Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH MIKROBIOLOGI

Helicobacter pylori

DI SUSUN OLEH:
Muhammad Najib 17.71.018032
Isnawati 17.71.018020
Noorhayati 17.71.018022
M. Pahdiannur 17.71.018054

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
2019
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati kami haturkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, berkat segala kemudahan dan anugrah yang telah diberikan-Nya sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.

Guna untuk memenuhi tugas dari Dosen mata kuliah Mikrobiologi makalah ini berisi
tentang bakteri Helicobacter pylori. Dimana isi dari makalah ini dapat digunakan dan
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Semoga ini dari makalah ini dapat memberikan
pemahaman dan pengetahuan lebih terhadap perkembangan pengetahuan kedepannya.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Manfaat ........................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5
A. Sejarah............................................................................................................................. 5
B. Taksonomi dan Definisi .................................................................................................. 6
C. Pembiakan ....................................................................................................................... 7
D. Diagnosa ....................................................................................................................... 10
E. Klinik ............................................................................................................................ 13
F. Patogenesa..................................................................................................................... 15
G. Epidemiologi ................................................................................................................. 18
H. Terapi............................................................................................................................. 22
I. Imunsero ....................................................................................................................... 31
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 34
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 34
B. Saran ............................................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penemuan Helicobacter pylori pada tahun 1982, telah mengubah tata laksana
beberapa penyakit gastroduodenalis. Hingga saat ini, H. pyloridikenal sebagai faktor
pathogen pada gastritis kronis, ulkus peptikum, dan karsinoma gaster. Eradikasi H.
pyloriefektif untuk gastric mucosal associated lymphoid tissue (MAL T)
lymphomaderajat ringan, ulkus peptikum dengan H. pyloriyang positif serta gejala
dyspepsia yang disebabkan olehnya. Eradikasi ini juga berpotensi mencegah
terjadinya karsinoma gaster yang disebabkan oleh infeksi H. pylori.
Eradikasi H. pyloriyang dianjurkan kini meliputi penggunaan proton pump
inhibitor(PPI) berkombinasi dengan 2 jenis antibiotik. Hal ini yang dikenal dengan
triple therapy. Akan tetapi,penyalahgunaan (misuse) antibiotic yang luas akhir-akhir
ini telah menimbulkan masalah resistensi H. pyloriterhadap beberapa jenis antibiotik
yang digunakan untuk eradikasi, sehingga diperlukan modalitas tata laksana yang
lebih efektif. Sebelum memulai tata laksana, seyogianya dipastikan dahulu ada
tidaknya infeksi H. pylori.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu bakteri Helicobacter pylori?
2. Bagaimanakah diagnose, gejala klinik, epidemiologi dan terapi untuk penderita
yang terkena Helicobacter pylori?
3. Bagaimanakah cara identifikasi biakan dan imunsero bakteri Helicobacter pylori?

C. Manfaat
1. Untuk mengetahui tentang bakteri Helicobacter pylori.
2. Mengetahui diagnose, gejala klinik, epidemiologi dan terapi untuk penderita yang
terkena Helicobacter pylori.
3. Mengetahui cara identifikasi biakan dan imunsero bakteri Helicobacter pylori.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah
dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman
berbentuk spiral pada mukosa lambung. (Blaser, 2005) Pada tahun 1893, seorang
sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang
hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman
spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali dianjurkan oleh Professor
Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen
cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu dinamakan Vibrio rugula.
Tetapi laporan tersebut tidak banyak mendapat perhatian karena ditulis dalam bahasa
Polandia. (Konturek, 2003) Laporan-laporan itu tidak mendapat perhatian karena
bertentangan dengan dogma yang banyak dianut oleh para dokter bahwa tidak ada
kuman yang bisa hidup dalam lambung yang begitu asam suasananya. Kuman ini
ditemukan kembali dan dilaporkan oleh Robin Warren seorang ahli patologi dari
Australia pada tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1981, Warren melanjutkan
penelitian tentang kuman tersebut bersama Barry Marshall, seorang residen Penyakit
Dalam. Kedua orang tersebut berhasil membiakkan kuman spiral tersebut. Dalam
laporan Marshall dan Warren pada tahun 1984 dalam majalah Lancet, mereka telah
menyatakan bahwa kebanyakan ulkus lambung dan gastritis disebabkan oleh karena
kuman tersebut. (Warren dan Marshall, 1984) Dalam usahanya untuk membuktikan
bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah
melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori
yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi
gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori.
Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan
Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam
laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan
Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori.
Kedua sarjana yang menemukan kembali kuman spiral yang kemudian dinamakan
Helicobacter pylori ini telah menerima hadiah nobel dalam ilmu kedokteran pada
tahun 2005.

5
B. Taksonomi dan Definisi

Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Epsilon Proteobacteria
Order : Campylobacterales
Family : Helicobacteraceae
Genus : Helicobacter
Species : H. pylori
Bakteri Helicobacter Pylori (H. pylori) adalah suatu bakteri yang
menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis pada manusia. Bakteri ini
juga adalah penyebab yang paling umum dari borok-borok (ulcers) diseluruh dunia.
Infeksi bakteri helicobacter kemungkinan besar didapat dengan memakan makanan
dan air yang tercemar serta melalui kontak orang ke orang.
Di Amerika, 30% dari populasi orang dewasa terinfeksi bakteri helicobacter.
50% dari orang-orang yang terinfeksi adalah terinfeksi pada umur 60 tahun. Infeksi
lebih umum pada kondisi-kondisi hidup yang penuh sesak dengan sanitasi yang jelek.
Pada negara-negara dengan sanitasi yang jelek, 90% dari populasi dewasa dapat
terinfeksi bakteri helicobacter.
Individu-individu yang terinfeksi biasanya membawa infeksi terus menerus
hingga mereka dirawat dengan obat-obat untuk membasmi bakteri. Satu dari setiap
tujuh pasien dengan infeksi bakteri helicobacter akan mengembangkan borok-borok
pada usus dua belas jari dan juga lambung. Bakteri helicobacter juga berhubungan
dengan kanker perut dan suatu tipe yang jarang dari tumor lymphocytic dari perut
yang disebut MALT lymphoma.

Secara morfologi bakteri Helicobacter pylori mempunyai sifat sebagai berikut:


 Gram negatif, berbentuk spiral ( huruf S atau C dengan kurva pendek ), dengan
lebar 0,5 – 1,0 mikrometer dan panjang 3 mikrometer, dan mempunyai 4 – 6
flagella. Kadang – kadang berbentuk batang kecil atau cocoid berkelompok.
 Bersifat microaerophilic, tumbuh baik dalam suasana lingkungan yang
mengandung 025%, CO25 – 10% pada temperatur 37ºC selama 16 – 19 hari

6
dalam media agar basa dengan kandungan 7% eritrosit kuda dan dengan pH 6,7 –
8 serta tahan beberapa saat dalam suasana sitotoksin seperti ph 1,5
 Menghasilkan beberapa macam enzym yang bersifat sitotoksin seperti; urease
dalam jumlah yang berlebihan, 100x lebih aktif dari yang dihasilkan bakteri
proteus vulgaris dan bakteri penghasil urease yang lain, Protease yang
diperkirakan merusak lapisan mukus, Esterase, Pospolipase A dan C, phospatase.
 Menghasilkan VAC ( Vacuolating cytotoxin cell )
 Disamping itu juga mengandung protein somatik cytotoxin 120 – 130 kD yang
bersifat antigenik yang dapat merusak endotel dan merangsang imun dalam
pembentukan Imunoglobulin A, G ( G1, 2, 4 ) dan M.
 Mengeluarkan platelet activating factor dan chemotactic substance
 Bakteri ini khususnya resisten terhadap Trimetroprim dan sensitif terhadap
Penisilin dan Metronidazole.
C. Pembiakan
Sebenarnya teknik pembiakan kuman H. pylori tidak terlalu sulit, tetapi
membutuhkan cara dan syarat-syarat khusus yang agak berbeda dengan kuman lain.
Kuman ini adalah kuman mikroaerofilik dan karena itu untuk pembiakan diperlukan
suasana mikroaerofilik. Yang paling sering dipakai untuk menumbuhkan kuman H.
pylori adalah anaerobic jar dengan katalisator paladium. Kemudian ke dalam jar
dimasukkan Campylobacter gas kit ditambah air. Pertumbuhan kuman H. pylori
memerlukan suasana yang lembab. Suasana yang hampir serupa dapat dibuat
menggunakan anaerobic jar dengan anaerobic gas kit tetapi tanpa katalisator
paladium.
Media yang paling sering dipakai adalah lempeng agar darah yang
mengandung 7% darah. Karena kuman H. pylori tumbuh lambat supaya tidak kalah
dengan pertumbuhan kuman lain yang mungkin ada dalam bahan yang akan
dibiakkan maka diberikan suplemen antibiotik yang menekan kuman kontaminan tapi
tidak menekan pertumbuhan kuman H. pylori. Yang paling banyak dipakai adalah
suplemen Skirrow yang mengandung Trimetroprim, Vankomisin dan Polimiksin-B.
Karena Pseudomonas merupakan kuman kontaminan yang sering mengganggu dan
yang rupanya mulai kebal terhadap antibiotik dalam suplemen Skirrow maka di
laboratorium kami disamping suplemen Skirrow juga dicampurkan satu antibiotik
lagi yaitu Cefsulodin, suatu derivat cephalosporin yang dikhususkan untuk kuman

7
Pseudomonas, karena biakan kuman H. pylori sering terganggu oleh adanya jamur
maka sebaiknya ke dalam media ditambahkan Amphotericin B (Fungizone) 5
mg/liter.
Selain suplemen Skirrow suplemen lain yang banyak di pakai adalah suplemen
Dent yang terdiri dari Trimetoprim, Vankomisin, Cefsulodin dan Amphotericin B.
(Dent et al, 1988)
Selain suplemen di atas untuk pembiakan kuman H. pylori dianjurkan
penambahan Isovitalex atau Vitox yang berisi asam amino dan vitamin.
Untuk memudahkan identifikasi koloni H. pylori ke dalam medium dapat
dicampurkan Triphenyl Tetrazoleum Chloride (TTC) dengan kadar 40 mg/liter.
Dengan menambahkan TTC maka koloni H. pylori akan menunjukkan warna kuning
keemasan.
Medium lain yang dapat dipakai untuk kultur H. pylori adalah medium yang
mengandung emulsi kuning telur, medium yang mengandung 0,1% pati jagung
(cornstarch), medium yang mengandung 0,2 % arang (charcoal) dll. (Westblom,
1991)
Cara yang lebih mudah dan lebih hemat untuk menumbuhkan kuman H. pylori
adalah dengan menggunakan inkubator CO2. Keuntungan penggunaan inkubator CO2
adalah lebih mudah untuk mengendalikan kadar CO2, disamping murahnya harga gas
CO2 dibandingkan dengan harga gas pack. Disamping itu sewaktu-waktu bila
diperlukan inkubator dapat dibuka untuk melihat sediaan, yang mana tidak bisa
dilakukan bila menggunakan anaerobic jar, karena begitu jar dibuka maka gas pack
harus diganti dengan yang baru.
Bila digunakan inkubator CO2 dipakai kadar CO2 sebesar 10%. Salah satu
hambatan pemakaian inkubator CO2 adalah tingginya harga inkubator CO2.
Karena kuman H. pylori peka sekali terhadap produk-produk toksik maka
untuk menumbuhkan kuman H. pylori diperlukan medium yang mengandung
substansi yang mudah menyerap bahan-bahan toksik, misalnya darah, serum, heme,
charcoal dll.
Hampir semua pemula (young players) dalam H. pylori mengalami
kekeliruan-kekeliruan teknis pada awal mereka bekerja dengan kuman ini. Yang
terpenting kita harus yakin bahwa yang ditumbuhkan adalah benar-benar kuman H.
pylori dan bukan kuman lainnya. Pertumbuhan kuman ini sangat rentan terhadap
kontaminasi oleh kuman lain, karena itu tidak jarang kita ingin menumbuhkan kuman
8
H. pylori tetapi yang tumbuh ternyata bukan kuman H. pylori. Kontaminan yang
berbentuk batang sering dikelirukan sebagai H. pylori yang ada dalam bentuk batang
bengkok, apalagi bila hasil pengecatan Gramnya negatif. Perlu diingat bahwa selain
kuman H. pylori ada juga kuman-kuman yang urease positif, sehingga kesalahan yang
tersering adalah tumbuhnya kuman batang Gram negatif dan urease positif yang
dikira H. pylori. Yang perlu diingat adalah prinsip bahwa kuman H. pylori pada
biakan baru selalu berbentuk spiral, dan bukan batang bengkok.
Bila sediaan biopsi segara dibawa ke ruang mikrobiologi dan segera di tanam
dalam waktu 2-4 jam maka dapat dipakai media transpor sederhana misalnya PBS,
saline atau Dekstrosa 10% steril. Sebelum ditanam sediaan biopsi disimpan pada suhu
2-4°Celcius.
Tetapi bila sediaan ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
laboratorium mikrobiologi maka sediaan biopsi sebaiknya disimpan pada Stuart
transport medium. (Glupczynski, 1996)
Tes kepekaan antibiotika kuman H. pylori sebenarnya tidak berbeda dengan
tes yang dilakukan untuk kuman-kuman lain. Hanya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Yang terpenting adalah yakinkan bahwa kuman yang sedang anda teliti
adalah benar-benar kuman H. pylori dan bukan kuman kontaminan. Hal ini sangat
penting karena biakan kuman H. pylori sangat rentan terhadap kontaminasi, dan
kontaminan ini lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan H. pylori. Tidak jarang
dilaporkan spektrum kepekaan kuman H. pylori yang “aneh”, tetapi setelah di teliti
ternyata kuman yang diperiksa bukan H. pylori. Kekeliruan ini banyak dialami bila
kontaminannya adalah kuman berbentuk batang yang dikelirukan dengan kuman H.
pylori yang berbentuk batang bengkok. Karena itu suatu prinsip yang harus
diperhatikan adalah keharusan menggunakan kuman H. pylori yang baru ditumbuhkan
(paling lama 2-3 hari) yang berbentuk spiral. Karena zona hambatan antibiotika yang
biasa dipakai biasanya luas maka dalam tes difusi dalam 1 plate ditempatkan tidak
lebih dari 3 disk.
Indikasi utama pemeriksaan kepekaan antibiotika kuman H. pylori adalah kegagalan
terapi. Selain itu pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.
Ada 2 macam bentuk kokoid pada H. pylori yaitu bentuk kokoid besar dengan
sitoplasma yang longgar dan rongga perisitoplasmik yang lebar yang lebih merupakan
bentuk degeneratif dan bentuk kokoid kecil dengan sitoplasma yang lebih “dense” dan
membran sitoplasmik yang intak. Bentuk kokoid kecil ini merupakan bentuk
9
“pertahanan” dan menurut penelitian bentuk ini menunjukkan kadar protein yang
paling tinggi. Dengan pengecatan acridine orange bentuk ini tampak masih “viable”.
Bentuk kokoid besar tidak dapat ditumbuhkan dalam biakan, sedang bentuk kokoid
kecil masih dapat dibiakkan walaupun lebih sulit dan lebih lama. (Goodwin,1993)
D. Diagnosa
Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang
memerlukan endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang
tidak memerlukan endoskopi dan biopsi. Diagnosa invasif meliputi :
1. deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik
2. tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi
lambung.
3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.
4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung
Diagnosa noninvasif meliputi :
1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada
dalam lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam
darah penderita.
3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan
dalam tinja.
Penelitian menunjukkan bahwa di tangan yang berpengalaman sensitifitas deteksi
H. pylori secara histologik lebih tinggi dibandingkan dengan kultur mikrobiologik
(sensitifitas dan spesifisitas 98% bila diperiksa 2 spesimen biopsi).
Secara teoritik diagnosa pasti infeksi H. pylori ditegakkan dengan pembiakan.
Yang paling sering dilakukan adalah pembiakan yang dilakukan terhadap spesimen
biopsi mukosa lambung yang diambil dengan endoskopi. Disamping itu ada cara-cara
diagnosa tidak langsung. Salah satu kendala dari pembiakan kuman H. pylori adalah
diperlukannya endoskopi untuk pengambilan spesimen dan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pembiakan. Untuk kultur kuman biasa kita hanya
membutuhkan 2-3 hari. Tetapi untuk kuman H. pylori yang pertumbuhannya lambat
pembiakan baru memberikan hasil setelah 4-7 hari.
Disamping itu pembiakan kuman H. pylori relatif sulit dan diperlukan expertice
yang tinggi serta biaya yang mahal. Karena itu kultur kuman H. pylori terutama

10
dilakukan untuk tujuan penelitian atau bila diperlukan tes kepekaan antibiotik pada
kasus-kasus yang gagal dilakukan eradikasi.
Salah satu kit untuk deteksi urease cepat adalah CLO (Campilobacter Light
Organism). Karena itu tes urease cepat sering dinamakan tes CLO. Tes CLO memang
sangat praktis untuk tujuan diagnostik karena hasilnya cepat diketahui. Tetapi
sebenarnya hasil tes CLO tidak mutlak. Bila jumlah kuman dalam jaringan biopsi
sangat rendah, maka ada kemungkinan tes CLO negatif, walaupun bila dilakukan
kultur H. pylori hasilnya positif. Demikian pula penggunaan tes CLO untuk follow up
terapi eradikasi tidak akurat. Misalnya bila pada biopsi awal hasil CLO positif, setelah
dilakukan terapi eradikasi hasilnya CLO negatif. Tetapi seringkali bila dilakukan
pembiakan hasilnya masih tetap positif.
Untuk menghindarkan hasil negatif palsu selama 2 minggu sebelum endoskopi
sebaiknya penderita tidak minum antibiotika, obat H2 antagonis atau penekan pompa
proton.
Manfaat utama PCR adalah untuk deteksi genom H. pylori. Primer yang paling
sering dipakai untuk deteksi genom H. pylori adalah primer yang berasal dari gen
urease A dan gen urease B. Tetapi belakangan ini lebih banyak dipakai primer yang
berasal dari fragmen gen urease C karena hasilnya lebih spesifik dan lebih sensitif.
Keuntungan pemakaian PCR dalam diagnosa infeksi H. pylori adalah kemampuan
PCR untuk mendeteksi baik kuman H. pylori yang berbentuk spiral maupun yang
berbentuk kokoid. Sedang cara-cara lain misalnya test urease dan tes nafas urea hanya
dapat mendeteksi kuman yang berbentuk spiral karena ternyata kuman yang
berbentuk kokoid tidak menunjukkan aktifitas enzim urease. Disamping itu PCR
dapat dipakai untuk deteksi gen CagA dan gene cag A serta gene lain yang ada dalam
kelompok patogenecity island. Akhir-akhir ini PCR dipakai untuk memeriksa
genotype H. pylori berdasarkan variasi urutan DNA pada gene yang termasuk dalam
kelompok patogenecity island.
Dalam tes napas urea penderita diberikan urea yang mengandung isotop C13 atau
C14. C13 tidak radioaktif sedang C14 adalah radioaktif. Bila dalam lambung
terdapat urease yang dihasilkan oleh kuman H. pylori maka urease tersebut akan
memecah urea menjadi CO2 dan H2O. Kemudian radioaktifitas dari CO2 yang
dikeluarkan diukur. Tes ini merupakan tes yang sangat berguna untuk tujuan
diagnostik maupun untuk follow up setelah terapi. Kerugiannya pemeriksaan ini
mahal. Lihat gambar 3.
11
Karena lamanya hasil pembiakan H. pylori maka untuk mendapatkan hasil
yang cepat maka sering digunakan rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO
test (CLO adalah singkatan dari Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini
spesimen biopsi mukosa lambung dimasukkan dalam medium agar yang dicampur
urea dan indikator. Bila dalam bahan biopsi tersebut mengandung urease maka akan
terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah.
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis
Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua
cara ini tidak memerlukan endoskopi.
Belakangan ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi
antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa (Vaira et al, 1999).

Untuk penderita dispepsia yang dilakukan endoskopi dilakukan biopsi mukosa


lambung. Kemudian dilakukan pemeriksaan urease cepat (CLO). Bila CLO positif
maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan histologik untuk deteksi H. pylori maupun
kultur H. pylori. Bila CLO negatif maka perlu dilakukan pemeriksaan histologik
untuk deteksi H. pylori. Kultur H. pylori hanya dilakukan bila kita ingin mengadakan
tes kepekaan terhadap antibiotika. Strategi semacam ini perlu diambil untuk
mengurangi beban biaya diagnostik yang harus dipikul oleh penderita.

12
E. Klinik
Spektrum gambaran klinik akibat infeksi H. pylori sangat luas, meliputi :
1. Asimptomatik, Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak
mengalami keluhan walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada
kasus-kasus asimptomatik sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik
aktif.
2. Dyspepsia dengan gambaran endoskopik yang bermacam-macam, mulai dari
normal sampai dengan ulkus lambung atau ulkus duodeni, gastritis, duodenitis,
gastritis atrofik, gastritis hypertrofik.
3. MALT (Mucosal Associated Lifoid Tissue) limfoma dan kanker lambung di
bagian destal (tipe intestinal).

Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi H. pylori sangat sulit karena


seringkali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik
tampak berat tetapi gambaran endoskopi yang tampak tidak jelas dan bahkan normal.
Beberapa gambaran endoskopi yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi H.
pylori adalah
1. Erosi kronik di daerah antrum
2. Nodularitas pada mukosa antrum
3. Bercak-bercak eritemia di antrum
4. Area gastrica yang menonjol dengan bintik-bintik eritemia di daerah corpus.
(Malfertheimer, 1994)

Banyak penelitian epidemiologik menunjukkan hubungan yang kuat antara


adenokarsinoma lambung di luar cardia dengan infeksi H. pylori. Salah satu
diantaranya adalah suatu studi multisenter yang melibatkan 3000 kasus
adenokarsinoma lambung dari 13 negara di Eropa. (Eurogast Study Group, 1993)
Hubungan dapat diterangkan karena didapatkannya. cukup bukti bahwa
adenokarsinoma lambung erat hubungannya dengan gastritis atrofik. Sedangkan telah
terbukti pula bahwa infeksi H. pylori merupakan penyebab utama gastritis kronik aktif
yang merupakan penyebab utama gastritis atrofik. (Maltfertheimer, 1992)
Hubungan yang sangat kuat juga didapatkan antara infeksi H. pylori dengan limfoma
pada jaringan limfoid mukosa lambung (mucosa-associated lymphoid tissue
lymphoma disingkat MALT). Penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi H. pylori
13
didapatkan pada 92-98% kasus MALT. (Wotherspoon et al, 1991) Hubungan ini lebih
diperkuat lagi bahwa pada fase awal dari MALT eradikasi H. pylori dapat
menimbulkan regresi spontan dari keganasan tersebut. (Wotherspoon et al, 1993)

Benar, pada tahun 1994 WHO dan Badan Riset Kanker Internasional telah
mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelompok 1 (definite), sejajar
dengan Hepatitis B dan C untuk Kanker Hati Primer.

Infeksi H. pylori pada anak-anak memang belum mendapat perhatian, lebih-


lebih di Indonesia. Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita jumpai penderita anak
dengan keluhan dispepsia yang hilang kambuh berbulan-bulan dan bahkan bertahun-
tahun. Keluhan-keluhan tersebut dapat berupa nyeri epigastrium, kembung, mual dan
walaupun sangat jarang dapat dijumpai hematemesis atau melena. Karena endoskopi
relatif jarang dilakukan pada anak, kecuali kalau ada keluhan yang hebat maka
diagnosa pasti infeksi H. pylori pada anak jarang ditegakkan. Belakangan ini banyak
dilakukan penelitian baik berupa penelitian serologik atau endoskopik, dan ternyata
cukup banyak anak-anak yang menderita gastritis antral, dan pada beberapa anak
didapatkan ulkus duodeni.
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa keluhan yang paling sering pada
anak dengan infeksi H. pylori adalah nyeri epigastrium yang didapat pada 38-78%,
nyeri tekan epigastrium pada 80%. Pada beberapa kasus didapatkan muntah-muntah
hebat. Keluhan lain dapat berupa nyeri perut post pandrial, nyeri perut malam hari dan
napas bau. (Mahoney, 1992)

Definisi dispepsia yaitu rasa tidak enak di epigastrum yang berhubungan


dengan makan atau tidak (Taley, 1993). Sedang definisi yang diajukan oleh suatu
kelompok kerja internasional untuk dispepsia adalah
sbb: rasa nyeri epigastrial atau retrosternal, rasa tidak enak, “heart burn” mual, atau
muntah, atau gejala lain yang berhubungan dengan saluran makanan bagian proksimal
(Shalcross, 1992).
Sedangkan definisi dispepsia non ulkus adalah : dispepsia dimana tidak
ditemukan kelainan endoskopi (tidak ada ulkus, tidak ada oesophagitis makroskopik
dan tidak ada keganasan), dan pemeriksaan fisik serta laboratorium sederhana tidak

14
menunjang diagnosa (Taley, 1993). Istilah yang sering dipakai untuk dispepsia non
ulkus adalah dispepsia fungsional.
F. Patogenesa
Setelah berhasil menembus asam lambung dan masuk ke dalam habitatnya
maka kuman H. pylori dapat bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi. Kuman H.
pylori mengadakan kontak dengan epitel mukosa lambung melalui bagian kuman
yang disebut adhesin. Melalui adhesin H. pylori berikatan dengan suatu gliserolipid
yang didapatkan pada epitel lambung. Kuman H. pylori menghasilkan berbagai enzim
misalnya urease, catalase, protease dan fosfolipase dll. Protease dan fosfolipase dapat
merusak mukus lambung. Disamping itu H. pylori juga memproduksi beberapa
macam toksin. Toksin-toksin ini akan menyebabkan reaksi keradangan dan kerusakan
jaringan dan menyebabkan gastritis kronik. Demikian pula reaksi imun serta reaksi
radang lokal akan menambah beratnya gastritis. (Dooley, 1991)
Adanya infeksi H. pylori kronik menimbulkan gangguan fungsi sekretorik
lambung misalnya terjadinya hipergastrinemia dll. yang menyebabkan hiperasiditas
dalam lambung dan duodenum. Adanya hiperasiditas dalam duodenum merupakan
salah satu keadaan yang memungkinkan hidupnya sel-sel mukosa lambung dalam
duodenum. Pindahnya sel-sel mukosa lambung ke dalam duodenum disebut
metaplasia gastrik dalam duodenum. Dengan adanya “pulau-pulau” sel mukosa
lambung dalam duodenum maka kuman H. pylori dapat pula hidup dalam duodenum.
Adanya kuman-kuman tersebut dalam dodenum akan menyebabkan duodenitis dan
akhirnya terjadi ulkus di daerah tersebut (Dooley, 1991). Lihat gambar 1.
Infeksi H. pylori akut menimbulkan gastritis yang disertai dengan
hypochlorhydria. Hal itu dibuktikan dengan infeksi buatan pada sukarelawan
termasuk Marshall sendiri. Tetapi infeksi kronik memang dapat menimbulkan
hyperchlorhydria. Infeksi H. pylori terutama mengenai daerah antrum dimana banyak
didapatkan sel-sel G yang diketahui memproduksi somatostatin. Somatostatin
berfungsi memberikan umpan balik (feedback) untuk asiditas dalam lambung. Dengan
adanya infeksi pada sel-sel antrum maka sel G juga banyak terkena dan produksi
somatostatin terhenti. Sebagai akibatnya mekanisme umpan balik tersebut tidak
bekerja. Walaupun produksi asam sudah cukup atau berlebih tubuh tetap merangsang
produksi tersebut sehingga terjadi hyperchlorhydria. Bila dilakukan eradikasi kuman
H. pylori maka fungsi sel-sel G tersebut pulih, demikian pula produksi somatostatin.
(Moss, 1992)
15
16
Penelitian menunjukkan bahwa adanya sifat tertentu dari kuman H. pylori
yang berhubungan dengan kemampuan untuk menimbulkan reaksi keradangan hebat,
yaitu kemampuan untuk memproduksi Vacuolating cytotoxin dan adanya gene yang
berhubungan dengan hal itu yaitu Cytotoxin Associated Gene A (cag A) I. Isolat yang
menghasilkan Vacuolating cytotoxin umumnya juga menghasilkan Cytotoxin
Associated Antigen suatu antigen dengan BM 120 kDa.

Penderita yang mengidap infeksi H. pylori dengan Cytotoxin Associated


Antigen yang positif dalam darahnya menunjukkan antibodi yang positif terhadap
antigen tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita dengan
ulkus duodeni dan keganasan lambung dengan H. pylori positif menunjukkan anti-cag
yang positif bila diperiksa dengan imunoblotting. (Lee, 1995) Belakangan ini
didapatkan juga bahwa individu-individu penderita gastritis kronik yang H. pylori
positif yang menunjukkan anti-cag yang positif lebih banyak menunjukkan adanya
gastritis atrofik dibandingkan dengan mereka yang anti-cag negatif. (Asaka et al,
1997)

17
Pada saat ini diketahui bahwa infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis
kronik aktif, ulkus duodeni, ulkus lambung dan keganasan lambung.

Salah satu teori yang dikemukakan akhir-akhir ini mengatakan bahwa


produksi asam lokal menentukan lokasi serta berat ringannya inflamasi serta
gambaran klinik infeksi H. pylori. Sebagai contoh distribusi gastritis, distribusi
kolonisasi H. pylori dan pola produksi asam lokal sangat berbeda antara penderita
dengan ulkus duodeni dan ulkus lambung (Lee,1995).

Faktor terpenting dalam terbentuknya ulkus lambung adalah terjadinya atrofi


sel-sel mukosa corpus serta adanya pangastritis, kedua hal tersebut tidak terjadi pada
ulkus duodeni. Sebagai akibat dari atrofi corpus dan pangastritis tersebut produksi
asam lambung akan menurun. Keasaman lambung yang menurun akan merangsang
timbulnya metaplasia intestinal, yaitu masuknya epitel usus ke dalam lambung. Ulkus
lambung terjadi pada perbatasan antara epitel usus dan epitel lambung (Dooley,1995).
Lihat gambar 2.

G. Epidemiologi
Penemuan tersebut merupakan salah satu dari beberapa penemuan terbesar
dalam bidang gastroenterologi dalam abad ini, yang telah menimbulkan perubahan
mendasar dalam konsep patogenesis beberapa penyakit gastroduodenal. Gastritis
kronik merupakan suatu keadaan yang sangat banyak dijumpai di mana-mana. Bila
dahulu penyakit ini dikenal sebagai penyakit non infeksi maka kini diketahui bahwa
sebagian besar gastritis kronik disebabkan oleh karena infeksi kuman H. pylori.
Benar. Menurut konsep sekarang sebagian besar gastritis kronik disebabkan
karena infeksi H. pylori. Karena infeksi H. pylori dapat ditularkan dari seorang
penderita kepada orang lain maka penyakit ini dapat digolongkan dalam kelompok
penyakit menular. Dan karena itu epidemiologi gastritis kronik dan penyakit
gastroduodenal lain yang berkaitan dapat dipelajari seperti halnya penyakit menular
lainnya.
Kesan bahwa penyakit lambung itu merupakan penyakit menular dapat kita
jumpai dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang bahwa penyakit lambung
mengelompok dalam keluarga.
Sebagai suatu penyakit menular tentunya mempunyai suatu petanda atau
“marker” tertentu. Misalnya kalau kita mempelajari epidemiologi infeksi Hepatitis

18
Virus B maka petandanya adalah HBsAg dan anti-HBs atau anti-HBc. Oleh karena itu
gastritis kronik yang kira-kira identik dengan infeksi H. pylori kita bisa memakai IgG
anti-H. pylori. Maka dengan menggunakan IgG anti-H. pylori sebagai marker kita
dapat mempelajari epidemiologi gastritis kronik secara tidak langsung.

Banyak sarjana melaporkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori relatif lebih


tinggi pada populasi dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah (Megraud, 1993).
Dan ternyata hal ini sama dengan kesimpulan yang didapat oleh penelitian Siurala
yang dilakukan sebelum ditemukan H. pylori, yang mendapatkan bahwa gastritis
kronik relatif lebih banyak didapatkan dalam populasi dengan tingkat sosial ekonomi
rendah (Siurala et al, 1988).

Sebagai suatu kuman penghuni lambung maka pada prinsipnya penularan


kuman H. pylori terjadi akibat pemindahan kuman dari lambung ke lambung. Hanya
saja perpindahan dari lambung ke lambung memang sangat jarang terjadi dan hanya
terjadi dalam ruang endoskopi. Misalnya bila seseorang penderita infeksi H. pylori di
endoskopi kemudian endoskop yang sama dipakai untuk memeriksa orang lain yang
tidak menderita infeksi H. pylori tanpa dibersihkan dengan sempurna. Sebagai
akibatnya kuman yang berasal dari lambung penderita pertama akan dipindahkan
langsung ke dalam lambung penderita ke dua.

Tetapi salah satu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan


bahwa risiko penularan infeksi H. pylori melalui endoskopi antar penderita yang
dilakukan endoskopi sangat kecil bila endoskop dibersihkan dengan cara yang standar
(Van der Linden et al, 1994).

Penularan dengan modus yang hampir sama pernah dilaporkan, yang terjadi
pada beberapa orang yang dilakukan pengukuran pH lambung dengan elektroda yang
dimasukkan ke dalam lambung yang dipakai oleh beberapa orang bergantian.

Risiko tertular juga terjadi pada para endoskopis dan perawat endoskopi,
karena mereka berhubungan dengan endoskop yang belum dibersihkan yang banyak
mengandung sekreta lambung. Dan ada suatu laporan yang menunjukkan bahwa para
endoskopis menunjukkan frekuensi antibodi terhadap H. pylori yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal. Namun penularan melalui endoskop pada saat ini
sudah sangat rendah karena cara pembersihan endoskop setelah dipakai sudah lebih

19
baik dan disinfeksi endoskop sudah jauh lebih baik. Disamping itu para endoskopis
maupun perawat endoskopi diharuskan memakai sarung tangan pada waktu bekerja.

Sampai sekarang modus penularan utama infeksi H. pylori belum dapat


dipastikan. Adanya pengelompokkan kasus-kasus infeksi dalam keluarga dan dalam
lingkungan tertutup menunjukkan bahwa penyakit ini ditularkan melalui kontak antar
individu yang erat, misalnya dalam keluarga dll. Tetapi bagaimana bentuk kontak
yang menyebabkan penularan belum diketahui. Yang jelas kontak itu harus dapat
menjelaskan adanya kontak dari lambung ke lambung (“stomach to stomach contact”)
walaupun tidak langsung. Kalau modus kontak dari lambung ke lambung hanya
mungkin terjadi dalam bentuk yang sesungguhnya di ruangan endoskopi, sebenarnya
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari kontak dari lambung ke lambung identik
dengan kontak dari mulut ke mulut (“mouth to mouth contact”).

Penelitian menunjukkan bahwa kuman H. pylori dapat ditemukan dalam


mulut, misalnya pada kotoran gigi. Sehingga mulut dapat merupakan stasiun atau
pemberhentian sementara untuk H. pylori. Dari sini dapat dimengerti bahwa “mouth
to mouth contact” dapat merupakan perpanjangan tangan dari “stomach to stomach
contact” tadi. Jadi perpindahan oral secretion yang mengandung H. pylori secara
langsung atau tidak langsung ke dalam mulut orang lain akan memungkinkan
penularan kuman H. pylori. Salah satu contoh yang sangat menarik adalah suatu hasil
penelitian di Cina yang menunjukkan bahwa kebiasaan makan bersama dari suatu
tempat makanan yang sama dengan menggunakan sumpit berhubungan dengan
peningkatan penularan infeksi H. pylori. Jadi di sini diperkirakan sumpit ini yang
dapat memindahkan oral secretion dari satu orang kepada orang lain (Megraud, 1993).

Personil kesehatan yang jelas merupakan kelompok risiko tinggi untuk


ketularan infeksi H. pylori adalah para endoskopis dan paramedik ruang endoskopi.
Tetapi beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa perawat secara umum juga
merupakan kelompok risiko tinggi (Willwhite et al, 1993). Hal itu juga kami dapatkan
pada penelitian di RSU Mataram (Astuti et al, 1993). Mekanismenya sampai sekarang
belum jelas. Ada kemungkinan bahwa paramedik mengalami banyak kontak dengan
vomitus (bahan muntahan) atau sekreta oral yang berasal dari penderita. Bahan-bahan
yang infeksius ini mungkin melekat pada tubuh penderita atau pakaiannya dan bahan
tersebut pindah ke tangan perawat dan selanjutnya masuk mulut melalui makanan,

20
rokok, dll. Karena itu perlu ditekankan pentingnya cuci tangan setiap kali selesai
kontak dengan penderita, dan menghindarkan makan minum dalam ruangan
perawatan. Disamping itu para perawat diharuskan memakai sarung tangan pada
waktu memandikan pasien dan sebagainya.

Keberhasilan Thomas dkk (Thomas et al, 1992) melakukan pembiakan kuman


H. pylori pada tinja anak-anak Gambia yang menderita infeksi H. pylori merupakan
bukti bahwa infeksi kuman ini dapat ditularkan secara fekal-oral. Tetapi didapatkan
beberapa hal yang menunjukkan bahwa mungkin modus penularan fekal-oral ini
walaupun dapat terjadi tetapi bukan cara penularan utama. Pertama ternyata cukup
sulit untuk menumbuhkan kuman H. pylori dari tinja. Dengan suatu metoda khusus
Thomas hanya berhasil menumbuhkan kuman H. pylori pada 39% kasus. Kedua
Hazell (Hazell et al, 1994) mencoba membandingkan frekuensi Anti-HAV (Antibodi
terhadap Hepatitis Virus A) dengan frekuensi anti H. pylori pada daerah perkotaan
dan pedesaan di suatu daerah di Cina. Infeksi Hepatitis A yang menular secara fekal
oral memang telah terbukti dapat dipakai sebagai indikator yang baik untuk infeksi
yang ditularkan secara fekal oral. Bila infeksi H. pylori disebarkan melalui masa tinja
(fecal mass) secara luas maka diharapkan prevalensi anti-HAV akan mempunyai
korelasi yang baik dengan prevalensi anti-H. pylori. Ternyata di daerah perkotaan
tidak didapatkan Hepatitis A pada umur kurang dari 10 tahun, sedang di daerah yang
sama prevalensi infeksi H. pylori pada anak dengan umur kurang dari sepuluh tahun
adalah 32%. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi H. pylori walaupun dapat ditularkan
secara fekal-oral tetapi tidak secara luas seperti halnya pada Hepatitis A.

Belakangan ini modus penularan fekal-oral diperkuat dengan fakta bahwa


sumber air minum, misalnya air sumur atau air sungai terbukti telah tercemar oleh
kuman H. pylori. Walaupun kultur H. pylori pada air yang ada dalam lingkungan,
misalnya air sungai atau air sumur tidak pernah berhasil tetapi dengan pemeriksaan
PCR didapatkan bahwa dalam air tersebut didapatkan genom kuman H. pylori.

Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara maju penularan yang


menonjol adalah oral-oral, sedang di negara sedang berkembang modus penularan
terpenting adalah fekal-oral. Tetapi sebenarnya kedua modus penularan tersebut dapat
terjadi dimanapun. (Talley, 1996)

21
Betul, penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang
berkembang infeksi H. pylori terjadi pada masa kanak-kanak dan bahkan pada masa
bayi. Hal ini berhubungan dengan tingkat sosioekonomik yang secara tidak
langsung berhubungan dengan tingkat higiene dan sanitasi. Sedang di negara-negara
maju umur mulai terjadinya infeksi lebih tinggi, tetapi sebagian besar infeksi terjadi
pada umur kurang dari 15 tahun. Disamping itu didapatkan bukti bahwa dengan
makin membaiknya tingkat sosioekonomi, maka usia mulai mendapat infeksi H.
pylori makin meningkat (Megraud, 1995).

H. Terapi
Dahulu dalam pengobatan ulkus duodeni, kita hanya mampu untuk sementara
mengatasi suatu “diathesis” yang pasti akan kambuh kembali. Sehingga tidak
berlebihan bila dahulu ada pepatah bahwa sekali ulkus peptikum maka seumur hidup
tetap ulkus peptikum. Tetapi sekarang tidaklah demikian, karena kita ketahui bahwa
hampir semua ulkus duodeni disebabkan oleh infeksi H. pylori, dan dengan
mengadakan terapi eradikasi maka angka kekambuhan ulkus duodeni dapat
diturunkan dari 70% lebih pertahun menjadi mendekati 0% (Tytgat et al, 1993).
Di negara-negara Barat terapi tripel yang terdiri dari gabungan bismuth,
Amoksisilin dan metrodasol menunjukkan angka keberhasilan eradikasi sekitar 90%.
Sedang gabungan Omeprasol dan Amoksisilin menunjukkan angka keberhasilan
sekitar 70%.
Memang dalam rekomendasi NIH (National Institute of Health) Amerika
Serikat sampai akhir tahun 1994 indikasi eradikasi hanyalah untuk ulkus duodeni dan
ulkus ventrikuli dengan H. pylori positif, dan belum dibenarkan untuk memberi terapi
eradikasi pada penderita dispepsia non ulkus dengan H. pylori positif. Ada beberapa
alasan dari hal ini, pertama banyak penelitian yang menunjukkan bahwa frekuensi
infeksi H. pylori pada DUN tidak berbeda dengan kontrol. Alasan kedua dari hal ini
adalah belum didapatkannya bukti bahwa terapi eradikasi dapat menghilangkan
simtom dispepsia secara bermakna, karena hasil penelitian yang masih merupakan
kontroversi.
Beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Rauws dkk (Rauws et al,
1988) dan Rokkas dkk (Rokkas et al, 1988) menunjukkan bahwa keluhan subyektif
pada penderita H. pylori positif yang berhasil dilakukan eradikasi menurun secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok penderita dimana eradikasi H. pylori tidak

22
berhasil. Penelitian lain (Lofeld et al, 1989) menunjukkan bahwa penurunan keluhan
subyektif antara kelompok yang mendapat obat untuk eradikasi tidak berbeda
bermakna dengan kelompok yang mendapat plasebo. Tetapi banyak kekurangan
dalam penelitian ini misalnya; kriteria diagnostik yang kurang baik, kurangnya
kelompok kontrol dengan H. pylori negatif, dan jangka waktu follow up yang terlalu
pendek (>3 bulan) (Lambert, 1993).

Yang perlu dipikirkan bila kita berhadapan dengan seorang penderita


dispepsia fungsional dengan H. pylori positif adalah apakah keluhan tersebut
sebenarnya disebabkan oleh karena infeksi H. pylori, dan bukan karena penyebab
lainnya? Sebaiknya harus melakukan eradikasi H. pylori pada kasus-kasus dispepsia
fungsional jika kita yakin bahwa penyebab dispepsia tersebut kemungkinan besar
adalah karena infeksi H. pylori dan bukan karena sebab lain.
Marshall sendiri berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi H. pylori pada
penderita dispepsia fungsional diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
- Keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita
- Faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya pemakaian NSAID)
- Terapi konvensional (antasida, H2 antagonist dll) tidak menolong.

Bahkan belakangan ini banyak ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi


H. pylori pada semua kasus dispepsia dengan H. pylori positif (“test and treat”)
Bila dilakukan eradikasi H. pylori pada penderita dispepsia non ulkus yang memang
memerlukan eradikasi, berapa bagian yang akan
membaik secara klinis?
Menurut pengalaman Marshall (Marshall, 1991) di Universitas Virginia dari
penderita-penderita DNU yang berhasil dilakukan eradikasi 50% praktis sembuh
(keluhannya hilang), 25% keluhannya berkurang dan 25% lagi keluhannya tetap.
Pengalaman pertama terapi H. pylori adalah dari Marshall sendiri yang telah
minum kuman H. pylori dan membuktikan bahwa kuman itu tumbuh dalam
lambungnya dan menimbulkan gastritis. Setelah itu Marshall mengobati dirinya
dengan minum gabungan garam Bismuth dan Metronidazol selama 2 minggu. Sejak
lama sebelumnya Bismuth sub sarisiliat memang sering dipakai untuk mengobati
gastritis dan ulkus peptikum, tetapi kemudian obat itu ditinggalkan karena mekanisme
kerja Bismuth terhadap kedua penyakit itu belum diketahui. Ternyata kemudian
23
terbukti bahwa dalam pengobatan gastritis dan ulkus peptikum, Bismuth bekerja
seperti suatu antibiotik untuk membunuh kuman H. pylori.
Pada prinsipnya dalam eradikasi H. pylori kita harus menggunakan kombinasi
obat-obat yang sinergistik yang dapat membunuh kuman H. pylori. Penggunaan obat
anti infeksi tunggal praktis tidak akan berhasil. Salah satu contoh adalah terapi triple
yang dianjurkan oleh Borody dkk (Borody et al, 1992) yang terdiri dari :
Bismuth 4 dd tb II
Metronidasol 4 dd 250 mg
Amoksisilin 4 dd 500 mg atau
Tetrasiklin 4 dd 500 mg
selama 2 minggu

Dalam hal ini menurut penelitian ternyata penambahan Bismuth akan


menurunkan kemungkinan kekebalan terhadap metronidasol. (Goodwin et al, 1993)
Dalam memberikan terapi eradikasi yang menggunakan gabungan obat-obat anti
infeksi sedapat mungkin ada 2 komponen aktifitas obat yang penting yaitu obat-obat
yang aktif intraluminal untuk membunuh kuman yang ada dalam mukus, dan
komponen obat yang aktif secara sistemik, sebagai contoh Bismuth bekerja secara
intraluminal, sedangkan Amoksisilin bekerja secara sistemik. (Marshall, 1993)

Konsep baru tersebut muncul beberapa tahun kemudian. Konsep tersebut


adalah gabungan antara obat pengambat proton dengan antibiotik. Konsep ini
berdasarkan pengertian bahwa banyak antibiotika yang bekerja suboptimal dalam pH
rendah, ternyata dapat bekerja baik bila pH tersebut dinaikkan mendekati 6. Salah satu
contoh adalah kombinasi :
Omeprasol 2 dd 20 mg
dengan
Amoksisilin 2 dd 1000 mg atau
Klaritromisin 3 dd 500 mg
Gabungan antara Omeprasol dengan satu macam obat anti infeksi di atas
sering disebut terapi “dual Omeprasol”. Tetapi efektifitas gabungan tersebut hanya
sekitar 70%. Karena itu kemudian para ahli menambahkan 1 macam lagi obat anti
infeksi dan disebut terapi tripple Omeprasol misalnya :
Amoksisilin 2000 mg/hari
24
Klaritromisin 3 dd 500 mg ( Selama 1 miggu )
Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Amoksisilin 2000 mg/hari
Metronidazol 3 dd 500 mg ( Selama 1 miggu )
Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Klaritromisin 3 dd 500 mg
Metronidazol 3 dd 500 mg ( Selama 1 miggu )
Omeprasol 2 dd 20 mg

Omeprasol mempunyai khasiat menghambat kuman H. pylori tetapi tidak


dapat menimbulkan eradikasi. Bila diberikan dalam dosis 40 mg/hari selama 2
minggu dan kemudian dilakukan biopsi dan pembiakan untuk kuman H. pylori, maka
hasil biakan bisa negatif. Tetapi bila dilakukan biopsi dan biakan H. pylori satu bulan
setelah Omeprasol dihentikan, hasilnya akan kembali positif. Belakangan terbukti
bahwa pemberian Omeprasol dapat mengubah bentuk spiral menjadi bentuk kokoid.
Sedangkan terbukti bahwa bentuk kokoid sulit untuk dikultur dan tidak menunjukkan
aktifitas enzimatik urease sehingga semua diagnostik yang berdasar urease hasilnya
akan negatif. (Jekti, 2003) Bentuk kokoid ini akan kembali menjadi spiral setelah
Omeprasol dihentikan selama satu bulan.

Toleransi gabungan Omeprasol dan antibiotika lebih baik dibandingkan


dengan terapi tripel klasik. Memang sampai saat ini terapi tripel adalah paling efektif,
tetapi penderita sering tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek samping yang
tinggi.

Dalam pemeriksaan kepekaan terhadap antibiotika isolat H. pylori dari


Mataram ternyata seluruhnya masih peka terhadap Amoksisilin, Tetrasiklin,
Klaritromisin dan Siprofloksasin. Kekebalan terhadap Metronidazol adalah sekitar
60%.

Yang diberikan adalah kombinasi terapi tripple klasik dengan Omeprasol yang
sering disebut terapi kwadrupel yaitu :
25
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Tetrasiklin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Amoksisilin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
Yang diberikan selama 1 minggu (de Boer et al, 1996). Keberhasilan terapi
kwadrupel ini telah dilaporkan juga dari Mataram. (Palgunadi et al, 1997)

Untuk Campylobacter jejuni Siprofloksasin memang merupakan obat yang


sangat baik, walaupun belakangan ini mulai banyak dilaporkan resistensi misalnya di
Thailand. Tetapi untuk H. pylori siprofloksasin mempunyai sifat yang unik. Penelitian
menunjukkan bahwa setelah diberikan peroral bila dilakukan biopsi mukosa lambung
ternyata kadar siprofloksasin dalam jaringan mukosa lambung jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan MIC siprofloksasin untuk H. pylori. Tetapi kenyataannya dalam
trial hasilnya tidak baik. (Marshall, 1993)

Dua faktor penting dalam kegagalan eradikasi adalah kekebalan terhadap


antibiotik yang dipakai dan obat yang tidak diminum dengan baik oleh penderita (non
compliance). Levofloksasin ternyata dapat dipakai untuk mengatasi 2 hal tersebut
karena angka resistensi terhadap Levofloksasin sangat rendah. Di samping itu dalam
protokol yang menggunakan Levofloksasin jumlah tablet yang diminum lebih kecil.
Walaupun beberapa peneliti menganjurkan pemberian Levofloksasin dengan dosis
2×500 mg atau 2×250 mg tetapi secara teoritik Levofloksasin cukup diberikan dengan
1 dosis tunggal misalnya 1×500 mg. Yang perlu dipertanyakan adalah dengan
antibiotik yang mana Levofloksasin ini perlu dikombinasikan. Dilaporkan bahwa
kombinasi antara Levofloksasin, Penidasol, dan PPI memberikan hasil yang baik.
Demikian pula kombinasi Levofloksasin, claritomisin dan PPI menimbulkan eradikasi
yang cukup tinggi (85%). (Cammarota et al, 2004) Suatu penelitian yang dilakukan di
Korea yang membandingkan Levofloksasin 500 mg, Azitromicin 500 mg, dan
Omeprasol 50 mg selama 7 hari dengan terapi standar amoksisilin 2×1 gr,
26
klaritromicin 2×500 mg, serta omeprasol 2x 20 mg selama 7 hari menunjukkan angka
keberhasilan 70,6% dan 80,3% tetapi secara statistik tidak signifikan (p=0.390).
Peneliti yang sama membandingkan pemakaian gabungan Levofloksasin, Azitromicin
dan Omeprasol dengan gabungan terapi kuadripel yang terdiri dari Omeprasol 2 x 20
mg, Bismuth 4 x 120 mg, Metronidasol 2 x 100 mg dan tetrasiklin 4 x 100 mg selama
2 minggu yang diberikan kepada pasien-pasien yang sebelum mengalami kegagalan
eradikasi dengan terapi standar menunjukkan angka keberhasilan 65,5% dan 90%
(p<0.0001). Karena itu para peneliti tidak menganjurkan pemakaian gabungan
Levofloksasin dan Metronidasol untuk terapi lini pertama dan lini kedua di Korea.
(Kang et al, 2006)

Sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya eradikasi
H. pylori pada kasus-kasus dyspepsia fungsional pada H. pylori positif. Ada beberapa
alasan dalam kontroversi tersebut :
1. banyak penelitian yang menunjukan bahwa frekuensi H. pylori pada dyspepsia
fungsional tidak berbeda dengan populasi kontrol.
2. belum banyak penelitian yang membuktikan bahwa terapi eradikasi dapat
menghilangkan symptom dyspepsia secara bermakna.

Tetapi salah satu penelitian yang dilaporkan tahun 1998 oleh McColl et al
menunjukkan bahwa penderita dyspesia fungsional dengan eradikasi H. pylori yang
berhasil lebih sering mengalami hilangnya symptom dyspepsia dibandingkan dengan
terapi Omeprasol saja, dan perbedaan tersebut cukup signifikan. (McColl et al, 1998)
Demikian pula hasil review oleh Moayyedi dkk-nya (2006) yang dilakukan terhadap
20 penelitian yang dilakukan secara acak dan terkontrol (randomized and controlled)
tentang terapi eradikasi H. pylori pada dyspepsia fungsional menunjukkan penurunan
keluhan dyspepsia secara signifikan dibandingkan dengan terapi noneradikasi,
walaupun perbedaan itu kecil.
Makin banyak para ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi pada
kasus-kasus dispepsia fungsional yang berat dengan H. pylori positif. Misalnya 70%
ahli gastroenterologi di Inggris melakukan hal tersebut.

27
Konsensus nasional tentang eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori
Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan
bahwa eradikasi H. pylori :
1. a. Sangat dianjurkan pada :
- Ulkus duodeni
- Ulkus ventrikuli
- Pasca reseksi kanker lambung dini
- MALT lymphoma
b. Dianjurkan :
- Dispepsia tipe ulkus
- Gastritis kronik aktif berat
- Gastropati AINS (NSAID)
- Gastritis hipertrofik
c. Tidak dianjurkan :
- penderita asimtomatik

Belakangan ini banyak ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi H. pylori


pada semua kasus dyspepsia dengan H. pylori positif. Dengan strategi ini semua kasus
dyspepsia baik organik maupun fungsional dengan H. pylori positif diberikan terapi
eradikasi.

Salah satu kerugian dari strategi tersebut adalah kemungkinan ada kecenderungan
untuk begitu saja memberikan terapi eradikasi tanpa melakukan pemeriksaan (war up)
yang cukup. Sehingga kemungkinan ada kelainan gastroduodenal yang serius yang
tidak terdeteksi, misalnya adanya keganasan lambung, dll, sehingga kelainan tersebut
tidak mendapat penanganan yang memadai.

Untuk terapi awal dipakai terapi lini pertama yaitu terapi yang memungkinkan
keberhasilan lebih dari 90%. Bila terapi lini pertama gagal maka dipakai terapi lini
kedua. Bila terapi lini kedua gagal maka terapi dilakukan berdasarkan hasil tes
kepekaan antibiotika.
Terapi lini pertama : PPI + Amoksisilin + Klaritromisin atau RBC (ranitidin
bismuth complex) + Amoksisilin + Klaritromisin.
Terapi lini kedua :
28
Terapi kwadrupel : PPI + Bismuth + Metronidasol + Tetrasiklin
Terapi penyelamatan (salvage):
Terapi kwadrupel atau PPI + Amoksisilin + Rifabutin Tergantung
antibiogram.

Tidak, kuman ini juga ditemukan pada mamalia lain misalnya pada anjing dan
kucing didapatkan kuman Helicobacter felis, pada rodentia didapatkan Helicobacter
muridarum. Pada kera didapatkan Helicobacter nemestrinae dan pada ferret
didapatkan Helicobacter mustellae. Secara eksperimental kuman Helicobacter pylori
dapat ditularkan kepada babi muda dan kepada mencit.

Kuman H. pylori pada manusia bukan kuman komensal karena adanya kuman
tersebut dalam lambung hampir selalu disertai timbulnya gastritis kronik secara
histologik. Disamping itu jelas bahwa tubuh juga mengadakan perlawanan berupa
reaksi imunologik lokal maupun sistemik.

Eksperimen untuk menumbuhkan kuman H. pylori dalam lambung binatang


pertama kali berhasil dilakukan pada babi muda. Karena itu babi muda sering kali
dipakai eksperimen untuk meneliti infeksi H. pylori. Tetapi pengelolaan binatang
percobaan ini sangat sulit. Sejak lama dicoba untuk menumbuhkan H. pylori pada
lambung mencit tetapi tidak berhasil. Baru pada tahun 1995 Marcheti dkk (Marchettti
et al, 1995) berhasil menumbuhkan kuman H. pylori dalam lambung mencit. Ternyata
hanya kuman yang baru diisolasi dari lambung manusia yang dapat dipindahkan ke
dalam lambung mencit. Kuman yang telah tersimpan lama di laboratorium tidak dapat
tumbuh dalam lambung mencit. Kuman yang sudah mau tumbuh dalam lambung
mencit lebih mudah tumbuh bila dipindahkan kepada mencit lain.

Dulu kuman ini disebut Gastrospirillum hominis. Tetapi sekarang dinamakan


Helicobacter heilmani. Secara morfologik kuman H. heilmani berbeda dengan H.
pylori karena kuman ini lebih panjang dan berbentuk seperti keris tumpul dengan 4
sampai 6 lekukan. Kuman ini mempunyai flagela pada kedua ujungnya. Kuman ini
didapatkan pada banyak macam binatang dan sesungguhnya merupakan kuman
lambung dengan distribusi yang paling luas. Kuman ini didapatkan pada kucing,
anjing, babi, kera dan banyak macam binatang lain. Diduga manusia mendapat
29
penularan dari binatang peliharaan. Laporan pertama infeksi H.heilmani pada manusia
adalah pada tahun 1987 dimana didapatkan 3 kasus dari 1300 jaringan biopsi lambung
yang diperiksa (Lee et al,1993).
Laporan pertama tentang kasus dispepsia karena H.heilmani di Indonesia
dibuat oleh Asuti dkk. dari Mataram (Astuti et al, 1996).
Berbeda dengan H. pylori kuman H.heilmani dapat menembus sel-sel parietal
lambung dan masuk dalam jaringan. Kuman ini menimbulkann gastritis kronik dan
dapat juga menimbulkan ulkus duodeni. Gastritis yang timbul akibat infeksi
H.heilmani lebih ringan dan kuman H.heilmani lebih mudah di eradikasi
dibandingkan dengan H. pylori (Lee et al,1993).

Habitat utama kuman H. pylori adalah di daerah antrum lambung. Tetapi


penelitian menunjukkan bahwa pada penderita-penderita infeksi H. pylori yang telah
mendapat terapi baik berupa obat-obat penekan asam lambung maupun obat-obat
antimikroba kuman H. pylori mengadakan migrasi ke atas yaitu ke daerah corpus.
Karena itu dalam melakukan biopsi baik dari antrum maupun corpus. Pada penderita
yang telah mendapat terapi tidak jarang dari jaringan antrum hasilnya negatif untuk H.
pylori tetapi dari jaringan corpus ternyata hasilnya positif. Karena itu sedikitnya harus
diambil 2 biopsi dari antrum dan 2 biopsi dari corpus.

Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Hazell didapatkan bahwa kuman H.
pylori akan dihambat oleh garam empedu dalam usus, dan karena itu walaupun ada
kuman H. pylori dalam tinja tetapi banyak kuman H. pylori yang tidak “viable” dalam
tinja. Tetapi pada tahun 1992 Thomas dkk melaporkan keberhasilan untuk
menumbuhkan kuman H. pylori dari tinja pada 9 orang dari 23 anak-anak (39%) yang
diperiksa di Gambia, Afrika (Thomas et al, 1992). Hal ini memperkuat teori bahwa
infeksi H. pylori dapat ditularkan secara fekal-oral.

30
I. Imunsero

Diagnosa serologik infeksi H. pylori dilakukan berdasarkan timbulnya respon


imun dari penderita berupa adanya IgM anti-H. pylori, IgA anti-H. pylori dan IgG
anti-H. pylori dalam darah. Yang paling banyak dipakai untuk diagnosa adalah IgG
anti-H. pylori. IgM anti-H. pylori jarang dapat dideteksi karena hanya muncul pada
infeksi akut. Sedangkan yang kita jumpai sehari-hari adalah infeksi kronik.

Anti-H. pylori bukanlah suatu neutralizing antibody. Bila terdapat infeksi H.


pylori anti-H. pylori dalam darah umumnya positif, beberapa bulan setelah terjadi
eradikasi (umumnya 6 bulan) anti-H. pylori akan menjadi negatif.
IgA anti-H. pylori diperlukan untuk deteksi anti-H. pylori pada bayi. Sebab
IgG anti-H. pylori pada bayi berasal dari ibunya bila ibunya juga menderita infeksi H.
pylori.
IgG anti-H. pylori dapat menembus plasenta, sedangkan IgA anti-H. pylori
tidak, karena berat molekulnya tinggi.
IgG anti-H. pylori sangat bermanfaat untuk penelitian seroepidemiologi
infeksi H. pylori karena antibodi ini akan tetap positif bila tidak dilakukan eradikasi
H. pylori.
Dalam salah satu penelitian kami telah dibuktikan bahwa sensitifitas suatu kit
Elisa impor hanyalah 47,7%, sedangkan kit PHA yang dibuat menggunakan antigen
lokal sensitifitasnya adalah 93 % (Soewignjo et al, 1995). Sebenarnya hal yang sama
juga dilaporkan oleh para peneliti lain, dimana suatu kit Elisa yang terbukti
berkualitas tinggi ternyata bila digunakan di suatu tempat lain sensitifitas dan
spesifitasnya jelek.
Adanya anti-H. pylori yang positif menunjukkan bahwa individu tersebut
memang mengidap infeksi H. pylori. Walaupun tidak semua individu yang mengidap
infeksi H. pylori menunjukkan keluhan atau gejala, tetapi jika dilakukan biopsi
mukosa lambung hampir pasti akan didapatkan gastritis kronis secara histologik.
Menurut penelitian penderita yang anti-H. pylori positif jika dilakukan endoskopi
ternyata lebih sering ditemukan kelainan endoskopik dibandingkan penderita yang
anti-H. pylori negatif.

Memang benar, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi H.


pylori akan berlanjut menjadi kronik. Hanya sebagian kecil saja penderita yang

31
mengalami infeksi H. pylori dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hal itu
mengherankan karena sebenarnya respon imun tubuh baik lokal maupun sistemik
cukup besar, tetapi rupanya respon imun tersebut tidak efektif untuk membunuh
kuman H. pylori, karena kuman H. pylori berada di luar jaringan sehingga tidak
terjangkau oleh respon imun yang sebagian besar terjadi dalam jaringan. Salah satu
kemungkinan penyebab lain adalah ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi
antigen yang terpenting dari H. pylori (critikal antigen) antara lain karena H. pylori
mampu merubah komposisi antigennya (antigenic variation) (Rathbone dan Heatly,
1989).

Untuk penyakit infeksi yang tersebar begitu luas yang sudah banyak terjadi
pada masa anak-anak, apalagi yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya
keganasan, vaksinasi sangat penting artinya untuk pencegahan penyakit. Apalagi kita
ketahui bahwa eradikasi infeksi H. pylori relatif sulit. Penelitian menunjukkan bahwa
disamping untuk pencegahan ada harapan besar bahwa vaksinasi H. pylori dapat juga
dipakai untuk tujuan pengobatan.

Karena infeksi H. pylori terjadi secara oral, maka vaksin H. pylori yang tepat
adalah vaksin oral. Penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksinasi
H. pylori per oral dapat mencegah infeksi H. pylori dengan efektif (Chen et al, 1993,
Marchetti et al, 1995).

Demikian pula belakangan ini percobaan binatang menunjukkan bahwa vaksin


oral dapat dipakai untuk eradikasi infeksi Helicobacter (Soewignjo et al, 1996; Lee,
1996; Soewignjo et al, 1997).

Untuk menghindarkan toleransi oral (oral tolerance) terhadap antigen yang


diberikan peroral maka antigen yang dipakai sebagai vaksin diberikan bersama suatu
zat yang mampu merangsang respon imun pada mukosa yang sering disebut sebagai
“oral adjuvant”. Oral adjuvant yang paling efektif sampai saat ini adalah toksin
cholera subunit B. Dalam vaksinasi H. pylori antigen yang berasal dari kuman H.
pylori diberikan bersama toksin cholera subunit B sehingga antigen tersebut dapat
merangsang sistem imun pada mukosa saluran makan (antara lain Plaque of Peyer)
dan selanjutnya sel T dan sel B yang telah dirangsang dalam Plaque of Peyer akan
masuk ke dalam sirkulasi umum melalui ductus toracicus. Selanjutnya sel-sel tersebut
akan ditahan secara selektif pada jaringan RES yang didapatkan dalam lamina

32
proparia sistem saluran makan dan juga lamina propria sistem-sistem lain (urogenital,
repiratorik, jaringan glandular). Dalam jaringan efektor sel-sel tersebut akan
mengalami proliferasi klonal dan tumbuh menjadi sel plasma yang akan memproduksi
secretory IgA yang spesifik terhadap kuman H. pylori.

Benar. Secara preventif mungkin vaksin ini ditujukan pada anak-anak. Sedang
secara terapeutik vaksin ini dipakai untuk eradikasi infeksi pada penderita.

Mekanisme vaksinasi terapeutik sebenarnya belum jelas. Tetapi ada suatu teori
yang mengatakan bahwa pada infeksi alami respon imun pada jaringan mukosa
terhadap infeksi H. pylori sudah terjadi tetapi masih belum adekwat untuk melawan
infeksi. Sehingga dalam hal ini vaksinasi merupakan booster yang meningkatkan
respon imun dalam mukosa yang akhirnya menjadi efektif untuk melawan infeksi
(Lee, 1996).

Eradikasi H. pylori menggunakan gabungan antimikroba sering menimbulkan


efek samping, dan disamping itu kemungkinan terjadi reinfeksi cukup besar.
Sedangkan eradikasi dengan vaksinasi tanpa efek samping dan kemungkinan reinfeksi
sangat rendah karena adanya kekebalan yang berlangsung lama.

33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi Helicobacter pylorimerupakan penyebab utama gastritis dan ulkus
peptikum serta faktor risiko untuk terjadinya karsinoma gaster . Diagnosis dan tata
laksana infeksi H. pylorimenjadi penting dalam evaluasi pasien dengan keluhan
dispepsia. Saat ini diagnosis infeksi H. pyloridapat menggunakan metode
pemeriksaan yang invasive maupun noninvasif. Beberapa metode pemeriksaan
noninvasif lebih sering digunakan karena bersifat nyaman. Tata laksana terkini untuk
infeksi H. pyloriterdiri dari 3 lini yang mengandung antibiotik yang efektif terhadap
H. pylori. Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi H. pylori diperlukan mengingat
kemungkinan kegagalan eradikasi yang dikaitkan dengan risiko terjadinya berbagai
penyakit gastrointestinal pada pasien dengan infeksi H. pyloriyang persisten.
B. Saran
Seiring dengan pengembangan zaman, ilmu pengetahuan akan semakin
berkembang pula. Untuk itu diperlukan referensi yang update secara terus menerus
untuk bisa melengkapi setiap kekurangan dalam makalah ini.

34
DAFTAR PUSTAKA
Soemoharjo, S. (2009). Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastroduodenal. [Online].
Tersedia: https://biomedikamataram.wordpress.com/tag/helicobacter-pylori-dan-
penyakit-gastroduodenal/ [1 Januari 2015]

Wibowo, J. (2012). Mengetahui Lebih Jauh Bakteri Helicobacter Pylori. [Online]. Tersedia:
http://penyakitmaag.com/mengetahui-lebih-jauh-bakteri-helicobacter-pylori.mht [1
Januari 2015]

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24519/4/Chapter%20II.pdf [1 Jaunuari 2014]

35

Anda mungkin juga menyukai