PEMBAHASAN
Sinaga (2017: 162) mengemukakan epistemologi merupakan dua kata yang dari bahasa
Yunani yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Epistemologi merupakan salah satu
cabang dari filsafat ilmu yang membicarakan tentang asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan.
Epistemologi juga merupakan pembicaraan tentang hakikat dari ilmu pengetahuan, dasar-
dasarnya, ruang-lingkup, sumber-sumbernya, dan bagaimana mempertanggungjawabkan
kebenarannya. Pengetahuan itu diperoleh dengan metode ilmiah, sedangkan metode ilmiah itu
adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kebenaran itu
sendiri diperoleh dengan berbagai macam teori kebenaran yang diungkapkan sebagian tokoh dan
perjalanan sejarah.
Lebih lanjut Sinaga (2017: 162) menjelaskan bahwa epistemologi atau teori pengetahuan,
membahas secara mendalam seluruh yang terlihat dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan yang diperoleh melalui proses tertentu yang disebut dengan metode keilmuan.
Metode inilah yang membedakan antara ilmu dengan hasil pemikiran yang lainnya yang tidak
menggunakan metode keilmuan. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan menerapkan metode kelimuan karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan. Dalam
perkembangan selanjutnya metode keilmuan ini segera memunculkan aliran dalam epistemologi
yaitu bagaimana manusia akan mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan
berlaku. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa asal dan sumber pengetahuan manusia
diperoleh melalui rasionalisme (pikiran manusia), empirisme (pengalaman manusia), dan
kritisisme (dari luar dan jiwa manusia, transedentalisme). Kedua, kelompok yang berpendapat
bahwa hakikat pengetahuan manusia adalah realisme (pengetahuan/kebenaran yang
sesungguhnya berasal dari fakta yang ada) dan idealisme (pengetahuan/kebenaran yang
sesungguhnya terletak dalam jiwa manusia). Sementara itu, objek material epistemologi adalah
pengetahuan itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Dalam
pengetahuan harus ada subjek yaitu keasadaran untuk berusaha mengetahui sesuatu dan objek
yaitu suatu keadaan yang dihadapi sebagai sesuatu yang ingin diketahui.
B. Konstruktivisme Individual dan Sosial
Rangkuti (2014) mengemukakan konstruktivisme adalah suatu filsafat yang menganggap
pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia sendiri. Manusia mengkonstruksi
pengetahuan melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan. Suatu
pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan yang sesuai. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang
berkembang terus-menerus.
Matthews (dalam Rangkuti, 2014) membedakan dua tradisi besar dari konstruktivisme,
yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis. Konstruksi psikologis bertitik
tolak dari perkembangan psikologi anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan
konstruktivisme sosial pengetahuan dibangun lebih didasarkan pada masyarakat.
Konstruktivisme Psikologis terbagi dua, yaitu konstruktivisme personal dan konstruktivisme
sosial, sedangkan konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri.
1. Konstruktivisme psikologi personal
Konstruktivisme psikologi dimulai dari karya Piaget mengenai bagaimana seorang
anak membangun pengetahuan kognitifnya. Epistemologi genetik menggunakan psikologi
sebagai dasar penjelasan pembentukan dan perkembangan pengetahuan seseorang. Pada teori
pengetahuan Piaget (dalam Rangkuti, 2014), psikologi mengambil peranan penting dalam
analisa. Menurutnya, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori
motor dan pra operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh anak sama
dengan objek yang diamati anak.
2. Konstruktivisme psikologi sosial
Salah satu tokoh konstruktivisme psikologi sosial adalah Vigotsky. Menurut Vigotsky
(dalam Rangkuti, 2014), belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dalam proses
belajar terjadi perkembangan pengertian yang spontan menuju yang lebih ilmiah. Dengan
diilhami oleh karya Vigotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktek kultural dan
sosial dalam lingkungan belajar. Menurut para sosiokulturalis, aktivitas mengerti selalu
dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek sosial dan kultural
yang ada. Mereka menerapkan partisipasi individu dalam praktek kegiatan yang
diorganisasikan secara kultural, misalnya dalam interaksi di dalam kelas.
Konstruktivisme bersifat kontekstual. Siswa selalu membentuk pengetahuan dalam
situasi dan konteks yang khusus. Penafsiran terkini dari ide-ide Vigotsky (dalam Rangkuti,
2014) adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik dan
kemudian diberikan bantuan secukupnya dalam menyelesaikan tugas tersebut. Hal ini
diharapkan agar terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks
tersebut.
Ketujuh metode di atas seringkali menjadi perdebatan yang hangat di kalangan ilmuwan
dan filosof dengan latar belakang sosial, komunitas, dan etnis yang berbeda. Sebagian ada
menyepakatinya dan sebagian lagi bahkan adapula yang menolaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Sinaga, Ali. 2017. Epistemologi Islam dan Barat. Jurnal Ansiru Nomor 1 Vol. 1.
Rangkuti, Nizar Ahmad. 2014. Konstruktivisme Dan Pembelajaran Matematika. Jurnal Darul
‘Ilmi Vol. 02. jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/DI/article/download/416/388.
diakses pada tanggal 8 Mei 2019 Pukul 21.00 Wita.