Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN

“Isolasi Flavonoid dari Ekstrak Metanol Kulit Buah Rambutan Aceh”


(Nephelium lappaceum L.)”

Disusun Oleh :
Kelompok 1B
Ketua Kelompok :
Sufyan Zainul Arifin (3311161058)
Anggota Kelompok :
Ghina Ramdhani (3311161046)
Ade Lhinita O. (3311161048)
Husni Hanifah (3311161051)
Uci Malinda (3311161061)
Adella Shindy P. (3311161063)
Nabilla Zhafira T. (3311161081)
Asisten : Ari Sri Windyaswari, S.Si, M.Si, Apt

LABORATORIUM FITOKIMIA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dimana
kita masih diberi kesehatan dan berada dalam ridho serta hidayahNya, sehingga
kami dapat menyelesaikan proposal tentang isolasi metabolit sekunder kulit buah
rambutan Aceh (Nephelium lappaceum). L).
Proposal ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan proposal ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan proposal ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki proposal ini.
Akhir kata kami berharap semoga proposal tentang isolasi metabolit sekunder d
kulit buah rambutan Aceh (Nephelium lappaceum). L) ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca.

Cimahi, Februari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I ........................................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 5
I.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 5
I.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 7
I.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 7
BAB II....................................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 8
II.1 Taksonomi................................................................................................................. 8
II.2 Morfologi Tumbuhan ................................................................................................ 8
II.3 Kandungan Kimia Buah Rambutan dan Manfaatnya................................................ 9
II.4 Metode Ekstraksi ...................................................................................................... 9
II.5 Flavonoid ................................................................................................................ 10
BAB III ................................................................................................................................... 17
METODOLOGI PERCOBAAN ............................................................................................. 17
III.1 Alat.......................................................................................................................... 17
III.2 Bahan ...................................................................................................................... 17
III.3 Prosedur .................................................................................................................. 18
III.3.1 Preparasi Sampel ............................................................................................. 18
III.3.2 Penapisan Fitokimia ........................................................................................ 18
III.3.3 Refluks ............................................................................................................ 19
III.3.4 Ekstraksi cair-cair ........................................................................................... 20
III.3.5 Kromatografi Cair Vakum .............................................................................. 20
III.3.6 Kromatografi Lapis Tipis ................................................................................ 21

3
III.3.7 Kromatografi Kolom ....................................................................................... 22
III.3.8 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif ............................................................... 23
III.3.9 Metode Identifikasi Spektrofotometri UV Visible .......................................... 24
III.3.10 Metode Identifikasi Spektrofotometri Inframerah ...................................... 24
LAMPIRAN............................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33

4
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tumbuh-tumbuhan dari berbagai jenis, banyak yang memproduksi zat-zat
aktif yang memiliki efek farmakologis. Pada umumnya, zat-zat aktif tersebut
tidak memiliki peran penting dalam metabolisme tumbuhan tersebut, maka dari
itu zat aktif tersebut disebut metabolit sekunder.
Metabolit sekunder telah lama diketahui sebagai sumber dari terapi medis
yang efektif, seperti antibakteri dan antikanker. Komponen ini juga terus menjadi
sumber dari berbagai obat esensial yang efektif. Dalam praktiknya dalam dunia
pengobatan tradisional, banyak masyarakat telah menggunakan banyak jenis
tanaman untuk pengobatan tradisional. Zat aktif dari tanaman juga telah menjadi
substitusi untuk pengobatan modern yang relatif mahal.
Zat aktif tanaman digolongkan menjadi empat jenis, yaitu fenol, alkaloid,
terpenoid, dan non-protein asam amino. Klasifikasi tersebut didasari dari struktur
dasar dan jalur biosintesis. Komponen-komponen tersebut memiliki berbagai
variasi dalam keanekaragaman kimia, distribusi serta fungsi kimianya. Golongan
fenol dikarakterisasi dengan adanya cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus
hidroksi. Golongan fenol memiliki banyak turunan, diantaranya flavonoid,
fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen quinon, melanin, lignin, dan
tannin, dimana zat-zat tersebut terdistribusi ke berbagai varietas tanaman
(Mailoa, dkk, 2013).
Tannin pada umumnya didefinisikan sebagai komponen polifenol dengan
bobot molekul yang tinggi dan dapat membentuk kompleks dengan protein.
Berdasarkan strukturnya, tannin dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu tannin
terkondensasi dan tannin terhidrolisis
Rambutan (Nephelium lappaceum. L) merupakan salah satu tanaman buah
yang banyak terdapat di Indonesia. Ada beberapa jenis rambutan yang dikenal

5
diantaranya adalah rambutan Aceh, Binjai, Garuda, Lebak bulus, Rapiah,
Simacan, Sinyonya, dan lain-lain (Anonim, 2006). Dari buah rambutan biasanya
yang dikonsumsi adalah daging buahnya, sedangkan kulit dan bijinya dibuang
begitu saja dan belum dimanfaatkan dengan baik.
Tjandra et al. (2011) melaporkan kulit buah rambutan mengandungan
senyawa steroid, terpenoid, fenolik, dan flavonoid dengan kandungan
senyawa fenolik yang dominan dan menunjukkan aktivitas antioksidan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat. Kulit buah rambutan telah
dilaporkan mengandung senyawa-senyawa golongan tanin, polifenol dan
saponin. Biji rambutan mengandung lemak dan polifenol. Daun mengandung
tanin dan saponin. Kulit batang mengandung tanin, polifenol dan flavonoid,
sehingga kulit buah rambutan secara empiris telah dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia di berbagai daerah sebagai obat penurun demam atau
antipiretik (Dalimartha, 2007).
Di sisi lain secara tradisional tanaman rambutan digunakan untuk
pengobatan berbagai penyakit. Kulit buah rambutan berkhasiat.untuk pengobatan
disentri dan demam, kulit kayu untuk obat sariawan, daun untuk obat diare dan
menghitamkan rambut, akar untuk obat demam serta bijinya untuk mengatasi
diabetes mellitus (Dalimartha, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang identifikasi kandungan fitokimia dari kulit rambutan Aceh.
Rambutan varietas Aceh berbeda dari rambutan varietas lainnya kulit buah
yang tebal namun mudah untuk dikupas, mudah didapat serta harga yang
terjangkau. Hal inilah yang dijadikan alasan dilkukannya percobaan dengan
sampel kulit buah rambutan varietas Aceh
Melihat kulit buah rambutan yang dominan mengandung senyawa fenolik.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Thitilertdecha dkk
tahun 2007, yang melaporkan sifat antioksidan dan antibakteri dari kulit dan biji
rambutan jenis yang tumbuh di Thailand. Kemudian pada tahun 2010,

6
Thitilertdecha dkk juga telah berhasil mengisolasi 3 senyawa golongan fenolik
dari ekstrak metanol kulit rambutan yang teridentifikasi sebagai Ellagic Acid
(EA), corilagin dan geraniin (Thitilertdecha, N., Teerawutgulrag, A., Jeremy D.
kliburn., Rakariyatman, N. 2010)
Komponen tannin merupakan polifenol yang larut dalam air dan pelarut
organik. Karena tannin termasuk ke dalam golongan fenol, tannin dapat bereaksi
dengan formaldehid membentuk kondensat polimerisasi yang dapat dijadikan
bahan perekat.
Salah satu faktor yang menentukan kualitas dari ekstrak zat aktif tanaman
adalah metode isolasi zat aktif yang digunakan, dan di dalam proposal ini akan
dipaparkan metode yang praktikan pilih untuk mendapatkan isolat berupa tannin
yang berasal dari kulit buah rambutan Aceh (Nephelium lappaceum. L)

I.2 Rumusan Masalah


a. Apa saja metode yang digunakan untuk mengisolasi flavonoid dari kulit
buah rambutan Aceh (Nephelium lappaceum. L)
b. Bagaimana proses isolasi flavonoid yang akan dilakukan?

I.3 Tujuan Penelitian


a. Mengisolasi zat aktif flavonoid dari kulit buah rambutan Aceh
(Nephelium lappaceum). L).
b. Mengetahui metode terbaik untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi
flavonoid dari kulit buah rambutan Aceh (Nephelium lappaceum. L).

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Genus : Nephelium
Spesies : Nephelium lappaceum

II.2 Morfologi Tumbuhan


Menurut Prihatman (2000), rambutan termasuk tanaman tropis yang berasal
dari Indonesia dan telah menyebar ke daerah beriklim tropis lainnya seperti
Filipina, Malaysia dan negara-negara Amerika Latin. Pertumbuhan rambutan
sangat dipengaruhi oleh iklim, terutama ketersediaan air dan suhu. Intensitas
curah hujan berkisar antara 1.500 – 2.500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.
Suhu optimal bagi pertumbuhan rambutan adalah 25 C pada siang hari. Intensitas
cahaya matahari sangat berperan penting, karena berkaitan erat dan
mempengaruhi suhu lingkungan. Kelembaban udara yang dibutuhkan oleh
rambutan tergolong rendah, karena pada kelembaban udara yang rendah, udara
akan menjadi kering kering sedikit uap air, dan kondisi tersebut cocok unutk
pertumbuhan rambutan. Rambutan merupakan tanaman tahunan. Secara alami,
pohon rambutan dapat mencapai ketinggian 5-9 meter. Batang rambutan berkayu
keras, tumbuhan kokoh dan berwarna kecoklatan. Percabangan tumbuh secara
horizontal, namun kadang sedikit miring keatas. Daun rambutan berbentuk bulat

8
panjang dengan ujung tumpul atau meruncing, pada umumnya berwarna hijau
muda sampai hijau tua (Rukmana, 2002).
Menurut Setiawan (2003), rambutan mempunyai tinggi antara 15-25 m,
ranting bercabang-cabang, dan daunnya berwarna hijau. Buah bentuknya bulat
lonjong, panjang 3-5 cm dengan duri temple (rambut) lemas sampai kaku. Kulit
buah berwarna hijau, dan menjadi kuning atau merah kalau sudah masak.
Dinding buah tebal. Biji berbentuk elips, terbungkus daging buah berwarna putih
transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung air. Rasanya bervariasi
dari masam sampai manis dan kulit biji tipis berkayu.

II.3 Kandungan Kimia Buah Rambutan dan Manfaatnya


Rambutan memiliki berbagai macam aktivitas farmakologis sebagai
antidiabetes, antihiperkolesterol, antimikroba, antioksidan, antihiperurisema, dan
antikanker. Senyawa aktif yang umumnya bertanggungjawab terhadap aktivitas
farmakologi yaitu kuersetin, geranin, flavonoid, dan saponin (Sadino, 2017).
Berdasarkan penelitian Kusumaningrum (2012), kulit buah rambutan mempunyai
kandungan senyawa tanin dan saponin yang merupakan metabolit yang paling
banyak. Thitilertdecha dkk. (2008), kulit rambutan mengandung senyawa
golongan tanin, polifenol dan saponin. Bijinyapun mengandung tanin, fenol dan
flavonoid (Yuda dkk., 2015). Serta daun mengandung saponin, terpenoid,
flavonoid, fenolik, dan tanin (Pratiwi, 2015).

II.4 Metode Ekstraksi


Ekstraksi adalah penyarian metabolit sekunder dari tanaman obat. Tujuan
ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam
simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat
ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka,
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Sudjadi, 1986). Metode ekstraksi
yang digunakan pada praktikum ini adalah refluks. Refluks merupakan ekstraksi

9
dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik. Ekstraksi refluks
digunakan untuk mengekstraksi bahan-bahan yang tahan terhadap pemanasan
Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap
pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut
yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi
ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi
berlangsung (Sudjadi, 1986).
Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian
cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang
kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel
cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan
untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan
lilin.

II.5 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan senyawa fenol alam yang terbesar
dalam tanaman. dan tersusun oleh 15 atom karbon sebagai inti dasarnya.
Tersusun dari konfigurasi C6-C3-C6 yaitu 2 cincin aromatik dan dihubungkan
oleh tiga atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga.
A. Aglikon Flavonoid
Aglikon Flavonoid dibagi dalam beberapa golongan dengan struktur dasar
seperti flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon, leukoantosianin, auron,
kalkon dan dihidroflavonol. Adapun struktur dasar dari flavonoid ditunjukkan
oleh gambar berikut ini.

10
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan
keragaman pada rantai C3 yaitu :
1. Flavonol
Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida, dan
aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan mirisetin yang
berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavonol lain yang terdapat
di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol.
Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu
cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.

2. Flavon
Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-
hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta
reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit
daripada jenis glikosida pada flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai
adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali
dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat
juga flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya
luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur
kelompok senyawa flavonoid.

11
3. Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan
sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan
sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan
karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa
isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang
dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak
sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi
coklat.

4. Flavanon
Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun
dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman
genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang paling lazim adalah
neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.

12
5. Flavanonol
Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali
jika dibandingkan dengan flavonoid lain. Sebagian besar senyawa ini
diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.

6. Katekin
Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan
berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental
Uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30%
senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

7. Leukoantosianidin
Leukoantosianidin merupakan senyawa tanpa warna, terutama terdapat pada
tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya
melaksidin, apiferol.

13
8. Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas
dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah
penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak , ungu, dan biru
dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua
antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin,
dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.

9. Khalkon
Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat dengan sinar
UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat dibedakan dari
glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat
bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air. (Harbor ne, 1996)

14
10. Auron
Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan
briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada
kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna
kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi uap amonia. (Robinson,
1995)
Menurut Harborne (1996), dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoid dimana semua
flavonoid, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon dan
semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama yakni:

Golongan flavonoida Penyebaran Ciri khas


larut dalam air, λmaks
pigmen bunga merah
515-545 nm, bergerak
Antosianin marak,dan biru juga dalam
dengan BAA pada kertas.
daun dan jaringan lain.

menghasilkan antosianidin
(warna dapat diekstraksi
terutama tan warna, dalam dengan amil alkohol ) bila
Proantosianidin
daun tumbuhan berkayu. jaringan dipanaskan dalam
HCl 2M selama setengah
jam
Setelah hidrolisis, berupa
terutama ko-pigmen bercak kuning murup pada
tanwarna dalam bunga kromatogram forestall bila
Flavonol
sianik dan asianik; tersebar disinari dengan sinar UV,
luas dalam daun. maksimal spektrum pada
350-386 nm

15
Setelah dihidrolisis,
berupa bercak coklat
redup pada kromatogram
Flavon Seperti flavonol
forestall, maksimal
spektrum pada 330-350
nm
Mengandung gula yang
terikat melalui ikatan C-C
Glikoflavon seperti flavonol bergerak dengan
pengembang air, tidak
seperti flavon biasa
tanwarna; hampir Pada kromatogram BAA
Biflavonil seluruhnya terbatas pada berupa bercak redup
gimnospermae dengan RF tinggi
Dengan amonia berwarna
Pigmen bunga kuning, merah (perubahan warna
Khalkon dan auron kadang terdapat juga dapat diamati in situ),
dalam jaringan lain maksimal spektrum 370-
410 nm
Tanwarna; dalam daun dan Berwarna merah kuat
Flavanon buah (terutama dalam dengan Mg/HCI; kadang-
citrus) kadang sangat pahit
Tanwarna; seringkali Bergerak pada kertas
dalam akar; hanya terdapat dengan pengembang air;
Isoflavon
dalam satu suku, tak ada uji warna yang
Leguminosae khas.

16
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Alat
Alat yang digunakan

1. Beker gelas 13. Pelat KLT


2. Bunsen dan kaki tiga 14. Chamber glass
3. Kasa 15. Botol/vial kaca
4. Corong gelas 16. Kolom kromatografi
5. Cawan penguap 17. Spektrofotometer UV-
6. Mortir Visible
7. Spatula 18. Spektrofotometer
8. Batang pengaduk Inframerah
9. Labu ukur 19. Pelat KBr
10. Corong pisah 20. Lempeng NaCl
11. Maserator

III.2 Bahan
1. Simplisia kulit rambutan 7. Metanol
aceh 8. Asam asetat
2. Aquadest 9. Reagen NaOH 2M
3. Etanol 10. Reagen AlCl₃ 5%
4. N-heksana 11. KBr pro analisis
5. Silika gel 12. Serbuk NaOAc
6. Kloroform 13. Serbuk H3BO4

17
III.3 Prosedur
III.3.1 Preparasi Sampel
Persiapan sampel kulit rambutan varietas Aceh dari pengumpulan kulit
rambutan, dikeringkan kemudian sampai diperoleh serbuk kering
halus.
III.3.2 Penapisan Fitokimia
a. Identifikasi alkaloid
Serbuk dibasakan dengan ammonia dan ditambahkan dan
digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet kemudian ditambahkan
HCL 2N. campuran dikocok kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan.
Lapisan asam dipipet kemudian dibagi menjadi tiga bagian:
 Bagian 1: ditambahkan pereaksi Mayer. Terjadinya endapan
putih atau kekeruhan, diamati. Adanya endapan putih atau
kekeruhan menunjukan kemungkinan adanya alkaloid.
 Bagian 2: ditambahakan pereaksi Dragendorff. Terjadinya
endapan jingga kuning hingga merah bata menunjukan
kemungkinan adanya alkaloid.
 Bagian 3: digunakan sebagai blanko.

b. Identifikasi flavonoid
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi,
tambahkan aquadest, dicampur dengan serbuk magnesium dan asam
klorida 2N. campuran di panaskan diatas tangas air lalu disaring.
Filtrat dalam tabung reaksi ditambahkan amil alkohol lalu dikocok
kuat-kuat. Adanya flavanoid ditandai dengan terbentuknya warna
kuning hingga merah pada lapisan amil alkohol.

18
c. Identifikasi saponin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi,
tambahkan aquadest dan dipanaskan diatas tangas air, kemudian
disaring. Filtrat dikocok dalam tabung reaksi, terbentuknya busa
kemudian didiamkan selama 5 menit tambahkan HCl encer, jika busa
tetap maka menunjukan adanya senyawa saponin.
d. Identifikasi triterpenoid dan steroid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, saring. Filtrat
ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap
hingga kering. Residu pada cawan penguap kemudian ditambahkan
pereaksi Liebermann-Bourchard. Terbentuknya warna ungu
menunjukan adanya senyawa triterpenoid, sedangkan warna hijau biru
menunjukan adanya senyawa steroid.
e. Identifikasi tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi tambahkan
aquadest dan dipanaskan diatas tangas air, kemudian disaring. Filtrat
dibagi menjadi dua bagian:
 Bagian 1: diteteskan larutan gelatin 1% adanya senyawa tannin
ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih
 Bagian 2: diteteskan larutan Steasny. Adanya senyawa tanin
ditandai dengan terjadinya endapan berwarna merah muda.
III.3.3 Refluks
1. Dimasukkan 300g serbuk simplisia kedalam labu alas bundar volume
2L
2. Ditambahkan pelarut metanol dengan perbandingan simplisia :
metanol sebesar 1 : 5
3. Dipanaskan hingga mencapai titik didih metanol.
4. Dibiarkan mendidih selama 1 jam.

19
5. Didinginkan ekstrak, disaring dan dipisahkan dengan ampasnya.
6. Diekstraksi kembali ampas simplisia sebanyak 3-5 kali dengan
prosedur yang sama.
7. Dikumpulkan ekstrak dan diuapkan menggunakan alat penguap
vakum putar (Rotary evaporator) hingga didapatkan ekstrak kental.

III.3.4 Ekstraksi cair-cair


1. Diperoleh 5 gram ekstrak kental dari hasil ektraksi dilarutkan dalam
100 mL air (jika tidak larut dengan air dapat dilakukan pemanasan
dan penambahan alkohol).
2. Dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahnkan n-Heksan
dengan jumlah yang sama banyak dengan air( 1 : 1 ).
3. Dikocok dan sesekali udara didalam corong pisah dikeluarkan.
4. Didiamkan corong pisah hingga kedua pelarut terpisah sempurna.
5. Pemisahan diulang hingga diperoleh fraksi n-Heksan yang hampir
tidak berwarna(minimal 3 kali pengulangan).
6. Fraksi n-Heksan dan fraksi air dipisahkan, fraksi n-Heksan
dikumpulkan, diuapkan dan dipekatkan hingga diperoleh fraksi
kental n-Heksan.
7. Pemisahan fraksi air dilanjutkan fraksi etil asetat dengan prosedur
yang sama dengan pemisahan pada fraksi n-Heksan.
8. Dihitung rendemen masing-masing fraksi (n-Heksan, etil asetat dan
air).

III.3.5 Kromatografi Cair Vakum


1. Sebanyak 1 g sampel ekstrak ataupun fraksi (untuk kolom dengan
diameter 3-5 cm) dimasukkan kedalam mortir dan ditambahkan silika
gel H60 sebanyak 1 g kemudian digerus sampai kering dan homogen.

20
2. Timbang seksama silika gel H60 dengan perbandingan 1 : 10
(optimal, sesuaikan dengan volume maksimal kolom).
3. Kolom kromatografi dikemas kering kemudian dibantu dengan
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan yang maksimum.
4. Pelarut yang kepolarannya rendah (n-heksana, eter) disiapkan dan
dituangkan pada permukaan kemasan kolom (penjerap) kemudian
divakum kembali sampai semua pelarut keluar dari kemasan kolom
dan ditampung dan kolom menjadi kering kembali.
5. Kemasan kolom dicek, jika terdapat kerusakan pada kemasan kolom
maka harus dibuat ulang sampai kemasan kolom sempurna (tidak ada
retakan pada kemasannya).
6. Lapisi permukaan atas kolom dengan kertas saring, kemudian sampel
diratakan diatas kemasan kolom.

III.3.6 Kromatografi Lapis Tipis


1. Disiapkan chamber dan campuran pelarut n-Heksan:etil asetat (6:4),
yang digunakan sebagai fase gerak.
2. Dimasukkan 10ml campuran pelarut kedalam chamber.
3. Dibiarkan selama 1-2 jam sebagai proses penjenuhan.
4. Ekstrak yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai.
5. Ditotolkan beberapa bercak (optimal diameter 15 mm ) pada lapisan
(pelat silika atau kertas berukuran 1x6 cm) dekat salah satu ujung (1
cm diujung bawah) menggunakan pipa kapiler kaca.
6. Dibiarkan pelarut pada bercak menguap.
7. Dimasukkan pelat kedalam chamber berisi pelarut yang telah
dijenuhkan sebelumnya.
8. Dibiarkan proses elusi berlangsung hingga batas atas lapisan (0,5 cm
dari ujung atas).

21
9. Diangkat pelat setelah proses elusi mencapai batas atas dan dibiarkan
mengering.
10. Dihitung Rf bercak pada lapisan secara visual UV 254nm, UV
365nm, dan penampak bercak.
11. Catatan: tannin dapat terdeteksi dengan sinar UV pendek berupa
bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi fenol
baku

III.3.7 Kromatografi Kolom


1. Ditimbang silika gel 60 dengan pembanding 1: 10 dengan sampel
(optomal, sesuaikan dengan volume maksimal kolom).
2. Kolom kromatografi di kemas dengan dengan cara basah dengan
mensuspensikan silika dengan pelarut non-polar.
3. Dimasukkan suspensi silika kedalam kolom yang bagian bawahnya
terlebih dahulu disumbat menggunakan kapas atau wol.
4. Perhatikan dan dijaga kebersamaan silika disemua tempat dalam
kolom, karena adanya rongga-rongga udara atau ketidakseragaman
penjerap dalam kolom akan berpengaruh buruk pada pemisahan.
5. Pelarut dibiarkan keluar hingga permukaannya tepat pada permukaan
silika dan dilapisi permukaan dengan kertas saring.
6. Ekstrak yang dipisahkan ditempatkan diatas silika dalam bentuk
lapisan tipis yang rata diatas permukaan.
7. Kolom dielusi dengan eluen yang cocok, dimulai dari eluen dengan
kepolaran yang rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan.
8. Hasil kolom dikumpulkan per sub-fraksinya, diupkan dan dianalisis
menggunakan silika gel.

22
III.3.8 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
1. Dibersihkan plat kaca ( 20 x 20 cm) dengan aseton dan ditempatkan
pada alat Desaga.
2. Dibuat bubur silika gel dengan cara mencampurkan silika gel 60
sebanyak 20 gram dengan 50 mL aquadest, kocok kuat-kuat dalam
erlenmayer berpenutup selama 90 detik hingga homogen.
3. Dituang semua bubur silika kedalam alat, kemudian segera diratakan
pada kaca.
4. Didiamkan silika pada suhu ruang selama 24 jam.
5. Sebelum pemakaian, pelat dioven pada suhu 106ºC selama 30-60
menit.
6. Disiapkan chamber dan campuran pelarut n-Heksan:etil asetat (6:4),
yang digunakan sebagai fase gerak.
7. Dimasukkan 20-30 mL campuran pelarut kedalam chamber.
8. Dibiarkan selama 60 menit sebagai proses penjenuhan.
9. Sejumlah fraksi dilarutkan dalam larutan yang cocok dan ditotolkan
sampel secara berderet sehingga membentuk pita sebagai garis awal
pengembangan ( 1-2 cm dari ujung bawah ).
10. Ditunggu kering beberapa saat.
11. Dimasukkan pelat kedalam chamber yang telah jenuh dengan larutan
pengembang.
12. Dibiarkan hingga proses elusi mencapai batas atas pelat (1-2 cm dari
ujung atas).
13. Dikeluarkan dari chamber dan dibiarkan mengering.
14. Dikerok pita yang terbentuk dan hasil kerokkan dilarutkan dengan
pelarut yang cocok atau eluen yang digunakan.
15. Disaring,filtrat diuapkan dan dianalisis menggunakan pelat silika gel
GF254.

23
III.3.9 Metode Identifikasi Spektrofotometri UV Visible
1. Sampel dilarutkan dalam pelarut etanol yang tidak memberikan
serapan pada UV-Vis.
2. Dilakukan uji blangko pada spektrofotometri UV-Vis dengan 2 kuvet
berisi etanol, diamati pada panjang gelombang 200-600 nm.
3. Lalu kuvet dikeluarkan dan dibilas dengan sampel yang telah
dilarutkan. Kuvet tersebut diisikan sampel, tidak melewati tanda batas,
dan bagian luar kuvet harus dalam keadaan bersih.
4. Dimasukkan kuvet ke dalam spektrofotometri UV-Vis, diukur panjang
gelombang serapan maksimumnya. Direkam dan dicatat hasilnya.
5. Kemudian sampel dibagi menjadi 3 bagian :
- Bagian 1, sampel ditambahkan 3 tetes NaOH 2 M kemudian
dikocok hingga homogen dan diamati hasilnya.
- Bagian 2, sampel ditambahkan 6 tetes reagen AlCl₃ 5% dalam
metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati
hasilnya.
- Bagian 3, sampel ditambahakan serbuk NaOAc ±250 mg,
campuran dikocok hingga homogen dan diamati spektrumnya.
Selanjutnya ditambahkan serbuk H₃BO₃ ±150 mg dikocok
hingga homogen dan diamati spektrumnya.

III.3.10 Metode Identifikasi Spektrofotometri Inframerah


1. Sampel yang telah berbentuk cair (dengan pelarut etanol) diletakkan di
antara 2 lempeng NaCl dengan konsentrasi sampel 1-5%.
2. Lalu diletakkan dalam kisi pelet KBr, sampel dicampur dengan KBr
dalam konsentrasi sampel 0,1 – 2% berat campuran, kemudian digerus
dalam mortir dan di press sehingga tidak ada udara yang terjebak pada
campuran.
3. Diamati spektrum yang terbentuk, dicatat dan direkam hasilnya.

24
LAMPIRAN

Refluks

300 gram serbuk sampel


− Ditimbang
− Dimasukkan kedalam labu alas bundar.
− Ditambahkan pelarut metanol dengan perbandingan
simplisia : pelarut sebesar 1 : 5
− Dipanaskan hingga mencapai titik didih metanol.
− Dibiarkan mendidih selama 1 jam
− Didinginkan ekstrak, disaring dan dipisahkan dari
ampasnya.
− Diekstraksi kembali ampas simplisia sebanyak 3-5
kali dengan prosedur yang sama.
− Dikumpulkan ekstrak.

Ekstrak 1 Residu
− Ekstrak 1 − Residu dalam labu ditambahkan
dimasukkan pelarut metanol dengan
kedalam perbandingan simplisia : pelarut
evaporator sebesar 1 : 5
hingga menjadi − Dipanaskan hingga mencapai
ekstrak kental. titik didih metanol.
− Dibiarkan mendidih selama 1
Ekstrak kental jam.
− Ekstrak disaring dan ditampung
didalam wadah (ekstrak 2).

25
Ekstrak 2 Residu
− Ekstrak 2 − Residu dalam labu
dimasukkan ditambahkan pelarut
kedalam metanol dengan
evaporator hingga perbandingan simplisia :
menjadi ekstrak pelarut sebesar 1 : 5
kental. − Dipanaskan hingga
mencapai titik didih
Ekstrak kental metanol.
− Dibiarkan mendidih
selama 1 jam.
− Ekstrak disaring dan
ditampung didalam
wadah (ekstrak 3)

Ekstrak 3 Residu
− Ekstrak 3
dimasukkan
kedalam
evaporator
hingga menjadi
ekstrak kental.

Ekstrak kental

26
Ekstraksi cair-cair
5 gram ekstrak kental
− Dilarutkan dalam 100 mL air.
− Dimasukkan kedalam corong
pisah dan ditambahkan n-Heksan
dengan jumlah yang sama banyak
dengan pelarut sebelumnya ( 1 : 1
).
− Dikocok dan sesekali udara didalam corong pisah
dikeluarkan.
− Didiamkan corong pisah hingga kedua pelarut terpisah
sempurna.
− Pemisahan diulang hingga diperoleh fraksi n-Heksan
yang hamper tidak berwarna (minimal 3 kali
pengulangan).
− Fraksi n-Heksan dan fraksi air dipisahkan

Fraksi n-heksan Fraksi air


− Fraksi n-Heksan − Pemisahan fraksi air
dikumpulkan, dilanjutkan fraksi etil
diuapkan dan asetat dengan prosedur
dipekatkan yang sama dengan
hinggadiperoleh pemisahan pada fraksi
fraksi kental n- n-Heksan.
Heksan.

27
Fraksi n- Fraksietilasetat Fraksi air
Heksankental

- Dihitung rendemen fraksi − Dihitung


− Dihitung rendemen fraksi n-
n-heksan
rendemen fraksi n- heksan
heksan
Hasil Hasil
Hasil

Kromatografi Cair Vakum

Sebanyak 1 g sampel ekstrak ataupun fraksi


− dimasukkan kedalam mortir dan ditambahkan
silika gel H60 sebanyak 1 g kemudian
digerus sampai kering dan homogen.
− ditimbang seksama silika gel H60 dengan
perbandingan 1 : 10 (optimal, sesuaikan
dengan volume maksimal kolom).
− kolom kromatografi dikemas kering
kemudian dibantu dengan vakum agar
diperoleh kerapatan kemasan yang
maksimum.
− Pelarut yang kepolarannya rendah (n-
heksana, eter) disiapkan dan dituangkan pada
permukaan kemasan kolom (penjerap)
kemudian divakum kembali sampai semua
pelarut keluar dari kemasan kolom dan
ditampung dan kolom menjadi kering
kembali.
− Kemasan kolom dicek, jika terdapat
kerusakan pada kemasan kolom maka harus

28
dibuat ulang sampai kemasan kolom
sempurna (tidak ada retakan pada
kemasannya).
− Lapisi permukaan atas kolom dengan kertas
saring, kemudian sampel diratakan diatas
kemasan kolom
Hasil

Kromatografi Lapis Tipis

10 mL campuran pelarut n-Heksan : etilasetat (6:4) (sebagai fase gerak)


− Dimasukkan kedalam chamber.
− Dibiarkan selama 1-2 jam sebagai proses
penjenuhan.
− Ekstrak yang akan dipisahkandilarutkan dalam
pelarut yang sesuai.
− Ditotolkan beberapa bercak (optimal diameter 15
mm pada lapisan (pelat silica atau kertas
berukuran 1x6 cm) dekat salah satu ujung (1 cm
diujung bawah) menggunakan pipa kapiler kaca.
− Dibiarkan pelarut pada bercak menguap.
− Dimasukkan pelat kedalam chamber berisi
pelarut yang telah dijenuhkan sebelumnya.
− Dibiarkan proses elusi berlangsung hingga batas
atas lapisan (0,5 cm dari ujung atas).
− Diangkat pelat setelah proses elusi mencapai
batas atas dan dibiarkan mengering.
− Dihitung Rf bercak pada lapisan secara visual UV
254nm, UV 365nm, dan penampak bercak.

Hasil

29
Kromatografi Kolom

Silika gel 60 dengan pembanding 1: 10 dengan sampel


(optomal, sesuaikan dengan volume maksimal kolom)
− Ditimbang
− Kolom kromatografi di kemas dengan cara basah
dengan mensuspensikan silikadengan pelarut non-
polar.
− Dimasukkan suspense silica kedalam kolom yang
bagian bawahnya terlebih dahulu disumbat
menggunakan kapas atau wol.
− Perhatikan dan dijaga kebersamaan silikadisemua
tempat dalam kolom, karena adanya rongga-rongga
udara atau ketidakseragaman penjerap dalam kolom
akan berpengaruh buruk pada pemisahan.
− Pelarut dibiarkan keluar hingga permukaannya tepat
pada permukaan silica dan dilapisi permukaan dengan
kertas saring.
− Ekstrak yang dipisahkan ditempatkan diatas silica
dalam bentuk lapisan tipis yang rata diatas
permukaan.
− Kolom dielusi dengan eluen yang cocok, dimulai dari
eluen dengan kepolaran yang rendah lalu kepolaran
ditingkatkan perlahan-lahan.
− Hasil kolom dikumpulkan per sub-fraksinya,
diupkan dan dianalisis menggunakan silika
gel.

Hasil

30
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
20 gram Silika gel 60
− Dibuat bubur silika gel dengan cara mencampurkan
silika gel 60 sebanyak 20 gram dengan 50 mL
aquadest, kocok kuat-kuat dalam erlenmayer
berpenutup selama 90 detik hingga homogen.
− Dibersihkan plat kaca ( 20 x 20 cm) dengan aseton
dan ditempatkan pada alat Desaga.
− Dituang semua bubur silica kedalam alat, kemudian
segeradiratakan pada kaca.
− Didiamkan silica pada suhu ruang selama 24 jam.
− Sebelum pemakaian, pelat dioven pada suhu 106ºC
selama 30-60 menit.
− Disiapkan chamber dan campuran pelarut n-Heksan : etila
setat (6:4) yang digunakan sebagai fase gerak.
− Dimasukkan 20-30 mL campuran pelarut kedalam chamber.
− Dibiarkan selama 60 menit sebagai proses penjenuhan.
− Sejumlah fraksi dilarutkan dalam larutan yang cocok
dan ditotolkan sampel secara berderet sehingga
membentuk pita sebagai garis awal pengembangan (
1-2 cm dari ujung bawah)
− Ditunggu kering beberapa saat.
− Dimasukkan pelat kedalam chamber yang telah
jenuh dengan larutan pengembang.
− Dibiarkan hingga proses elusi mencapai batas
atas pelat (1-2 cm dari ujung atas)
− Dikeluarkan dari chamber dan dibiarkan mengering.

31
− Dikerok pita yang terbentuk dan hasil kerokkan
dilarutkan dengan pelarut yang cocok atau
eluen yang digunakan.
− Disaring, filtrate diuapkan dan dianalisis
menggunakan pelat silika gel GF254.

Hasil

32
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Vademakum Rambutan. Jakarta : Direktorat Budidaya Tanaman Buah


Departemen Pertanian.
Dalimartha, Setiawan. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara.
Dalimartha, S. 2007. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus.
Jakarta : Penebar Swadaya
Harborne, J.B, 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. (Kosasih Padmawinata). ITB.Bandung.
Kusumaningrum, Y. N., 2012, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit
Rambutan(Nephelium Lappaceum) terhadap Staphylococcus aureus
danEschrerichia coli, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mailoa, M.N., Mahendradatta, M., Laga, A., Djide, N. 2014. Effectiveness of
Tannins Extract from Leaf Guava (Psidium guajava L) on the Growth and
Damage of Cell Morphology Escherichia coli. IJAR, 2(1):908-914.
Pratiwi, B. A., 2015. Isolasi Dan Skrining Fitokimia Bakteri Endofit Dari
DaunRambutan (Nephelium lappaceum L.) yang Berpotensi
SebagaiAntibakteri. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Program Studi Farmasi, Jakarta.
Prihatman, Kemal. 2000. Tentang Budidaya pertanian Rambutan (Nephelium
lappeceum). Jakarta : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan
dan Permasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Rukmana, Rahmat. 2002. Rambutan. Yogyakarta: Kanisius
Sadino, A., 2017, Review: Aktivitas Farmakologis, Senyawa Aktif danMekanisme
Kerja Rambutan (Nephelium lappaceum L.), JurnalFarmaka, 15(3): 16-25.
Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, 167 – 177, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

33
Thitilertdecha, N., Teerawutgulrag, A., Rakariyatman, N. 2007. Antioxidant and
Antibacterial Activities of Nephelium lappaceum Extracts. LWT - Food
Science and Technology. 41: 2029– 2035
Tjandra, E., 2011, Panen Cabai Rawit Di Polybag, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta
Yuda, A. A. G. P., Rolan, R., dan Arsyik, I., 2015, Kandungan Metabolit Sekunder
dan Efek Penurunan Glukosa Darah Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum
L.) pada Mencit (Mus musculus), Jurnal Sainsdan Kesehatan, 1(3): 120-125.

34

Anda mungkin juga menyukai