A. IDENTITAS PASIEN
1
B. ANAMNESIS
Dua hari sebelumnya pada hari Selasa, 3 April 2018 pukul 10.00 WIB
pasien dibawa oleh orangtua ke IGD RSU Kardinah dengan keluhan demam
terus-menerus sejak hari Jumat, 30 Maret 2018. Demam tinggi sudah diberi
minum paracetamol oleh orangtua namun belum ada perbaikan. Keluhan
disertai nyeri perut, mual, dan muntah terutama setiap masuk makan dan
minum. Nafsu makan dan minum menurun. Pasien belum BAB sudah 4 hari,
BAK keluar sedikit, tidak nyeri, tidak berdarah. Pasien mengaku pusing
tampak lemah, tangan dan kaki dingin. Keluhan kejang disangkal. Riwayat
mimisan, gusi berdarah, atau bintik-bintik merah pada tubuh disangkal.
Keluhan batuk, pilek disangkal.
2
Riwayat Pengobatan
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama atau pun riwayat
penyakit darah tinggi, DM, paru, riwayat pengobatan batuk lama / TBC,
riwayat kejang. Namun orangtua mengaku anak dari tetangga ada yang sedang
sakit demam berdarah.
3
Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal
4
Ibu P2A0, Anak pertama adalah berjenis kelamin perempuan, berusia 7
tahun, anak kedua adalah pasien berusia 4 tahun, hidup dan sehat. Usia ibu
pasien saat hamil pasien adalah 29 tahun.
o Pertumbuhan :
Berat badan lahir anak 3000 gram, panjang badan 48 cm dengan berat
badan sekarang 16 kg, tinggi badan sekarang 105 cm.
o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Motorik Kasar
o Tengkurap : 4 bulan
o Duduk tanpa bantuan : 6 bulan
o Berdiri : 9 bulan
o Berjalan : 12 bulan
o Mengucapkan kata : 14 bulan
Riwayat Imunisasi
5
HEPATITIS B Lahir 1 bulan 6 bulan -
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar dan ulangan BCG, DTP,
Polio, dan Hepatitis B.
Silsilah Keluarga
= Laki-laki
= Perempuan
= Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal Rabu, 4 April 2018, pukul 07.30
WIB, di ruang perawatan PICU RSU Kardinah.
I. Keadaan Umum
Somnolen, tampak lemah.
6
II. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 144 x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 32 x/menit reguler
Suhu : 36.0oC, Axilla
I. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 16 kg
Tinggi badan sekarang : 105 cm
Lingkar kepala sekarang : 49 cm
I. Status Internus
Kepala : Normosefali
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas
palatochizis (-).
o Paru :
7
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-).
o Cor :
Abdomen :
Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan
lien tidak teraba, asites (-), nyeri tekan regio epigastric dan
hipokondiraka kanan, tidak teraba organomegali.
Ekstremitas:
8
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nama : An. L
Usia : 4 tahun
RM : 911627
Tanggal Jam Hb Leko Ht Trombo
3/4/2018 10.53 16 7.0 44.0 19.000
3/4/2018 12.24 12.4 4.4 37.7 46.000
4/4/2018 10.00 13.4 11.6 37.1 10.000
4/4/2018 22.48 10.4 8.5 30.4 14.000
6/4/2018 06.50 11.0 10.3 31.4 50.000
60
50
40
Hb
30 Leko
Ht
20 Trombosit
10
0
10:52 12:24 10:10 22:48 6:50
9
Laboratorium Darah
Kesan : Normocephali
F. RESUME
Pasien datang ke IGD pada hari Selasa, 3 April 2018 pukul 10.00 WIB
diantar oleh orangtuanya dengan demam hari ke-4 (sejak Jumat, 30 Maret 2018),
demam awalnya tinggi dan mendadak. Keluhan disertai nyeri perut, mual, muntah.
Muntah isi makanan, tidak hitam atau berdarah. BAK sedikit. Pasien lemah, akral
dingin.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 4 April 2018 didapatkan keadaan umum
somnolen, pasien tampak lemah, dengan tekanan darah 110/80mmHg, denyut
jantung 144x/m, pernafasan 32x/m, suhu 36.0˚C. Saat itu pasien terpasang NGT
karena keluhan muntah hitam semalam, bibir kering, terdapat nyeri tekan
epigastrik dan hipokondriaka kanan tanpa organomegali. Status antropometri dan
status gizi pasien normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan tanda peningkatan permeabilitas kapiler
berupa hemokonsentrasi (Ht: 44.0%), tanda kebocoran plasma berupa
trombositopenia (Trombosit 19.000/uL, 46.000/uL, 10.000/uL), leukopenia
(4.4/uL).
G. DAFTAR MASALAH
H. DIAGNOSIS BANDING
J. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Edukasi:
• Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien,
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
• Menjelaskan kepada keluarga bahwa keadaan pasien sedang
kritis dan pasien perlu banyak asupan cairan.
• Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak
terkena penyakit serupa.
a. Medikamentosa
• O2 nasal 2 L
• Loading RL 20ml/kgBB selama 15 menit 320cc dibuat 2 jalur
• Evaluasi selama 30 menit, bila shock teratasi..
• Infus RL 10cc/kgBB selama 1 jam 160cc selama 1 jam
• Evaluasi tanda vital, bila stabil...
• Infus RL 7cc/kgBB selama 2 jam 112cc selama 2 jam
• Infus RL 5cc/kgBB selama 4 jam 80cc selama 4 jam
• Infus RL 3cc/kgBB selama 4 jam 48cc selama 4 jam
• Cek darah rutin, lihat hasil hematokrit. Cek gula darah sewaktu.
• Stop infus bila syok teratasi (tidak lebih dari 48 jam)
• Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Inj. Metilprednisolon 1 x ½ amp (62,5 mg)
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Ondansetron 2 x ½ amp (2 mg)
• P.O:
• Psidii 3 x 1 cth
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN
Cek darah rutin setiap 6 jam.
Test rumple leed.
Foto thoraks.
M. PERJALANAN PENYAKIT
3 April 2018 pukul 15.00 WIB (PICU) 3 April 2018 pukul 23.40 WIB (PICU) 4 April 2018 pukul 07.15 WIB (PICU)
S Pasien demam hari ke-4, demam sudah S Pasien mengeluh mual (+), muntah (+) S Pasien demam hari ke-5, demam sudah
mulai turun namun keadaan pasien frekuensi 1x, berwarna hitam campur mulai turun namun pasien masih lemah.
semakin lemah. Mual (+), muntah (+) isi makanan. Mual (+), muntah (-). Pasien sering
makanan, tidak hitam. BAK sedikit. merasa haus
O KU: somnolen, tampak lemah O KU: somnolen, tampak lemah O KU: CM, tampak lemah
TTV: HR 132 x/m nadi lemah, RR TTV: HR 123 x/m, RR 24x/m, S 36.00C, TTV: HR 144 x/m, RR 24x/m, S 37.30C,
24x/m, S 36.70C, SpO2: 100% Status generalis:
Status generalis: Status generalis: Mata: edema palpebral (-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abd: nyeri tekan epigastrium (+) Abd: nyeri tekan epigastrium (+) Abd: nyeri tekan epigastrium (+).
Ekst: akral dingin, CRT >2” Ekst: akral dingin, CRT 2” Ekst: akral hangat, CRT < 2”
A A DSS A DSS syok teratasi
DSS
Hematemesis Hematemesis
P • Loading HAES 160 cc 1 jam pertama P • Terapi lanjut P • Aff O2 dan NGT
• Infus RL 10cc/kgBB • O2 nasal 2L • Infus RD 3 cc/kgBB/jam 48cc
• Infus RL 7cc/kgBB • Inj. Omeprazol 1/3 vial (13mg) • Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Infus RL 5cc/kgBB • Pasang NGT • Inj. MP 1 x ½ amp (62,5 mg)
• Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Ondansetron 2 x 2 mg
• Inj. MP 1 x ½ amp (62,5 mg) • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg PO:
PO: - Psidii 3 x 1 cth
- Psidii 3 x 1 cth Diet bubur/nasi lunak
Pasang DC, pantau diuresis
4 April 2018 pukul 15.00 WIB (PICU) 5 April 2018 pukul 23.40 WIB (WK) 6 April 2018 pukul 07.15 WIB (WK)
S Pasien demam hari ke-6, demam sudah S Demam hari ke-7, keluhan sudah S Pasien demam hari ke-8, keluhan sudah
mulai turun namun keadaan pasien masih membaik. Mual (-), muntah (-), nafsu berkurang dan membaik. Asupan makan
lemah. Mual (+), muntah (-) nyeri perut makan dan minum sudah membaik walau dan minum sudah mulai banyak. BAB
(-), nafsu makan dan minum masih ↓ sedikit-sedikit. dan BAK normal, nyeri perut (-).
O KU: CM, tampak lemah O KU: CM O KU: CM, tampak lemah
TTV: HR 115 x/m, RR 32x/m, S 36.40C, TTV: HR 100 x/m, RR 28x/m, S 36.3 C 0
TTV: HR 96 x/m, RR 24x/m, S 36.20C,
SpO2: 96% Status generalis: Status generalis:
Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Abd: BU (+), nyeri tekan (-) Abd: BU (+), supel, nyeri tekan (-)
Abd: nyeri tekan epigastrium (-) Ekst: akral hangat, CRT < 2” Ekst: akral hangat, CRT <2”
Ekst: akral hangat, CRT < 2”
A DSS A A DSS syok teratasi
DSS perbaikan
Perbaikan klinis Hematemesis
P • Infus RD 3 cc/kgBB 48cc/jam P • Infus RD 13 tpm P • Infus RD 13 tpm
• Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Inj. Ondansetron 2 x 2 mg • Inj. Ondansetron 2 x 2 mg • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg PO:
PO: • Inj. Lasix (ekstra) 10mg - Psidii 3 x 1 cth
- Psidii 3 x 1 cth PO: BLPL
Pindah ruangan - Psidii 3 x 1 cth
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
a. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus Dengue tipe 1, Dengue tipe 2, Dengue tipe 3 atau Dengue
tipe 4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus Dengue dari penderita
DBD lainnya.(5) Penyakit ini ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari
tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia),
ruam (purpura) kadang-kadang mimisan, buang air besar berdarah, muntah
darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap serius pada demam berdarah
Dengue adalah jika muncul perdarahandan tanda-tanda syok/ renjatan.
b. Sindrom Syok Dengue
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi
kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok.
SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah adalah penyakit virus nyamuk yang paling cepat
menyebar di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian meningkat 30 kali lipat
seiring dengan meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru dan,
dalam dasawarsa ini, dari daerah perkotaan hingga pedesaan. Diperkirakan 50
juta infeksi dengue terjadi setiap tahun dan kira-kira 2,5 miliar orang tinggal di
negara-negara endemik dengue.
Gambar 1. Daerah risiko transmisi Dengue
2.3 Etiologi
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae.
Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun
memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang
paling banyak sebagai penyebab. Di Indonesia sendiri paling banyak adalah
DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus
DEN-2.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan
suatu faktor risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang
disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya
renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting
Cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti
sel Kupfer di sinusoid hepar.
2.4 Transmisi
Dengue ditularkan antara manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang
menularkan penyakit adalah vektor. Gejala infeksi biasanya dimulai 4 - 7 hari
setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung selama 3 - 10 hari.
Agar penularan dapat terjadi, nyamuk harus menggigit seseorang
selama periode ketika sejumlah besar virus berada dalam darah manusia (5
hari pertama); periode ini biasanya dimulai sesaat sebelum orang tersebut
menjadi simtomatik. Beberapa orang tidak pernah memiliki gejala yang
signifikan namun masih bisa menginfeksi nyamuk. Setelah memasuki tubuh
nyamuk, virus akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum
kemudian bisa ditularkan ke manusia lain. Nyamuk tetap terinfeksi selama sisa
hidupnya, yang mungkin berhari-hari atau beberapa minggu.
Gambar 2. Transmisi virus dengue
Di banyak daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah suatu
kejadian endemik, terjadi setiap tahun, biasanya pada musim ketika populasi
nyamuk Aedes tinggi, seringkali saat curah hujan optimal untuk berkembang
biak. Epidemi demam berdarah membutuhkan kebetulan sejumlah besar
nyamuk vektor, orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap salah satu dari
empat tipe virus (DENV 1, DENV 2, DENV 3, DENV 4), dan kesempatan
untuk kontak di antara keduanya.
Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan oleh virus yang sama
namun memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda. Pada DBD
didapatkan kebocoran plasma (plasma leakage) ke ruang ekstravaskuler yang
ditandai adanya hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang diduga
terjadi karena proses imunologi.
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ
reticulo endothelial system (RES) seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru.
Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus
yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag.
Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir
setelah 5 hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting
cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyakvirus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik, seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi
agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi
trombositopenia ini bersifat ringan.
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi
kedua kalinya dengan serotipe virus Dengue berbeda dengan yang
menginfeksi sebelumnya mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita
DBD atau terjadi manifestasi lebih berat. Antibodi dari serotipe berbeda yang
telah ada sebelumnya akan mengenai serotipe virus lain yang sedang
menginfeksi saat itu dan membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi tersebut sebenarnya antibodi untuk melawan
antigen dari serotipe yang sebelumnya, maka virus dengan serotipe berbeda
yang menginfeksi saat ini tidak dinetralisasi oleh tubuh dan akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag sehingga terjadi peningkatan infeksi
virus Dengue. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus Dengue yang
berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan
proliferasi dan transformasi limfosit menghasilkan titer tinggi IgG anti
Dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus Dengue. Ikatan virus Dengue dengan antibodi
heterolog akan mengaktifasi komplemen jalur klasik yang berakhir dengan
dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang disebut anafilatoksin.
Anafilatoksin akan melepaskan histamin, serotonin dan platelet activating
factor (PAF). Histamin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan
permebilitas pembuluh darah yang menyebabkan perembesan plasma ke ruang
ekstravaskular. Hal ini ditandai dengan hematokrit meningkat, hiponatremia,
dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada perembesan plasma
mengakibatkan volume intravaskuler menurun sehingga terjadi pengurangan
venous return, yang menyebabkan penurunan stroke volume, penurunan
cardiac output dan juga MAP. Akibat banyaknya kehilangan volume
intravaskular ini dapat menyebabkan syok yang bisa berakhir dengan
kematian.
2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan penurunan suhu menjadi 37,5 – 38 oC atau kurang,
terjadi pada hari ke 3 – 7 sakit dan disertai kenaikan permeabilitas kapiler
yang ditandai dengan peningkatan hematokrit dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma
sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.
Pada pasien yang tanpa peningkatan permeabilitas kapiler kondisinya akan
membaik, sementara mereka yang mengalami peningkatan permeabilitas
kapiler dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat volume plasma yang hilang.
Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi
secara klinis tergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi
cairan. Oleh karena itu, x-ray dan USG abdomen dapat berguna untuk
diagnosis. Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya
memperlihatkan keparahan dari adanya kebocoran. Syok terjadi karena
kebocoran plasma yang menyebabkan perfusi ke jaringan berkurang. Suhu
tubuh mungkin subnormal pada saat syok. Dengan syok berkepanjangan,
terjadi hipoperfusi organ yang progresif dan asidosis metabolik.. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan parah sehingga hematokrit menurun saat terjadi
syok berat. Fase ini juga terjadi leukopenia tetapi leukosit akan meningkat
apabila terjadi perdarahan hebat. Pasien-pasien yang mengalami perbaikan
setelah fase ini dikelompokkan kedalam infeksi Dengue ringan. Beberapa
pasien dapat berkembang menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran
plasma, sehingga diperlukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari
fase kritis dan adanya kebocoran plasma. Pasien yang memburuk akan
memperlihatkan tanda-tanda bahaya, disebut Dengue dengan tanda-tanda
bahaya.
Dengue berat didefinisikan oleh satu atau lebih dari hal berikut: (i)
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok (demam berdarah) dan / atau
akumulasi cairan, dengan atau tanpa gangguan pernapasan, (ii) pendarahan
hebat, (iii) gangguan organ berat. Seiring meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah, hipovolemia, dan berakhir pada syok. Biasanya terjadi di
sekitar hari ke 4 atau 5 (rentang hari 3-7) penyakit, didahului dengan tanda
peringatan.
Selama tahap awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik normal juga mengakibatkan takikardia dan
vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang, mengakibatkan
ekstremitas dingin dan waktu pengisian kapiler yang tertunda. Penderita syok
sering tetap sadar sehingga dapat menimbulkan kesalahan penilaian keadaan
kritis pasien.
Pasien dianggap shock jika tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik) adalah ≤ 20 mmHg atau adanya tanda perfusi kapiler yang
buruk (ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi
cepat menilai). Hipotensi biasanya terkait dengan syok yang berkepanjangan
yang seringkali dipersulit oleh perdarahan hebat.
Demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari area risiko
demam berdarah dengan demam 2-7 hari ditambah beberapa hal berikut:
Pasien dengan syok hipotensi harus ditangani dengan lebih intensif. Rencana tindakan
untuk merawat pasien dengan syok hipotensi adalah sebagai berikut:
Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid atau koloid (jika
ada) pada 20 ml / kg sebagai bolus yang diberikan selama 15 menit agar
pasien terhindar dari syok secepat mungkin.
Jika kondisi pasien membaik, berikan infus kristaloid / koloid 10 ml / kg / jam
selama satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan infus kristaloid dan turunkan
secara bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml /
kg / jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml / kg / jam. atau kurang, yang dapat
dipertahankan hingga 24-48 jam (textbox H).
Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), tinjau
hematokrit yang didapat sebelum bolus pertama. Jika hematokrit rendah
(50%), lanjutkan larutan koloid pada 10-20 ml / kg sebagai bolus ketiga lebih
dari satu jam. Setelah dosis ini, kurangi 7-10 ml / kg / jam selama 1-2 jam,
kemudian ganti kembali ke larutan kristaloid dan kurangi laju infus seperti
yang disebutkan di atas saat kondisi pasien membaik.
Cairan cairan lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24 jam berikutnya.
Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi dengan respon klinis.
Pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di daerah ketergantungan
tinggi atau perawatan intensif.
Pasien harus sering dipantau sampai masa bahaya berakhir. Keseimbangan
cairan rinci dari semua input dan output harus dijaga. Parameter yang harus
dipantau meliputi tanda vital dan perfusi perifer (setiap 15-30 menit sampai
pasien tidak syok, lalu 1-2 jam). Secara umum, semakin tinggi tingkat infus
cairan, semakin sering pasien harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari
kelebihan cairan sambil memastikan penggantian volume yang memadai.
Keluaran urin harus diperiksa secara teratur (setiap jam sampai pasien
tidak guncang, lalu 1-2 jam). Kateter kandung kemih terus-menerus
memungkinkan pemantauan jarak dekat keluaran urin. Keluaran urin yang bisa
diterima sekitar 0,5 ml / kg / jam. Hematokrit harus dipantau (sebelum dan
sesudah cairan bolus sampai stabil, lalu 4-6 jam). Selain itu, harus ada
pemantauan gas darah arterial atau vena, laktat, total karbon dioksida /
bikarbonat (setiap 30 menit sampai satu jam sampai stabil, kemudian seperti
yang ditunjukkan), glukosa darah (sebelum resusitasi cairan dan ulangan
seperti yang ditunjukkan), dan lainnya. fungsi organ (seperti profil ginjal,
profil hati, profil koagulasi, sebelum resusitasi dan seperti yang ditunjukkan).
Gambar 9. Tatalaksana syok hipotensi
ANALISIS MASALAH
Berdasarkan keluhan, klinis, dan data lab yang ada, pasien sedang
berada di tahapan kritis penyakit yang terjadi pada akhir fase demam. Tahapan
kritis penyakit terjadi pada akhir fase demam, 2 – 7 hari dari fase demam, suhu
badan akan menurun cepat akibat terjadinya gangguan sirkulasi. Plasma
leakage merupakan gambaran kritis dari DBD yang ditandai dengan
hemokonsentrasi seperti yang terjadi pada pasien, walaupun tidak ditemukan
adanya efusi plura, asites, dan hipoproteinemia.
Pada penderita yang sakit berat, akibat banyaknya plasma yang hilang,
syok akan terjadi dan memberat. Awal mula terjadinya syok dapat ditandai
dengan nyeri perut, muntah dan gelisah. Kemudian penderita mengalami
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit menjadi dingin, berbintik-bintik,
terjadi pembengkakan (kongesti), sianosis disekeliling mulut, denyut nadi
cepat dan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Keadaan ini biasanya terjadi
pada waktu atau segera sesudah suhu badan penderita menurun yang terjadi
antara hari ke 3 – 7 dari penyakit dan dapat menjadi kematian apabila dalam
waktu 8 – 24 jam setelah timbulnya tanda-tanda kegagalan sirkulasi tidak
mendapat penanganan yang tepat.
Penatalaksanaan secara umum pasien demam berdarah adalah terapi
cairan yang adekuat. Pemberian terapi pada pasien dilakukan sesuai guideline
WHO 2009 tentang penatalaksanaan syok hipotensi pada demam berdarah.
Pemberian loading cairan kristaloid RL sebanyak 320cc selama 15 menit
pertama diberikan untuk mengatasi syok secepat mungkin. Karena adanya
perbaikan dari kondisi pasien setelah diberikan loading, maka terapi
dilanjutkan dengan menurunkan jumlah cairan menjadi 10cc/kgBB pada 1 jam
berikutnya, 7cc/kgBB pada 2 jam selanjutnya, 5cc/kgBB pada 4 jam
seterusnya, dan 3cc/kgBB pada 4 jam berikutnya yang dapat dipertahankan
hingga 24-48 jam. Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi
dengan respon klinis dan hasil hematokrit yang menunjang. Tujuan resusitasi
cairan meliputi perbaikan sirkulasi sentral dan perifer (penurunan takikardia,
peningkatan tekanan darah, volume denyut nadi, ekstremitas hangat dan pink,
dan waktu pengisian kapiler). Keluaran urin harus diperiksa secara teratur.
Pemasangan DC dapat memungkinkan pemantauan jarak dekat dari
pengeluaran urin (0.5 – 1cc/kgBB/jam).
Semua pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di rumah
sakit dengan akses ke fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah.
Resusitasi cairan intravena adalah intervensi penting dan biasanya satu-
satunya yang diperlukan. Solusi kristaloid harus isotonik dan volumenya
hanya cukup untuk mempertahankan sirkulasi efektif selama periode
kebocoran plasma. Kerugian plasma harus segera diganti dan cepat dengan
larutan kristaloid isotonik atau, dalam kasus syok hipotensi, larutan koloid.
Jika memungkinkan, dapatkan kadar hematokrit sebelum dan sesudah
resusitasi cairan. Transfusi darah harus diberikan hanya pada kasus dengan
dugaan / perdarahan hebat.
Penentuan prognosis dubia ad bonam pada quo ad vitam adalah karena
keadaan pasien yang sudah dalam keadaan syok, namun untungnya orangtua
segera membawa pasien untuk diperiksakan sehingga syok dapat segera
teratasi. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa kebocoran ini
serta keterangan oratua dapat mempengaruhi prognosis pasien.
DAFTAR PUSTAKA