pasien HAART dengan viral load > 1000 kopi/ml, harus
konseling berkenaan dengan keuntungan yang didapat dari persalinan elektif
seksio sesaria dalam menurunkan resiko transmisi vertikal pada perinatal.
Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh
wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load < 50 kopi/ml. Jika pasien
ini tidak ingin melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus
dijadwalkan pada umur kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko
transient tachypneu of the newborn (TTN). Prosedur invasif seperti pengambilan
sampel darah fetal dan penggunaan elektrode kulit kepala fetal merupakan
kontraindikasi (Royal College, 2010). Pada persalinan pervaginam, amniotomi
harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahirana kala 2 memanjang. Jika
terdapat indikasi alat bantu persalinan. Forsep dengan kavitas rendah lebih
disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil (Marino, 2010 ;
Royal College, 2010).

2.3 Teknik Persalinan


2.3.1 Sectio Sesarea
Sampai saat ini, persalinan dengan seksio sesarea masih
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan HIV, terutama seksio sesarea
elektif yang terbukti dapat mengurangi presentase penularan HIV dari ibu ke bayi
pada periode intrapartum sampai dengan 50% (HKFM, 2012; Royal College,
2010)
Dari beberapa literatur disebutkan bahwa teknik seksio sesarea yang
direkomendasikan adalah teknik “bloodless caesarean section” yang berarti

13
melahirkan bayi dengan minimal kontak atau tanpa kontak sama sekali dengan
darah atau cairan tubuh ibu. Pada penelitian Towers, dkk dikatakan bahwa efek
seksio sesarea dengan teknik perdarahan minimal hampir sama dengan
pemberian antiretroviral (transmisi HIV 6,3% dibanding 7,9%). Cara ini mungkin
dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak mendapat terapi antiretrovirus (Mc
Farland, 2003).
Teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal ini hampir sama seperti
Seksio Sesarea pd umumnya sampai pada level sebelum insisi uterus. Sebelum
insisi uterus, lapangan operasi harus kering dan bersih Sarung tangan operator
hrs dicuci atau baru. Insisi SBR scr transversal ± 3 cm, dibuka dg hati2 agar kulit
ketuban tidak pecah. Allis klem dipasang pada insisi uterus atas dan bawah sbg
traksi Janin dilahirkan dg kulit ketuban diusahakan tetap utuh, sambil asisten
terus mengirigasi janin dan lapangan operasi dgn cairan salin steril dan hangat.
Luka diirigasi dan semua sumber perdarahan dikauterisasi (Kemenkes, 2014).
Menurut Royal College, 2010, teknik seksio sesarea dengan perdarahan
minimal mencakup pembukaan uterus dengan menggunakan staple gun yang
secara simultan memotong dan memberikan hemostasis sehingga proses
persalinan bayi relatif pada lapangan yang kering dan kontak dengan darah ibu
bisa dihindari.
Teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal menurut AJOG, 1998
yaitu metode yang mencakup perhatian yang teliti untuk mengontrol perdarahan
pada luka incisi, antiseptik, dan demarkasi lapangan operasi sehingga terhindar
dari kontaminasi darah, mencuci sarung tangan operator dengan sabun sebelum
digunakan untuk operasi, mengusahakan untuk menghindari pecahnya selaput
ketuban dan menggunakan staple gun untuk hemostasis sepanjang incisi uterus.
Berdasarkan project inform San Fransisco, teknik seksio sesarea dengan
perdarahan minimal berarti pembuluh darah ibu yang terluka selama operasi,
dikauter sehingga terjadi hemostasis dan bayi tidak terexpose darah ibu. Kauter
menggunakan agen (seperti panas, dingin atau listrik) pada luka dan membakar
pembuluh darah tersebut sebelum pembuluh darah tersebut dipotong sehingga
tidak terjadi perdarahan. Saat sudah tidak didapatkan perdarahan pada uterus
yang dibuka, selaput ketuban dipecahkan dan bayi dilahirkan.
Metode Seksio sesarea dengan irisan pfanensteil juga lebih dianjurkan
untuk meminimalisir terjadinya perdarahan.

14
Adapun langkah-langkah SC dengan irisan pfanensteil adalah sebagai berikut
(MJAFT, 2005) :
1. Incisi kulit 3 cm di bawah garis yang menghubungkan Spina Iliaca
Anterior Superior (SIAS) sepanjang 15-17 cm (gambar 1). Incisi kulit
harus superfisial hanya pada lapisan kulit sehingga memberikan lapangan
operasi yang hampir tidak berdarah.
2. Incisi diperdalam 3-4 cm sampai dengan anterior rectus sheat secara
transversal sampai panjang yang dikehendaki
3. Irisan diperlebar secara transversal dengan menarik bagian atas dan
bawah dari rectus sheath yang terpotong ke arah cranio caudal (gambar
2)
4. Tampak otot rectus abdominis. Otot perut ini dipegang oleh operator dan
asisten ditarik dari tengah ke sisi masing-masing (gambar 3)
5. Peritoneum parietal dibuka secara tumpul dengan cara melubanginya
dengan jari telunjuk. Peritoneum dibuka dengan memperlebar secara
transversal dengan cara menarik bagian atas dan bawahnya ke arah
cranio-caudal (gambar 4). Hal ini untuk menghindari meluasnya potongan
ke vesica urinaria
6. Kantong uterovesica dibuka dengan gunting dan bladder didorong ke
bawah secara tumpul
7. Insisi SBR scr transversal ± 3 cm, dibuka dg hati2 agar kulit ketuban
tidak pecah. Allis klem dipasang pada insisi uterus atas dan bawah sbg
traksi Janin dilahirkan dg kulit ketuban diusahakan tetap utuh, sambil
asisten terus mengirigasi janin dan lapangan operasi dgn cairan salin
steril dan hangat.
8. Placenta yang dilahirkan secara manual juga berkontribusi untuk
mengurangi perdarahan
9. Penutupan incisi uterus bisa dilakukan dengan melakukan jahitan 2 lapis
atau 1 lapis sesuai dengan keyakinan masing-masing operator

15
Gambar 1. Posisi irisan pfanensteil

Gambar 2. Memperluas incisi dengan menarik lapisan potongan ke


arah atas dan bawah seperti yang ditunjukkan arah panah

16
Gambar 3 . Otot rectus abdominis dipegang dengan jari dan ditarik
ke lateral dari masing2 sisi

Gambar 4. Pembukaan peritoneum dengan memperlebar secara


transversal ke arah dorso cranial

17
2.3.2 Persalinan Pervaginam
Menurut Kemenkes 2012, persalinan pervaginam diperbolehkan untuk
pasien HIV yang telah mengkonsumsi ARV sejak usia kehamilan  14 minggu
dan telah mengkonsumsi ARV > 6 bulan atau viral load < 1000 kopi/l.
Sedangkan menurut HKFM 2012, persalinan pervaginam bisa dipertimbangkan
pada wanita hamil dengan kadar viral load < 50 kopi/l.
Tidak ada teknik persalinan pervaginam khusus yang dilakukan untuk
menolong persalinan wanita hamil dengan HIV. Prosedur invasif seperti
pengambilan sampel darah fetal menggunakan elektrode kulit kepala fetal
merupakan kontraindikasi. Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus
dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat
indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan
untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil (Marino, 2010; Royal College,
2010).
Pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin
ternyata tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus pervaginam (HKFM,
2012).

18
BAB III
RINGKASAN

Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi paling besar terjadi saat
intrapartum, yaitu sekitar 10-20%. Untuk itu, sampai detik ini masih disarankan
persalinan dengan Seksio saesarea elektif pada wanita hamil dengan HIV, yang
terbukti menurunkan resiko penularan sampai dengan 50%. Persalinan
pervaginam hanya boleh dipertimbangkan pada wanita hamil dengan kadar viral
load , 50 kopi/l dan pasien telah mengkonsumsi ARV sejak usia kehamilan
kurang dari 14 minggu.
Persalinan dengan seksio saesarea dilakukan dengan menggunkan
metode “bloodless Caesarean Section” yaitu suatu metode melahirkan bayi
dengan minimal kontak atau tanpa kontak sama sekali dengan darah atau cairan
tubuh ibu. Teknik ini hampir sama seperti Seksio Sesarea pd umumnya sampai
pada level sebelum insisi uterus. Sebelum insisi uterus, lapangan operasi harus
kering dan bersih Sarung tangan operator hrs dicuci atau baru. Insisi SBR scr
transversal ± 3 cm, dibuka dg hati2 agar kulit ketuban tidak pecah. Allis klem
dipasang pada insisi uterus atas dan bawah sbg traksi Janin dilahirkan dg kulit
ketuban diusahakan tetap utuh, sambil asisten terus mengirigasi janin dan
lapangan operasi dgn cairan salin steril dan hangat. Luka diirigasi dan semua
sumber perdarahan dikauterisasi.
Tidak ada teknik persalinan pervaginam khusus yang dilakukan untuk
menolong persalinan wanita hamil dengan HIV. Prosedur invasif seperti
pengambilan sampel darah fetal menggunakan elektrode kulit kepala fetal
merupakan kontraindikasi. Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus
dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat
indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan
untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil.

19
20

Anda mungkin juga menyukai