Anda di halaman 1dari 43

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Enel Rizka Aulia Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A


NIM : 030.13.068 Tanda tangan :

A. IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU


Nama An L Tn B Ny W
Umur 4 tahun 34 tahun 32 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Jl. Kalinyawat Wetan RT 04 / RW 01
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Pegawai bank Pegawai swasta
Penghasilan - Rp 2.500.000,00 Rp 1.500.000,00
Keterangan Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
Asuransi BPJS NON-PBI
No. RM 911627

1
B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien


pada tanggal 6 April 2018 pukul 09.30 WIB, di bangsal Wijayakusuma RSU
Kardinah Tegal.

 Keluhan Utama: Demam 4 hari

 Keluhan tambahan : mual, muntah, nyeri perut, lemas

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien perempuan berusia 4 tahun merupakan pindahan dari ruang


perawatan PICU hari Kamis, 5 April 2018. Pasien dipindahkan ke ruang
Wijayakusuma karena keadaan sudah stabil. Keluhan saat ini pasien masih
terdapat demam. Demam naik turun namun tidak terlalu tinggi. Keluhan
nyeri perut bagian ulu hati juga masih dirasakan oleh pasien, disertai mual
namun sudah tidak muntah. Asupan makan sudah membaik, minum diakui
sudah banyak. BAK dan BAB normal.

Dua hari sebelumnya pada hari Selasa, 3 April 2018 pukul 10.00 WIB
pasien dibawa oleh orangtua ke IGD RSU Kardinah dengan keluhan demam
terus-menerus sejak hari Jumat, 30 Maret 2018. Demam tinggi sudah diberi
minum paracetamol oleh orangtua namun belum ada perbaikan. Keluhan
disertai nyeri perut, mual, dan muntah terutama setiap masuk makan dan
minum. Nafsu makan dan minum menurun. Pasien belum BAB sudah 4 hari,
BAK keluar sedikit, tidak nyeri, tidak berdarah. Pasien mengaku pusing
tampak lemah, tangan dan kaki dingin. Keluhan kejang disangkal. Riwayat
mimisan, gusi berdarah, atau bintik-bintik merah pada tubuh disangkal.
Keluhan batuk, pilek disangkal.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengeluh seperti ini sebelumnya. Keluhan sakit


demam biasanya segera sembuh apabila hanya dibawa ke dokter setempat.
Pasien belum pernah dirawat sebelumnya.

2
 Riwayat Pengobatan

Awalnya orangtua membawa pasien ke praktek dokter spesialis anak


yang kemudian dirujuk ke RSU Kardinah untuk segera dirawat.

 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama atau pun riwayat
penyakit darah tinggi, DM, paru, riwayat pengobatan batuk lama / TBC,
riwayat kejang. Namun orangtua mengaku anak dari tetangga ada yang sedang
sakit demam berdarah.

 Riwayat Lingkungan Perumahan

Pasien tinggal di rumah milik sendiri . Rumah tersebut berukuran ±10


x 10 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap
genteng, berlantai keramik, berdinding tembok, memiliki 4 jendela dan 2
pintu. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien, pasien, dan satu
kakak perempuan pasien. Rumah selalu dibersihkan setiap hari dengan disapu
dan dipel. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak
dinyalakan pada siang hari. Jarak septic tank dengan wc ± 15 m. Tidak
terdapat tempat penampungan air.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah, sanitasi, dan pencahayaan baik, ventilasi


baik.

 Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien berprofesi sebagai pegawai bank dengan penghasilan rata


rata ± Rp 2.500.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai pegawai swasta
dengan penghasilan kurang lebih Rp 1.500.000,- per bulan. Penghasilan
tersebut menanggung hidup 4 orang, kedua orang tua pasien, pasien dan kakak
perempuan pasien.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup

3
 Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

Morbiditas HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru (-),


kehamilan Anemia (-), Infeksi (-)
Selama awal kehamilan ibu pasien menjalani ANC
rutin di puskesmas dekat rumah +15 kali ( 2 kali
per bulan) sampai menjelang masa persalinan.
Kehamilan Riwayat imunisasi TT (+), konsumsi suplemen

Perawatan antenatal selama selama kehamilan (+). Ibu tidak pernah


mengonsumsi jamu selama hamil, tidak merokok,
tidak mengonsumsi alkohol, tidak pernah
mengalami demam, sesak, muntah-muntah atau
penyakit lain selama kehamilan.
Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter Sp. OG
Cara persalinan Spontan per vaginam
Masa gestasi 38 minggu
Berat lahir : 3000 gr
Panjang lahir: 48 sentimeter
Kelahiran Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat
Lingkar dada : ibu pasien tidak ingat
Keadaan bayi
Keadaan lahir : langsung menangis kuat,tidak
pucat dan tidak biru
Air ketuban : jernih
Kelainan bawaan : -
Suntik Vit. K Ibu pasien tidak tahu

Riwayat morbiditas/penyulit kehamilan tidak ada, perawatan antenatal cukup baik,


neonates aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan bugar.
 Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Poli Anak RSUD Kardinah


sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat.

 Corak Reproduksi Ibu

4
Ibu P2A0, Anak pertama adalah berjenis kelamin perempuan, berusia 7
tahun, anak kedua adalah pasien berusia 4 tahun, hidup dan sehat. Usia ibu
pasien saat hamil pasien adalah 29 tahun.

 Riwayat Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku saat ini sedang tidak menggunakan KB.

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

o Pertumbuhan :
Berat badan lahir anak 3000 gram, panjang badan 48 cm dengan berat
badan sekarang 16 kg, tinggi badan sekarang 105 cm.

o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Motorik Kasar
o Tengkurap : 4 bulan
o Duduk tanpa bantuan : 6 bulan
o Berdiri : 9 bulan
o Berjalan : 12 bulan
o Mengucapkan kata : 14 bulan

 Riwayat Makan dan Minum

o Pasien menerima ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan.


o Usia 6 bulan pasien mulai mengkonsumsi bubur bayi, susu formula,
dan masih ASI sampai usia 12 bulan.

 Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur)


BCG 1 bulan - - -
DTP/ DT - 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 bulan
POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 bulan
CAMPAK - - - 9 bulan

5
HEPATITIS B Lahir 1 bulan 6 bulan -

Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar dan ulangan BCG, DTP,
Polio, dan Hepatitis B.

 Silsilah Keluarga

= Laki-laki
= Perempuan
= Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien

 Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara

 Ayah pasien merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara

 Ibu pasien merupakan anak kedua dari 4 bersaudara

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal Rabu, 4 April 2018, pukul 07.30
WIB, di ruang perawatan PICU RSU Kardinah.

I. Keadaan Umum
Somnolen, tampak lemah.

6
II. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 144 x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 32 x/menit reguler
Suhu : 36.0oC, Axilla

I. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 16 kg
Tinggi badan sekarang : 105 cm
Lingkar kepala sekarang : 49 cm

I. Status Internus
 Kepala : Normosefali

 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

 Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas

cuping hidung (-), terpasang NGT.

 Telinga : Normotia, discharge (-/-)

 Mulut : Bibir kering(+), bibir sianosis(-), stomatitis (-), labioschizi(-),

palatochizis (-).

 Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB

 Thorax : Dinding thorax normothorax dan simetris

o Paru :

 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga


normal. Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal.
 Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal

7
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-).
o Cor :

 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.


 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
sinistra.
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)

 Abdomen :

 Inspeksi : Datar, simetris

 Auskultasi : Bising usus (+)

 Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan
lien tidak teraba, asites (-), nyeri tekan regio epigastric dan
hipokondiraka kanan, tidak teraba organomegali.

 Perkusi : timpani di 4 kuadran

 Vertebra : tidak ada kelainan

 Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki

 Anorektal : tidak ada kelainan

 Ekstremitas:

Keempat ekstrimitas lengkap, simetris


Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-

8
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemantauan Laboratorium Pasien DSS

Nama : An. L
Usia : 4 tahun
RM : 911627
Tanggal Jam Hb Leko Ht Trombo
3/4/2018 10.53 16 7.0 44.0 19.000
3/4/2018 12.24 12.4 4.4 37.7 46.000
4/4/2018 10.00 13.4 11.6 37.1 10.000
4/4/2018 22.48 10.4 8.5 30.4 14.000
6/4/2018 06.50 11.0 10.3 31.4 50.000

60

50

40
Hb
30 Leko
Ht
20 Trombosit

10

0
10:52 12:24 10:10 22:48 6:50

9
 Laboratorium Darah

Pemeriksaa Hasil Satuan Nilai Rujukan


(03/04/2018) (03/04/2018) (04/04/2018) (04/04/2018) (06/04/2018)
n
10.53 12.24 10.00 22.48 06.50
Hemoglobin 16.0 (H) 13.4 13.4 10. 4 (L) 11.0 g/dl 11.2 – 15.7
Leukosit 7.0 4.4 (L) 11.6 8.5 10.3 3
10 /µl 4.4 – 11.3
Hematokrit 44.0 (H) 37.7 37.1 30.4 (L) 31.4 (L) % 37 – 47
Trombosit 19 (L) 48 (L) 10 (L) 14 (L) 50 (L) 103/µl 150 – 521
Eritrosit 6.1 (L) 5.2 5.1 (L) 4.1 (L) 4.2 106/µl 4.1 – 5.1
RDW 12.4 12.3 12.2 12.4 12.5 % 11.5 – 14.5
MCV 73.7 72.9 72.6 74.7 75.7 U 80 – 96
MCH 26.3 25.9 26.2 25.6 26.5 Pcg 28 – 33
MCHC 35.7 35.5 36.1 (H) 34.2 35.0 g/dL 26 – 34
Diff count
Neutrofil 36.0 (L) 34.3 (L) % 50 – 70
Limfosit 42.4 (H) 50.6 (H) % 25 – 40
Monosit 20.7 (H) 14.6 (H) % 2–8
Eosinofil 0 (L) 0 (L) % 2–4
E. PEMERIKSAAN KHUSUS
a. Data antropometri
Anak perempuan usia 4 tahun
Berat badan sekarang : 16 kg
Tinggi badan sekarang : 105 cm
Lingkar kepala sekarang : 49 cm
b. Pemeriksaan Status Gizi (curva WHO)

Kesan: Berat badan normal

Kesan: Perawakan normal


Kesan: Gizi baik

c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : Normocephali
F. RESUME

Pasien datang ke IGD pada hari Selasa, 3 April 2018 pukul 10.00 WIB
diantar oleh orangtuanya dengan demam hari ke-4 (sejak Jumat, 30 Maret 2018),
demam awalnya tinggi dan mendadak. Keluhan disertai nyeri perut, mual, muntah.
Muntah isi makanan, tidak hitam atau berdarah. BAK sedikit. Pasien lemah, akral
dingin.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 4 April 2018 didapatkan keadaan umum
somnolen, pasien tampak lemah, dengan tekanan darah 110/80mmHg, denyut
jantung 144x/m, pernafasan 32x/m, suhu 36.0˚C. Saat itu pasien terpasang NGT
karena keluhan muntah hitam semalam, bibir kering, terdapat nyeri tekan
epigastrik dan hipokondriaka kanan tanpa organomegali. Status antropometri dan
status gizi pasien normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan tanda peningkatan permeabilitas kapiler
berupa hemokonsentrasi (Ht: 44.0%), tanda kebocoran plasma berupa
trombositopenia (Trombosit 19.000/uL, 46.000/uL, 10.000/uL), leukopenia
(4.4/uL).

G. DAFTAR MASALAH

 Demam hari ke-4.

 Nyeri perut, mual, muntah, akral dingin.

 Status gizi baik

H. DIAGNOSIS BANDING

 Dengue Shock Syndrom


Demam hari ke-4, mual,
 Dengue Haemorrhagic Fever
muntah, nyeri perut,
 Dengue fever
akral dingin
 Demam typhoid
 Hipovolemik
Observasi syok  Distributif
 Cardiogenik
 Baik
Status gizi  Kurang
 Buruk
I. DIAGNOSIS KERJA

- Dengue Shock Syndrom


- Gizi Baik

J. PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
 Monitor tanda vital dan keadaan umum
 Edukasi:
• Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien,
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
• Menjelaskan kepada keluarga bahwa keadaan pasien sedang
kritis dan pasien perlu banyak asupan cairan.
• Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak
terkena penyakit serupa.
a. Medikamentosa
• O2 nasal 2 L
• Loading RL 20ml/kgBB selama 15 menit  320cc dibuat 2 jalur
• Evaluasi selama 30 menit, bila shock teratasi..
• Infus RL 10cc/kgBB selama 1 jam  160cc selama 1 jam
• Evaluasi tanda vital, bila stabil...
• Infus RL 7cc/kgBB selama 2 jam  112cc selama 2 jam
• Infus RL 5cc/kgBB selama 4 jam  80cc selama 4 jam
• Infus RL 3cc/kgBB selama 4 jam  48cc selama 4 jam
• Cek darah rutin, lihat hasil hematokrit. Cek gula darah sewaktu.
• Stop infus bila syok teratasi (tidak lebih dari 48 jam)
• Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Inj. Metilprednisolon 1 x ½ amp (62,5 mg)
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Ondansetron 2 x ½ amp (2 mg)
• P.O:
• Psidii 3 x 1 cth
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

L. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Cek darah rutin setiap 6 jam.
 Test rumple leed.
 Foto thoraks.
M. PERJALANAN PENYAKIT

3 April 2018 pukul 15.00 WIB (PICU) 3 April 2018 pukul 23.40 WIB (PICU) 4 April 2018 pukul 07.15 WIB (PICU)
S Pasien demam hari ke-4, demam sudah S Pasien mengeluh mual (+), muntah (+) S Pasien demam hari ke-5, demam sudah
mulai turun namun keadaan pasien frekuensi 1x, berwarna hitam campur mulai turun namun pasien masih lemah.
semakin lemah. Mual (+), muntah (+) isi makanan. Mual (+), muntah (-). Pasien sering
makanan, tidak hitam. BAK sedikit. merasa haus
O KU: somnolen, tampak lemah O KU: somnolen, tampak lemah O KU: CM, tampak lemah
TTV: HR 132 x/m nadi lemah, RR TTV: HR 123 x/m, RR 24x/m, S 36.00C, TTV: HR 144 x/m, RR 24x/m, S 37.30C,
24x/m, S 36.70C, SpO2: 100% Status generalis:
Status generalis: Status generalis: Mata: edema palpebral (-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abd: nyeri tekan epigastrium (+) Abd: nyeri tekan epigastrium (+) Abd: nyeri tekan epigastrium (+).
Ekst: akral dingin, CRT >2” Ekst: akral dingin, CRT 2” Ekst: akral hangat, CRT < 2”
A A DSS A DSS syok teratasi
DSS
Hematemesis Hematemesis
P • Loading HAES 160 cc 1 jam pertama P • Terapi lanjut P • Aff O2 dan NGT
• Infus RL 10cc/kgBB • O2 nasal 2L • Infus RD 3 cc/kgBB/jam  48cc
• Infus RL 7cc/kgBB • Inj. Omeprazol 1/3 vial (13mg) • Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Infus RL 5cc/kgBB • Pasang NGT • Inj. MP 1 x ½ amp (62,5 mg)
• Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Ondansetron 2 x 2 mg
• Inj. MP 1 x ½ amp (62,5 mg) • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg PO:
PO: - Psidii 3 x 1 cth
- Psidii 3 x 1 cth Diet bubur/nasi lunak
Pasang DC, pantau diuresis
4 April 2018 pukul 15.00 WIB (PICU) 5 April 2018 pukul 23.40 WIB (WK) 6 April 2018 pukul 07.15 WIB (WK)
S Pasien demam hari ke-6, demam sudah S Demam hari ke-7, keluhan sudah S Pasien demam hari ke-8, keluhan sudah
mulai turun namun keadaan pasien masih membaik. Mual (-), muntah (-), nafsu berkurang dan membaik. Asupan makan
lemah. Mual (+), muntah (-) nyeri perut makan dan minum sudah membaik walau dan minum sudah mulai banyak. BAB
(-), nafsu makan dan minum masih ↓ sedikit-sedikit. dan BAK normal, nyeri perut (-).
O KU: CM, tampak lemah O KU: CM O KU: CM, tampak lemah
TTV: HR 115 x/m, RR 32x/m, S 36.40C, TTV: HR 100 x/m, RR 28x/m, S 36.3 C 0
TTV: HR 96 x/m, RR 24x/m, S 36.20C,
SpO2: 96% Status generalis: Status generalis:
Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Abd: BU (+), nyeri tekan (-) Abd: BU (+), supel, nyeri tekan (-)
Abd: nyeri tekan epigastrium (-) Ekst: akral hangat, CRT < 2” Ekst: akral hangat, CRT <2”
Ekst: akral hangat, CRT < 2”
A DSS A A DSS syok teratasi
DSS perbaikan
Perbaikan klinis Hematemesis
P • Infus RD 3 cc/kgBB  48cc/jam P • Infus RD 13 tpm P • Infus RD 13 tpm
• Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Vit C 1 x 100 mg • Inj. Vit C 1 x 100 mg
• Inj. Ondansetron 2 x 2 mg • Inj. Ondansetron 2 x 2 mg • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg
• Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg • Inj. Amoksisilin 3 x 500 mg PO:
PO: • Inj. Lasix (ekstra) 10mg - Psidii 3 x 1 cth
- Psidii 3 x 1 cth PO: BLPL
Pindah ruangan - Psidii 3 x 1 cth
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
a. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus Dengue tipe 1, Dengue tipe 2, Dengue tipe 3 atau Dengue
tipe 4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus Dengue dari penderita
DBD lainnya.(5) Penyakit ini ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari
tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia),
ruam (purpura) kadang-kadang mimisan, buang air besar berdarah, muntah
darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap serius pada demam berdarah
Dengue adalah jika muncul perdarahandan tanda-tanda syok/ renjatan.
b. Sindrom Syok Dengue
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi
kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok.
SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.

2.2 Epidemiologi
Demam berdarah adalah penyakit virus nyamuk yang paling cepat
menyebar di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian meningkat 30 kali lipat
seiring dengan meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru dan,
dalam dasawarsa ini, dari daerah perkotaan hingga pedesaan. Diperkirakan 50
juta infeksi dengue terjadi setiap tahun dan kira-kira 2,5 miliar orang tinggal di
negara-negara endemik dengue.
Gambar 1. Daerah risiko transmisi Dengue

Epidemik demam berdarah merupakan masalah kesehatan masyarakat


utama di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste yang
berada di zona tropis dan ekuatorial di mana Aedes aegypti tersebar luas di
daerah perkotaan dan pedesaan, beberapa virus serotipe beredar, dan demam
berdarah sebagai penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak.
Angka fatalitas kasus yang dilaporkan untuk wilayah ini sekitar 1%, namun di
India, Indonesia dan Myanmar, wabah fokal jauh dari daerah perkotaan telah
melaporkan tingkat kematian kasus sebesar 3 - 5%.
Di Indonesia, di mana lebih dari 35% penduduk negara tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2007 (catatan
tertinggi) dengan lebih dari 25.000 kasus yang dilaporkan dari Jakarta dan
Jawa Barat angka kematian kasus adalah sekitar 1 %.

2.3 Etiologi
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae.
Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun
memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang
paling banyak sebagai penyebab. Di Indonesia sendiri paling banyak adalah
DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus
DEN-2.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan
suatu faktor risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang
disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya
renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting
Cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti
sel Kupfer di sinusoid hepar.

2.4 Transmisi
Dengue ditularkan antara manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang
menularkan penyakit adalah vektor. Gejala infeksi biasanya dimulai 4 - 7 hari
setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung selama 3 - 10 hari.
Agar penularan dapat terjadi, nyamuk harus menggigit seseorang
selama periode ketika sejumlah besar virus berada dalam darah manusia (5
hari pertama); periode ini biasanya dimulai sesaat sebelum orang tersebut
menjadi simtomatik. Beberapa orang tidak pernah memiliki gejala yang
signifikan namun masih bisa menginfeksi nyamuk. Setelah memasuki tubuh
nyamuk, virus akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum
kemudian bisa ditularkan ke manusia lain. Nyamuk tetap terinfeksi selama sisa
hidupnya, yang mungkin berhari-hari atau beberapa minggu.
Gambar 2. Transmisi virus dengue
Di banyak daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah suatu
kejadian endemik, terjadi setiap tahun, biasanya pada musim ketika populasi
nyamuk Aedes tinggi, seringkali saat curah hujan optimal untuk berkembang
biak. Epidemi demam berdarah membutuhkan kebetulan sejumlah besar
nyamuk vektor, orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap salah satu dari
empat tipe virus (DENV 1, DENV 2, DENV 3, DENV 4), dan kesempatan
untuk kontak di antara keduanya.

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi Syok Sindrom Dengue

Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan oleh virus yang sama
namun memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda. Pada DBD
didapatkan kebocoran plasma (plasma leakage) ke ruang ekstravaskuler yang
ditandai adanya hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang diduga
terjadi karena proses imunologi.
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ
reticulo endothelial system (RES) seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru.
Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus
yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag.
Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir
setelah 5 hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting
cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyakvirus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik, seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi
agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi
trombositopenia ini bersifat ringan.

Gambar 3. Immunopatogenesis DBD

Mekanisme terjadinya perdarahan pada DBD terjadi saat setelah


terbentuknya komplek antigen antibodi yang mengaktivasi sistem komplemen,
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan endotel pembuluh darah. Perlekatan kompleks antigen antibodi akan
mengaktifkan sistem koagulasi yang dimulai dari aktifasi faktor Haegman
(faktor XII) menjadi bentuk aktif (faktor XIIa). Kemudian faktor ini akan
mengaktifkan sistem kinin yang dapat menyebabkan permeabilitas meningkat
dan mempercepat terjadinya syok. Agregasi trombosit dan aktivasi koagulasi
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III yang dapat mencetuskan
terjadinya koagulasi diseminata (KID) sehingga terjadi peningkatan
fibrinogen degradation products (FDP) yang menyebabkan faktor pembekuan
menurun sehingga perdarahan makin parah. Pada DBD juga terjadi gangguan
fungsi trombosit dan agregasi trombosit yang terjadi karena perlekatan antigen
antibodi pada membran trombosit merangsang pengeluaran adenosin
diphosphat (ADP) sehingga sel - sel trombosit saling melekat yang kemudian
akan dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial khususnya limpa dan hati.
Semua keadaan ini bisa menyebabkan syok.

Gambar 4. Teori infeksi sekunder dan Immune enhancement.

Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi
kedua kalinya dengan serotipe virus Dengue berbeda dengan yang
menginfeksi sebelumnya mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita
DBD atau terjadi manifestasi lebih berat. Antibodi dari serotipe berbeda yang
telah ada sebelumnya akan mengenai serotipe virus lain yang sedang
menginfeksi saat itu dan membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi tersebut sebenarnya antibodi untuk melawan
antigen dari serotipe yang sebelumnya, maka virus dengan serotipe berbeda
yang menginfeksi saat ini tidak dinetralisasi oleh tubuh dan akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag sehingga terjadi peningkatan infeksi
virus Dengue. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus Dengue yang
berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan
proliferasi dan transformasi limfosit menghasilkan titer tinggi IgG anti
Dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus Dengue. Ikatan virus Dengue dengan antibodi
heterolog akan mengaktifasi komplemen jalur klasik yang berakhir dengan
dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang disebut anafilatoksin.
Anafilatoksin akan melepaskan histamin, serotonin dan platelet activating
factor (PAF). Histamin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan
permebilitas pembuluh darah yang menyebabkan perembesan plasma ke ruang
ekstravaskular. Hal ini ditandai dengan hematokrit meningkat, hiponatremia,
dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada perembesan plasma
mengakibatkan volume intravaskuler menurun sehingga terjadi pengurangan
venous return, yang menyebabkan penurunan stroke volume, penurunan
cardiac output dan juga MAP. Akibat banyaknya kehilangan volume
intravaskular ini dapat menyebabkan syok yang bisa berakhir dengan
kematian.

Gambar 5. Patogenesis syok pada DBD

2.6 Fase-fase pada Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah terbagi menjadi tiga fase:
1. Fase Febril
Pada fase ini, pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba selama 2 –
7 hari, muka merah (facial flushing), nyeri/linu (generalized body ache ), nyeri
otot (myalgia), nyeri sendi (athralgia), sakit kepala, eritema pada kulit. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi faring dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Hal ini menyebabkan sulit membedakan DBD
dengan penyakit non-Dengue. Tes positif torniket dalam fase ini dapat
meningkatkan probabilitas Dengue. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie dan perdarahan mukosa.Walaupun jarang, dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.

2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan penurunan suhu menjadi 37,5 – 38 oC atau kurang,
terjadi pada hari ke 3 – 7 sakit dan disertai kenaikan permeabilitas kapiler
yang ditandai dengan peningkatan hematokrit dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma
sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.
Pada pasien yang tanpa peningkatan permeabilitas kapiler kondisinya akan
membaik, sementara mereka yang mengalami peningkatan permeabilitas
kapiler dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat volume plasma yang hilang.
Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi
secara klinis tergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi
cairan. Oleh karena itu, x-ray dan USG abdomen dapat berguna untuk
diagnosis. Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya
memperlihatkan keparahan dari adanya kebocoran. Syok terjadi karena
kebocoran plasma yang menyebabkan perfusi ke jaringan berkurang. Suhu
tubuh mungkin subnormal pada saat syok. Dengan syok berkepanjangan,
terjadi hipoperfusi organ yang progresif dan asidosis metabolik.. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan parah sehingga hematokrit menurun saat terjadi
syok berat. Fase ini juga terjadi leukopenia tetapi leukosit akan meningkat
apabila terjadi perdarahan hebat. Pasien-pasien yang mengalami perbaikan
setelah fase ini dikelompokkan kedalam infeksi Dengue ringan. Beberapa
pasien dapat berkembang menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran
plasma, sehingga diperlukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari
fase kritis dan adanya kebocoran plasma. Pasien yang memburuk akan
memperlihatkan tanda-tanda bahaya, disebut Dengue dengan tanda-tanda
bahaya.
Dengue berat didefinisikan oleh satu atau lebih dari hal berikut: (i)
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok (demam berdarah) dan / atau
akumulasi cairan, dengan atau tanpa gangguan pernapasan, (ii) pendarahan
hebat, (iii) gangguan organ berat. Seiring meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah, hipovolemia, dan berakhir pada syok. Biasanya terjadi di
sekitar hari ke 4 atau 5 (rentang hari 3-7) penyakit, didahului dengan tanda
peringatan.
Selama tahap awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik normal juga mengakibatkan takikardia dan
vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang, mengakibatkan
ekstremitas dingin dan waktu pengisian kapiler yang tertunda. Penderita syok
sering tetap sadar sehingga dapat menimbulkan kesalahan penilaian keadaan
kritis pasien.
Pasien dianggap shock jika tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik) adalah ≤ 20 mmHg atau adanya tanda perfusi kapiler yang
buruk (ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi
cepat menilai). Hipotensi biasanya terkait dengan syok yang berkepanjangan
yang seringkali dipersulit oleh perdarahan hebat.
Demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari area risiko
demam berdarah dengan demam 2-7 hari ditambah beberapa hal berikut:

 Tanda kebocoran plasma, seperti:


o Hematokrit tinggi atau semakin meningkat
o Efusi pleura atau asites
o Kompromi atau syok peredaran darah (takikardia, ekstremitas dingin,
waktu pengisian kapiler lebih besar dari tiga detik, denyut nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan darah yang tidak dapat diukur).
 Perdarahan yang signifikan.
 Tingkat kesadaran yang berubah (kelesuan atau kegelisahan, koma, kejang).
 Keterlibatan gastrointestinal yang parah (muntah terus-menerus, sakit perut
meningkat atau intens, sakit kuning).
 Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati atau
ensefalitis, atau manifestasi tidak biasa lainnya, kardiomiopati) atau
manifestasi tidak biasa lainnya.
Namun, kebanyakan kematian akibat demam berdarah terjadi pada pasien
dengan syok yang mendalam, terutama jika situasinya diperumit oleh
kelebihan cairan.
3. Fase Perbaikan
Jika pasien selamat pada 24 – 48 jam fase kritisnya, maka selanjutnya
reabsorpsi cairan kompartemen ekstravaskular berlangsung di 48 – 72 jam
berikutnya. Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis terjadi
kemudian. Beberapa pasien mungkin mengalami pruritus, bradikardia dan
perubahan elektrokardiografi yang umum selama tahap ini. Hematokrit akan
stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari proses penyerapan
cairan. Jumlah sel darah putih dan trombosit biasanya mulai naik setelah
penurunan suhu badan hingga normal. Selama kritis dan/atau fase pemulihan,
terapi cairan berlebihan berhubungan dengan edema paru atau kongestif gagal
jantung.

Gambar 6. Fase-fase DBD.


2.7 Faktor risiko
Faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi terkena syok
dengue tidak diketahui secara jelas. DBD / DSS lebih mungkin terjadi pada
bayi dan orang tua. Infeksi dengue juga tampak lebih parah pada wanita.
Demam tinggi lebih mungkin terjadi pada pasien dengan penyakit kronis
seperti diabetes melitus atau asma. Meskipun malnutrisi merupakan
predisposisi terhadap banyak penyakit menular, hal itu tampaknya tidak
meningkatkan kemungkinan demam berdarah parah. Serotipe virus yang
menginfeksi dapat mempengaruhi tingkat keparahan demam berdarah; Infeksi
DEN-1, diikuti oleh infeksi DEN-2, telah dilaporkan terkait dengan hasil yang
lebih buruk. Ada beberapa bukti bahwa kerentanan genetik (variasi etnis,
pengetikan HLA, , dll.) Dapat berperan dalam pengembangan syok dengue,
namun hal ini belum dipelajari secara menyeluruh.

2.8 Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue dan DSS


Demam berdarah memiliki spektrum presentasi klinis yang luas,
seringkali dengan evolusi dan hasil klinis yang tidak dapat diprediksi.
Sementara sebagian besar pasien sembuh mengikuti kursus klinis non-akut
yang membatasi diri sendiri, sebagian kecil kemajuan pada penyakit berat,
sebagian besar ditandai dengan kebocoran plasma dengan atau tanpa
perdarahan.

Gejala DBD ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, dan


sering disertai hepatomegali dan gagal sirkulasi. Fase awal DBD, umumnya
sama dengan penyakit virus penyebab panas lainnya. Gejala yang timbul yaitu
demam tinggi mendadak berlangsung 2 – 7 hari, muka merah, muntah, sakit
kepala, nyeri otot dan tulang serta nyeri sendi. Bersama dengan terjadinya
demam bifasik, penderita DBD mengalami trombositopenia progresif,
hematokrit meningkat yang memicu terjadinya hemokonsentrasi, dan
manifestasi perdarahan menjadi nyata. Selain itu, bentuk perdarahan yang
sering terjadi adalah perdarahan di bawah kulit dan terjadi perdarahan pada
bekas suntikan. Segera setelah terjadi demam, tanda-tanda terjadinya plasma
leakage mulai terjadi, bersamaan dengan timbulnya gejala perdarahan,
misalnya perdarahan gastrointestinal, hematuria, dan perdarahan jika trauma.
Tahapan kritis penyakit terjadi pada akhir fase demam, 2 – 7 hari dari
fase demam, suhu badan akan menurun cepat akibat terjadinya gangguan
sirkulasi. Plasma leakage merupakan gambaran kritis dari DBD yang ditandai
dengan hemokonsentrasi, seperti efusi plura, asites, peningkatan hematokrrit
dan hipoproteinemia. Pada beberapa studi ditemukan bahwa diabetes mellitus
(DM), hipertensi, stroke, dan alergi dapat meningkatkan resiko DBD dan pada
pasien DBD dengan gagal ginjal kronis memiliki resiko yang besar untuk
menjadi syok dan juga kematian.
Pada penderita yang sakit berat, akibat banyaknya plasma yang hilang,
syok akan terjadi dan memberat, sehingga penderita dapat meninggal dunia.
Awal mula terjadinya syok dapat ditandai dengan nyeri perut, muntah dan
gelisah. Kemudian penderita mengalami efusi pleural yang progresif,
hepatomegali dan munculnya tanda-tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit
menjadi dingin, berbintik-bintik, terjadi pembengkakan (kongesti), sianosis
disekeliling mulut, denyut nadi cepat dan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg.
Keadaan ini biasanya terjadi pada waktu atau segera sesudah suhu badan
penderita menurun yang terjadi antara hari ke 3 – 7 dari penyakit dan dapat
menjadi kematian apabila dalam waktu 8 – 24 jam setelah timbulnya tanda-
tanda kegagalan sirkulasi tidak mendapat penanganan yang tepat.
Perubahan epidemiologi demam berdarah menyebabkan masalah
dengan penggunaan klasifikasi WHO yang ada. Infeksi virus dengue
simtomatik dikelompokkan menjadi tiga kategori: demam berdiferensiasi,
demam berdarah (DF) dan demam berdarah dengue (DBD). DHF
dikelompokkan menjadi empat tingkat keparahan, dengan grade III dan IV
didefinisikan sebagai Dengue Syndrome (DSS).
Kriteria diagnosis DBD mulai diperkenalkan pada tahun 1964 dan
selanjutnya direvisi pada tahun 1975 berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium. Berdasarkan kriteria ini, manifestasi klinis infeksi dibagi
menjadi, yaitu DD dan DBD. Derajat DBD dibagi menjadi empat bagian,.
DBD derajat III dan IV dimasukkan kedalam kategori DSS. Perbedaan antara
DD dan DBD adalahnya adanya kebocoran plasma (plasma leakage), yang
mulai terlihat pada hari sakit ke-3 dan puncaknya terjadi umumnya pada hari
sakit ke-5. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa kebocoran ini
serta keterangan oratua dapat mempengaruhi prognosis pasien.
Saat ini pengklasifikasian ke DF / DHF / DSS terus banyak digunakan.
Temuan penelitian mengkonfirmasikan bahwa, dengan menggunakan
seperangkat parameter klinis dan/atau laboratorium, seseorang melihat
perbedaan yang jelas antara pasien dengan demam berdarah berat dan mereka
dengan demam berdarah tidak berat. Namun, untuk alasan praktis, sangat
disarankan untuk membagi kelompok besar pasien dengan demam berdarah
tidak berat menjadi dua subkelompok - pasien dengan tanda peringatan dan
pasien tanpa tanda peringatan.

Gambar 7. Kriteria diagnosis DBD

WHO membuat proposal baru untuk menyempurnakan definisi kasus


serta klasifikasi dengue dengan membaginya atas Non severe Dengue without
warning signs atau dengue with (mild) warning signs, dengue with warning
signs, dan severe dengue. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa publikasi
menyampaikan kesulitan untuk mendiagnosis DBD dengan menggunakan
kriteria yang lama. Namun dalam buku petunjuk WHO terakhir, kebijakan
pedoman tata laksana dengue diserahkan kepada negara masing masing sesuai
dengan kebijakan kementerian kesehatan setempat. Untuk itu, Indonesia masih
mengacu kepada pedoman WHO tahun 1997.

2.9 Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue


Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit
dan atau perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak
gelisah.
Derajat IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
teratur.

2.10 Manajemen Demam Berdarah Dengue

1. Langkah I: melakukan penilaian keseluruhan yang mencakup:


Anamnesis: tanggal timbulnya demam/sakit, jumlah asupan oral, penilaian
tanda peringatan, diare, perubahan keadaan mental / kejang / pusing, keluaran
urin (frekuensi, volume dan waktu kekosongan terakhir), riwayat penting
lainnya seperti dengue keluarga atau lingkungan, melakukan perjalanan ke
daerah endemik dengue, trekking hutan dan berenang di air terjun
(pertimbangkan leptospirosis, tifus, malaria), seks tanpa kondom atau
penyalahgunaan obat terlarang (pertimbangkan penyakit serokonversi HIV
akut).
Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian keadaan mental, penilaian
status hidrasi, penilaian status hemodinamik, memeriksa pernapasan tak
terduga / asidosis / efusi pleura, memeriksa nyeri tekan abdomen /
hepatomegali / asites, pemeriksaan ruam dan manifestasi perdarahan, uji
tourniquet (ulangi jika sebelumnya negatif atau jika tidak ada manifestasi
perdarahan).
Penyelidikan; penghitungan darah lengkap harus dilakukan pada
kunjungan pertama. Tes hematokrit pada fase demam awal menetapkan
hematokrit dasar pasien sendiri. Penurunan jumlah sel darah putih membuat
demam berdarah sangat mungkin terjadi. Penurunan jumlah trombosit yang
cepat bersamaan dengan peningkatan hematokrit dibandingkan dengan
baseline adalah sugestif kemajuan pada fase klinis / fase kritis penyakit ini.
Dengan tidak adanya garis dasar pasien, tingkat hematokrit populasi spesifik
usia dapat digunakan sebagai pengganti selama fase kritis.
Tes laboratorium harus dilakukan untuk memastikan diagnosis. Namun,
tidak diperlukan penanganan akut pasien, kecuali pada kasus dengan
manifestasi yang tidak biasa. Tes tambahan harus dipertimbangkan seperti tes
fungsi hati, glukosa, elektrolit serum, urea dan kreatinin, bikarbonat atau
laktat, enzim jantung, dan EKG.
2. Langkah II: Diagnosis, penilaian fase penyakit dan tingkat keparahan
Berdasarkan evaluasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan/atau hitung darah
lengkap dan hematokrit, dokter harus dapat mengetahui apakah penyakitnya
adalah demam berdarah, fase mana itu (demam, kritis atau sembuh), apakah
ada tanda peringatan, status hidrasi dan hemodinamik pasien, dan apakah
pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
3. Langkah III: Manajemen
Di negara-negara yang menderita demam berdarah, kasus dugaan
demam berdarah, kemungkinan dan pasti harus diberitahukan sesegera
mungkin sehingga tindakan kesehatan masyarakat yang tepat dapat dimulai.
Kriteria yang disarankan untuk pemberitahuan dini kasus yang dicurigai
adalah bahwa pasien tinggal atau pernah bepergian ke daerah endemik dengue,
demam selama tiga hari atau lebih, memiliki jumlah sel darah putih yang
rendah atau menurun, dan / atau memiliki tes tourniquet trombositopenia +
positif.
Keputusan manajemen akan bergantung pada manifestasi klinis dan
keadaan lainnya, pasien dapat dikirim pulang (Grup A), dirujuk untuk
manajemen di rumah sakit (Grup B), atau memerlukan perawatan darurat dan
rujukan mendesak (Grup C).

2.10 Tatalaksana berdasar pengelompokkan pasien


1. Kelompok A - pasien yang mungkin dikirim pulang. Ini adalah pasien yang
mampu mentoleransi intake volume cairan via oral dan buang air kecil
setidaknya sekali dalam enam jam, dan tidak memiliki tanda peringatan,
terutama saat demam mereda.
a. Dorong asupan oral larutan rehidrasi oral, jus buah dan cairan lainnya
yang mengandung elektrolit dan gula untuk menggantikan kerugian
akibat demam dan muntah. Asupan cairan oral yang memadai mungkin
bisa mengurangi jumlah rawat inap
b. Beri parasetamol untuk demam tinggi jika pasien tidak nyaman.
Interval dosis parasetamol tidak boleh kurang dari enam jam.
c. Anjurkan kepada pemberi perawatan bahwa pasien harus dibawa ke
rumah sakit segera jika terjadi hal berikut: tidak ada perbaikan klinis,
kemunduran sekitar waktu defensif, nyeri perut yang parah, muntah
terus-menerus, ekstremitas dingin dan berkabut, kelesuan atau mudah
tersinggung / gelisah , perdarahan (misalnya tinja hitam atau muntahan
kopi), tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
2. Kelompok B - pasien yang harus dirujuk untuk manajemen di rumah sakit
Pasien mungkin perlu dirawat di pusat perawatan kesehatan sekunder untuk
pengamatan ketat, terutama saat mereka mendekati fase kritis. Hal ini dilterapkan
termasuk pasien dengan tanda peringatan, mereka dengan kondisi yang dapat
membuat demam berdarah atau manajemennya lebih rumit (seperti kehamilan,
bayi, usia lanjut, obesitas, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit hemolitik
kronis), dan orang-orang dengan penyakit sosial tertentu, seperti tinggal sendiri,
atau tinggal jauh dari fasilitas kesehatan tanpa sarana transportasi yang andal.
Jika pasien mengalami demam berdarah dengan tanda peringatan, rencana
tindakannya adalah sebagai berikut:
 Ketahui hematokrit sebelum terapi cairan. Berikan hanya larutan
isotonik seperti 0,9% garam, laktat Ringer, atau larutan Hartmann.
Mulailah dengan 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian kurangi
3-5 ml / kg / jam selama 2-4 jam, kemudian kurangi 2-3 ml / kg / jam
atau kurang sesuai dengan respon klinis (kotak teks H, J dan K).
 Menilai kembali status klinis dan mengulangi hematokrit. Jika
hematokrit tetap sama atau naik hanya minimal, lanjutkan dengan
tingkat yang sama (2-3 ml / kg / jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda
vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat, tingkatkan 5-
10 ml / kg / jam selama 1-2 jam. Menilai kembali status klinis, ulangi
hematokrit dan tinjau kembali tingkat infus cairan yang sesuai.
 Berikan volume cairan intravena minimum yang dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan keluaran urin yang baik sekitar 0,5 ml /
kg / jam. Cairan intravena biasanya dibutuhkan hanya 24-48 jam.
Kurangi cairan intravena secara bertahap ketika tingkat kebocoran
plasma menurun menjelang akhir fase kritis. Hal ini ditunjukkan
dengan keluaran urin dan / atau asupan cairan oral yang cukup, atau
penurunan hematokrit di bawah nilai awal pada pasien yang stabil.
 Pasien dengan tanda peringatan harus dipantau oleh petugas kesehatan
sampai masa kritisnya berakhir. Keseimbangan cairan rinci harus
dijaga. Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi
perifer (1-4 jam sampai pasien berada di luar fase kritis), output urin
(4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan,
kemudian 6-12 jam) , glukosa darah, dan fungsi organ lainnya (seperti
profil ginjal, profil hati, profil koagulasi, seperti yang ditunjukkan).

3. Kelompok C - pasien yang memerlukan perawatan darurat dan rujukan


mendesak saat mereka menderita demam berdarah parah.
Pasien memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak saat berada
dalam fase kritis penyakit, yaitu ketika mereka memiliki:
 Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dengue dan / atau
akumulasi cairan dengan gangguan pernafasan;
 Perdarahan hebat;
 Kerusakan organ berat (kerusakan hati, kerusakan ginjal,
kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis).
Semua pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di rumah sakit
dengan akses ke fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan
intravena adalah intervensi penting dan biasanya satu-satunya yang diperlukan.
Solusi kristaloid harus isotonik dan volumenya hanya cukup untuk
mempertahankan sirkulasi efektif selama periode kebocoran plasma. Kerugian
plasma harus segera diganti dan cepat dengan larutan kristaloid isotonik atau,
dalam kasus syok hipotensi, larutan koloid. Jika memungkinkan, dapatkan kadar
hematokrit sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Transfusi darah harus diberikan
hanya pada kasus dengan dugaan / perdarahan hebat.
Tujuan resusitasi cairan meliputi perbaikan sirkulasi sentral dan perifer
(penurunan takikardia, peningkatan tekanan darah, volume denyut nadi,
ekstremitas hangat dan pink, dan waktu pengisian kapiler.

2.11 Tatalaksana bila terjadi syok


Rencana tindakan untuk merawat pasien dengan syok terkompensasi adalah sebagai
berikut:
 Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik pada 5-
10 ml / kg / jam lebih dari satu jam. Kemudian reassess kondisi pasien (tanda
vital, waktu pengisian kapiler, hematokrit, output urin). Langkah selanjutnya
tergantung situasi.
 Jika kondisi pasien membaik, cairan intravena harus diturunkan secara
bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml / kg / jam
selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml. / kg / jam, dan selanjutnya tergantung pada
status hemodinamik, yang dapat dipertahankan hingga 24-48 jam. (Lihat kotak
teks H dan J untuk perkiraan kebutuhan perawatan normal yang lebih tepat
berdasarkan berat badan ideal).
 Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), periksa
hematokrit setelah bolus pertama. Jika hematokrit meningkat atau masih tinggi
(> 50%), ulangi bolus kedua larutan kristaloid pada 10-20 ml / kg / jam selama
satu jam. Setelah bolus kedua ini, jika terjadi perbaikan, kurangi laju 7-10 ml /
kg / jam selama 1-2 jam, kemudian lanjutkan untuk mengurangi seperti di atas.
Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan hematokrit referensi awal
(40% pada anak-anak dan perempuan dewasa, <45% pada pria dewasa), ini
mengindikasikan pendarahan dan kebutuhan untuk mencocokkan dan transfusi
darah sesegera mungkin (lihat pengobatan untuk komplikasi perdarahan)
 Larutan kristaloid atau koloid lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24-
48 jam berikutnya.
Gambar 8. Tatalaksana syok terkompensasi

Pasien dengan syok hipotensi harus ditangani dengan lebih intensif. Rencana tindakan
untuk merawat pasien dengan syok hipotensi adalah sebagai berikut:
 Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid atau koloid (jika
ada) pada 20 ml / kg sebagai bolus yang diberikan selama 15 menit agar
pasien terhindar dari syok secepat mungkin.
 Jika kondisi pasien membaik, berikan infus kristaloid / koloid 10 ml / kg / jam
selama satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan infus kristaloid dan turunkan
secara bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml /
kg / jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml / kg / jam. atau kurang, yang dapat
dipertahankan hingga 24-48 jam (textbox H).
 Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), tinjau
hematokrit yang didapat sebelum bolus pertama. Jika hematokrit rendah
(50%), lanjutkan larutan koloid pada 10-20 ml / kg sebagai bolus ketiga lebih
dari satu jam. Setelah dosis ini, kurangi 7-10 ml / kg / jam selama 1-2 jam,
kemudian ganti kembali ke larutan kristaloid dan kurangi laju infus seperti
yang disebutkan di atas saat kondisi pasien membaik.
 Cairan cairan lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24 jam berikutnya.
Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi dengan respon klinis.
Pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di daerah ketergantungan
tinggi atau perawatan intensif.
Pasien harus sering dipantau sampai masa bahaya berakhir. Keseimbangan
cairan rinci dari semua input dan output harus dijaga. Parameter yang harus
dipantau meliputi tanda vital dan perfusi perifer (setiap 15-30 menit sampai
pasien tidak syok, lalu 1-2 jam). Secara umum, semakin tinggi tingkat infus
cairan, semakin sering pasien harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari
kelebihan cairan sambil memastikan penggantian volume yang memadai.
Keluaran urin harus diperiksa secara teratur (setiap jam sampai pasien
tidak guncang, lalu 1-2 jam). Kateter kandung kemih terus-menerus
memungkinkan pemantauan jarak dekat keluaran urin. Keluaran urin yang bisa
diterima sekitar 0,5 ml / kg / jam. Hematokrit harus dipantau (sebelum dan
sesudah cairan bolus sampai stabil, lalu 4-6 jam). Selain itu, harus ada
pemantauan gas darah arterial atau vena, laktat, total karbon dioksida /
bikarbonat (setiap 30 menit sampai satu jam sampai stabil, kemudian seperti
yang ditunjukkan), glukosa darah (sebelum resusitasi cairan dan ulangan
seperti yang ditunjukkan), dan lainnya. fungsi organ (seperti profil ginjal,
profil hati, profil koagulasi, sebelum resusitasi dan seperti yang ditunjukkan).
Gambar 9. Tatalaksana syok hipotensi
ANALISIS MASALAH

Diagnosis kerja demam shock syndrome ditegakkan berdasarkan


anamnesis yang diutarakan oleh orangtua pasien bahwa pasien demam hari ke-
4, saat ini demam mulai mereda. Awalnya pasien demam tinggi dan mendadak
yang mana menandakan bahwa pasien sedang terkena viral infection. Keluhan
juga disertai dengan nyeri perut, mual, dan muntah terutama setiap makan dan
minum. Awalnya pasien tidak menunjukkan tanda-tanda perdarahan seperti
timbul ruam atau bintik merah pada kulit, mimisan, atau gusi berdarah. Namun
saat malam hari perawatan pasien tiba-tiba muntah hitam 1x, maka kecurigaan
terjadinya demam berdarah semakin tinggi. Keluhan demam shock syndrome
semakin diperkuat dengan klinis pasien yang menunjukkan adanya tanda-
tanda syok, yaitu akral dingin.
Hasil lab menunjukkan adanya tanda peningkatan permeabilitas kapiler
berupa hemokonsentrasi (Ht: 44.0%), tanda kebocoran plasma berupa
trombositopenia (Trombosit 19.000/uL, 46.000/uL, 10.000/uL), dan
leukopenia (4.4/uL).

Berdasarkan keluhan, klinis, dan data lab yang ada, pasien sedang
berada di tahapan kritis penyakit yang terjadi pada akhir fase demam. Tahapan
kritis penyakit terjadi pada akhir fase demam, 2 – 7 hari dari fase demam, suhu
badan akan menurun cepat akibat terjadinya gangguan sirkulasi. Plasma
leakage merupakan gambaran kritis dari DBD yang ditandai dengan
hemokonsentrasi seperti yang terjadi pada pasien, walaupun tidak ditemukan
adanya efusi plura, asites, dan hipoproteinemia.
Pada penderita yang sakit berat, akibat banyaknya plasma yang hilang,
syok akan terjadi dan memberat. Awal mula terjadinya syok dapat ditandai
dengan nyeri perut, muntah dan gelisah. Kemudian penderita mengalami
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit menjadi dingin, berbintik-bintik,
terjadi pembengkakan (kongesti), sianosis disekeliling mulut, denyut nadi
cepat dan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Keadaan ini biasanya terjadi
pada waktu atau segera sesudah suhu badan penderita menurun yang terjadi
antara hari ke 3 – 7 dari penyakit dan dapat menjadi kematian apabila dalam
waktu 8 – 24 jam setelah timbulnya tanda-tanda kegagalan sirkulasi tidak
mendapat penanganan yang tepat.
Penatalaksanaan secara umum pasien demam berdarah adalah terapi
cairan yang adekuat. Pemberian terapi pada pasien dilakukan sesuai guideline
WHO 2009 tentang penatalaksanaan syok hipotensi pada demam berdarah.
Pemberian loading cairan kristaloid RL sebanyak 320cc selama 15 menit
pertama diberikan untuk mengatasi syok secepat mungkin. Karena adanya
perbaikan dari kondisi pasien setelah diberikan loading, maka terapi
dilanjutkan dengan menurunkan jumlah cairan menjadi 10cc/kgBB pada 1 jam
berikutnya, 7cc/kgBB pada 2 jam selanjutnya, 5cc/kgBB pada 4 jam
seterusnya, dan 3cc/kgBB pada 4 jam berikutnya yang dapat dipertahankan
hingga 24-48 jam. Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi
dengan respon klinis dan hasil hematokrit yang menunjang. Tujuan resusitasi
cairan meliputi perbaikan sirkulasi sentral dan perifer (penurunan takikardia,
peningkatan tekanan darah, volume denyut nadi, ekstremitas hangat dan pink,
dan waktu pengisian kapiler). Keluaran urin harus diperiksa secara teratur.
Pemasangan DC dapat memungkinkan pemantauan jarak dekat dari
pengeluaran urin (0.5 – 1cc/kgBB/jam).
Semua pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di rumah
sakit dengan akses ke fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah.
Resusitasi cairan intravena adalah intervensi penting dan biasanya satu-
satunya yang diperlukan. Solusi kristaloid harus isotonik dan volumenya
hanya cukup untuk mempertahankan sirkulasi efektif selama periode
kebocoran plasma. Kerugian plasma harus segera diganti dan cepat dengan
larutan kristaloid isotonik atau, dalam kasus syok hipotensi, larutan koloid.
Jika memungkinkan, dapatkan kadar hematokrit sebelum dan sesudah
resusitasi cairan. Transfusi darah harus diberikan hanya pada kasus dengan
dugaan / perdarahan hebat.
Penentuan prognosis dubia ad bonam pada quo ad vitam adalah karena
keadaan pasien yang sudah dalam keadaan syok, namun untungnya orangtua
segera membawa pasien untuk diperiksakan sehingga syok dapat segera
teratasi. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa kebocoran ini
serta keterangan oratua dapat mempengaruhi prognosis pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. B Soedarto. 2011.Buku ajar Parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.


2. Wowor R. Pengaruh kesehatan lingkunagn terhadap perubahan epidemiologi
demam berdarah di Indonesia. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-
Desember 2017.
3. Suhendro,Nainggolan L. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu
PenyakitDalam jilid III. Edisi ketiga. Jakarta;Balai Penerbit FKUI;1996.p.1709-
1721
4. Hadinegoro, Sri Rejeki. Soegijanto, Soegeng. Tata Laksana Demam
BerdarahDengue Di Indonesia. Jakarta ; Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan SosialRepublik Indonesia ; 2001
5. Sudjana P. Buletin Jendela Epidemiologi. Demam berdarah dengue. Pusat data
dan surveilans epidemiologi Kemenkes RI. Volume 2, Agustus 2010.
6. WHO. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Factsheet No 117, revised May
2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/).
7. WHO. Guideline for diagnosis, treatment, prevention, and control. New edition
2009. ISBN 978 92 4 154787 1. World Health Organization, 2009.
8. WHO/SEARO. Concrete measure key in controlling dengue in South East Asia.
Press Release SEA/PR/1479. New Delhi, World Health Organization Regional
Office for South-East Asia, 2008.
(http:/www.searo.who.int/EN/Section316/Section503/Section2463_14619.htm)
9. Frans EH. Patogenesis Infeksi Virus Dengue. Lecturer of Faculty of Medicine,
Univeristy of Wijaya Kusuma Surabaya.
10. Epidemiology Dengue. CDC. Cdc.gov. 2017 (cited 28 August 2017). Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3097561/
11. Soegijanto, Soegeng. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied
Management of Dengue Viral Infection in Children. 2010
12. Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on
immunopathogenesis. Comp Immunol Microbiol Infect Dis. 2007 Sep; 30(5-
6):329-40.
13. Rajapakse S. Dengue shock. Journal of Emergencies, Trauma and Shock.
2011;4(1):120-127. doi:10.4103/0974-2700.76835.
14. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakdi S, Husmann M. Dengue virus infection
of human endothelial cells leads to chemokine production, complement
activation, and apoptosis. J Immunol. 1998;161:6338–46.
15. Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever Dengue Haemorrhagic
Fever and Dengue Shock Syndrome. Directorate of National Borne Disease
Control Programme of India. 2008.
16. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. FKUI
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2012. ISBN 978-979-8271-41-0.
17. WHO. Dengue haemorrhagic fever; diagnosis, treatment, prevention, and control.
Second edition. World Health Organization, 1997.

Anda mungkin juga menyukai