Anda di halaman 1dari 26

Evaluasi Kasus Tumor Hipofise Dengan Endoskopi Transphenoid di

Makassar Periode 1 Januari 2016 – 30 Juni 2017

Abstrak

Tumor hipofise merupakan tumor rongga kepala dengan prevalensi yang bervariasi.

Diagnosis tumor hipofisis diperlukan untuk menentukan terapi serta prognosisnya.

Pada laporan ini, peneliti hendak melaporkan hasil evaluasi kasus tumor hipofise

dengan endoskopi transphenoid di Makassar periode 1 Januari 2016 – 30 Juni 2017.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Data yang diambil

berupa data sekunder dari rekam medis pasien di rumah sakit di Makassar, Sulawesi

Selatan dari tanggal 1 Januari 2016 hingga 30 Juni 2017 dengan diagnosis adenoma

hipofisis. Didapatkan 5 pasien dengan diagnosis adenoma hipofise jinak. Usia

penderita adalah 45 ± 12, 34 tahun. Gejala klinis yang ditemukan pada pasien

didominasi efek massa dan nyeri kepala. Hasil pemeriksaan MRI menunjukkan

pada seluruh pasien didapatkan gambaran makroadenoma. Seluruh pasien

menjalani tindakan operasi dengan pendekatan operasi transphenoid dan tidak

didapatkan adanya laporan komplikasi pascaoperasi.

Kata kunci : tumor hipofise, endoskopi transphenoid, adenoma hipofise, Makassar,

Indonesia.

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor hipofise termasuk tumor dengan prevalensi yang bervariasi. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Ezzat et al pada tahun 2000 terhadap 13 penelitian

mengenai tumor hipofise, prevalensi tumor hipofise bervariasi antara > 1% hingga

mendekati 40% pada studi radiologi dan 1% - 35% pada studi post mortem (otopsi).

Pada pemeriksaan imunohistokimia didapatkan insiden sebanyak 25% – 41% (1)

tumor hipofise merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada tumor

suprasellar (2). Tumor ini paling sering didapatkan pada wanita berusia antara 15 –

44 tahun (3) dan jenis tumor yang paling banyak didapatkan adalah adenoma

hipofise yaitu sebanyak 84.6% (4) Tumor ini biasanya berkembang dengan lambat,

jinak namun berhubungan dengan morbiditas signifikan dan mortalitas yang

prematur (3) Gejala tumor hipofise didominasi sekresi hormon hipofise yang tidak

normal dan penurunan lapang pandang akibat penekanan struktur chiasma optikum

dan nervous optikum. (5). Evaluasi perjalanan penyakit tumor hipofsisi diperlukan

untuk menentukan terapi serta prognosis kasus-kasus berikutnya. Oleh sebab itu

peneliti hendak melaporkan hasil evaluasi kasus tumor hipofise dengan endoskopi

transphenoid di Makassar periode 1 Januari 2016 – 30 Juni 2017.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sella tursika merupakan bagian dari dasar tengkorak yang terletak di bagian tengah.

Sella tursika menjadi patokan untuk lesi tumor, dimana letak lesi tumor dapat

dideskripsikan sebagai sellar, supraselar atau parasellar merupakan cekungan fossa

sphenoidalis dan dilapisi oleh duramater. Sella tursica dikelilingi oleh struktur vital

seperti arteri karotis, bagian maksilaris dari nervous trigeminus, nervus kranialis

III, IV dan VI, chiasma optikus, vena lokalis, ventrikel tiga otak dan hipothalamus.

Oleh sebab itu jika terjadi penekanan massa pada regio sellar maka gejala klinis

yang tampak antara lain nyeri kepala, apopleksi, gangguan lapang pandang atau

hidrosefalus (6)

Gambar 1. Anatomi kelenjar hipofise

4
Kelenjar hipofise terletak pada sella tursica. Kelenjar hipofise terbagi

menjadi dua yaitu bagian anterior (adenohipofise) yang mensekresi

Adrenocorticotrophic hormone (ACTH), growth hormone (GH), prolactin (PRL),

thyroid stimulating hormone (TSH) dan gonadothropin (FSH dan LH) serta bagian

posterior (neurohipofise) yang memproduksi Vassopresin (ADH) dan oxytocyn (7)

Tumor hipofise merupakan tumor yang paling umum ditemukan pada regio

sellar, yaitu sebanyak 90 – 95%. Sebagian besar tumor asimptomatik dan

didiagnosis secara tidak sengaja (6). Gejala tumor adenoma hipofisis didominasi

oleh peningkatan sekresi hormon hipofisis dan gejala yang tidak spesifik seperti

nyeri kepala serta penurunan fungsi organ endokrin perifer. Gejala seperti limfositik

hipofisistis, apopleksi hipofisis, kelumpuhan syaraf kranial, epilepsi lobus

temporal, hidrosefalus dan rhinorrhea lebih jarang dilaporkan (5)

Berdasarkan penelitian, insiden tumor hipofisis bervariasi antara 0.5 sampai

7.4 per 100.000 orang, tergantung pada usia dan jenis kelamin. Insiden tertinggi

tumor ini terjadi pada wanita berusia 15 – 44 tahun (3). Pada penelitian yang

dilakukan oleh McDowell et al pada tahun 2010 terhadap 8,276 jenis tumor yang

didiagnosis didapatkan adenoma hipofise yang paling banyak ditemukan (8).

Berdasarkan penelitian yang dilakuan oleh Lindholm et al, jenis tumor yang

paling banyak ditemukan ada adenoma hipofise adalah adalah prolaktinoma (50%),

adenoma yang tidak aktif secara endokrin (30%), somatrotroph adenoma (15 –

20%) kortikotropin adenoma (5 – 10%) dan tirotroph adenoma ( < 1%) (9) Pada

laki-laki didapatkan rata-rata ukuran tumor hipofise yang didapatkan lebih besar

yaitu 23 mm dibandingkan dengan perempuan 15 mm. Tumor yang lebih besar

5
didapatkan pada laki-laki karena diagnosis tumor hipofise lebih lambat dideteksi

pada laki-laki. Tumor hipofise lebih tinggi insidensnya pada ras negroid

dibandingkan kaukasoid dan mongoloid akan tetapi penyebab pasti keadaan ini

masih perlu diteliti lebih lanjut. Pendapat sementara menyatakan karena insiden

stroke yang lebih banyak didapatkan pada ras negroid membuat temuan tumor

hipofise lebih tinggi saat dilakukan pemeriksaan radiologi. Hal ini didukung dengan

temuan meningioma yang lebih tinggi pada ras negroid dan diagnosis yang hanya

dilakukan dengan pemeriksaan radiologi (8)

Bagian anterior dari hipofise berkembang dari lapisan endotel rongga mulut

yang primitif (stomatodeum) yang berjalan ke arah kranial. Lapsan endotel ini

kemudian bergerak ke arah bawah membentuk lobus posterior dan tangkai hipofise.

Kelenjar komposit ini terpisah dari stomatodeum primitif pada minggu ketuju

gestasi dan lebih jauh lagi berkembang di bawah pengaruh hipotalamus. Tumor

pada hipofise sebagian besar adalah neoplasma epitel jinak yang berkembang dari

parenkim adenohipofisis dan secara histologis menyerupai kelenjar hipofise yang

normal. Sejumlah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise mengalami

peningkatan seiring berkembangnya tumor hipofise. Sebagai contoh polipeptida

intestin vasoaktif, growh hormone relaseing hormone, somatostatin, substance P

dan renin. Selain itu terdapat juga sel yang tidak berfungsi atau “null’ pada

parenkim yang berkembang menjadi adenoma. Sel-sel ini tidak memproduksi

hormon atau memproduksi hormon dalam bentuk imatur yang tidak memiliki

aktivitas biologis. Patogenesis pembentukan tumor merupakan proses yang

multifaktorial dan mekanismenya dibagi menjadi tiga kelompok besar : 1)

6
abnormalitas gen pengatur perkembangan dan pertumbuhan sel 2) abnormalitas

gene supresor tumor dan 3) gangguan pada gen yang mengendalikan kematian sel

(6)

Sejumlah faktor genetik termasuk hormon, faktor pertumbuhan dan

regulator siklus sel bekerja bersama pada peristiwa epigenetik pembentukan tumor

hipofise. Mayoritas tumor hipofise merupakan tumor yang spordarik, namun

beberapa munculsebagia komponen sidnrom herediter. Berbagai gen predisposisi

seperti Multiple endocrine neoplasia type 1 (MEN1), Multiple endocrine neoplasia

type 4 (MEN4), Protein kinase A regulatory subunit-1-α RKAR1A, cyclin-

dependent kinase inhibitor 1B (CDKN1B ) dan Aryl hydrocarbon receptor-

interacting protein (AIP) telah diidentifikasi mutasinya dalam pembentukan tumor

hipofise. Akan tetapi mutasi pada sindrom genetik ini tidak umum didapatkan pada

tumor yang sporadik. Bukti-bukti terkini tidak menunjukkan mutasi pada gen

predisposisi sebagai basis molekuler tumorigenesis. Bahkan, mutasi pada gen tumor

suprsesor dan onkogen tidak memiliki peran yang besar pada sebagian besar

adenoma hipofise (9).

Akan tetapi, metilasi atau peredaman gen tumor supresor telah dilaporkan

oleh banyak peneliti. Banyak gen seperti. Pituitary tumor transforming gene

(PTTG), pituitary-tumour-derived fibroblast growth factor receptor 2 (Pdt-FGR2),

DNA damage inducible protein gamma (GADD45G), maternally expressed protein

3A (MEG3A), zinc ginger protein pleiomorphic adenoma gene-like 1 (ZAC),

death-associated protein kinase (DAP kinase), pituitary tumour apoptosis gene

(PTAG) dan p27 menunjukkan peranannya dalam pembentukan tumor hipofise.

7
PPTG berhubungan erat dengan sifat invasif dan agresif dari tumor hipofise.

Abnormalitas sinyal pembelahan sel telah diidentfikasi pada tumor hipofise, namun

basis genetiknya tetap tidak diketahui (9)

Gejala dan tanda tumor hipofise dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok

besar (6):

 Gangguan endokrin yang disebabkan oleh overproduksi enam hormon

hipofise yaitu prolaktin, hormon pertumbuhan, ACTH, TSH dan

gonadotropin. Atau produksi hormon yang menurun sehingga menyebabkan

krisis Addisonian atau amenorea sekunder.

 Efek massa terhadap struktur di sekitarnya. Tumor biasanya menekan

nervus optikus dan chiasma optikus, tapi terkadang juga mengenai nervus

kranialis ketiga dan menyebabkan apopleksi. Hidrosefalus disebabkan oleh

penekanan pada ventrikel tiga yang mengganggu aliran cairan

serebrospinalis.

 Nyeri kepala akibat peregangan atau penekanan lapisan duramater pada

sella atau diafragmata yang dipersyarafi oleh cabang nervus trigeminal.

Stimulus yang tiba-tiba mengakibatkan nyeri pada bagian apopleksi

hipofise yang menyerupai perdarahan subaraknoid.

 Temuan yang tidak disengaja dimana tumor ‘tanpa sengaja’ ditemukan saat

pemeriksaan kondisi lain.

Gejala yang dominan ditemukan adalah gangguan endokrin dan visual.

Gangguan visual yang uncul berupa gangguan lapang pandang bitemporal akibat

penekanan pada chiasma optikum bagian inferior. Penurunan lapang pandang

8
dimulai secara unilateral ketika nervus optikus intrakranial tertekan pada bagian

yang dekat chiasma optikum. Apabila penglihatan bagian pusat yang terkena maka

pasien akan mengeluh pandangan mata yang mengabur atau skotomatus pada

lapang pandang pusat. Keadaan ini umum terjadi pada pasien dengan variasi

anatomis dimana chiasma optikus terletak lebih posterior dan menyebabkan lebih

banyak nervus optikus yang lebih terpapar penekanan adenoma. Jika penekanan

terjadi dalam waktu yang lama, funduskopi dapat menunjukkan atrofi nervus

optikus. Diplopia biasanya menunjukkan kompresi lateral syaraf di dalam dan di

sekitar sinus kavernosus akbat ekstensi lateral atau apopleksi (6)

Adenoma yang memproduksi hormon pertumbuhan menunjukkan gejala

akromegali atau gigantisme. Akromegali biasanya terdiagnosis dari komplikasinya

seperti sindrom carpal tunnel, diabetes melitus, hipertensi, hipopituitarisme atau

henti napas saat tidur. Pasien dengan akromegali juga lebih rentan terkena penyakit

neoplasma seperti polip kolon, kanker kolorektal dan kanker payudara. Adenoma

yang memproduksi prolaktin menyebabkan amenore sekunder dan galaktorea.

Adenoma yang memproduksi ACTH menyebabkan sindrom Cushing seperti

obesitas sentripetal, moon face, hirsutisme, jerawat, diabetes, hipertensi, kelemahan

otot, hematom, gangguan mental, amenore dan osteoporosis akibat hipersekresi

glukokortikoid. Tumor yang memproduksi glikoprotein menyebabkan

hipertiroidisme. Gonadotorpin adenoma menimbulkan gejala berupa disfungsi

gonad. Sementara tumor yang tidak memproduksi hormon lebih banyak

menyebabkan gangguan visual walau pada beberapa kasus dilaporkan adanya

panhypopituitarism atau apopleksi (6)

9
Pemeriksaan tumor hipofise dilakukan dengan pemeriksana-pemeriksaan

sebagai berikut :

 Pemeriksaan radiommunoassay untuk mengidentifikasi hormon yang

disekresi. Pemeriksaan radioimmunoassay paling baik dilakukan pada

penyakit Cushing karena 50% dari tumor ini tidak dideteksi pada MRI (10).

 Radiologi. MRI (magnetic resonance imaging) pada bagian hipofise,

dengan rekonstruksi sagital dan koronal merupakan baku emas pemeriksaan

hipofise. Pada pemeriksaan MRI didapatkan adanya gambaran

mikroadenoma sebagai lesi fokal dengan densitas rendah dan

makroadenoma sebagai lesi isointens dan hiperintens (10).

Gambar 1. Gambaran makroadenoma hipofisis pada pemeriksaan MRI

Pemeriksaan CT Scan mampu mendeteksi mikroadenoma hingga ukuran 4

mm. Makroadenoma memberikan gambaran lebih jelas dengan kontras

intravena dan ekstensi esktraselar dapat lebih jelas tampak dengan

pemindaian koronal (10) lesi yang sudah mengalami kalsifikasi seperti

kraniofaringoma lebih mudah dideteksi dengan menggunakan CT scan (5).

10
Gambar 2. Gambaran makroadenoma pada pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan foto polos X Ray menujukkan pembesaran disertai erosi pada

sella tursica dengan kontur yang menonjol (10).

Gambar 3. Gambaran makroadenoma pada foto polos x ray

Terapi yang dapat diberikan pada tumor hipofise berupa medikamentosa,

radioterapi dan pembedahan (6)

a. Medikamentosa : pada beberapa jenis tumor adenoma hipofise dapat

diberikan terpai medikamentosa. Sebagai contoh pemberian agonis

dopamin dan analog somastatin pada adenoma yang mensekresi hormon

11
pertumbuhan. Apabila tidak didapatkan respons pada terapi medikamentosa

maka dilakukan operasi.

b. Radioterapi. Radioterapi hanya dilakukan jika terjadi eksisi tumor subtotal

atau jika pemeriksaan endokrin postoperatif menunjukkan residu berupa

peningkatan sekresi hormon

c. Terapi pembedahan.

Terapi pembedahan pada tumor hipofise bertujuan untuk pengeluaran tumor

secara total agar tidak terjadi relaps, akan tetapi terapi pengeluaran tumor

secara total jarang dilakukan pada makroadenoma; pembedahan total juga

dilakukan untuk dekompresi chiasma optikum dan nervus optikus, untuk

mengurangi massa tumor sebelum radioterapi dan biopsi untuk memastikan

terapi yang telah diberikan. Teknik pembedahan menggunakan pendekatan

endoskopi trans-sphenoidal merupakan terapi pilihan karena invasifnya

minimal dan memungkinkan operator untuk mengakses lesi pada bagian

basis kranium (11). Teknik ini tidak memerlukan insisi oral / nassal, tidak

memerlukan spekulum nasal, iluminasi yang baik dan tidak memerlukan

nassal packing / tamponade untuk hidung karena tidak mengakibatkan

epistaksis post operasi dan lebih terarah ke daerah sella tursica (12). Dengan

adanya bedah mikroskopis dan radiografi fluoroskopi membuat prosedur ini

menjadi prosedur yang aman. (10). Tindakan endoskopi transphenoid

merupakan pilihan tindakan utama bagi kasus tumor hipofise. (13) tindakan

pembedahan terbuka hanya dilakukan jika didapatkan ada perluasan tumor

ke arah subrfontal atau retroclival (10) Pembedahan endoskopi

12
transphenoid dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaaan

kadar dan fungsi hormon (khususnya tiroid untuk menghindari komplikasi

pada kardiovaskular), pemberianterpai medikamentosa pada kasus

makroadenoma dengan gangguan penglihatan berat, pemeriksaan radiologi

yang adekuat, pemeriksaan kadar kortisol untuk menghindari komplikasi

pascaoprasi akibat hilangnya ACTH, serta pemberian Hidrokortison 100

mg saat pemberian anestesi (6). Pembedahan endoksopi merupakan

pembedahan unilateral trans-septal, dengan insisi pada bagian mukosa nasal

atau sublabial untuk membuka sinus sphenoid. Setelah bagian anterior sella

tursica terbuka maka fossa hipofise dapat dimasuki oleh instrumen bedah.

Apabila didapatkan perluasan tumor ke arah suprasellar maka tumor dapat

diturunkan ke arah fossa hipofise dengan menaikan tekanan intrakranial

menggunakan manuver valsava atau penyuntikan nitrit oksida dan

campuran oksigen ke theca lumbaris untuk menaikkan tekanan intrakranial.

Tindakan ini menyediakan pneumoenchepalogram, menandai ekstensi

suprasellar dari tumor (10)

13
Gambar 4. (a) diagram prosedur endoskopi transphenoid dan (b) foto polos
intraoperatif pada endoskopi transphenoid
Angka keberhasilan endoskopi transphenoidal bervariasi antara 60% hingga

80%. Pembedahan terbuka pada tumor hipofise diperlukan dijka ada perluasan

subfrontal atau retroklival tumor. Perawatan post operasi memerlukan perhatian

khusus terhadap keseimbangan cairan, kadar gula darah dan status hormonal. Visus

mengalami perbaikan pada kurang lebih tiga perempat pasien. Perbaikan visus

bergantung pada berat dan lamanya kehilangan visus sebelum operasi. Fungsi

endokrin dipertahankan pada 80% pasien tanpa keluhan endokrin sebelum operasi,

akan tetapi jika terjadi kehilangan fungsi hormon dan panhipopituarisme maka

fungsi hormon tidak apat dipertahankan. Perlu / tidaknya radioterapi

dipertimbangkan dengan pemeriksaan tumor residu dengan MRI kurang-lebih 2

bulan pascoperasi. Radioterapi dihindari pada pasien dengan usia lebih muda

karena beresiko menyebabkan kegagalan kelenjar hipofisis dalam 12-15 tahun (6).

14
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yao et al pada tahun 2014, terapi

endoskopi menunjukkan lama operasi dan lama perawatan di rumah sakit yang

lebih rendah dibandingkan pendekatan kraniotomi. Endoskopi dapat memperluas

lapang pandang saat operasi dan mengeksisi tumor yang tidak dapat diakses

sebelumnya. Pendekatan endoskopi yang minimal invasif menurunkan proporsi

komplikasi post operasi seperti kebocoran cairan serebrospinal, perforasi septum

dan epistaksis dibandingkan pendekatan mikroskopik (11)

15
BAB III

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Data yang diambil

berupa data sekunder dari rekam medis pasien di rumah sakit Unhas, Siloam, dan

Grestelina di Makassar, Sulawesi Selatan dari tanggal 1 Januari 2016 hingga 30

Juni 2017 dengan diagnosis tumor hipofise. Dilakukan pendataan berdasarkan

diagnosis, jenis kelamin, keluhan utama, hasil CT Scan kepala, hasil MRI, tindakan,

hasil patologi anatomi dan follow up pasien. Keluhan utama dikelompokkan

menjadi empat kelompok besar yaitu gangguan endokrin (Gejala akibat

peningkatan atau penurunan produksi hormon), efek massa (gangguan lapang

pandang, hidrosefalus dan apopleksi), nyeri kepala dan tumor yang ditemukan

secara tidak sengaja saat mendiagnosis penyakit lain. Hasil pemeriksaan MRI

berupa lesi berdensitas rendah dikelompokkan sebagai mikroadenoma dan lesi

isotens atau hipertens dikelompokkan sebagai makroadenoma. Tindakan

dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan coding pada INA CBG yaitu

prosedur kelenjar kelenjar hipofise ringan (E – 1 – 01 –I), prosedur kelenjar kelenjar

hipofise sedang (E – 1 – 01 –II) dan prosedur kelenjar hipofise berat (E – 1 – 01 –

III). Hasil follow up dibagi dalam tiga kategori yaitu perbaikan, perburukan dan

tidak dapat ditentukan (pasien tidak datang lagi untuk kontrol tanpa informasi).

16
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Didapatkan 5 orang pasien dengan diagnosis adenoma hipofise jinak (Kode

diagnosis D352). Diagnosis adenoma hipofisis dilakukan dengan pemeriksaan

histopatologi anatomi setelah dilakukan pembedahan endoskopi transphenoid pada

pasien. Usia pasien yang didiagnosis dengan adenoma hipofisis jinak didapatkan

usia termuda 38 tahun dan usia tertua 72 tahun. Rata-rata usia 45 tahun dengan

standar deviasi 12, 34 tahun.

Usia Pasien Dalam Tahun


80
70
60
50
40
30
20
10
0

Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5

Gambar 5. Grafik usia pasien

Lama keluhan tersingkat 2 tahun dan lama keluhan terlama 4 tahun. Rata-

rata usia didapatkan 3 tahun dengan standar deviasi 0,71 tahun.

17
LAMA KELUHAN DALAM TAHUN
Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5

4
3
3

2
Gambar 6. Grafik lama keluhan pasien sebelum tindakan

Dari 5 orang pasien dengan diagnosis adenoma hipofise jinak pada gejala

klinis didapatkan 3 (60%) orang berjenis kelamin laki-laki dan 2 (40%) orang

berjenis kelamin perempuan.

Jenis Kelamin Pasien

Perempuan
40%
Laki-laki
60%

Laki-laki Perempuan

Gambar 7. Persentase jenis kelamin pasien

Pada temuan gejala klinis 1 orang pasien perempuan (20%) dengan gejala

gangguan endokrin (akromegali), 2 orang pasien yang terdiri dari 1 orang pasien

18
laki-laki dan 1 orang pasien perempuan (40%) orang pasien dengan gejala efek

masa dan 2 orang pasien laki-laki (40%) dengan gejala nyeri kepala.

Temuan Gejala Klinis

Gangguan
endokrin
20%

Nyeri kepala
40%

Efek massa
40%

Gambar 8. Temuan gejala klinis pada pasien dengan adenoma hipofise

Pada hasil pemeriksaan MRI didapatkan seluruh massa yang terdeteksi

merupakan masa isointens dengan ukuran terbesar 34 mm, ukuran terkecil 30 mm

dan rata-arat 32 mm (SD = 1,79)

19
Ukuran Tumor Dalam mm Pada Pemeriksaan MRI
34.5
34
33.5
33
32.5
32
31.5
31
30.5
30
29.5
30

Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5

Gambar 9. Grafik ukuran tumor pada pemeriksaan MRI

Hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran massa slight hiperdens dengan

ukuran terbesar 34,1 mm, ukuran terkecil 29,00 mm dan rata-rata 31,16 mm (SD

= 1,97).

Ukuran Tumor Dalam mm Pada Pemeriksaan CT Scan


35
34.1
34 33.4
33
32.2
32 31.7

31

30 29.4
29

28

27

Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5

Gambar 10. Grafik ukuran tumor pada pemeriksaan CT Scan

20
Tata laksana yang diberikan didapatkan prosedur kelenjar hipofise ringan

pada 4 pasien (80%) dan prosedur kelenjar hipofise berat pada 1 pasien (20%) dan

tidak ada pasien yang menrima terapi medikamentosa atau radioterapi. Tidak

dilaporkan adanya komplikasi pascaoperasi.

Terapi Pasien

20%

80%

Prosedur kelenjar hipofise ringan Prosedur kelenjar hipofise berat

Gambar 11. Persentase tindakan yang diberikan pada pasien

Hasil follow up pasien didapatkan 3 orang pasien (60%) membaik dan 2

orang (40%) pasien tidak didapatkan keterangan / tidak melakukan kontrol.

Hasil follow up pasien


Perbaikan Tidak ada keterangan

40%

60%

Gambar 12. Persentase hasil follow up pasien

21
Pada temuan gejala klinis keseluruhan pasien didominasi gejala efek massa

dan nyeri kepala. Hanya ada satu kasus dengan gejala klinis berupa akromegali,

salah satu gejala klinis adenoma sel GH (4). Walaupun temuan pada pemeriksaan

fisik dan komorbiditasnya signifikan, diagnosis gejala klinis pada akromegali dapat

memakan waktu lama karena prosesnya yang perlahan dan tidak disadari oleh

pasien atau orang-orang di sekitar pasien (14). Pada pasien dengan gejala

akromegali, gejala dialami selama 4 tahun sebelum pasien menjalani tindakan.

Temuan pada penelitian ini berawanan dengan teori yang menyebutkan gejala

tumor adenoma hipofisis didominasi oleh peningkatan sekresi hormon hipofisis,

sementar gejala seperti limfositik hipofisistis, apopleksi hipofisis, kelumpuhan

syaraf kranial, epilepsi lobus temporal, hidrosefalus dan rhinorrhea lebih jarang

terjadi (5)

Gambaran pada pemeriksaan penunjang (MRI dan CT Scan) pada seluruh

kasus menunjukkan gambaran yang sesuai dengan makroadenoma yaitu lesi

isointens pada pemeriksaan MRI dengan ukuran lebih dari 10 mm serta tidak

didapatkan adanya tumor yang mengalami kalsifikasi pada pemeriksaan CT Scan

(10). Seluruh pasien menjalani terapi berupa tindakan operasi dengan pendekatan

endoskopi transphenoid. Endoskopi transphenoid merupakan baku emas karena

invasifnya minimal dan memungkinkan operator untuk mengakses lesi pada bagian

basis kranium (11). Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya laporan komplikasi

pascaoperasi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada operasi tumor hipofise

dengan pendekatan endoksopi transphenoid adalah kebocoran cairan serebrospinal.

Beberapa klinisi menyarankan pembuatan flap mukoperiosteal / mukoperikondrial

22
pada awal operasi untuk mengantisipasi kebocoran cairan serebrospinal, khususnya

pada tumor yang telah menginvasi selaput duramater atau araknoid. Jika tidak

didapatkan kebocoran cairan serebrospinal maka flap yang dibuat hanya akan

membuat cedera tambahan bagi pasien (15). Studi cross-sectional ini menunjukkan

karakteristik kasus tumor hipofise yang ditangani dengan operasi pendekatan

endoskopi transphenoid di Makassar.

23
BAB V

KESIMPULAN

Pada hasil evaluasi kasus tumor hipofise dengan endoskopi transphenoid di

Makssar pada 1 Januari 2016 – 30 Juni 2017 didapatkan 5 kasus adenoma hipofise

jinak dengan gejala klinis terbanyak berupa gangguan penglihatan dan gangguan

endokrin. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dan

seluruh kasus merupakan makroadenoma hipofise. Seluruh pasien menjalani

tinadkan operasi dengan pendekatan operasi transphenoid dan tidak didapatkan

adanya laporan komplikasi pascaoperasi. Penelitian ini menunjukkan gambaran

kasus tumor adenoma hipofise di kota Makassar serta efektivitas tindakan

endoskopi transphenoidal dalam tata laksananya. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk meneliti keadaan-keadaan pasien sebelum operasi yang mempengaruhi

keberhasilan tindakan endoskopi transphenoidal agar keputusan pilihan tindakan

yang tepat dapat dilakukan serta prognosis tindakan dapat ditentukan.

24
Daftar Pustaka

1. Ezzat S, Asa SL, Couldwell WT, Barr CE, Dodge WE, Vance ML, et al. The
prevalence of pituitary adenomas - a systematic review. American cancer
society. 2008 Juni; 101(3).

2. Tsementzis SA. Differential diagnosis in neurology and neurosurgery - A


clinician's pocket guide New York: Thieme; 2000.

3. Drange MR, Fram NR, Bonert VH, Melmed S. Pituitary tumor registry : a
novel clinical resource. The journal of endocrinology & metabolism. 2000;
85(1).

4. Saeger W, Ludecke DK, Buchfelder M, Fahlbusch R, Quabbe HJ, Petersenn


S. Pathohistological classification of pituitary tumors : 10 years of experience
with the german pituitary tumor registry. European journal of endocrinology.
2007; 156.

5. Levy A. Pituitary disease : presentation, diagnosis and management. Journal


of neurology, neurosurgery and psychiatry. 2004 April; 75.

6. Stacey RJ, Powell MP. Sellar and parasellar tumors. In Moore AJ, Newell
DW. Neurosurgery. London: Springer; 2005. p. 187-204.

7. Laws ER. Pituitary tumors : functioning and nonfunctioning. 7th ed.


Philadelphia , editor. Youmans & Winn's Neurological Surgery: Elsevier;
2017.

8. McDowell BD, Wallace RB, Carnahan RM, Chrischilles EA, Lynch CF,
Schlechte JA. Demographic differences in incidence for pituitary adenoma.
Springer Science. 2010 September; 14.

9. Dworakowska D, Grossman A. The pathophysiology of pituitary adenomas.


Best practice & research clinical endocrinology & metabolism. 2009; 23.

10. Kaye AH. Pituitary Tumours. In Kaye AH. Essential Neurosurgery.


Massachusetts: Blackwell Publishing; 2005. p. 109-124.

11. Gao Y, Zhong C, Wang Y, Xu S, Guo Y, Dai C, et al. Endoscopic versus


microscopic transsphenoidal pituitary adenoma surgery : a meta-analysis.
World journal of surgical oncology. 2014; 12(94).

12. Sankhla SK. Endoscopic endonasal transsphenoidal surgery of pituitary


macroadenoma. In Kanno T, Kato Y, editors. Minimally invasive

25
neurosurgery and multidisciplinary neurotraumatology. Tokyo: Springer;
2006. p. 195-201.

13. Punt J. Neuroendoscopy. In Moore AJ. Tumor Neurosurgery. London:


Springer-Verlag; 2006. p. 107-121.

14. Syro LV, Rotondo F, Ramirez A, Di Leva A, Sav MA, Restrepo LM, et al.
Progress in the diagnsis and classification of pituitary adenomas. Frontiers in
endocrinology. 2015 Juni; 6(97).

15. Nie S, Li K, Huang Y, Zhao J, Gao X, Sun J. Endoscopic endonasal


transsphenoidal surgery for treating pituitary adenoma via a sub-septum
mucosa approach. International Journal of Clinical Practice. 2015 April; 8(4).

26

Anda mungkin juga menyukai