Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pendahuluan
Dengan kemajuan ilmu manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi,
pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Simgkatnya ilmu merupakan sarana
untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kemudian timbul pertanyaan, apakah
ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya,
pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian
dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri, seperti yang terjadi di Bali 6 tahun yang lalu dan menciptakan senjata kuman yang dipakai
sebagai alat untuk mrmbunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara
proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai, maka yaang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
B. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya
teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata
benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan
dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai
dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti sesuai atau wajar. 1[1]
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat
nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai
itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi
ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau
kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.
Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
1. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh.2[2]
2. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan
ilmu.3[3]
3. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer
mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih
sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang,
sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya
manusia dari sudut indah dan jelek.
5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.4[4]
C. Objek Kajian Filsafat Aksiologis
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia
dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya
bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat
ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena
itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan
objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang
juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasionaldapat memaksa orang untuk menerima
kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan
empiris.5[5]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan
utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?” (dalam
psikologi, lihat juga ”The New Science of Axiological Psychology” oleh Leon Pomeory). Dalam
konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”.
Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis,
persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut
etika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya
boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab
oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah
bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran
moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan
permasalahan yang pelik.6[6]
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para
hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan
seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem
objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai
corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama,
aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan
sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan
substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga,
aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur
integral objektif dan aktif dari kenyataan metafisik.7[7]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan
ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton,
Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan
hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu itu
terikat pada sistem nilai?.8[8]
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan.
Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut.
Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk
apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua
sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan
dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan azas-azas moral.9[9]
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut adalah
sebagai berikut:10[10]
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah
perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah
kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek
ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah
kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses
logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang
dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan
argumentasi an sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan
jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia,
dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan
pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya
dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena
azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam
menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-
1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh
Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya
harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses
perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku
manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya:
Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan
lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai etika.
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or
rules of behavior. atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi,
terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka
ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang
memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral
principles that govern or influence a person’s behavior. prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi
oleh perilaku pribadi. 11[11]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal
mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita
membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan.12[12] Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya
istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang
manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
D. Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana
makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.
Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi, sains dan
teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena
itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat
sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan
komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, disamping
lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah
yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai mana
adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana
dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka
dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa
juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam
sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis
maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah
terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral
golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: Ilmu secara factual telah
dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang
dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa
yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal
ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa
“pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka
bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita
tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu
tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.13[13]
E. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu
sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti
yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun
terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu
merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun
buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu
itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu
dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik,
maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya
diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup
gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung,
maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat
diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai
yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua
masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.14[14]
F. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung
pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai
menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang.15[15]
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara
peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan
harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama
dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya
berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada
nilai subjektif.16[16]
G. Beberapa Penjelasan Aksiologi
1. Ilmu dan Moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin
benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia mempunyai penalaran tinggi, lalu
makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh anlisis yang hakiki, atau sebaliknya makin
cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?. Masalah moral berkaitan dengan metafisika
keilmuan, maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah.
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang di telaah
dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates minum racun, John Huss dibakar sebagai
contoh betapa ilmuan memiliki landasan moral, jika tidak ilmuan sangat mudah tergelincir dalam
prostitusi intelektual.
2. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia adalah
warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat yang yang
lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam keberlangsungan hidup manusia.
Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan
keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri
netraldan para ilmuanlah yang memberikannya nilai.
3. Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuan secara moral tidak akam membiarkan hasil penemuannya dipergunakan
untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri.
Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap, berpihak pada
kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih.
Seperti halnya yang terjadi pada Albert Einstein diperintahkan untuk membuat bom atom oleh
pemerintah negaranya.
Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun juga bentuknya
dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari penemuannya itu.
Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi
tersusun atas kerangkan pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan
karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian
4. Revolusi Genetik
Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaah itu sendiri. Hal ini buka
berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad
manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah
organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan
bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaah yang akan menghasilkan
bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah
manusia itu sendiri. Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset
genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuruan manusia.17[17]
H. Kesimpulan
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan
aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari
atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.Contohnya :Membangun Filsafat
Teknologi Pendidikan perlu menelusuri dari aspek : Ontologi eksistensi (keberadaan) dan essensi
(keberartian) ilmu-lmu Teknologi Pendidikan.Epistemologi metode yang digunakan untuk
membuktikan kebenaran ilmu-ilmu Teknologi Pendidikan.Aksiologi manfaat dari ilmu
Teknologi Pendidikan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus
diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi
keilmuwan
Ilmu memiliki fungsi yang bersifat estetik, yang kalau kita konsumsikan dengan baik,
memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita tergetar, terharu, tersenyum oleh
komunikasi aristik, menyebabkan dunia makna yang tak terjangkau kasat mata. Jiwa kita
bertambah kaya, persepsi kita bertambah dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap dan
kelakuan kita.
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan
(value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang
mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada
keterikatan nilai? Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis
dan aksiologi, Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada
tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu
masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan
bencana.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian aksiologi?
2. Apa fungsi aksiologi ?
3. Apa saja pendekatan – pendekatan dalam aksiologi?
4. Apa kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu?
C. Tujuan
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu
(nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai,
parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan
kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga
menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam
praksis.18[1] Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika
2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat
kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak
baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh
manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari filsafat
yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong),
serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis.19[2]
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab
dengan tiga macam cara yaitu:
1. Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini,
nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya
tergantung dari pengalaman.
2. Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal.
3. Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
B. Fungsi Aksiologi
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan kebenaran yang hakiki.
2. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis, tidak mengubah kodrat manusia,
dan tidak merendahkan martabat manusia.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan keseimbangan alam lewat
pemanfaatan ilmu.20[3]
Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu :
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupaka
reaksi-reaksi yang diberkan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada
pengalaman-pengalaman mereka.
2. Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu.
Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-
kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu
melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan
dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.
Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima
oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya.
Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang
bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya
tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu
(nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992).
Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai.
Aksiologi membberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai.
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
nilai.
B. Saran
Seorang pendidik hendaknya tahu akan pentingya hakekat nilai yang akan diajarkan kepada
para anak didiknya, sehingga anak didik mengetahui etika keilmuan yang bermoral dalam ilmu
yang dipelajarinya.
Semoga makalah ini bisa menjadi bahan acuan dan semangat untuk mengkaji dan membuat
makalah yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh
karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.
http://zudi-pranata.blogspot.co.id/2014/01/filsafat-ilmu-aksiologi.html
BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam
kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniahnya (esoteris) ketimbang
aspek jasmaniahnya (eksoteris). Dalam aspek kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan
akhirat, ketimbang kehidupan dunia yang fana. Sedangkan dalam kaitannya pemahaman
keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterik. Tasawuf lebih menekankan
penafsiran batini ketimbang penafisran lahiriah.
Mengapa tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya ? Ini karena
para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, mempercayai keutamaan spirit ketimbang jasad,
mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Secara ontologis mereka percaya bahwa
dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari
segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu realitas sejati bersifat
spiritual, bukan seperti yang dibayangkan kaum materialis bahwa yang real adalah yang bersifat
material. Begitu nyata status ontologis “ Tuhan “ yang spiritual tersebut, sehingga para sufi
berkeyakinan bahwa Dialah satu-satunya Realitas Sejati; Dialah asal atau awwal dan sekaligus
tempat kembali. Hanya kepada-Nya lah para sufi mengorientasikan jiwa mereka, karena Dialah
buah kerinduan mereka, dan kepada-Nyalah mereka akan berpulang untuk selama-lamanya.
Dalam sejarah dan perkembangannnya, tasawuf di zaman Rasulullah SAW, secara teori
belum tampak, bahkan bisa kita katakan belum ada. Namum amalan-amalan yang kemudian
dilakukan oleh para sufi sampai saat ini semuanya berasal dari cara hidup Rasulullah, para sahabat
dan sampai para tabi’in.
Sebelum tasawuf muncul ke permukaan, yang muncul terlebih dahulu adalah “praktek
zuhud”. Zuhud inilah yang merupakan cikal bakal dari munculnya tasawuf. Pada perkembangan
selanjutnya yaitu pada abad ke 3 dab ke 4 H. mulailah kajian-kajian tentang tasawuf. Dalam kajian
tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Yaitu pertama cenderung pada kajian
tasawuf yang bersifat akhlak nyang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah ( tasawuf sunni ) dan
kedua, cenderung pada kajian tasawuf filsafat. Dimana pada tasawuf yang berlatang belakang
filasafat ini banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisik.
Dari sedikit latar belakang masalah di atas inilah penulis ingin mencoba membahas atau
mengkaji tentang tentang tasawuf, model tasawuf yang pertama yaitu : tasawuf sunni.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang penulis sampaikan pada makalah ini, kami
mencoba ingin membahas tentang
1. Ontologi tasawuf sunni
2. Epistemologi tasawuf sunni
3. Aksiologi tasawuf sunni.
4. Kesimpulan
Ada beberapa tujuan yang ingin kami dapatkan dalam penulisan makalah ini, di antaranya
aialah ;
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu.
2. Ingin mengetahui lebih mendalam keberadaan tasawuf, terutama tasawuf sunni.
3. Ingin mengetahui nilai apa yang terdapat pada dunia tasawuf, yang bisa membawa atau
mempengaruhi para pengikutnya begitu baik dan tunduk atas aturan-aturan yang telah ditentukan.
BAB II
Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu memiliki basis filosofis. Basis tersebut tidak
lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di alam semesta ini, yaitu Tuhan. Tuhan
adalah basis ontologis bagi segala sesuatu, yang tanpa-Nya , segala yang ada ini akan kehilangan
pijakannya. Para sufi menyebut prinsip ini sebagai Kebenaran ( al-Haqq ). Disebut al-Haqq,
karena Dialah satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, sementara yang
lain bersifat nisbi atau majazi.
Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai sebuah prinsip yang menyeluruh dan paripurna.
Daria sudut pandang waktu, Dialah asal dan tempat kembali segala yang ada. Dari sudut ruang,
Dia adalah yang Lahir dan yang Batin, yakni yang imanen dan yang transenden . Dan konsep
Realitas yang paripurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat al-Qur’an, tepatnya surah al-Hadid
ayat : 3 .
Artinya ; Dialah yang awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin.
Esensi dari sebuah sistem mistisime adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Dan perasaan
dekat ini dinyatakan dalam perasaan sufi akan kehadiran Tuhan di mana pun ia berada. Kehadiran
Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya. Tentang kedekatan
dan kehadiran Tuhan di mana-mana ini, para sufi menemukan basis-basisnya dalam al-Qur’an
sendiri, yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 115 .
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Artinya; Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku , maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang
berdoa. ( al-Baqarah ayat : 186)
Artinya; Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, ( Q. Surah Qaf ayat :
16.
Dalam hal cinta atau Mahabbah sebagai basis konseptual sufi adalah surah Ali Imran ayat
31, secara hipotetik menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik antara Tuhan dan
hamba-Nya.
Artinya; Katakanlah “ jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di samping al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga memberi basis yang sama-sama kuatnya terhadap
konsep-konsep tertentu para sufi. Di antaranya ialah hadits yang menyatakan “ barang siapa
mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Hadits ini talah diambil oleh para sufi
sebagai basis makrifat, yakni pengetahuan sejati yang diperoleh secara langsung dari sumbernya
sendiri.
Juga hadits qudsi yang artinya : maimunah r.a. berkata : Nabi SAW. Bersabda : Allah ta’ala
berfirman “ Tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti melaksanakan
fardhu-fardhu-Ku, dan sesungguhnya ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal
yang sunnah sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya Aku menjadi
kakinya yang dengannya ia berjalan, tangan yang dengannya ia memukul , lidah yang dengannya
ia berkata, dan hatinya yang dengannya ia berfikir. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku memberi dan
bila ia berdoa Aku menerima doanya. ( H.R. Ibn Assunni ).[11]
Kalau di atas telah kami sampaikan tentang ontologi tasawuf sunni, maka dalam sub
bab ini kami sampaikan tentang epistemologi tasawuf sunni. Sebagaimana kita ketahui bahwa
tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf falsafi dan tasawus sunni. Di mana kedua tasawuf ini
hingga kini masih eksis sampai saat ini.
Tasawuf monistik, yaitu tasawuf yang didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-hulul
dan al-ittihad, yang kini dikenal dengan tasawuf falsafi. Tasawuf ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh
besar seperti AbuYazid al-Bustami, al-Hallaj, Ibn Arabi, Ibn Masarra, Ibn Sab’in, Suhrawardi al-
Maqtul, Mulla Sadra, Sayid Haidar Amuli dan lainnya.[14]
Ajaran tasawuf yang seperti ini umumnya memadukan visi mistis dan rasional, Banyak
ungkapan dan terminologi filsafat digunakan dalam tasawuf ini. Percampuran ini tidak lepas dari
pertemuan ajaran-ajaran Yunani, Persia, India dan Kristen.Tasawuf yang demikian ini sangat
esoterik, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para penempuh jalannya. Kebanyakan sufi
aliran ini menguasai pemikiran filsafat Yunani seperti yang digagas oleh Socrates, Plato, dan
sebaginya.Tokoh-tokohnya antara lain, as-Suhrawardi, Ibn Masarra, Ibn Arabi ( yang
mengenalkan konsep pantheisme atau kesatuan wujud), Ibn Sab’in. Konsep penyatuan makhluk
dengan Tuhan ini juga tertuang dalam karya sastra para sufi. Di antaranya adalah dalam karya Ibn
al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya.[15]
Tasawuf Dualistik, yaitau tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi
Asy’ariyah dan Syari’ah, yang disebut dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni berusaha
mengintegrasikan dan mendamaikan tasawuf dengan syari’ah sejak pertengahan kedua abad ke-3
H atau ke-9 M. Di antara tokoh-tokoh itu ialah Abu Sa’id al-Kharraj, Abu al-Qasim Muhammad
al-Kalabadzi dan Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. Usaha-usaha membangun tasawuf yang
beraroma syari’at dan berbasis pada kalam sunni mencapai kematangan dan keberhasilan di tangan
Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H / 1111 M).[16]
Meskipun al-Ghazali dianggap sebagai pahlawan dan pendiri tasawuf sunni dan sangat
diagungkan oleh para penganutnya ahlusunah, al-Ghazali tidak mendpat legimitasidalam tarikat-
tarikat yang bertebaran dalam dunia ahlusunnah. Para anggota tarikat lebih mengagungkan para
syaikh dan para guru mereka.
Namun, tasawuf sunni sangatlah seragam, karena dalam kenyataannya muncul beragam
mazhab dan pola tasawuf. Tasawuf sunni setidak-tidaknya ada dua ragam: 1.
Tasawuf terlembagakan dengan pola pembaiatan (tarikat) yang juga disebut tasawuf amali. 2.
Tasawuf tidak terlembagakan yang cenderung longgar karena ia hanya berupa ajaran-ajaran moral,
seperti ajaran al-Ghazali dan al-Haddad yang juga sering disebut dengan tasawuf akhlaqi.[17]
Klasifikasi tasawuf falsafi dan tasawuf sunni ini, seakan-akan menghakimi bahwa tasawuf
yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah adalah yang benar, dan dengan demikian yang benar-
benar Islami adalah tasawuf sunni. Menurut klasifikasi ini, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah serta membawa bid’ah dan ajaran-ajaran sesat.
Dan karena itu, tidak sesuai ajaran Islam. Tentu saja para pendukung tasawuf falsafi menolak
tuduhan bahwa tasawuf mereka menyimpang dari al-qur’an dan sunnah.
Apapun yang telah terjadi, Mistisime dalam Islam apakah itu aliran Falsafi atau sunni,
yang merupakan lapis esoteris agama, dapat dijadikan sebagai titik temu dan ruang sejuk bagi
seluruh umat Islam, baik penganut tasawuf falsafi atau sunni.
3. Tajalli.
Tajalli adalah iluminasi ( pencerahan ) zat Tuhan ketika menampakkan diri dalam wujud
yang dapa di kenal. Menurut para sufi, tajalli Tuhan ini merupakan tingkatan pengalaman rohani
tertinggi, yang yang hanya dapat dicapai orang yang telah melampaui Takhalli dan Tahalli.
Setelah sedikit mengetahui keberadaan ontologi dan epistemolgi daripada taswauf sunni,
maka kiranya kita dapat sedikit punya gambaran tentang aksiologi dari tasawuf sunni.
Nilai-nila yang terkandung dalam tasawuf sunni diantaranya ialah dalam hal
beribadah harus betul-betul ikhlas, dan mencari ridha-Nya, harus menjadi contoh dan selalu
berada di depan sebagaimana shalat mengambil barisan yang pertama.
Dalam menata hati, tasawuf akan dapat mengantarkan hati yang kotor menjadi jernih dan
bersih, sehingga tiada lain segala bentuk ibadahnya akan mampu mengantarkan sufi menjadi
makrifatullah.
Tatacara mendekatkan diri kepada Allah, maka seorang sufi harus betul-betul mahabbah
atau cinta kepada Allah dengan cara melakukan seluruh yang wajib dan juga memperbanyak
ibadah sunnah. Karena bila sudah demikian apa yang ia lakukan semata-mata atas bimbingan dan
petunjuk Allah SWT.
Tasawuf yang benar, sejati dan lurus atau sufi yang telah melakukan ibadah dengan lurus
dan istiqomah, akan dapat mencapai sebagai tingkatan ihsan di atas dari dua tingkatan yang
lainnya yaitu tingkatan Islam dan Iman. Tingkatan Ihsan ialah yang ditunjukkan oleh hadits shahih
“ Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu
tidak melihat-Nya, namun sesungguhnya Dia melihatmu.[18]
Islam adalah penyerahan diri secara zahir, Iman adalah keyakinan batin. Sedangkan Ihsan
adalah pencapaian dua hakekat zahir dan batin. Hal itu karena ilmu semestinya diamalkan.
Sedangkan untuk mencapai kesempurnaan derajat Ihsan, amal itu semestinya dilakukan dengan
ikhlas. Ikhlas ialah seorang hamba dengan ilmu atau amalnya tidak dimaksudkan untuk yang lain,
tapi hanya bagi Allah Azza wa Jalla.
Bila seseorang dalam kehidupan dan bermasyarkat, tasawuf atau mistisisme selalu berada pada
dirinya, maka dalam keadaan bagaimanapun ia tidak akan beranai melanggar aturan Allah. Karena
kapanpun dalam kondisi apapun Allah selalu mengawasinya. Umat islam akan semakin mampu
meningkatkan etos kerja dengan baik manakala dalam kehidupan bekerja dengan sungguh-
sungguh dan mengamalkan tarekat atau tasawuf.
BAB III
KESIMPULAN
1. Tasawuf ialah, ajaran (cara) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara
berusaha keras menjauhi sifat-sifat buruk (tercela) dan larangan-larangan-Nya, selalu menghiasi
diri dengan akhlak yang terpuji dan dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
menjalankan perintah-perintah-Nya untuk mencari keridhaan-Nya, agar memperoleh hubungan
langsung secara sadar dengan-Nya. Atau bahasa mudah, singkat dan simpelnya adalah Taqwa.
2. Tokoh yang mengintegrasikan tasawuf dan syariah adalah al-Ghazali. Di dalam tasawuf sunni ada
dua ragam yaitu :
a. Tasawuf terlembagakan dengan pola pembaiatan (tarikat) yang juga disebut tasawuf amali.
b. Tasawuf tidak terlembagakan yang cenderung longgar karena ia hanya berupa ajaran-ajaran moral,
seperti ajaran al-Ghazali dan al-Haddad yang juga sering disebut dengan tasawuf akhlaqi.
3. Seorang sufi yang sudah istiqamah dalam beribadah akan mengantarkan dirinya yang ihsan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin Nata, Prof.Dr. H. Akhlak Tasawuf, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 1996.
----------Al-Qur’an dan terjemahnya
Ade Armando, dkk, Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar-6, Jakarta : P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam -6, Jakarta : P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Harun Nasution, Prof.DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-1, Jakarta : UI-Press, 1978.
Harun Nasution, Prof.DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-2, Jakarta : UI-Press, 1978.
Djamaluddin Ahmad al-Buny, Menyelami Samudra Bashirah Shufiyah Jejak Pengabdian Sufi Menapak
Jalan Ma’rifah, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002
Kharisudin Aqib, DR. M.Ag., Inabah “ Jalan Kembali “ dari Narkoba, Stres & Kehampaan Jiwa.
Surabaya : Bina Ilmu, 2005
Mustafa Zahri, Dr. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Suarabaya : Bina Ilmu, 1976
Mustafa, H.A. Akhlak Tasawuf, Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2005
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan &Kebatinan, Jakarta : Lentera, 2004.
Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’I Kritik atas Kritik, Jakarta : Penerbit Hikmah, 2003.
Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, Al-Ahaditsul Qudsiyah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Bandung : Hikmah , 2002
http://mbahshol.blogspot.co.id/2011/11/tasawuf-sunni-dalam-filsafat-ilmu.html