Anda di halaman 1dari 11

NAMA : OPTIMA FITRA ILHAMI

NIM : 04011181520017

KELAS : BETA 2015

SKENARIO A BLOK 21 TAHUN 2017

SOMATOFORM
a. Pengertian Somatoform
Somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya nyeri,
mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis.(Fausiah,
Widury, 2005:25)
Somatoform adalah individu yang mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang
terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. (Ardani,
2011:91)
Somatoform (terutama gangguan konversi atau disebut juga reaksi-reaksi konversi)
adalah gangguan-gangguan neurotik yang khas bercirikan emosionalitas yang ekstrem,
dan berubah menjadi simtom-simtom fisik, simtom-simtom fisik itu mungkin berupa
kelumpuhan-kelumpuhan anggota tubuh,rasa sakit dan nyeri luar biasa, buta tuli, tidak
bisa bicara, muntah terus-menerus, sakit kepala atau gementar. (Semiun, 2006:374)
Somatoform adalah adanya keluhan gejala fisik yang berulang yang disertai dengan
permintaan pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan
juga sudah dijelaskanoleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar
keluhannya. (Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medis, 199
3: 209)
Jadi, somatoform adalah individu yang mengeluhkan gangguan fisik, seperti sakit
kepala, nyeri, mual, dan gementar berangsur berulang-ulang, dimana secara medis
mengatakan negatif, subjek yang tergolong somatoformini sering berkunjung ke rumah
sakit untuk memastikan gejalanya.

Teori-teori Tentang Somatoform

1
Ciri utama dari gangguan somatoform adalah adanya keluhan gejala fisik yang
berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali-
kali terbukti hasilnya negative dan juga sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak
ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya.
Seandainya ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut tidak menjelaskan gejala
atau distress dan preokupasi yang dikemukakan pasien. Meskipun onset dan kelanjutan
dari gejala-gejala tadi mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa kehidupan yang
tidak menyenangkan ataupun konflik-konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya
untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis, bahkan meskipun ditemukan
gejala-gejalaanxietas dan depresi yang nyata. (Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik,1993:209)
Macam-macam gangguan Somatoform yaitu:
1. Gangguan nyeri (pain disorder)
Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat
atau lebih, yang tidak dapat dijelaskandengan pemeriksaan medis (non psikiatri) maupun
neurologis. Simtom ini menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional, dan
gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor psikologis. Keluhan
yangdirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan
emosi, kognitif, atensi, dan situasi. Dengan kata lain, factor psikologis mempengaruhi
kemunculan, bartahannya, dan tingkat keparahan gangguan. (Fausiah, Widury, 2005:26)
Pasien pain disorder kemungkinan tidak mampu untukbekerja dan menjadi tergantung
dengan obat pada pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan
konflik atau stress ataudapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang
tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya
tidak didapat.(Ardani,2011:95)
Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya
gangguan tersebut. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik
personal maupun medis untuk yang bersangkutan. (Departemen Kesehatan. Direktorat
Jenderal Pelayanan Medic,1993:219)

2. Gangguan somatisasi
Definisi

2
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang
tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya
keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan
neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun
dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang
bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis
yang berlebihan.

Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 – 0,2 %,
walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin
mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1
– 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya
gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun).
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali bersama-sama
dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang
seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan
diri sendiri dan obsesif kompulsif.

Etiologi
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat
faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni:

a. Faktor Psikososial

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang mempunyai
tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan
interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari
kewajiban (sebagai contoh: mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai),
mengekspresikan emosi (sebagai contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk
mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh: nyeri pada usus
seseorang). Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang
tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga
etnik mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.

3
b. Faktor Biologis

Ditemukan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu


di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi
abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan
pada gangguan somatisasi.

c. Faktor Genetika

Data genetik menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa keluarga, transmisi


gangguan somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung
berjalan dalam keluarga dan terjadi pada 10 sampai 20 persen dari tingkat pertama
kerabat perempuan dari pasien dengan gangguan somatisasi. Di dalam keluarga,
tingkat pertama kerabat laki-laki rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan
kepribadian antisosial. Satu studi juga melaporkan tingkat kesesuaian 29 persen pada
kembar monozigot dan 10 persen pada anak kembar dizigotik, suatu indikasi efek
genetik.

Para kerabat laki-laki wanita dengan gangguan somatisasi menunjukkan


peningkatan risiko gangguan kepribadian antisosial dan kelainan terkait penggunaan
narkoba. Memiliki orang tua kandung atau angkat dengan salah satu dari ketiga
gangguan meningkatkan risiko mengembangkan gangguan kepribadian antisosial,
gangguan terkait penggunaan narkoba, atau gangguan somatisasi.

Gambaran klinis
Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-
macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung
beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Kebanyakan pasien mempunyai
riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik ke pelayanan kesehatan
dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif.
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatic dan riwayat
medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah (selain selama kehamilan), kesulitan
menelan, nyeri di lengan dan tungkai, nafas pendek tidak berkaitan dengan olahraga,
amnesia, dan komplikasi kehamilan serta menstruasi adalah gejala yang paling lazim
ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka telah sakit selama sebagian besar hidup
mereka.
4
Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal adalah menonjol, dan sering sekali
terdapat anxietas dan depresi yang nyata sehingga memerlukan terapi khusus. Pasien
biasanya tetapi tidak selalu menggambarkan keluhannya dengan cara yang dramatik,
emosional, dan berlebih-lebihan, dengan bahasa yang gamblang dan bermacam-macam.
Pasien wanita dengan gangguan somatisasi mungkin berpakaian eksibisionistik. Pasien
mungkin merasa tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus akan pujian atau sanjungan
dan manipulatif.

Diagnosis
a. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III)
1) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan
fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2) Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya.

b. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM)

Kriteria Diagnosis menurut DSM-IV-TR

Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan


gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:

1) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan
atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
2) Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan dari gangguan:
 Empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau
fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas,
dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama
buang air kecil)

5
 Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain
nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau
intoleransi beberapa makanan berbeda)
 Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif
selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak
teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
 Satu gejala pseudoneurologik : sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit
pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada
gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi rasa
sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti
amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan)

3) Baik (1) atau (2) :


 Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat
sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan
efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan obat, pengobatan)
 Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya
sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan
berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
4) Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau malingering).
Kriteria Diagnosis Menurut DSM-V (300.82)

1) Satu atau lebih gejala somatic kesukaran atau hasil dari gangguan signifikan
dalam kehidupan sehari-hari.
2) Pikiran, perasaan, perilaku atau kebiasaan yang berlebihan atau terlalu banyak
terkait dengan gejala somatic atau terkait masalah kesehatan seperti yang
diwujudkan paling tidak satu dari dibawah ini :
 Pikiran yang tidak seimbang dan terus-menerus tentang keseriusan dari suatu
gejala.
 Kecemasan yang menetap dalam level tinggi tentang kesehatan atau gejala-
gejala.
6
 Waktu dan energy berlebihan yang dicurahkan untuk gejala-gejala tersebut
atau kekhawatiran tentang kesehatan.
3) Meskipun beberapa gejala somatic tidak muncul berkelanjutan, keadaan saat
mengalami gejala muncul menetap (biasanya lebih dari 6 bulan).

Penatalaksanaan
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang
dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa
pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval satu bulan.
Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus
mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan
medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik,
karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai
sejauh mana.
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran
pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit.
Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan psikoterapetik,
pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari
dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Spesifik terapi dengan cognitive-behavior approach adalah efektif dan sering digunakan
dalam membantu pasien untuk melihat gejala-gejala fisik yang dialaminya dan
memahami keadaan gangguan yang dihadapinya.
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai
dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata,
gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya. Obat anti
depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala somatik termasuk rasa sakit dan insomnia.

Diagnosis banding

Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang dapat


menjelaskan gejala pasien. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia
gravis, lupus eritematosus sistemik kronis. Selain itu juga harus dibedakan dari gangguan
depresi berat, gangguan kecemasan (anxietas), gangguan hipokondrik dan skizofrenia
dengan gangguan waham somatik.

7
Diantara semua gangguan somatoform, hipokondriasis, gangguan konversi, dan
gangguan somatisasi nyeri, pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan salah
bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan pasien dengan gangguan
somatisasi mengkhawatiran banyak gejala. Gejala gangguan konversi terbatas pada satu
atau dua system neurologis bukannya gejala gangguan somatisasi yang sangat beragam.
Gangguan nyeri terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.

Perjalanan penyakit dan prognosis

Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi,


menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari
perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan.

Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru


diperkirakan berlangsung 6 – 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang
simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan
gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu perhatian medis.

Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan
eksaserbasi gejala somatik. Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang sampai
buruk.

3. Body Dysmorphic Disorder


Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata
(misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan
tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Perempuan lebih cenderung untuk
memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki. Sedangkan pria lebih terfokus pada
tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh. (Fausiah, Widury,2005:27)
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai
kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan
di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Beberapa
individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam
setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Beberapa
bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang
dibayangkannya. Factor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana

8
seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
(Ardani,2011:96)
4. Hipokondriasis
Kata “hipokondriasis” berasal dari istilah medis lama ”hypochondrium”, yang berarti di
bawah tulang rusuk, dan mereflesikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan
pasien hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak realistis
dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi. Sehingga mengarah pada preokupasi dan
ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah, bahkan meskipun tidakada
penyebab medis yang ditemukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang
serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan
kebalikannya. (Fausiah, Widury,2005:28)
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut.
Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali
menggunakan pelayanan kesehatan, bahkan terkadang mereka menganggap dokter mereka
tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, kring, 2004).
Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum
dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang
kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayaan mereka.
Hypochondriasisseringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
(Ardani, 2010 : 96)
Tanda dan gejala penyakit Hipokrondria termasuk :
a. Ketakutan atau kecemasan yang berlebihan mengalami penyakit tertentu
b. Khawatir bahwa gejala minor berarti memiliki penyakit yang serius. normal
sebenarnya biasa dan oleh pasien seringkali ditafsirkan sebagai abnormal dan tidak
mengenakkan, dan perhatiannya biasanya hanya terfokus pada satu atau dua organ atau
system tubuhnya. (Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993 :
213)
5. Gangguan Konversi
Gangguan konversi menurut DSM IV (Kaplan, sadock,& Grebb) adalah gangguan
dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurologis yang ada. (fausiah,
widury,2005: 29) Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya
penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan
dengan rusaknya system saraf, padahal organ tubuh dan system saraf individu tersebut

9
baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukan dengan fakta bahwa
biasanya gangguan inimuncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa,
dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.
Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis 1 lainnya seperti depresi
dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian.
(Ardani,2011:96)

ANMAL

1B. Apa mekanisme dari keluhan-keluhan di atas terkait kasus?

Jawab:

Menurut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR keluhan pasien harus
memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorik sehingga sulit untuk mencari mekanisme pasti dari keluhan, namun untuk
penyebabnya kemungkinan karena faktor psikososial pasien yang terganggu.

5A. Apa makna klinis dari pemeriksaan fisik?

Jawab:

Menurut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR keluhan pasien harus
memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik. Jadi pemeriksaan fisik menjadi penunjang untuk menegakan diagnosis
dari kasus.

6B. Bagaimana mekanisme abnormal pada status psikiatrikus?

7C. Apa indikasi dari pemeriksaan penunjang?

Jawab:

HDRS digunakan untuk mengukur tingkat keparahan depresi seseorang

HARS digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan seseorang

10
1. DD

Jawab : ada di LI

5. Epidemiologi

Jawab: Ada di LI

11. Komplikasi

Daftar pustaka

1. Sadock BJ. Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10 th ed. Lippincott
Williams and Wilkins: Philadelphia. 2007
2. Mansjoer, A.A., dkk: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi ke-3, Media Aesculapius
FK-UI, Jakarta, 1999.
3. Maulany RF. Setio M: Buku Saku Psikiatri, Edisi I, Jakarta; EGC, 1997, hal 224-226
4. Maslim, R.: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III,
Jakarta, 2001.
5. Duran VM, Barlow D. Abnormal Psychology 5th ed. Wadsworth Cengage Learning: USA.
2005.
6. http://etheses.uin-malang.ac.id/2208/6/08410097_Bab_2.pdfhttp://etheses.uin-
malang.ac.id/2208/6/08410097_Bab_2.pdf, diakses pada 25 oktober 2017

11

Anda mungkin juga menyukai