E d i s i
A p r i l
2 0 1 5
D
i Bandung ada seorang bapak bernama membuang sampah dan memasang poster
Sariban. Setiap hari ia berkeliling kota sembarangan di pepohonan dengan paku.
Bandung dengan sepedanya. Tempat Kesadaran dan kepedulian masyarakat pada
sampah, sapu lidi, sekop, linggis, tang, dan palu lingkungan hidup dipandangnya masih sangat
pun selalu dibawanya. Untuk apa semuanya rendah.
itu ? Perlengkapan itu dipakai Sariban untuk
memungut dan mengumpulkan sampah serta Sariban sering dianggap gila. Orang mencibir
mencabuti paku yang menancap di batang melihat aktivitasnya. Tetapi pria berusia 71
pohon. Dengan berpakaian serba kuning, tahun ini, telah menjadi inspirator dan promotor
dilengkapi dasi dan caping serta pengeras suara, ia kebersihan dan cinta lingkungan di kota Bandung.
mempromosikan kebersihan dan kepedulian pada Slogan yang dia kumandangkan diantaranya
lingkungan. Ia tampil sangat unik. “Iban”, penggalan dari namanya sendiri yang
berarti; indah, bersih, aman, dan nyaman.
Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini,
merasa prihatin atas perilaku warga yang masih Sementara itu di Kampung Laut, Cilacap ada
POJOK PASTORAL
Thomas Heri Wahyono, seorang yang mendapat ini sudah berusia 4,54 miliar tahun. Usia yang
julukan Pendekar Mangrove. Disaat banyak orang sangat panjang. Bumi yang kita huni diciptakan
atau masyarakat yang tidak peduli atas pelestarian baik adanya. Tetapi karena ulah manusia
lingkungn hidup, bahkan merusak kelestarian yang tidak bersahabat dengan bumi dan lebih
alam, dengan menggunduli hutan mangrove, mengeksploitasi bumi dengan segala kekayaan
Thomas Heri Wahyono justru menjadi pelopor yang ada di dalamnya, bumi sudah mengalami
dan penggagas untuk menghijaukan kembali kerusakan di berbagai belahan dunia.
kawasan hutan mangrove yang rusak.
Ketidakpedulian manusia pada bumi,
Meskipun awalnya ia mendapatkan banyak dengan melakukan pertambangan, perambahan
cercaan, hujatan dan dianggap kurang kerjaan, hutan, perburuan satwa yang dilindungi,
Thomas tidak menyerah. Untuk menghijaukan pemakaian sumber air yang berlebihan dan
kembali kawasan hutan mangrove yang rusak membuang sampah sembarangan akan mengancam
itu, Wahyono membentuk Kelompok Keluarga keberlangsungan hidup masa depan. Pemanasan
Lestari. Kelompok tersebut diberi nama Keluarga global, pergeseran musim, dan perubahan lainnya
Lestari karena anggotanya masih sebatas istrinya, merupakan bagian dari tindakan manusia yang
Monica Tumirah dan anak-anaknya. Kelompok sewenang-wenang dalam memanfaatkan sumber
tersebut lalu mengembangkan bibit mangrove di daya alam. Dan itu merupakan dosa ekologis.
sekitar rumah. Bibit yang sudah tumbuh besar Maka tujuan peringatan Hari Bumi ini adalah
kemudian ditanam di kawasan hutan yang rusak. untuk meningkatkan kesadaran supaya manusia
Mereka pun berhasil menjadikan lahan kritis bisa memelihara, menjaga, dan peduli pada bumi
menjadi lahan mangrove produktif dan kaya biota yang dihuninya.
laut. Udang, kepiting, dan ikan begitu melimpah.
Peran Gereja Katolik
Sekarang sudah ada 33 keluarga yang
bergabung. Dia pun kemudian mengganti nama Pada 2012, Konferensi Waligereja Indonesia
Kelompok Keluarga Lestari menjadi Kelompok (KWI) mengeluarkan nota pastoral berjudul:
Krida Wana Lestari. Sampai sekarang dia bersama Keterlibatan Gereja Dalam Melestarikan Keutuhan
kelompoknya sudah menanam ratusan ribu bibit Ciptaan. Melalui nota pastoral ini, Gereja ingin
mangrove di areal seluas 60 hektare di sekitar mengajak seluruh umat Katolik untuk memberi
tempat tinggalnya. perhatian, meningkatkan kepedulian dan tindakan
partisipatif dalam menjaga, memperbaiki,
Aktivitas Sariban dan Keluarga Thomas melindungi dan melestarikan ke-utuhan ciptaan
Heri Wahyono serta kelompoknya, tampaknya dari berbagai macam kerusakan. Selain itu,
sederhana tetapi dengan ketekunan dan nota pastoral ini dimaksudkan sebagai bahan
kepedulian tersebut, mereka sedang menjalankan pembelajaran pribadi atau bersama bagi seluruh
tugas “kenabian”nya sebagai penggerak pencinta umat dan siapapun yang mempunyai kepedulian
lingkungan hidup. Mereka hanyalah sebagian terhadap masalah-masalah lingkungan hidup
contoh kecil dari gerakan orang atau kelompok dan usaha-usaha untuk menjaga, memperbaiki,
yang peduli pada bumi yang dihuninya. melindungi dan memulihkannya.
Bagaikan masyarakat tradisional jaman dulu yang selalu memiliki lumbung padi sebagai persediaan
bahan makanan untuk kemudian hari, kita juga sebagai manusia yang hidup pada generasi sekarang
harus mengingat keberlangsungan hidup generasi mendatang. Sebagai rasa tanggung jawab akan
keutuhan ciptaan, kelestarian bumi dan segala isinya kita semua diundang untuk terlibat dalam usaha-
usaha pemeliharaan lingkungan. Kita diajak untuk sungguh menjaga, memelihara, dan mencintai
bumi dengan penuh syukur. Allah telah menciptakan bumi ini. Allah menghendaki bumi ini dihuni
dan dikelola dengan penuh tanggung jawab. Bumi yang kita huni dititipkan Allah kepada kita manusia
ciptaanNya untuk dikelola dengan baik. Tidak hanya dikuras dan dieksploitasi tetapi juga kita harus
melakukan usaha-usaha recovery supaya tatanan keharmonisan alam tetap terpelihara.
Sebagai komunitas umat beriman, kita juga dipanggil untuk mengaktualisasikan dan menghadirkan
iman kita melalui tindakan-tindakan nyata yang mengarah pada cinta lingkungan. Ketika kita dengan
tekun melakukan gerakan cinta lingkungan, kita ikut mempertanggungjawabkan iman kita kepada
Allah Sang Pencipta.
Apa yang sudah dilakukan di Paroki St. Helena? Selama ini paroki St. Helena melalui Seksi
Lingkungan Hidup sudah menjalankan program rumah peduli, memilah bahan sampah khususnya
dengan cara mengumpulkan botol atau kemasan dari bahan plastik, membuat rumah jelantah untuk
menampung minyak goreng yang sudah tidak dipakai untuk diolah kembali, mengadakan pelatihan
penanaman hidroponik, mengadakan lomba membuat tong sampah kreatif, dan pelatihan membuat
lubang biopori atau resapan air, yang nantinya gerakan ini dapat ditindaklanjuti di setiap lingkungan.
Maka peringatan hari bumi bukan sekedar tindakan seremonial, tetapi harus menjadi tindakan yang
nyata dan berkesinambungan dalam usaha mencintai dan mensyukuri berkat Allah atas bumi yang
Tuhan anugerahkan kepada kita. Semoga setiap keluarga dapat berperan serta didalam menumbuhkan
kesadaran, kepedulian dan kecintaan pada lingkungannya. Kiranya hal ini juga bisa menjadi gerakan
penitensi ekologis sebagai silih untuk memulihkan kerusakan yang diakibatkan dosa manusia terhadap
alam. bennosc
IBARAT TERBANGKAN
LAYANG-LAYANG
P
ERAN suami dalam hidup berkeluarga ibarat penerbang layang-layang. Ia bertugas menerbangkan
istri dan anak-anaknya untuk berada di posisi lebih tinggi, bahkan setinggi-tingginya. “Layang-
layang dibuat bukan untuk menjadi pajangan atau hiasan dinding, tapi untuk diterbangkan.
Demikian juga dengan anak. Mereka harus dididik untuk bisa terbang lebih tinggi, bukan hanya
sekedar menjadi etalasi orang tua,” kata Pastor Dr. AL. Andang Binawan, SJ.
Hal tersebut dikatakan Pastor Penggerak Lingkungan Hidup dan Vikep Keuskupan Agung Jakarta
ini dalam Misa Suami Katolik (MISUKA) yang digelar di Kapel Gedung Karya Pastoral Paroki Santa
Helena, Curug, Tangerang, Sabtu (28/3/2015). Menurut Andi Yanto Singgih, Perayaan Ekaristi yang
diprakarsai oleh SKK Santa Helena bekerjasama dengan Sie Lingkungan Hidup dan Tim Budidaya
Tanaman Sayuran Tanah KAJ, PSE Santa Helena ini digelar sebagai bagian dari selebrasi Pesta Nama
Santo Yusuf, pelindung suami.
Tiga Unsur Penting
Untuk dapat “menerbangkan” anak-anak dan istri, menurut pastor Andang, para suami harus
memperhatikan tiga hal penting. Yang pertama, layang-layang harus mendapatkan angin.
“Angin” itu adalah kepercayaan. “Artinya, kita harus berikan kepercayaan kepada anak-anak
termasuk juga istri, supaya dia berjumpa dengan segala macam tantangan yang ada di dalam seluruh
realitas kehidupan,” katanya.
Sikap terlalu protektif terhadap anak maupun istri dapat membuat mereka tidak dapat terbang.
“Berilah kesempatan kepada istri dan anak untuk tumbuh menjadi dirinya sendiri di dalam menghadapi
segala macam tantangan,” katanya.
Unsur kedua yang mutlak diperlukan agar layang-layang bisa terbang lebih tinggi adalah benang.
“Benang menurut saya adalah relasi yang baik. Relasi ini harus terus-menerus dipupuk,” katanya.
Relasi bisa dibangun dengan ritus-ritus kebersamaan seperti makan bersama, juga melalui perayaan
iman. Iman, menurut pastor Andang, menjadi inti dari relasi.
“Dalam membangun relasi, perlulah diwaspadai bahaya gudged yang sering membuat orang ada
bersama tapi sibuk dengan dirinya sendiri,” katanya di hadapan ratusan suami Katolik yang datang dari
banyak Paroki di KAJ seperti Paroki Stella Maris, Pluit, Paroki Santa Monika, BSD, Paroki Laurentius,
Alam Sutra, Paroki Santa Helena dan masih banyak lagi.
Unsur yang ketiga adalah adanya “tarik-ulur”. Panggilan menjadi ayah yang menerbangkan anak
dan istri tak selamanya berjalan lancar dan mulus, tapi juga penuh tantangan. “Kita maunya terbang
tinggi tanpa kesulitan. Itu namanya diulur. Tapi Tuhan menerbangkan layang-layang kita, tidak hanya
diulur, tapi juga ditarik melalui kesulitan-kesulitan. Nah, ketika Tuhan sedang menarik, mampukan
kita menghadapinya dengan senang, dengan gembira dan dengan mata terbuka?” tanya pastor Andang.
Kepada para suami yang hadir dalam perayaan tersebut, “pastor sampah” ini meminta para suami
untuk selalu berani menyongsong tantangan. Masalah itu harus kita terima dengan gembira dengan
terbuka. “Itulah yang membuat kita tahan uji,” tegasnya.
Warna lingkungan hidup sangat kental membingkai perayaan Ekaristi ini. Di seputar altar Nampak
gentong-gentong sampah berhias warna-warni dengan pesan-pesan untuk memelihara kelestarian
lingkungan hidup. Setelah Perayaan Ekaristi, acara dilanjutkan dengan ramah tamah sederhana
yang dibuka oleh Pastor Paroki Santa Helena pastor Barnabas Nono Juarno, OSS. Dalam sambutan
singkatnya, pastor Nono mengingatkan peran strategis para suami dalam kehidupan keluarga Katolik.
“Para suami adalah pemimpin keluarganya. Kalianlah yang menentukan kualitas personal seluruh
anggota keluarga lainnya,” katanya. (PM).
Warna / April 2015 03
OBITUARI
In Memoriam
Yanuarius Taweru
T
UTUR katanya
selalu lembut,
meski terkadang
datar. Orang yang belum
mengenalnya lebih dalam,
niscaya menganggapnya
pendiam dan kalem. “Tapi
sebenarnya Bapak itu orang
yang banyak bicara, apalagi
dengan orang yang sudah
terasa cocok,” kata Christina
Bungarista br Sinaga, wanita
yang telah mendampinginya
selama 35 tahun ini.
Memang ada banyak
kesan muncul dalam
perjumpaannya dengan
orang-orang di sekitarnya.
Bapak Ignatius Sartono,
rekan Pro-Diakon yang berasal dari Wilayah Sari Bumi misalnya melihat Pak Yanuarius sebagai sosok
pelayan yang rajin dan bertanggungjawab pada tugas pelayanannya. “Beliau sangat tekun dalam doa
dalam keluarga,” katanya.
Sebagai anggota lingkungan, Yosafat Benny Sugiarto melihat sosok Pak Yanuarius sebagai pendidik
yang keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. “Tapi terhadap umat yang berada di lingkungan
yang dipimpinnya, Beliau sangat lembut dan tenang,” terang Benny.
Bagi para guru muda yang sama-sama mengabdi di JES, Beliu bukan hanya pendidik, tapi juga
pendidik kehidupan bagi para guru yang mendidik para murid. “Beliau kami anggap sebagai Bapak
sekaligus pendidik bagi kami yang masih muda-muda,” kata salah seorang guru JES.
Penuh perjuangan
Yanuarius lahir di kampung Sovianit, Larat, Ambon. Setelah mengenyam pendidikan SD dan SMP
di kampung halamannya, ia merantau ke Ternate dan sempat menjalani kelas I SMA di tempat itu.
Tapi kemudian pindah Ambon dan menyelesaikan SMA-nya di SMA Fransiskus Xaverius, Ambon.
Ia harus bersekolah berpindah-pindah karena mengikuti perpindahan tempat dinas pamannya yang
tentara.
Setelah SMA, ia sempat pulang kampung sambil mencari uang agar bisa ke Jakarta. Untuk itulah,
di sekitar tahun 1977, bersama teman-temannya, Yanuarius muda sempat menjadi kuli panggul
di pelabuhan. Tahun 1978, Yanuarius berangkat ke Jakarta. Sempat kerja serabutan, ia kemudian
mengikuti pendidikan PGLP (Pendidikan Guru Lanjutan Pertama) dalam bidang Kesenenian.
Selepas pendidikan singkat tersebut, ia lalu pengabdikan diri sebagai guru Kesenian dan Olahraga
di beberapa sekolah, antara lain Sekolah Kristen Budi Anugerah, Pasar Baru; Gandi School, Ancol,
Jakarta Utara. Di situ beliau mengabdi selama kurang lebih 15 tahun. Sejak awal 2004, Pak Januarius
mengajar di JES (Jakarta Emerald School), Pondok Pinang, Jakarta, hingga kini.
Tanggal 26 Juni tahun 1982, Yanuarius menikahi Christina Bungarista br Sinaga dan hingga kini
telah dikaruniai tiga orang anak yaitu Ernita Novianti, Yohanes dan Yulius Liwur Taweru.
Menggandakan talenta
Banyak talenta diberikan Tuhan padanya dan itu sudah digandakan dan dibagikan kepada orang-
orang di sekitarnya. Bakat keseniannya didikasikan pula di kehidupan menggereja. Ketika masih
bergabung dengan Paroki Santo Agustinus, koor Santo Fransiskus Xaverius yang dipimpinnya pernah
menjuarai lomba koor se-paroki Agustinus.
Sebagai seorang guru, beliau juga aktif sebagai “guru agama” bagi umat lingkungannya,
terutama sebagai fasilitator penggalian kitab suci kelompok. Berkali-kali Beliau dipercaya sebagai
penanggungjawab bidang katekese di lingkungan. Dan selama dua periode terakhir, beliau dipercaya
sebagai Ketua Lingkungan Antonius Padua dan salah seorang anggota prodiakon Paroki Santa Helena.
Ujung jalan
Pukul lima pagi, tanggal 15 Maret 2015, saat mau bedoa sebelum bertolak ke Jakarta untuk
mengajar, beliau merasa ada tonjokkan keras menghantam belakang punggungnya. Dadanya terasa
sangat sesak. Keluarga lalu membawa ke RS Siloam dan terdeteksi memiliki cairan di paru-paru.
Berbagai tindakan medis dilakukan. Setelah Paskah, Senin 6 April 2015, dokter memberikan
khabar gembira bahwa paru-parunya telah kembali mengembang. Dan pada Jumad (10 April) Beliau
diperkenankan kembali ke rumah di Sari Bumi Indah.
Tapi, Sabtu, 18 April 2015, sekitar pukul 06.00 Beliau menghembuskan nafas terakhir dalam
pelukan istri dan anak-anaknya. Selamat jalan Bapak Yanuarius. Jadilah pendoa bagi kami yang masih
berziarah di dunia ini. (PM)
M enurut Prof. Emil Salim, Gagasan Hari Bumi muncul ketika seorang senator Amerika
Serikat, Gaylorfd Nelson menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah
manusia, maka ia mengambil prakarsa bersama dengan LSM untuk mencurahkan satu hari
bagi ikhtiar penyelamatan bumi dari kerusakan. Pada tanggal 22 April 1970 Gaylord Nelson
memproklamasikan Hari Bumi (Earth Day), sehingga pada tanggal tersebut diperingati sebagai
Hari Bumi (Earth Day).
Demikianlah sekelumit sejarah Hari Bumi yang sudah kita rayakan pada tanggal 22 April
yang lalu. Hari Bumi selalu mengingatkan kita untuk lebih memperhatikan lingkungan di
sekitar kita. Hal ini selaras dengan janji Baptis yang baru saja kita perbarui Paskah yang lalu.
Kegiatan yang dilaksanakan di Paroki, seperti Lomba Tong Sampah Kreatif, mencoba
membangkitkan kepedulian kita terhadap bumi yang kita diami. Tidak lupa redaksi meliput
secara khusus Panitia Paskah, wilayah Binong, yang telah bekerja keras mengerahkan waktu,
tenaga, dan pikiran. Juga kesaksian dari katekumen yang dibaptis pada malam Paskah lalu.
Demikian pula, informasi mengenai anak-anak St Helena. Akhir kata, selamat membaca.
Tuhan memberkati (BA)
TIM REDAKSI
Penanggung Jawab: Dewan Paroki St. Helena
Penasehat: Lim Giok Lim
Pemimpin Umum: Benedictus Andri Adijaya
Pemimpin Redaksi: Janice Parmaningrum
Redaksi: Paul Maku Goru, MF Endah Lestari, Handoko Setiawan, Gisela Niken, Emilia Sapta
Pujiwahyuni, Stevie Agas, Gregorius, Narita Indrastiti, Maria Inviolita, Jo Hanapi.
Desainer: Sugiharto, FX Subagyo
Koordinator Foto: Willi Nggai
Iklan & Promosi: Wilson Purba
Kontributor: Ardy Candra (Sie Kerasulan Keluarga), Tjatur Prasetijono (Sie Lingkungan
Hidup), Ayo Sekolah Ayo Kuliah, Pengembangan Sosial Ekonomi
S
aat memberikan kata pengantar untuk
membuka retret Trihari Suci di Pratista –
Lembang tanggal 2-4 April 2015, Pst Danny
Sanusi, OSC mengutip ucapan pst Simon Petrus
Tjahjadi, Pr “Setan ada untuk dikalahkan”. Setan
yang merupakan personifikasi dosa selalu kalah.
Buktinya, di dalam Kitab Suci, setan tidak pernah
menang, setan selalu kalah. Dengan demikian,
lanjut pst Danny, “Kalau saya diam dalam
kedosaan, persoalannya bukan karena hebat,
karena saya tidak mau diam dalam kemenangan”.
Dosa, yang menyebabkan penderitaan tidak
pernah menang, selalu kalah. Dosa/penderitaan
biasanya berdiam diri dalam keluarga. Maka
dari itu, tema retret Trihari Suci 2015 adalah
Spirituality of the Cross – Rooting and Growing
in Family, Spiritualitas Keluarga/Salib yang
Berakar dan Bertumbuh dalam Keluarga.
Pada kesempatan lain, pst Alo Setitit, OSC, menggarisbawahi bahwa manusia spiritual (spiritual
human being) pada kenyataannya selalu mendoakan, mengevaluasi dan mendukung manusia fisik
(physical human being). Saat kita sakit, fisik kita lemah, namun roh dan semangat tetap kuat. Saat kita
mati, fisik kita hancur, roh/spiritual human being kita menyatu dengan roh Allah. Dengan demikian,
dengan adanya inkarnasi Yesus di dalam diri kita itu, baik fisik maupun spirit kita diteguhkan oleh
roh kasih Kristus. Roh kita menyatu dengan roh Kristus persis seperti ketika kita dipermandikan, kita
mendapatkan meterai/suatu berkat, cahaya yang tak pernah pudar di tubuh kita. Makanya saat kita
mengalami penderitaan, janganlah takut, sebab di balik penderitaan selalu ada rahmat Allah. Sebab di
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu
(Kis 17:28). Penderitaan yang kita alami secara pribadi, dalam relasi dengan anggota keluarga lain, sejak
kita masih kanak-kanak sampai dewasa sebenarnya terjadi dalam konteks relasi. Relasi dengan sesama
Pertikaian selalu menjadi bagian dari dari kehidupan manusia. Bahkan pertikaian ini kalau
ditelusuri sudah terjadi di zaman paling awal. Kain dan Habel adalah contoh pertama yang tercatat di
dalam Kitab Suci. Saat Yesus tampil, banyak terjadi pertikaian, terutama dengan ahli-ahli Taurat, dan
orang-orang Farisi. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi merasa kenyamanannya terancam dengan
hadirnya Yesus. Pertikaian yang terjadi di dalam Kitab Suci sejatinya kalau kita amati tidak merupakan
bagian dari pemusnahan, tetapi lebih merupakan bagian dari keselamatan. Penyebab utama pertikaian
adalah akitab gagalnya manusia menghormati martabatnya. Martabat berkaitan dengan hak azasi
manusia. Hak azasi berkaitan dengan kebutuhan dasar sandang dan pangan, yang di dalamnya terkait
pendidikan, hidup beragama dsb. Martabat paling hakiki dan tidak pernah lepas dari setiap manusia
adalah apa yang disebut Compassion (belarasa/empati). Kalau manusia mulai bertikai, dia mulai
mengkhianati martabatnya sendiri. Compassion/belarasa/empatinya hilang. Empati dengan sangat
bagus kita lihat dalam Injil, “Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan…” (Mat 20: 34). Hati kita
tergerak oleh belas kasih, karena kita percaya bahwa dalam diri setiap manusia Allah hadir. Ketika
terjadi pertikaian, saya mulai mengeluarkan Allah yang bersemayam dalam diri saya dan saya mulai
mengeluarkan diri Allah yang ada dalam diri sesama saya. Empati terjadi ketika kita menemukan diri
kita dalam hati orang lain. Saya betul-betul ingin hadir bersama dengan orang itu. Empati tidak pernah
lepas dari tanggung jawab. Manusia yang hendak melarikan diri dari tanggung jawab sebenarnya dia
hendak melarikan diri dari situasi yang dihadapinya. Empati yang kita berikan/bagikan kepada orang
lain akan memberikan suatu kekuatan dalam diri orang itu.
Dari kata Compassion/belarasa/empati kita kenal kata passion. Passion dalam bahasa Indonesia bisa
diterjemahkan sebagai kegairahan, semangat atau hasrat. Orang yang mempunyai passion akan selalu
bergairah, tidak mudah patah semangat, dan pantang menyerah. Buat Yesus salib itu adalah sebuah
passion, sebab salib bukan dianggap sebagai penderitaan, tetapi sebagai gairah, semangat dan hasrat
untuk menyelamatkan banyak orang. Demikian pula seyogyanya dengan kita. Punya passion yang
berakar kuat dalam keluarga. Martabat kita adalah kegairahan/passion saya, kegairahan saya untuk
selalu bergelora di dalam keluarga, untuk membagikan kasih. Compassion harus menjadi inti dari
hidup berkeluarga, menjadi pola pikir dalam bertindak. Menjadi mindset.
Retret Trihari Suci mengajarkan banyak hal. Salib bukan hanya dimengerti sebagai barang mati
berupa seonggok kayu, ataupun fiber yang bersilangan. Salib adalah passion, kegairahan/hasrat/
kehendak yang menjadi mindset dalam kehidupan berkeluarga Kristiani. Kisah sengsara Yesus dalam
Trihari Suci menjadikan kita mengerti, memahami dan menyelami martabat terdalam sisi kemanusiaan
kita. Kegairahan menggali makna Salib setelah melewati Ibadat Agape, dan Pembasuhan kaki di Kamis
Putih dilanjutkan dengan Ibadat Salib Kosong di Jumat Agung. Ibadat Salib Kosong yang penuh
makna dari sisi tergelap Yesus dan peran aktif peserta retret membuat suasananya benar-benar penuh
dengan keharuan dan khusuk. Salib tanpa warna diberikan ke masing-masing peserta untuk diberi
warna sesuai dengan hasrat dan gairah kita. Selanjutnya, salib-salib ini diberkati oleh pastor saat Ibadat
Jumat Agung, dan menjadi milik masing-masing peserta. Retret Trihari Suci berpuncak pada misa
Sabtu Suci, Kebangkitan Kristus, yang berlangsung di kapel Pratista bersama-sama umat setempat.
K
urang dari sebulan Perayaan
Paskah telah berlalu. Namun,
momen dan tampilan
tertentu selama perayaan mengenang
penderitaan, wafat, dan kebangkitan
Putra Allah itu di Gereja St. Helena,
hingga kini, terkadang masih menjadi
cerita sharing bersama beberapa umat.
“Memasuki renungan pada
perhentian ke-9 ibadat JS pada pagi
hari Jumat Agung, saya benar-benar
menangis. Lagu Maafkan Tuhan
yang dinyanyikan kelompok koor,
lebih-lebih bagian solo-nya, sungguh
Jumat Agung Foto: Jo Hanapi
membuka selubung kesadaran saya
bahwa yang dipikul Yesus hingga Dia jatuh beberapa kali adalah beban dosa saya,” cerita Laurensius
(27). Maka, seraya menghayati syair, nada, dan penjiwaan lagu tersebut, dia berteriak histeris dalam
hatinya meminta maaf pada Yesus, yang dia satukan dalam lagu tersebut.
Berkesempatan mengikuti JS itu, Laurensius bersyukur sekali. Sejak itu, umat dari paroki tetangga
ini mendapat warna baru bagi penghayatan imannya. Semenjak itu, dia yang sebelumnya nyaris tak
pernah berdoa, apalagi menghadiri misa di gereja—dan karena itu, dia terus merasa terhimpit beban—
kini tiap tengah malam berdoa di pojok kamar tidurnya seraya berlinang air mata penyesalan. Dia
berdoa kadang-kadang diselingi dengan menyanyikan sendiri lagu Maafkan Tuhan, yang teks lagu
tersebut dia dapat dari panitia. “Hasilnya, ya pikiran dan perasaan saya sekarang agak plong, meski
keadaan masalah terus menyelimut,” ungkapnya.
Teman lain yang juga mengikuti JS menyambut. Mereka mengaku tersentuh sekali dengan JS hari
itu. Di perhentian ke-9 ada lagu Maafkan Tuhan, sedangkan renungan pada perhentian ke-12 diiringi
musik instrumen dan lagu Viktor Hutabarat, Kepala Berdarah. “Di dua perhentian itu, saya juga
menangis, merasakan kepedihan Yesus,” timpal Handoko (42).
“Baru kali ini saya benar-benar tersentuh mengikuti ibadat JS pada hari Jumat Agung,” tutur Romo
Eduardus Daeli, OSC., seperti dituturkan Theresia Rumiyati, peserta koor dan yang menyanyikan
bagian solo lagu Maafkan Tuhan. “Suara ibu luar biasa. Ibu benar-benar menjiwai lagu itu sampai-
sampai saya menangis tadi, merasakan penderitaan Yesus,” ujar Romo Edu, sesaat setelah ibadat JS,
seperti dituturkan Ibu Theres..
Seorang umat laki-laki agak berumur, dari setelah JS pagi hari itu, hingga sekitar jam 1.30 siang,
belum juga beranjak dari ruang gereja. Entah apa yang dia renungkan dalam kesendiriannya di ruang
gereja. Tampak sekali-sekali dia melirik ke ibu-ibu panitia yang tengah sibuk membereskan beberapa
pekerjaan untuk ibadat Jumat Agung sore dan malamnya.
Sekitar jam 12.30, dia tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati ibu-ibu.
“Apa yang saya bisa bantu, Bu?” Rupanya dia ingin membantu pekerjaan ibu-ibu yang dia lihat belum
juga beres. Entahkah tawarannya adalah sebentuk ungkapan terima kasihnya atas improvisasi JS yang
sungguh menyentuh dirinya. “Ibu tadi bernyanyi dengan begitu bagus. Boleh saya miliki teks lagunya,
Bu?” pujinya ramah dan merendah sembari senyum, yang diarahkan ke Bu Theres.
Mendapat jawaban dari ibu-ibu bahwa semua pekerjaan akan segera beres, dia pun lalu kembali
ke tempat duduknya sambil membawa teks lagu yang diberikan Bu Theres. Di sana kembali dia
Anak domba
Dari improvisasi JS yang dinilai sukses, di perayaan Sabtu Suci, panitia menampilkan sesuatu yang
agak berbeda dari biasanya. Di bagian depan altar terdapat lukisan domba, di sampingnya sebuah salib
dengan bentangan secarik kain.
Mengapa domba? “Salah satu gelar yang disebut pada Yesus adalah Anak Domba,” jelas Yohanes
Krismiyanto, pelukisnya. Dia mengaku, adanya lukisan tersebut berdasarkan konsultasi dengan Romo
Edu. “Idenya dari buku. Saya hanya menggambar sesuai yang ada di buku itu,” kata umat Lingkunngan
Maria Matter Dei ini.
“Tak ada maksud lain adanya gambar tersebut. Sekadar menampilkan gambar lain untuk melukiskan
suasana kebangkitan Yesus (Anak Domba) yang kita rayakan bersama di malam Paskah itu,” cerita
pengajar Seni Rupa di SMP-SMA St. Ursula, BSD, ini.
Lebih menariknya lagi, bahan yang dipakai adalah rongsokan. Dia mengumpulkan beberapa kardus
yang sudah tak terpakai lagi. Kemudian dia gunting sesuai alur yang telah dia gariskan. “Selanjutkan
diberi cat. Itu saja.,” ungkap pelukis yang biasa disapa Mas Klik ini.
Sementara di bagian depan gereja, terpampang telur raksasa. Telur yang tingginya 3 meter ini
juga terbuat dari bahan rongsokan, botol plastik air minum dengan ukuran beda-beda. Mas Klik
menghabiskan waktu hampir 2 minggu menyusun lebih dari seribu jumlah botol tersebut yang dia
lakukan di rumah Pak Sensi, Binong.
Konsep awalnya, dia hanya ingin membuat sebuah lampu taman dengan memanfaatkan barang-
barang bekas. “Ya juga sekadar ingin menghadirkan suasana malam Paskah yang meriah,” kata Mas
Klik yang juga mengajar ekstra kurikuler daur ulang ini.
Saat mengerjakan telur tersebut, Mas Klik tak membayangkan bakal mencuri perhatian umat.
Namun nyatanya justru tak sedikit umat yang berfoto di tempat (telur) itu. “Bangga juga jadinya.
Hasil karya dihargai banyak orang,” ungkapnya senyum.
“Dekorasinya memang bagus sekali,” ujar Stefanus Sugiarto. Dengan adanya dekorasi, seperti
menampilkan gambar anak domba lalu salib di sampingnya, juga telur raksasa di depan pintu gereja,
tentu bukan tanpa makna. Telur misalnya, meski bukan bagian dari simbol ritus Paskah, tapi bila
dikaitkan dengan kebiasaan kegiatan anak-anak mencari telur Paskah usai misa puncak Minggu Paskah,
seperti yang sering mereka lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, toh tetaplah punya arti.
“Telur itu simbol lahir kembali. Itu berarti dengan menampilkan dekorasi telur, harapannya agar
Warna / April 2015 11
REPORTASE
bagi kita yang merayakan kemenangan
Kristus, kita dilahirkan kembali secara baru
berupa memiliki semangat baru,” tutur Pak
Sugiarto, Ketua Lingkungan Maria Matter
Dei.
Berjalan baik
Yoakim mengaku, setiap momen misa berjalan baik, mulai dari misa bakar daun palma hingga
Minggu Paskah. Tak banyak yang ditawarkan anggota liturgi dari panitia yang boleh dilakukan dalam
misa. Paling hanya mendesain improvisasi saat ibadat JS di pagi hari Jumat Agung. Selebihnya desain
misa mengikuti yang sudah dilakukan Panitia Paskah sebelumnya.
Soal jumlah umat yang hadir misa, Yoakim mengaku, membludak. Lebih-lebih pada ibadat Jumat
Agung jam 3 sore. Lantai dasar GKP yang rencananya tidak dipersiapkan untuk umat, justru terisi
penuh. Juga dua tenda yang dipasang panitia, satu di depan gereja dan satunya lagi di samping, tadinya
berpikir hanya sekadar antisipasi saja. “Makanya kursinya tidak digelar dulu sebelum ibadat. Eh... tau-
taunya terisi penuh,” ujar Yoakim.
“Bahkan cukup banyak umat yang baru tiba beberapa saat menjelang ibadat dimulai, terpaksa
mereka pulang lagi karena sudah tidak ada lagi tempat yang kosong. Entahlah mereka ke gereja lain
atau menunggu ibadat kedua di malam hari,” ujar Rudolfus, Ketua Panitia Paskah.
BERUNTUNG
KEBUTUHAN KONSUMSI TERATASI
K
inerja kerja panitia Paskah memang perlu
diajungi jempol. Panitia telah membuktikan
ketekadannya memuluskan setiap perayaan misa.
Bukan hanya itu. Panitia juga bahkan bisa mengatasi
kebutuhan lain semisal konsumsi yang sebetulnya tak
dianggarkan.
Seperti pada perayaan hari Rabu Abu. Antonius
Widodo mengatakan, perayaan hari itu sebenarnya tak
ada jatah konsumsi. Dewan paroki mencoret anggaran
konsumsi yang diajukan panitia untuk hari Rabu
Abu. “Alasan dari Dewan Paroki bahwa hari itu adalah
pembukaan masa puasa. Maka tak butuh konsumsi,”
kata Pak Widodo.
Namun yang terjadi adalah ada petugas lain yang
bukan Katolik. “Dan mereka butuh makan,” lanjut Pak
Widodo. “Bahkan ada beberapa anggota panitia yang
karena sudah saking laparnya, maka mau tidak mau,
mereka butuh makan juga.”
Karena situasinya demikian, maka hari itu,
panitia terpaksa berpikir bagaimana caranya agar ada
konsumsinya. “Beruntung sekali, ada beberapa anggota
panitia yang rela merogo kantongnya, lalu sediakan konsumsi,” kata Pak Widodo.
“Saya rasa di sini sedikit terjadi miskomunikasi antara panitia dengan Dewan Paroki,” lanjut Pak
Widodo dan diamini Pak Rudolfus. Menurut Pak Widodo, biasanya panitia tahu persis situasi riil di
lapangan dan kebutuhannya. “Maka ketika panitia mengajukan anggaran konsumsi untuk hari Rabu
Abu, ya itu karena panitia tahu benar bahwa memang akan ada yang butuh makan hari itu meski hari
buka puasa.”(SA)
Kemacetan sekitar gereja memang sudah menjadi masalah klasik pada setiap kali ada perayaan besar.
Apalagi jumlah kendaraan itu semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah umat yang mengikuti
misa besar di Gereja Santa Helena.
“Saking padatnya kendaraan, kami bekerja keras mengaturnya,” kata Yohanes Rawiruto, Koordinator
Sie Perparkiran pada perayaan Paskah. Dikatakannya, saat yang sangat membutuhkan kerja keras
petugas adalah ketika kendaraan umat bergerak keluar dari area parkir.
Pak Yohanes menjelaskan, setelah area parkir di kompleks gereja dan Sekolah Atisa terisi penuh, jelas
mobil selebihnya diparkirkan di sisi kiri kanan ruas jalan warga sekitar gereja. Inilah yang membuat
ruas jalan jadinya menyempit. Ditambah lagi mobil warga yang memang banyak diparkirkan di tepi
ruas jalan yang sama. Mobil diparkirkan begitu mepet satu dengan yang lainnya.
Begitu misa selesai, mobil dikeluarkan dari parkirnya dengan hati-hati, karena harus
memperhitungkan jarak dengan mobil lainnya dan juga ruang badan jalan yang sudah sempit. Dan
ini jelas butuh waktu. “Situasi inilah yang kurang diketahui umat pengguna mobil lainnya,” jelas Pak
Yohanes.
Jadinya, lanjut Pak Yohanes, ada umat pengguna mobil lainnya terutama yang masih berada di
jajaran tengah atau bahkan yang belum bergerak sama sekali dari kompleks gereja, tidak bersabar.
Mereka menuding petugas seakan-akan petugas tidak bekerja keras mengarahkan kendaraan. Mereka
tahunya kemacetan yang terjadi karena kelalaian petugas. “Itu sayang sekali. Sebab kami sesungguhnya
bekerja keras mengatasi kemacetan,” pungkasnya.
Menurut Pak Yohanes, setiap umat yang menggunakan mobil ke gereja pada misa besar, mestinya
tahu betul situasi di kompleks gereja kita; lahan parkirnya terbatas, sementara jumlah kendaraan
membludak. Juga mesti tahu bahwa panitia pasti memikirkan lahan parkir dan pengaturan lalu lintas
kendaraan yang mereka bawa. “Dengan begitu, kami yakin tak akan ada yang marah-marah,” katanya.
14 Titik
Pak Yohanes menceritakan, ada 14 titik yang menjadi konsentrasi penjagaan petugas parkir dan
keamanan pada perayaan Paskah kemarin. Titik-titik itu terkait dengan tujuan untuk memperlancar
arus kendaraan. Setiap titik ditempati 2 orang petugas. “Hasilnya nyata sekali. Kendaraan bergerak
cukup lancar,” katanya.
Diketahui, jumlah personil yang ikut mengatur keamanan dan kelancaran lalu lintas kendaraan
cukup banyak. Dari panitia ada 28 orang, tim TMD ada 14 orang, keamanan paroki ada 18 orang, dari
Atisa (sukarelawan) ada 7 orang, polisi ada 12 orang, dan koramil ada 7 orang. “Kami semua melebur
dalam kebersamaan menunaikan tugas yang diembankan kepada kami,” kata umat Lingkungan Bunda
Teresa ini. (SA)
Suaranya gaduh sekali dan membuat suasana hingar bingar diiringi canda tawa.
Dibuka oleh pastor Nono, lomba berlangsung dengan seru. Waktu yang diberikan adalah 15 menit.
Beberapa peserta mengulek bumbu sambil bergoyang pinggul. Ada juga yang serius mengarahkan
pasangannya.
Mas Yo, perwakilan dari wilayah Medang, mengakui cukup deg-degan. Tapi pemilik nama lengkap
Yohanes Suratun Oetomo mengakui sudah terbiasa memasak. “Awalnya memang cukup rumit, tapi
selebihnya enjoy saja” ujarnya sambil tertawa. “Bahan memang disiapkan panitia, tapi cita rasa kami
yang menentukan” tegasnya.
PERAYAAN PASKAH
LANSIA SIMEON HANNA
Paroki Santa Helena
Perayaan Malam Paskah Foto: Suci Indrayono Perayaan Malam Paskah Foto: Andreas Kris Perayaan Malam Paskah Foto: Joshua Adi
P
eristiwa Paskah yang barusan dirayakan dan kedengkian hati karena gelombang cinta
oleh seluruh umat Kristiani pada tanggal yang dipancarluaskan dalam peristiwa Paskah
05 April kemarin merupakan refleksi telah menghalau kegelapan dosa dan maut,
dari kebangkitan iman kita. Dalam perayaan sehingga melahirkan budaya kasih sayang
Paskah ini ada 2 perspektif utama yang untuk terus melakukan kebaikan.
mengemuka. Pertama, peristiwa kebangkitan
Tuhan Yesus merupakan kebangkitan akan
keluhuran martabat hidup manusia. Hidup Kisah kebangkitan Tuhan Yesus adalah bukti
yang sesungguhnya tidak berujung pada nyata dari kuasa Allah dalam hidup manusia.
kematian fisik, tetapi justru kehidupan Peristiwa kebangkitan Yesus tidak disaksikan
kekal bersamaNya kelak. Kematian fisik atau orang dan memang tidak mungkin disaksikan
biologis seharusnya dipandang hanya sebagai karena merupakan pengalihan dari dunia
sarana untuk memperoleh hidup yang abadi. fana ke dunia akhirat yang tidak terbuka bagi
Kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang- pancaindera kita. Manusia manapun tidak
orang mati adalah suatu berita suka cita kepada akan dapat mengkaji secara ilmiah bagaimana
dunia bahwa Dialah penguasa hidup seperti Yesus bisa bangkit dari kematianNya. Yang
yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sendiri : dapat dialami oleh kita sebagai manusia biasa,
“Akulah kebangkitan dan hidup” (Yoh. baik secara sendiri-sendiri maupun bersama
11:25). Tuhan Yesus telah memperlihatkan adalah Yesus yang telah wafat masih terus
kepada dunia bahwa tidak ada kuasa yang mengerjakan sesuatu di dunia ini dan mereka
dapat mematikan kuasa Allah terlebih kuasa yang mengalami dan merasakan hal itu tidak
dosa. Dia telah mematahkan kuasa kegelapan. bisa lain kecuali percaya bahwa Yesus sungguh
Kematian adalah upah dari dosa, namun telah bangkit. Namun yang paling penting
Allah telah mengangkat kita dari kuasa dosa saat ini bukanlah hanya sekedar mengagumi
supaya kita memperoleh kehidupan dari sejarah perbuatan Tuhan yang dahsyat itu,
Allah. Kehidupan ada pada Tuhan sehingga namun apakah kisah kebangkitan Tuhan
kita tidak lagi hidup dalam bayang-bayang Yesus ini akan dapat membawa dampak yang
maut yang menakutkan karena Tuhan juga besar dan dahsyat dalam kehidupan kita.
akan mengangkat kita dari kematian itu Saksi-saksi Kristus telah memperlihatkan
menuju pada kehidupan yang bersifat kekal kuasa dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang
bersama Tuhan. Kedua, perspektif perilaku dahulunya mereka takut dan tidak mengerti
keseharian manusia di mana peristiwa semua pengajaran Tuhan Yesus, namun
kebangkitan ini memberikan pesan yang kebangkitanNya telah mengubah hidup
teramat penting dan indah bahwa yang mereka menjadi saksi-saksi yang bersemangat
selamanya menang hanyalah cinta dan kasih dalam memberitakan Injil Kristus bahkan
sayang. Tidak ada lagi tempat bagi dendam siap untuk mati sebagai seorang martir.
Selama ini banyak dari kita yang memaknai Paskah sebagai perayaan kebangkitan Tuhan Yesus
dari antara orang mati, namun sesungguhnya tidaklah cukup sampai di situ saja. Memang
benar bahwa Kristus telah bangkit dan kita semuapun memang kelak akan dibangkitkan
pula, namun bagaimana kita memaknai kebangkitan Tuhan Yesus itu sebagai kebangkitan
iman dan semangat kita untuk selalu mengandalkan kuasa Allah di dalam seluruh kehidupan
kita. Kebangkitan Tuhan Yesus harus bisa menjadi motivasi buat umat Tuhan untuk selalu
bersemangat dalam menjalani kehidupannya. Kita semua yang telah diselamatkan oleh Tuhan
Yesus, harus menyadari bahwa Firman Tuhan telah digenapi dan saat ini tinggal di dalam
diri kita semua, maka sudah sepantasnya kita semua wajib membalas dan mewujudkan kasih
Tuhan Yesus dalam perbuatan kita sehari-hari dan juga melalui kegiatan pelayanan yang kita
lakukan bagi sesama sehingga kerajaanNya sungguh nyata dan hadir di dunia ini. Apakah
kita masih boleh selalu mengeluh, mudah putus asa dan takut menderita dalam dunia ini
atau justru sebaliknya kita telah menjadi pribadi yang takut untuk berbuat dosa dan taat
dalam memikul salib kehidupan kita? Kita belumlah hidup dalam sukacita kebangkitan Tuhan
Yesus jika kita masih jatuh dalam dosa dan terus mempercayai kuasa-kuasa kegelapan daripada
mentaati Firman Tuhan.
Mengutip
dari Sabda Tuhan
Yesus: “Janganlah takut”; “Salam
bagimu”; “Pergi dan katakananlah...” adalah
ungkapan motivasi dari Tuhan Yesus bahwa Allah
telah hadir dan berbuat dalam hidup kita dan
memberikan kita petunjuk akan apa yang harus
kita perbuat dalam hidup ini untuk
mencapai kemenangan abadi.
MARI BANGKIT
dan BERTINDAK
Kebangkitan sering membuat kita ternganga
K
eluarga-keluarga Katolik di Keuskupan Agung Jakarta yang terkasih, SELAMAT PASKAH.
Semoga kita semua dan keluarga kita mengalami diselamatkan oleh pengorbanan Tuhan Yesus
buat kita. Semoga kita pun mampu bukan hanya bangkit, tetapi bergerak dengan penuh se-
mangat iman membagikan iman ini kepada banyak orang, khususnya kepada anggota keluarga kita
yang lebih lemah imannya.
Melihat para rasul dan pengikut Yesus yang sangat bersemangat membagikan kisah dan keyakinan
mereka akan Sang Guru, kita seharusnya terharu. Sebelumnya mereka ragu, tapi entah mengapa sesu-
dah kebangkitan Kristus, para rasul dan para pengikut-Nya justru berbalik arah, makin berani dan
yakin memberitakan ketika Yesus sudah tidak bersama mereka.
Pengajaran dan “pelatihan” Yesus ternyata sangat hebat efeknya. Yesus memberikan contoh dan tel-
adan yang nyata, jelas, mudah diingat, dan tidak menipu. Ia mengusahakan dengan kata-kata, dengan
symbol, dengan cerita, dengan kunjungan, dengan pengajaran, dengan disiplin, dengan kerja keras,
dengan kecerdasan, dengan kerjasama, dengan keberanian, dengan sukacita, dan dengan hasil guna
yang kelihatan. Inilah kunci kebangkitan yang disampaikan para rasul kepada banyak orang sampai
hari ini.
Ke mana semangat itu dalam keluarga kita? Saya yakin masih banyak yang penuh semangat
menyampaikan kehadiran Tuhan Yesus di rumah masing-masing. Saya yakin masih banyak ibu yang
“cerewet” menyuruh anaknya berdoa sebelum makan, sebelum belajar, dan sebelum tidur. Saya yakin
para orangtua masih mau mendisiplinkan ibadah di Gereja pada hari Minggu. Selain itu, semoga or-
angtua menjadi pintu utama anak-anak mengalami kebaikan Tuhan setiap hari.
Generasi ini selalu membutuhkan Tuhan. Bahkan, kalau boleh dikatakan, semakin membutuhkan
hidup rohani yang baik. Mereka belajar menjadi semakin rasional dan semakin bersemangat “mem-
buktikan”. Pengalaman para rasul memang membuktikan bahwa Tuhan Yesus bangkit dan hidup kem-
bali. Mereka ditampaki Tuhan sehingga percaya. Sekarang ini, penampilan Yesus harus kelihatan dalam
diri kita, para orangtua dan anggota keluarga serumah. Bahkan anak-anak bisa menjadi penampakan
Tuhan Yesus dengan kebaikan mereka.
Misdinar, OMK, BIA, BIR, Antiokia, Choice, KTM, Jomblo Katolik, PD kharismatik Yunior, dan
kempok kategorial lain tentu ada di paroki kita masing-masing. Apakah anak-anak mempunyai kes-
empatan merasakan pengalaman kebangkitan dalam semangat bersekutu dan bermain dengan teman
seimannya ini? Atau apakah Anda masih berkeras untuk tidak memberi ijin pada anak-anak berkumpul
dengan alasan studi mereka? Saya percaya Anda mempunyai kehendak baik dengan mengijinkan mere-
ka menikmati Tuhan Yesus di tengah-tengah kebersamaan itu.
Jika kita sendiri saja sudah begitu repot dengan membalas SMS, chat, BBM, Line, Email, dan
membuka situs-situs yang memberi informasi, apalagi anak-anak kita? Memberitakan sesuatu yang tak
tampak jauh lebih sulit di jaman yang serba positif (“terbukti dan kelihatan”). Tetapi sarana-sarana itu
juga bisa memberikan pesan kerasulan yang nyata juga jika kita mau menggunakannya dengan wajar
dan bertujuan.
Apakah ada informasi mengenai semangat orang-orang yang merasul di jaman ini? Di beberapa
paroki yang pernah saya kunjungi, semangat OMK ternyata yang membuat anak-anak masih bertahan
di Gereja dan membuat Gereja tetap hangat. Kita perlu menjamin bahwa hidup kerasulan kita masih
menghangatkan Gereja. Mari kita wartakan, Kristus masih menyemangati kita dalam pelayanan ber-
sama.
Sekali lagi,
SELAMAT PASKAH. Tuhan mem-
berkati kita, memberkati keluarga-keluarga kita, mem-
berkati pelayanan kita, memberkati pendidikan putera-puteri
kita, dan memberkati iman kita akan Kristus Yang Bangkit.
Amin.
S
ebuah pertanyaan yang menyelinap
dalam hati Yeni saat berbincang-bincang
dengan teman yang beragama Kristiani.
Sedari kecil, bu Yeni sudah mengenal agama
Katolik, karena sempat bersekolah di sekolah
Katolik. Namun sebagai seorang anak dari
4 bersaudara yang taat kepada orang tua,
Yeni kecil mendalami dan mengikuti agama
Budha yang juga dianut oleh orang tua-nya.
Yeni tercenung sembari menjelaskan, “Saya
bertumbuh di daerah Sumatra, dan disana
komunitas masyarakat etnis Chinese sangat
kuat memeluk agama Budha. Saat saya kelas
5 SD, saya pun dipermandikan sesuai aturan
dalam agama Budha, walau hati saya tidak
memahami apa arti proses yang saya lalui
tersebut, saya hanya patuh pada orang-tua”.
Hari bergulir menyusun minggu dan
minggu tak jemu menyatu menjadi bulan
yang akhirnya tak terasa tahun-tahun telah
berlalu. Tahun 2004, Yeni berkenalan den-
gan Sutadi, seorang simpatisan Katolik yang
berasal dari keluarga dengan latar belakang
kepercayaan Kong Hu Cu. Sutadi tanpa
berlama-lama segera melamar Yeni untuk
menjadi istrinya. Selama masa-masa perkenalan dan pacaran, Yeni sering melihat bahwa Sutadi adalah
seorang laki-laki yang rajin berdoa secara Katolik. “Tanpa saya sadari mengapa, saya bahagia melihat
Sutadi yang berdoa secara Katolik, namun saat saya ajak dia untuk ke gereja, dia menjawab : ah buat
apa, saya nggak paham juga apa yang terjadi di gereja…saya percaya cukup berdoa saja, Tuhan pasti
mendengar dan memberikan apa yang saya doakan”. Pergumulan terjadi saat persiapan pernikahan
mereka di tahun 2005, Sutadi yang memang simpatisan Katolik dan juga Yeni yang entah mengapa
juga merasa nyaman dengan kebiasaan Sutadi berdoa secara Katolik, ingin agar pernikahan mereka
diberkati di Gereja Katolik. Namun terkendala waktu dan juga kedua belah pihak belum ada yang
beragama Katolik, membuat mereka belum bisa mewujudkan keinginannya.
Keluarga Sutadi dan Yeni dikaruniai 2 orang anak yang sehat dan cakap, yakni Tristan si sulung dan
Quinn sang adik. Saat Tristan lahir, Yeni memutuskan untuk fokus menjadi ibu agar dapat sungguh-
sungguh mendampingi perkembangan anak. Ketika Tristan sudah mulai bersekolah, di sekolahnya
Tristan terbiasa untuk berdoa sebelum memulai suatu kegiatan. Tristan juga rajin di kelas Bina Iman
Anak (BIA) Agatha di Wilayah Lippo. Yeni kembali seperti disadarkan akan sesuatu yang saat itu be-
lum ia pahami, “Saya merasa malu, saat mengingatkan Tristan untuk selalu berdoa sebelum makan,
sebelum tidur, namun saya dan suami tidak melakukannya. Padahal kan anak-anak pasti sangat me-
neladani apa yang dilakukan oleh orang-tua nya, dan saya tidak ingin anak-anak bingung karena kami
sebagai orang-tua nya tidak pernah berdoa bersama-sama mereka”.
Semuanya bergulir tanpa skenario yang mencengangkan atau heboh. Kerinduan Sutadi dan Yeni
Temukan Motivasi
Berbicara Anak Kita
Oleh: Widodo
P
ernah kita jumpai pertanyaan orang tua ”Apakah memang
anak-anak seusia Farhan (bukan nama sebenarnya) memang
suka bandel, memberontak, bosan sekolah, dan senang jika
melihat orang tua jengkel ?”. Pertanyaan ini hampir mendarah
daging setiap kali kita jumpai dalam kasus yang sama.
Hampir setiap kelas pasti ada yang bernasib sama dengan Farhan,
seperti dituturkan oleh salah satu orang tua tadi. Ada pula yang
terpupuk perilakunya, karena berasal dari keluarga yang kurang
harmonis. Keadaan anak di atas tidak terlepas dari peran keluarga,
khususnya orang tua di rumah dan guru di sekolah, yang terungkap
dalam kemauan berbicara anak-anak kita.
Keluarga yang diharapkan gereja Katolik secara umum bertujuan
membentuk nilai kebersamaan, menciptakan kesejahteraan suami
istri dan anak, serta melahirkan pengajaran. Ada lima elemen
pengajaran iuntuk menghidupkan tumbuh kembang anak, yang
beranalogi dengan tugas evangelisasi. Referensi berdasarkan I Tes
2 : 7 – 12.
Pertama, hendaknya kita bersikap ramah seperti seorang ibu dengan anak asuhnya. Bila anaknya
sakit, orang tua kita memberi motivasi berpikir postif menganggap anak akan semakin pintar, mau
tumbuh gigi, mau bisa berjalan, dan pertumbuhan lainnya. Dengan senang hati ibu merawat anaknya.
*) Penulis adalah umat Lingkungan Bunda Teresa Binong, Anggota CFC Paroki Santa Helena.