Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA LAPORAN TUTORIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN 22 Februari 2019


UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

TUTORIAL KLINIK

Disusun Oleh :
Moh. Hasdinullah 13 18 777 14 315
I Wayan Kristian 13 18 777 14 288
Ayu Fera Fitriani 13 18 777 14 323
Sakinah Sidik Badjeber 13 18 777 14 317
Ade Mayuni 13 18 777 14 313
Claudia S.P Kota Siku 13 17 777 14 219

Pembimbing : dr. Patmawati P, M.Kes, Sp.KJ

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIANILMU KEDOKTERAN JIWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2019
Laporan Kasus
Identitas Pasien
• Nama : Tn. R
• Umur : 19 tahun
• Jenis Kelamin : Pria
• Alamat : Desa Umpanga, Bungku Barat
• Agama : Islam
• Status Perkawinan : Belum menikah
• Pendidikan terakhir : SMP
• Tanggal Pemeriksaan : 12 Februari 2019
• Tempat Pemeriksaan : Ruangan Sawo RSD Madani

I. Riwayat Penyakit
a. KeluhanUtama : Mengamuk
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan dan gejala:
Pasien dibawa oleh ayahnya ke RSD Madani dengan keluhan
sering gelisah dan mengamuk menendang-nendang pintu, memecahkan
piring dan merusak alat alat dirumah. Pasien mendengarkan bisikan-
bisikan berupa suara perempuan dan laki-laki, pasien juga mengaku
melihat bayangan berubah kembarannya ayah dan kakanya. Bisikan-
bisikan seperti ini sudah dirasakan sejak pasien berusia 14 tahun.
Menurut pengakuan pasien bisikan - bisikan tersebut memerintahkan
dirinya untuk mengikuti perintah seperti “menghancurkan dunia,
mengikut ke surga dan terkadang berupa ancamam pasien akan dibunuh.
Namun terkadang bayangan itu membisikkan dengan kalimat “kamu
jangan takut, saya akan menemanimu sampai kau sembuh”.
Bisikan seperti ini terjadi setiap malam. Pasien mengatakan
bisikan-bisikan ini membuat pasien sulit tidur dan selalu merasa gelisah.
Pasien sering merasa dirinya dapat berubah menjadi kuat seperti hewan
yaitu kingkong, banteng, dan kuda, pasien juga merasa dirinya menjadi
dewa, Pasien sadar kalau dirinya sedang sakit, ketika ditanya sedang
sakit apa, dia merasa kalau yang sakit adalah hatinya. Pasien juga
berkeinginan untuk sembuh dan berobat ke Madani. Nafsu makan pasien
biasa. Menurut pangakuan pasien ketika berumur 14 tahun pasien sering
mengonsumsi “tembakau” yang diperoleh dari kakenya.
Menurut keluarga pasien, pada saat usia 14 tahun pasien menabrak
orang hingga orang (korban) tersebut mengalami patah kaki dan keluarga
dari korban meyekap pasien dengan mengurung pasien dalam ruangan
gudang dan selalu mengancam pasien akan dibunuh menggunakan
parang. Sejak setelah penyekapan itu pasien gemetar, selalu merasa
ketakutan dan tidak mau bicara. Ketika kembali ke sekolah 3 bulan pasca
penyekapan berdasarkan keterangan guru pasien, pasien mulai berbicara
sendiri, sering menyendiri, dan mulai mengamuk. Ibu pasien membawa
pasien berobat ke dukun hingga ke dokter. Pasien rutin minum obat dari
dokter namun karena kendala biaya yang tidak mampu untuk berobat dan
jaminan kesehatan pada saat itu tidak berlaku lagi sehingga pasien putus
obat selama 1 bulan. Pada saat pasien putus obat pasien mulai
mengamuk. Setiap orang yang datang bertamu dirumahnya, selalu
mendapat amukan dari pasien.
Menurut pasien dan sesuai dari keterangan keluarga, pasien
pertama kali merokok sejak usia 4 tahun awalnya ditawarkan oleh
kakeknya, namun pasien tidak mau merokok lagi. Pasien juga mulai
merokok sejak timbul mengamuk. Pasien mengaku minum obat batuk
tablet kecil berwarna putih yang dicampurkan dengan extrajoss. Obat
yang digunakan 1 kali dikonsumsi. Pasien mengatakan merasa mulai
mabuk pada saat meminumnya.
Hendaya/disfungsi :
• Hendaya Sosial (-)
• Hendaya Pekerjaan (-)
• Hendaya Penggunaan Waktu Senggang (-)

Faktor Stressor Psikososial


Riwayat disekap dan diancam ketika berusia 14 tahun

Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit sebelumnya.


Pernah dirawat di rumah sakit di sengkang tahun 2014 karena mengamuk

c. Riwayat gangguan Sebelumnya


• Riwayat Penyakit terdahulu
Kejang (-),
penyakit infeksi (-),
Riwayat DM (-),
Hipertensi (-).
• Riwayat penggunaan NAPZA (+)
Pasien pertamakali merokok ketika berusia 4 tahun yang didapat dari
kakeknya dan masih merokok hingga sekarang.

d. Riwayat Kehidupan pribadi


• Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir pada tanggal 25 Januari 2000 di Sompe, lahir normal, di
tolong bidan.
• Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur, tidak ada riwayat kejang,
trauma. Pasien mendapatkan kasih sayang cukup dari orang tua.
• Riwayat Masa Pertengahan (4-11 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan perkembangan
baik. Pasien masuk sekolah dasar di Samarinda. Pertumbuhan dan
perkembangan sama dengan anak seusianya.
• Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja. ( 12-18 tahun)
Setelah SD pasien melanjutkan sekolah sampai SMP, tetapi pasien putus
sekolah karena pasien terkendala biaya untuk melanjutkan sekolah dan
pasien mulai mengalami gejala.

e. Riwayat Kehidupan Keluarga


Dalam keluarga tidak ada yang mengalami ganguan psikis. Hubungan pasien
dengan orang tua dan saudaranya tidak ada masalah.

f. Situasi Sekarang
Saat ini pasien tinggal dengan orang tua dan saudaranya. Pasien tidak bekerja
maupun sekolah, Kondisi ekonomi keluarga kurang. Pasien merupakan anak
ke 2 dari 6 bersaudara, dan saat ini pasien dirawat di ruangan Srikaya RSD
Madani.

g. Persepsi Pasien Tentang Diri Dan Kehidupannya


Pasien merasa perlu mendapatkan pertolongan medis.
Apabila pasien sembuh, pasien mengaku akan mecari pekerjaan dan
berkeinginan untuk menikah

II. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


a. Deskripsi Umum
1. Penampilan: Tampak seorang pria umur 19 tahun, rapi, wajah sesuai
umur, memakai kaos kuning dan celana trening berwarna merah. Tinggi
badan 170 cm berkulit putih.
2. Kesadaran: Compos mentis GCS (E4V5M6)
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : tampak tenang saat sedang
wawancara
4. Pembicaraan : spontan, intonasi biasa, menjawab sesuai dengan
pertanyaan
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

b. Keadaan Afektif
Mood : eutimia
Afek : luas
Keserasian : serasi
Empati : tidak dapat dirasakan

c. Fungsi Intelektual (kognitif)


1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan : Sesuai umur
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi : Baik
4. Daya ingat
• Jangka Pendek : Baik
• Jangka Panjang : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Baik

d. Gangguan Persepsi
- Halusinasi : Visual, pasien terkadang melihat ayah,
kaka dan kembaranya sendiri. Audiotorik, pasien mangakuu
mendengar bsikan berupa “menghancurkan dunia” “ayo pergi ke
surge” dan “kamu jangan takut, saya akan menemanimu sampai kau
sembuh”
- Ilusi : Tidak ada
- Depersonalisasi : Tidak ada
- Derealisasi : Tidak ada
e. Proses Berpikir
1. Arus pikiran :
A. Produktivitas : banyak ide
B. Kontinuitas : relevan
C. Hendaya berbahasa : tidak ada

2. Isi Pikiran
A. Preokupasi : mengambil parang
B. Gangguan isi pikiran : waham paranoid, mengaku dirinya sebagai
kingkong, dewa dan mengaku ada yang mau membunuhnya

f. Pengendalian Impuls
Selama wawancara, impuls pasien dapat di dikendalikan dengan baik.

g. Daya nilai
• Norma sosial : Baik
• Uji daya nilai : Baik
• Penilaian Realitas : Terganggu

h. Tilikan (insight)
• Derajat 4 : Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun
tidak memahami penyebab sakitnya.

i. Taraf dapat dipercaya


• Dapat dipercaya
III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan Fisik :
Status Internus
 Tekanan Darah : 100/70 mmHg
 Denyut Nadi : 86 kali/menit
 Suhu : 36,7°C
 Pernapasan : 21 kali/menit
 Anemis : (-)/(-)
 Ikterus : (-)/(-)
 Sianosis : (-)/(-)
 Thorax
o Inspeksi : Respirasi dada simetris/bilateral
o Palpasi : Massa (-), Pergerakan dada bilateral
o Perkusi : Paru (Sonor), Batas jantung normal, bunyi pekak
o Auskultasi : Paru (Vesicular) dan Jantung (S1 dan S2, bunyi
tambahan (-)
 Abdomen
o Inspeksi : Massa (-), dalam batas normal
o Auskultasi : Peristaltik usus (+)
o Perkusi : Bunyi timpani di 4 kuadran, Pembesaran hepar (-),
lien (-)
o Palpasi : Nyeri tekan (-)
TUTORIAL
A. Skenario
Pasien dibawa oleh ayahnya ke RSD Madani dengan keluhan sering
gelisah dan mengamuk menendang-nendang pintu, memecahkan piring dan
merusak alat alat dirumah. Pasien mendengarkan bisikan-bisikan berupa suara
perempuan dan laki-laki, pasien juga mengaku melihat bayangan berubah
kembarannya. Bisikan-bisikan seperti ini sudah dirasakan sejak pasien berusia 14
tahun. Menurut pengakuan pasien bisikan - bisikan tersebut memerintahkan
dirinya untuk mengikuti perintah seperti “menghancurkan dunia, mengikut ke
surga dan terkadang berupa ancamam pasien akan dibunuh. Namun terkadang
bayangan itu membisikkan dengan kalimat “kamu jangan takut, saya akan
menemanimu sampai kau sembuh”.
Bisikan seperti ini terjadi setiap malam. Pasien mengatakan bisikan-
bisikan ini membuat pasien sulit tidur dan selalu merasa gelisah. Pasien sering
merasa dirinya dapat berubah menjadi kuat seperti kingkong pasien juga merasa
dirinya menjadi dewa, Pasien sadar kalau dirinya sedang sakit, ketika ditanya
sedang sakit apa, dia merasa kalau yang sakit adalah hatinya. Pasien juga
berkeinginan untuk sembuh dan berobat ke Madani. Nafsu makan pasien biasa.
Menurut pangakuan pasien ketika berumur 14 tahun pasien sering mengonsumsi
“tembakau” yang diperoleh dari kakenya.
Menurut keluarga pasien, pada saat usia 14 tahun pasien menabrak orang
hingga orang (korban) tersebut mengalami patah kaki dan keluarga dari korban
meyekap pasien dengan mengurung pasien dalam ruangan gudang dan selalu
mengancam pasien akan dibunuh menggunakan parang. Sejak setelah penyekapan
itu pasien gemetar, selalu merasa ketakutan dan tidak mau bicara. Ketika kembali
ke sekolah 3 bulan pasca penyekapan berdasarkan keterangan guru pasien, pasien
mulai berbicara sendiri, sering menyendiri, dan mulai mengamuk. Ibu pasien
membawa pasien berobat ke dukun hingga ke dokter. Pasien rutin minum obat
dari dokter namun karena kendala biaya yang tidak mampu untuk berobat dan
jaminan kesehatan pada saat itu tidak berlaku lagi sehingga pasien putus obat
selama 1 bulan. Pada saat pasien putus obat pasien mulai mengamuk. Setiap orang
yang datang bertamu dirumahnya, selalu mendapat amukan dari pasien.
Menurut pasien dan sesuai dari keterangan keluarga, pasien pertama kali
merokok sejak usia 4 tahun awalnya ditawarkan oleh kakeknya, namun pasien
tidak mau merokok lagi. Pasien juga mulai merokok sejak timbul mengamuk.
Pasien mengaku minum obat batuk tablet kecil berwarna putih yang dicampurkan
dengan extrajoss. Obat yang digunakan 1 kali dikonsumsi. Pasien mengatakan
merasa mulai mabuk pada saat meminumnya.

B. Kata Kunci
1. Laki-laki 19 tahun
2. Sering gelisah dan mengamuk
3. Mendengar bisikan, bisikan terdengar setiap saat
4. Melihat bayangan dan terlihat 1000 bayangan
5. Bayangan dapat masuk ke dalam tubuh
6. Hal ini membuat pasien mengalami sulit tidur
7. Pasien merasa dirinya dapat berubah-ubah
8. Pasien sadar dirinya sakit
9. Pasien berkeinginan sembuh
10. Riwayat menabrak orang
Riwayat di sekap dan diancam akan dibunuh yang dialami ± 5 jam
Pasca penyekapan, pasien mengalami ketakutan dan tidak mau bicara
13. 3 bulan setelahnya, pasien bicara sendiri, suka menyendiri, suka marah-
marah, dan mulai mengamuk
14. Riwayat berobat ke dukun dan dokter
15. Riwayat minum obat jiwa (+) namun putus obat selama 1 bulan karena
kendala biaya.
16. Riwayat merokok (+) hanya pada saat pasien mengamuk.
17. Jika ada yang memarahi pasien atau membawakan parang, lingkungan
yang ribut, dan jika merasa lapar.
18. Pernah di rawat di RS Sengkang pada tahun 2014 akibat mengamuk
C. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa dan kriteria dikatakan
gangguan jiwa ?

2. bagaimana menentukan diagnosis multiaksial dari kasus?


3. Bagaimana rencana terapi pada kasus ini ?
4. Apa prognosis dari kasus ini ?
5. Apa DD pada kasus ini
6. Bagaimana mekanisme kerja dari obat psikotik tipikal dan atipikal?
7. Bagaimana mekanisme kerja dari tembakau hingga munculnya gejala pada
kasus ?

D. Jawaban
1. Gangguan jiwa merupakan terjadinya gejala klinis bermakna berupa perubahan
perilaku dan pola psikolgi yang menimbulkan penderitaan (distress) antara
lain berupa rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, dan disfungsi
organ tubuh serta menimbulkan terjadinya disability dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll)

2. Diagnosa multiaksial
 Aksis I
Berdasarkan autoanamnesa dan allonamnesadi dapatkan adanya gejala klinis
yang bermakna berupa mengamuk. Keadaan ini akan menimbulkan distress dan
disabilitas dalam pekerjaan dan penggunaan waktu senggang, yaitu pasien
berhenti bekerja dan sekolah sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Gangguan Jiwa.

Dari pemeriksaan status mental, didapatkan waham curiga yaitu pasien


merasa ingin dibunuh dan waham kebesaran yaitu merasa kuat seperti kingkong
dan dewa. Pasien juga mengalami halusinasi berupa halusinasi visual dan
halusinasi auditorik. Halusinasi visual seperti melihat bayangan, pasien mangaku
melihat bayangan kembarnya, bapaknya dan kakanya, Sedangkan halusinasi
auditorik berupa mendengarkan “menghancurkan dunia”, “ayo kita ke surga” dan
“kamu jangan takut, saya akan menemanimu sampai kau sembuh”, sehingga
didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa Psikotik

Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status interna dan


neurologis tidak ditemukan adanya kelainan yang mengindikasi gangguan medis
umum yang menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat mengakibatkan
gangguan jiwa yang diderita pasien ini, sehingga diagnosa gangguan mental
organik dapat disingkirkan dan didiagnosa Gangguan Jiwa Psikotik Non
Organik.

Dari autoanamnesi didapatkan bahwa pasien selalu bicara terus, gaduh


gelisah, memiliki halusinasi visual dan auditorik serta waham kejar dan
kebesaran, sehingga menurut PPDGJ III memenuhi untuk menegakkan kasus
diagnosis Skizofrenia paranoid (F20.0)

 Aksis II

Gangguan kepribadian tidak ditemukan

 Aksis III

Tidak terdiagnosa

 Aksis IV

Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial yakni pasien memiliki riwayat


disekap dan diancam

 Aksis V

GAF scale (50-41) gejala berat, disability berat.


3. Rencana Terapi pada pasien
• Farmakoterapi
Antipsikotik: Haloperidol 5 mg ( ½ – 0 – ½ )
Anti-parkinson: Trihexyphenidyl 0,5 mg (1-0-1)
Chlorpromazine 25 mg ( 0 – 0 – 1 )
• Psikoterapisuportif
– Ventilasi: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan isi hati dan keinginannya sehingga pasien merasa
lega
– Persuasi: Membujuk pasien agar selalu control dan minum obat
dengan rutin.
– Sugesti: Membangkitkan kepercayaan diri pasien bahwa dia dapat
sembuh (penyakit terkontrol).
– Edukasi terhadap keluarga: Memberikan penjelasan mengenai
gangguan yang dialami pasien agar keluarga lebih memaklumi
kondisi pasien.

4. Prognosis

Faktor pendukung : kepatuhan minum obat, , ada dukungan dari keluarga, tidak
ada riwayat keluarga yang mengalami gangguan jiwa, tidak ada riwayat penyakit
fisik, gejala positif.

Faktor penghambat : ekonomi (kendala biaya berobat), riwayat trauma secara


psikis.

Prognosis secara umum yaitu Dubia ad malam

5. Diferensial diagnosa pada kasus yakni :

 Kedaan paranoid involusional (F22.8)


 Paranoia (F22.0)
6. Mekanisme kerja obat psikotik tipikal dan atipikal
Obat anti psikosis ini dibedakan menjadi dua golongan, karena terjadi perbedaan
mekanisme kerja yang terjadi pada kedua obat ini. Obat tipikal hanya bekerja
sebagai Dopamine D2 receptor antagonis yaitu mem-blokade Dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di Otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
Ekstrapiramidal ). Sedanglan Obat yang atipikal, pada Dopamine D2 Receptor
dan Serotonin 5 HT2 Receptor.
Perbedaan yang terjadi tersebut menyebabkan jika Obat Anti-Psikosis Tipikal
lebih efektif untuk mengobati Gejala Positif saja dan Anti-Psikosis Atipikal
efektif mengobati Gejala Positif dan Negatif, karena pada atipikal selain bekerja
pada Dopamin D2 Receptor juga bekerja pada Serotonin 5 HT Receptor.

7. Efek samping dari terapi yang direncanakan dan penanganannya


ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)

Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok


reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering
disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik
konvensional atau tipikal. Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan
hanya sedikit berpengaruh pada gejala negatif.1,4

Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade


dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik
dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif
untuk gejala positif.

Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-


neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak.Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis.Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi.Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron -
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh.Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan.Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.4,5

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2


khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,4,5

Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,


dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Blokade reseptor D2 di
tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar
prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan.
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan
prolaktin.Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi.4,5

Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada


keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul.Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan.Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,5

A. Efek Samping Non Neurologis

1. Efek pada jantung

Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan


dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan
interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST.
Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai
dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes yang sangat mematikan.
Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena timbulnya takikardia
ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya
pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta
pemberian serum potassium dan magnesium.1

2. Hipotensi Ortostatik (Postural)

Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic


yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine.Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama
terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.

Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien


terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.Jika menggunakan antipsikotik potensi
rendah intramuscular (IM), tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan
setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari pertama terapi.Pemberian
epinefrin dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi.Metaraminol
dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.1,4,5

3. Efek Hematologis

Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat


pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada
hampir semua antipsikotik adalah agranulositosis.Agranulositosis adalah suatu
kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit
yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan,
selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit.Pada kebanyakan kasus, gejala ini
disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang
mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.Agranulositosis
paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5
dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.Jika pasien melaporkan
adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera
dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis.Jika indeks
darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan.Angka mortalitas dari
komplikasi setinggi 30%.1

4. Efek Antikolinergik Perifer

Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan


trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.Mulut kering merupakan efek
yang mengganggu beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan
terapi.Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan air dan tidak
mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal tersebut
dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies
gigi.Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat,
serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi
ileus paralitik.Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian
dengan obat yang kurang antikolinergik.Pilocarpine mungkin berguna pada
beberapa pasien dengan retensi urin.1,4,5
5. Efek Endokrin

Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular


menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita.Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat
dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan.Pada keadaan impotensi
sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin.Untuk gangguan pada orgasme
maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine
(Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin
(tofranil).Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan,
kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic
α1.Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling sering
terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya
akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia.
Peningkatan berat badan juga didapatkan karena adanya blok pada reseptor 5
HT2c.1,4,5

6. Efek Dermatologis

Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil


pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal
potensi rendah, khusunya chlorpromazine.Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria,
makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan.Erupsi terjadi pada
awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan
spontan.Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada
dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir
surya.Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-
kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari.1
7. Efek pada Mata

Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila


diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari.Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan
kesulitan penglihatan malam.Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan
walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.Chlorpromazine
berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit
granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior
yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama
hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat
kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien.4,5

8. Ikterus

Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative
jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal.Biasanya ikterus muncul
pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual,
muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan
bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati.Jika ikterus terjadi, maka
terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan
promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan
trifluoperazine.3

9. Overdosis Antipsikotik

Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis,


penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang
parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang.Terapi overdosis
antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika
memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan
diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis
antipsikotik atipikal.1
B. Efek Samping Neurologis

Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang


mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.Efek
neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.Pentingnya
mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang
memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan
pergerakan akibat medikasi.1,2

1. Parkinsonisme Akibat Neuroleptik

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien


yang diobati dengan antipsikotik tipikal.Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah
awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa
besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan
menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-
rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan
kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan
sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik
parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan
dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis
okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang.Wajah yang
mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia
(kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada
skizofrenia.1,3,5

Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat


neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan
gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas
antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus
nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik.1

Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat


antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine.Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan
parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi. Pemberian anti
Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan karena akan memperbuuk
gejala psikotiknya.1,3,5

2. Distonia Akut Akibat Neuroleptik

Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi


antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia
disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang
dapat menyebabkan gerakan involunter.Distonia dapat mengenai leher (tortikolis
atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan
dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan tubuh
(opistotonus).1,2

Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi.
Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di
ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun
diantara pemberian dosis.1,3,5 Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang
berhubungan biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan
gejala.Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif.1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan


yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini
dapat terjadi karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada
long acting.1

Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia,
mutisme, obtundasi, dan agitasi.Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat
dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah.Temuan laboratorium
adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati,
mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal
ginjal.1,3

Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan


suportif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari,
l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain,
pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6
jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200 mg/hari
dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x
pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM
membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3

4. Efek Epileptogenik

Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan


peningkatan sinkronisasi EEG.Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat potensi
tinggi. 1,3,4
5. Sedasi

Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine


tipe-1.Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan
sedasi.Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur biasanya
menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek merugikan tersebut
dapat terjadi. 1,2

6. Efek Antikolinergik Sentral

Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi


terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi
pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents
seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal
ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik.1,3

ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)


atau antipsikotik atipikal.APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak.Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi
gejala negatif.Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2).APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone,
aripiprazole.Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia.1,3,4

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

1. Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade


terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal.Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I
karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A
dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya
lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,4,5

2. Mesolimbik Pathways

APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan


antagonis D2 di jalur tersebut.jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal
ini yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,4

3. Tuberoinfundibular Pathways

APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat


mengalahkan antagonis reseptor D2.Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,4

4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis.Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal
reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada
wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada
dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.

2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti

yang terjadi pada pemberian APG II.

3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.

4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit


Alzheimer.1,4

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:

First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole

Second line: Clozapine.

Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang
minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan
menigkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan
fungsinya dalam masyarakat.3

RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food
and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine.Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya
terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian
risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1

Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan


APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine.Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada
penderita demensia misalnya demensiaAlzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP
2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP
3A4.Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin
yang setara dengan risperidone.Eksresi terutama melalui urin.Metabolisme
risperidone dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena
antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga
pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi
untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik.Metabolisme obat ini
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah.1,3,4
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.

- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,5

Dosis :

- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.

- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.

- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.


- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc

- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika
belum terlihat respon perlu penilaian ulang.

- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3

Efek samping: 1,3

- EPS

- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea,


disfungsi seksual)

- Sindroma neuroleptik malignan

- Peningkatan berat badan

- Sedasi

- Pusing

- Konstipasi

- Takikardi

CLOZAPINE

Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS,


tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan
dari prolaktin.Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten
dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila
dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik yang
lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik
yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness).Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat
ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3

Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada


pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah
pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga
pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine
dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah.Umunya afinitas dari
clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS.1,3,5

Dosis :1,3

- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.

- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan


pemberian terbagi.

- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.

- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg

Efek samping :1,3

- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis,


leukemia.

- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.

- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural hipotensi,


hipertensi.

Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.

- Gangguan fungsi Sumsum tulang.

- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.

- Koma.

- Depresi SSP.

- Ganguan jantung dan ginjal berat.

- Gangguan liver.

OLANZAPINE

Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan


Thienobenzodiazepine.Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3

Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas


yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin
(H1) dan α1 adrenergik.Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik
(M1-5) dan serotonin (5HT3).Berikatan lemah dengan reseptor GABAA,
benzodiazepin dan β-adrenergik.Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP
1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok dan
menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik
ciprofloxacin. 1

Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar


sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek
pada EPS Olanzapine
Indikasi :1,3

- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.


- Episode manik moderat dan severe.

- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.

Dosis :1,3

- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.

- Sedian tablet 5-10mg

- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.

- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.

- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.

Efek samping:

- Penigkatan berat badan

- Somnolen

- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1

- EPS dan kejang rendah

- Insiden tardive dyskinesia rendah

QUETIAPINE

Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),


reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
α2.Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood.Dapat
juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama
tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada
pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi
penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam,
setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1

Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg
tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah
somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan
hipertensi.1,3

ARIPIPRAZOLE

Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor
D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A.
Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan
signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik
karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari
dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan
dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole
dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan
reseptro dopamin. 3,4,5

Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan
CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole.Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip
dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole.Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari.Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma
ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya
diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan
dispepsia, mual dan muntah.3,4
Indikasi : Skizofrenia.

Dosis : dosis anjuran 10-15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg).
Pemberuannya dapat 10

atau 15 mg 1 x sehari.

Efek samping :

- Sakit kepala.

- Mual, muntah.

- Konstipasi.

- Ansietas, insomnia, somnolens.

- Akhatisia.

8. Tembakau bersifat stimulant dan depresan. Perokok pemula akan mengalami


euphoria, kepala terasa melayang, pusing, jantung berdebar dan frekuensi
pernapasan meningkat dan situasi tingling pada tangan dan kaki. Perokok
kronis akan kurang peka terhadap cita rasa dan pembauan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia.


Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab
13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
4. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999.Conventional Antipsychotic: the classical
neuroleptics;p.35-47.
5. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome
and their treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other
psychotic disorders; p.260-89
6. Gladys dkk, PUSAT REHABILITASI NAPZA DI TOMOHON
“MANIFESTASI PROSES TERAPI NAPZA DALAM ARSITEKTUR”,
2016, Menado

Anda mungkin juga menyukai