SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Diajukan Oleh :
Pembimbing, Penguji I,
Dr. Ir. Munawar Ali, MT. Ir. Yayok Suryo Purnomo, MS.
NIP. 19600401 198803 1 00 1 NIP. 19600601 198703 1 00 1
Penguji II,
Penguji III,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
UPN “Veteran” Jawa Timur
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
– Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Blotong
(Filter Cake) Sebagai Aktifator Pembuatan Pupuk Organik”. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, UPN “Veteran” Jawa
Timur untuk mendapatkan gelar sarjana. Selama menyelesaikan skripsi ini,
penulis telah banyak memperoleh bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Naniek Ratni Juliardi AR., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Dr. Ir. Munawar Ali, MT, selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur dan
juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu, mengarahkan
dan membimbing mulai dari penyusunan proposal sampai penyusunan
skripsi ini sehingga dapat selesai dengan baik.
3. Juli Winarti, ST, selaku Laboran mikrobiologi Program Studi Teknik
Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur yang telah membantu
menganalisa mikroba.
4. Pihak Pabrik Gula Candi Baru Sidoarjo yang telah bersedia memberikan
ijin untuk meneliti limbah padat berupa blotong (filter cake) Pabrik
tersebut.
5. Bapak/ Ibu dosen Program Studi Teknik Lingkungan UPN “Veteran”
Jatim yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar
bagi penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
6. Ir. Indra Tjahaya Amir, MS yang telah membantu dalam penulisan skripsi
ini.
i
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7. Teruntuk Ayahanda Ir. Trikardi Hariyoso dan Ibunda Rr. Indiarini
Soelistyaningtyas, SH yang selalu menekankan bahwa ilmu pengetahuan
adalah warisan yang paling berharga.
8. Teman – teman mahasiswa Teknik Lingkungan yang telah memberi
semangat dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun akan penulis terima
dengan senang hati. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila didalam penulisan skripsi ini terdapat kata-
kata yang kurang berkenan atau kurang dipahami.
Penulis
ii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................. 3
1.4 Ruang Lingkup ................................................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................................... 4
iii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
Gambar 4.24 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs) . 57
vi
vii
viii
ix
Oleh karena itu apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran
lingkungan (Kuswurj 2009).
Blotong memiliki komposisi sebagai berikut :
N = 2,9 %
Humus = 64,45 %
P2O5 = 1,87 %
K2O = 1,68 %
CaO = 7,78 %
Mg O = 0,64 %
C/N = 21,39 %
(laporan limbah PG Candi Baru Sidoarjo 2011).
Menurut Triwahyuningsih dan Muhammad sifat blotong yang mendukung
perbaikan sifat tanah antara lain daya menahan air tinggi, berat volume rendah,
porous dan KTK tinggi. Blotong menunjukkan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanpa mengganggu pertumbuhan
tanaman (Rajiman 2008).
Sementara ini pemanfaatan blotong sebagai pupuk organik masih belum
maksimal dan penggunanya pun terbatas, hal ini disebabkan karena pengolahan
limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan,
masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar
sehingga pupuk organik yang dihasilkannya pun masih belum sempurna, dan
minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari
bahan blotong (Widodo 2009).
Sedangkan di daerah Medayu Utara terdapat banyak sampah organik
terutama sampah kebun (sisa daun). Ini merupakan resiko dari penggalakkan
slogan Medayu Bersih Medayu Hijau, sehingga warganya banyak yang memiliki
tanaman baik tanaman berkayu maupun yang berada di dalam pot.
Tumpukan sampah organik terlihat nyata dan cukup mengganggu
kenyamanan ketika selesai kegiatan kerja bakti, untuk meminimalisasi sampah
tersebut warga hanya menumpuk dan membakar. Membakar sampah dapat
menyebabkan polusi udara dan gangguan pernafasan.
tahun (produksi tebu tahun 2011 sekitar 28 juta ton). Blotong dari stasiun sulfitasi
rata-rata berkadar air 67 % dan kadar pol 3 % , (Kuswurj 2012).
Produksi blotong mencapai 3,5-7,5% dari berat tebu giling. Menurut
Triwahyuningsih dan Muhammad, sifat blotong yang mendukung perbaikan sifat
tanah antara lain daya menahan air tinggi, berat volume rendah, porous dan KTK
tinggi. Blotong menunjukkan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai
sumber bahan organik tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman (Rajiman 2008).
Blotong keluar dari proses dalam bentuk padat mengandung air dan masih ber
temperatur cukup tinggi (panas), berbentuk seperti tanah, blotong sebenarnya
adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi
blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2,
CaO, P2O5 dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan
PG lainnya, bergantung pada pola prodkasi dan asal tebu (Kurnia 2010). Berikut
dapat dilihat kandungan dari blotong pada tabel 2.1 di bawah ini (Kuswurj 2012) :
Tabel 2.1 Komposisi dari blotong
Komponen % Zat Kering
Wax dan Fat kasar 5 – 14
Protein kasar 5 – 15
Sabut 15 – 30
Gula 5 – 15
Total abu 9 – 20
SiO2 4 – 10
CaO 1–4
Komponen % Zat Kering
P 2 O5 1–3
MgO 0,5 – 1,5
sayuran dan sampah lainnya yang mengandung selulosa dan lignin. Berdasarkan
penelitian Bhosale (2012) yang mempelajari tentang karakter fisika – kimia materi
organik dalam blotong dan pengaruhnya terhadap kapasitas atau daya tanah dalam
menahan air, menunjukkan bahwa blotong segar tidak dapat langsung digunakan
sebagai pupuk karena akan membuat sifat fisik tanah menjadi lebih buruk maka
diperlukannya proses ekstraksi atau proses pengomposan. Hasil dari pembelajaran
bahwa ekstraksi bahan organik dalam blotong terlihat secara nyata terhadap
struktur fisik dan kualitas blotong serta membantu menambah kapasitas tanah
dalam menahan air. Berdasarkan penelitian Nurawan (2008) blotong yang
diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan tanam padi di lokasi prima tani kabupaten
Cirebon menunjukkan dampak terhadap peningkatan produksi padi juga dapat
memperlambat penuaan daun padi.
2.2 Sampah
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan baik telah
diambil bagian utamanya atau karena pengolahan atau karena sudah tidak ada
manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomi tidak ada harganya dan dari
segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran. Sampah berpotensi besar dalam
pembuatan pupuk, ini dikarenakan banyaknya sampah yang berada dalam
perkotaan dan tempat-tempat lainnya, sampah yang tidak diolah akan
menimbulkan permasalahan tersendiri bagi lingkungan dan umat manusia, oleh
sebab itu sangatlah pantas jika sampah dapat diolah dan menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat misalkan gasbio, pupuk ataupun briket. Sampah memiliki
karakteristik sendiri yaitu :
a. Karakteristik sampah berdasarkan sifat fisik
a. Garbage
Garbage adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik, pada
umumnya berasal dari sisa-sisa makanan dan sering disebut sampah
basah. Sumber sampah berasal dari domestik (rumah tangga), pasar,
rumah makan. Sifat sampah ini adalah cepat membusuk dan
memberikan karakteristik bau dari hasil pembusukkan.
b. Rubbish
Rubbish adalah komponen sampah kering yang susunannya terdiri dari
bahan organik maupun bahan anorganik, baik yang dapat terbakar
maupun yang tidak terbakar. Sifat sampah ini adalah tidak cepat
membusuk. Jenis sampah ini terbagi atas dua golongan yaitu sampah
kering logam dan non logam.
c. Sampah lembut
Sampah lembut adalah sampah yang terdiri dari partikel-partikel kecil,
ringan dan mempunyai sifat yang mudah beterbangan. Menurut
bentuknya ada 2 macam yaitu :
Abu (ashes) : komponen sampah yang berupa sisa karbon
hasil pembakaran.
Debu (dust) : partikel halus tanah.
d. Sampah besar
Sampah besar adalah sampah yang berukuran besar, misal : barang-
barang meubel bekas.
e. Sampah khusus
Sampah khusus adalah komponen yang bersifat anorganik dan toksik,
serta memerlukan penanganan khusus, yang termasuk dalam golongan
ini antara lain :
Sampah patogen : sampah yang berasal dari rumah sakit,
puskesmas dan lain-lain.
Sampah beracun : sisa peptida, insektisida, wadah bahan
beracun.
Sampah radioaktif : sampah dari bahan-bahan nuklir.
Sampah explosive : sampah yang mudah meledak.
f. Sampah binatang
Sampah binatang adalah sampah yang berupa bangkai dan kotoran
hewan.
No Kandungan Jumlah
7 Oksigen (O) 9,21 %
Sumber : Japan International Cooperation Agency, 1998 The Study on The Solid
Waste Management for Surabaya, Main Report
b. Sampah anorganik
Sampah anorganik adalah sampah dari bahan-bahan yang tidak
tersusun oleh senyawa organik dan tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme, contoh : kaca, besi dan lain-lain.
c. Karakteristik sampah berdasarkan sumbernya
a. Sampah alam
Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui
proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan
yang terurai menjadi tanah. Di luar kehidupan liar, sampah-sampah
ini dapat menjadi masalah, misalnya daun-daun kering di
lingkungan pemukiman.
b. Sampah manusia
Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa
digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses
dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi
kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana
perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah
satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah
pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan
cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk didalamnya adalah
perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia
dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir
tanpa air.
c. Sampah konsumsi
Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh
(manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-
sampah yang dibuang ke tempat sampah. Ini adalah sampah yang
Jumlah organisme
20 Grafik
hubungan
10 antara laju
jumlah
0
organisme
0 5 10 15 20 25 30 35 hidup dengan
Hari ke waktu
2.4 Pupuk
Menurut Saifuddin Sarief (1985) pupuk adalah setiap bahan yang
dicampurkan tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah
unsur hara yang diperlukan tanaman. Pengertian lain dari pupuk adalah suatu
bahan yang diberikan sehingga dapat mengubah keadaan fisik, kimiawi dan hayati
dari tanah sehingga sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman (Simangunsong
2012).
Menurut Djoehana Setyamidjaja (1986) pupuk juga merupakan bahan
yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologintanah. Ada
bermacam-macam pupuk antara lain berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kompos,
abu tanaman, atau ekskremen hewan, tepung darah, bungkil, pupuk buatan pabrik
(anorganik) dan sebagainya (Simangunsong 2012).
Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung berbagai jenis unsur
baik unsur makro seperti nitrogen (N), phosphor (P), kalium (K), magnesium
(Mg), kalsium (Ca), dan sulfur (S) dan unsur mikro seperti besi (Fe), mangan
(Mn), dan klorida (Cl) yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhan
dan perkembangan agar dapat berproduksi menghasilkan produk yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia (Sumada 2009).
Berdasarkan bahan baku yang dipergunakan dalam produksi pupuk,
terdapat dua jenis pupuk yaitu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik
merupakan pupuk dengan bahan baku organik seperti limbah dan sisa tanaman
serta limbah atau kotoran hewan. Pupuk anorganik merupakan pupuk dengan
bahan baku anorganik seperti pupuk urea, TSP, KCl, ZA dan DAP maupun NPK.
Berdasarkan komposisi, pupuk dibagi menjadi pupuk tunggal dan pupuk
majemuk. Pupuk tunggal yaitu pupuk yang hanya mengandung satu unsur makro
sedangkan pupuk majemuk mengandung lebih dari satu unsur makro (Sumada
2009).
Pemberian nama pupuk hijau didasarkan atas bahan-bahan pembentuk
pupuk itu sendiri yaitu tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih muda.
Bagian-bagian tanaman ini dibenamkan dalam tanah dengan maksud agar dapat
pupuk organik pada tanah akan memperbaiki struktur tanah dan menyebabkan
tanah mampumengikat air lebih banyak (Simangunsong 2012).
Pupuk organik memiliki ciri-ciri umum, memiliki kandungan hara rendah
namun kandungan hara bervariasi tergantung bahan yang digunakan, ketersediaan
unsur hara lambat, hara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman, memerlukan
perombakan atau dekomposisi baru dapat terserap oleh tanaman, jumlah hara
tersedia dalam jumlah yang terbatas (Simangunsong 2012).
2.4.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Produk Pupuk
Hijau Cair dan Padat
Pada produksi pupuk hijau cair dan padat dengan kombinasi proses
ekstraksi dan fermentasi melibatkan dua proses utama yaitu proses ekstraksi dan
fermentasi. Proses ekstraksi merupakan proses pemisahan unsur-unsur makro
(nitrogen, phosphor, kalium, magnesium, kalsium dan sulfur) dalam daun atau
ranting tanaman dengan mempergunakan pelarut (solven). Sedangkan proses
fermentasi merupakan proses peruraian (pembusukkan) bahan organik oleh
mikroorganisme. Proses fermentasi bertujuan untuk menurunkan ratio C/N pada
pupuk hijau padat, hal ini terjadi karena pada proses fermentasi dengan
mikroorganisme akan dihasilkan gas berupa gas CO2 sehingga konsentrasi ion C
akan menurun mengakibatkan ratio C/N akan turun atau kualitas produk pupuk
hijau padat akan meningkat. Pada proses ini proses ekstraksi dan fermentasi
berjalan bersamaan. Berdasarkan kajian proses produksi, berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas produk pupuk hijau cair maupun padat seperti
ukuran daun atau ranting, jenis pelarut (solven), waktu proses ekstraksi dan
fermentasi, pengadukan dan temperatur pengeringan produk pupuk hijau padat
(Sumada 2009).
1. Ukuran daun dan ranting
Ukuran daun dan ranting berpengaruh terhadap proses ekstraksi dan
fermentasi, semakin kecil ukuran daun atau ranting akan mempermudah keluarnya
ion-ion (unsur-unsur) makro dalam daun atau ranting masuk kedalam media cair.
Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran daun atau ranting luas permukaan
semakin besar dan mempermudah keluarnya ion atau unsur makro dari daun atau
rantin. Semakin kecil ukuran daun atau ranting waktu proses ekstraksi dan
fermentasi semakin cepat.
2. Jenis pelarut (solven)
Proses ekstraksi dan fermentasi daun atau ranting tanaman dipengaruhi
oleh jenis pelarut, hal ini disebabkan ion atau unsur makro dalam daun atau
ranting dapat larut dengan sempurna pada jenis pelarut tertentu, pemilihan jenis
pelarut berpengaruh terhadap kualitas pupuk hijau cair maupun padat. Jenis
pelarut juga dapat memberikan spesifikasi produk pupuk yang diproduksi, seperti
produk pupuk hijau cair asam yang bermanfaat pada lahan pertanian basa atau
pupuk hijau cair basa yang bermanfaat bagi lahan pertanian asam. Kualitas produk
pupuk hijau cair dan padat juga ditentukan oleh rasio (perbandingan) berat bahan
daun atau ranting terhadap volume pelarut. Semakin besar rasio berat bahan atau
volume pelarut kualitas produk pupuk hijau cair semakin tinggi tetapi jika terlalu
besar kualitas produk akan tetap hal ini disebabkan rasio berat bahan atau volume
pelarut terlalu besar dapat menghambat proses ekstraksi. Dalam mengendalikan
kualitas produk perlu mengkaji rasio berat bahan atau volume pelarut yang
optimal.
3. Waktu Proses Ekstraksi dan Fermentasi
Waktu ekstraksi dan fermentasi sangat mempengaruhi kualitas pupuk hijau
cair dan padat, semakin lama waktu ekstraksi jumlah ion yang terakumulasi dalam
pupuk cair semakin tinggi berarti kualitas pupuk cairnya semakin tinggi. Semakin
lama waktu fermentasi dapat menurunkan konsentrasi ion nitrogen dalam pupuk
hijau cairnya tetapi mempercepat proses pembusukkan pupuk hijau padatnya.
Dalam rangka mengendalikan kualitas pupuk hijau cair dan padat diperlukan
waktu ekstraksi dan fermentasi optimal.
4. Pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk mempercepat proses ekstraksi, semakin
cepat pengadukan proses ekstraksi berlangsung dengan cepat dan mempercepat
waktu proses produksi pupuk.
b. Aerasi timbunan.
Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob
mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau
terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke
dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya
nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3 (Nia 2012). Kebutuhan
oksigen dalam pembuatan kompos yakni berkisar antara 10-18% (Cahaya 2007).
Adapun efek dari aerasi dapat di evaluasi dengan melihat kurva temperatur selama
pengomposan. Tingkat aerasi rendah 0,17-0,28 L/menit/kg VS mengakibatkan
suhu puncak akhir. Tingkat aerasi sedang antara dari 0,39-1,26 L / menit/kg VS,
memberikan suhu puncak setelah empat hari dan setelah itu suhu menurun
perlahan-lahan. Tingkat aerasi yang tinggi antara dari 1,41-3,35 L/menit/kg VS
juga mengalami suhu puncak setelah empat hari tapi setelah itu suhu menurun
drastis (Bari 1999).
c. Temperatur
Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60o C).
Selama pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang
dikomposkan temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencapai 60o C. Pada
temperatur tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk
menurunkan temperatur umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos
(Nia 2012). Temperatur optimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk
merombak bahan adalah 34-55oc (Cahaya 2007).
d. Derajat keasaman (pH)
Suasana proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asam‐asam
organik, sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai
dampak netralisasi kemasaman (Nia 2012). Derajat keasaman terbaik untuk proses
pengomposan adalah kondisi pH netral yakni berkisar antara 6-8 (Cahaya 2007).
e. Netralisasi
Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan
pengapuran misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya
menetralisasi tetapi juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang
dibuat (Nia 2012).
f. Penambahan aktifator
Kadang‐kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos,
timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan
mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan
untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat.
Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena
kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan
tidak menguap (Nia 2012).
Untuk mengetahui pupuk yang dihasilkan melalui teknik pengomposan
telah menjadi pupuk yang baik dan layak untuk diaplikasikan pada tanaman atau
tidak, maka terdapat parameter-parameter yang bisa dibandingkan dengan SNI 19-
7030-2004, parameter-parameter yang umumnya dibandingkan diantaranya adalah
kadar air, rasio C/N, pH, temperatur dan lain-lain yang berhubungan dengan
kandungan mineral dan unsur hara lain yang terdapat dalam tanah.
Berikut tabel 2.4 tentang standart kualitas pupuk menurut SNI 19-7030-
2004.
Tabel 2.4 Standart Kualitas Pupuk SNI 19-7030-2004 :
No Parameter Satuan Min Maks
1 Kadar Air % 50
o
2 Temperatur C Suhu Air Tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau Tanah
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air % 58
7 pH 6,8 7,49
8 Bahan Asing % * 1,5
Unsur Makro
9 Bahan Organik % 27 58
Keterangan : *Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
3.3 Variabel
1. Kondisi tetap :
Sampah kebun (sisa daun) : 3 kg (juga sebagai variabel kontrol)
2. Kondisi berubah :
Blotong : 1 kg; 2 kg; 3 kg dan 4 kg
Aerasi : menggunakan aerator/kompresor dan secara manual
Udara yang diberikan dari aerator : 1,8; 2,7 dan 3,6 L/min/kgVS
26
4. Campur blotong dan sampah perkebunan (sisa daun) yang telah ditimbang
terlebih dahulu, kemudian masukkan ke dalam bak plastik. Uji suhu, pH,
kadar air, % C dan % N pada tiap variasi.
5. Tutupi timbunan dengan tutup bak.
6. Ukur suhu setiap hari, ukur pH dan siram timbunan dengan air
menggunakan semprotan air sambil diaerasi tiga hari sekali. Menghitung
jumlah koloni bakteri, uji kadar air, % C dan % N seminggu sekali.
7. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu pertama melarutkan
sampel dengan aquades kemudian diambil 0,1 ml dan membuat
pengenceran 1 : 200 kemudian diambil 1 ml, 0,5 ml, 0,1 ml, 2 tetes dan 1
tetes.
8. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu kedua membuat
pengenceran 1 : 100 lalu diambil sebanyak 0,1 ml. Pengenceran 1 : 10.000
lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml. Pengenceran 1 : 1.000.000 lalu
diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml.
9. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu ketiga membuat
pengenceran 1 : 20.000 lalu diambil sebanyak 0,1 ml. Pengenceran 1 :
2.000.000 lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml. Pengenceran 1 :
200.000.000 lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml.
10. Setelah kompos matang uji suhu, pH, kadar air, % C dan % N pada tiap
variasi sekali lagi untuk menggetahui apakah kualitas pupuk sudah sesuai
dengan persyaratan.
11. Analisis data menggunakan metode statistik grafik dan uji statistik
menggunakan metode Anova Two Way, Anova One Way dan Correlation
dengan software Minitab 14.
12. Penarikan kesimpulan berdasarkan hasil statistik dan perbandingan data
terhadap standar SNI 19-7030-2004.
Blotong (variasi)
+ Kuantitatif :
Sampah Kebun
Rasio C/N
Kompos
Kualitatif :
Konvensional Konvensional Konvensional Bau
Aerator Warna
(variasi) Tekstur
Blotong (variasi)
+
Sampah Kebun
Kompos
Pematangan kompos.
Kesimpulan
30
aerasi yaitu secara manual atau tanpa menggunakan aerator dan dengan menggunakan
aerator.
4.2.1 Kondisi Suhu Selama Proses Pengomposan.
Peningkatan suhu diakibatkan dari aktivitas mikroorganisme dalam merombak
bahan – bahan organik. Fluktuasi suhu selama proses pengomposan ditunjukkan pada
tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Fluktuasi Suhu pada Proses Pengomposan (oC)
Hari M M M M A A A A A A A A A A A A Kontrol
ke- I II IIII I II III IV I II III IV I II III IV
V 1,8 1,8 1,8 1,8 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 34 35 36 35 34 35 36 35 33 35 34 35 34 34 36 35 30
1 35 38 42 37 36 37 37 37 33 39 38 39 36 36 39 38 33
2 36 43 49 39 39 39 38 38 33 41 40 42 37 38 42 40 35
3 35 42 46 37 36 39 40 40 32 39 41 39 35 38 44 40 37
4 34 38 44 35 35 39 42 41 32 37 42 38 35 37 49 39 35
5 34 38 41 34 34 38 41 37 32 36 38 38 34 37 45 37 34
6 33 38 39 33 34 36 38 37 31 35 38 38 33 35 42 35 33
7 32 36 36 33 34 35 37 37 38 35 38 37 33 35 39 34 33
8 32 35 35 33 32 34 34 37 35 34 35 35 33 34 37 34 32
9 32 33 34 33 32 32 33 35 32 34 35 34 32 33 36 34 32
10 31 33 34 32 32 32 33 35 31 32 33 33 32 33 34 33 30
11 31 33 33 32 32 32 32 34 31 32 33 33 32 32 33 33 30
12 31 32 32 32 32 32 32 34 31 32 32 33 32 32 32 33 30
13 30 32 32 32 31 31 32 33 30 31 32 33 31 31 33 32 30
14 30 32 32 32 31 31 31 33 30 31 32 33 31 31 32 32 30
15 29 31 32 31 30 31 30 33 29 30 32 33 31 31 32 32 30
16 29 31 31 31 30 31 30 32 29 30 31 32 31 31 32 32 29
17 28 31 31 31 30 31 30 32 29 30 31 32 30 31 31 31 29
18 28 30 30 30 29 30 29 32 29 29 31 32 30 30 31 31 29
19 28 30 30 30 29 30 29 31 28 29 30 31 30 30 30 31 28
20 28 29 30 29 29 30 28 31 28 28 30 31 29 30 29 30 28
21 28 29 29 29 28 29 28 30 28 28 29 30 29 29 29 30 28
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013
Dinamika suhu memainkan peranan yang penting dalam proses pengomposan.
Dinamika suhu adalah indikator dari dinamika aktivitas mikrobiologi dalam
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.1 untuk proses pengomposan tanpa menggunakan aerator berikut :
50
45
40
35
Suhu (oC)
MI
30 M II
25
M III
20
M IV
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
50
45
40
35
Suhu (oC)
A I 1,8
30 A II 1,8
25 A III 1,8
20
A IV 1,8
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
50
45
40
35 A I 2,7
Suhu (oC)
30 A II 2,7
25 A III 2,7
20 A IV 2,7
15 Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
50
45
40
35 A I 3,6
Suhu (oC)
30 A II 3,6
25 A III 3,6
20 A IV 3,6
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
Hari A A A A A A A A Kontrol
ke- I II III IV I II III IV
2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,4
3 6,9 6,8 7 7,1 7 6,9 7,1 6,8 6,7
6 6,7 6,6 7 7,2 7,3 7,1 7 7,2 6,9
9 7 6,9 7 7 6,9 6,8 6,9 7,1 6,9
12 7,5 7 7 7 7,2 7,4 7 7,3 7,4
15 7,8 7,7 7,6 7,8 7,5 7,6 7,6 7,7 7,7
18 7,6 7,5 7,4 7,5 7,4 7,3 7,4 7,6 7,5
21 7,5 7,4 7,3 7,4 7,4 7,2 7,2 7,5 7,5
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013
Melalui tabel 4.3 dapat diketahui bahwa besar pH pada semua reaktor sama
yaitu 6,5, pH selama pengomposan dikatakan netral karena berkisar antara 6,4-7,9.
Kondisi pH netral ini dikarenakan proses pengadukan dan aerasi pada setiap reaktor
secara teratur, dan juga mencegah timbulnya jamur dikarenakan pH yang terlalu
rendah.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.5 berikut :
10
9
8
7 MI
6 M II
pH
5 M III
4 M IV
3
Kontrol
2
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-
5 A III 1,8
4 A IV 1,8
3
Kontrol
2
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-
Melalui gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pH semua reaktor pada hari pertama
yaitu 6,5 dan meningkat sejak hari kedua, kemudian mencapai puncak pada hari ke 15
kemudian pH sedikit menurun dan akhirnya berhenti pada kisaran 7,3 – 7,5 dimana
sudah sesuai dengan standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.7 berikut :
10
9
8
A I 2,7
7
6 A II 2,7
pH
5 A III 2,7
4
A IV 2,7
3
2 Kontrol
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-
10
9
8
7
6 A I 3,6
pH
5 A II 3,6
4
A III 3,6
3
2 A IV 3,6
1 Kontrol
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-
50
45
50
45
50
45
50
30 M II
25 M III
20
M IV
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
45
40
35 A I 1,8
30 A II 1,8
25 A III 1,8
20
A IV 1,8
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
Melalui gambar 4.14 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar karbon, hal
ini dikarenakan adanya dosis udara yang diinjeksikan pada saat proses pengomposan,
serta mikroorganisme yang mendekomposisi materi organik menggunakan karbon
sebagai sumber energi. Pada tiap reaktor besar penurunan kadar karbon mengalami
penurunan yang hampir sama, terlihat dari besar kemiringan garis pada grafik yang
tidak terlihat jauh berbeda. Besar persen kadar karbon pada semua reaktor telah
memenuhi standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.15 berikut :
50
Kadar Karbon (%)
45
40
A I 2,7
35
30 A II 2,7
25 A III 2,7
20
A IV 2,7
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-
50
1.8
1.6
1.4 A I 1,8
1.2 A II 1,8
1 A III 1,8
0.8 A IV 1,8
0.6
Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-
amonium dari bentuk teroksidasinya yaitu nitrit. Persen nitrogen paling besar
ditunjukkan pada reaktor dengan penambahan blotong sebanyak 4 kg yaitu sebesar
0,9 % pada minggu ketiga. Besat persen kadar nitrogen pada tiap reaktor telah
memenuhi standart SNI no 19 – 7030 – 2004 yaitu lebih besar daripada 0,4 %.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.19 berikut :
2
Kadar Nitrogen (%)
1.8
1.6
A I 2,7
1.4
1.2 A II 2,7
1 A III 2,7
0.8 A IV 2,7
0.6
Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-
200
180
160
Rasio C/N
140 MI
120 M II
100 M III
80 M IV
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-
140
120 A II 1,8
100 A III 1,8
80 A IV 1,8
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-
140 A I 2,7
120 A II 2,7
100 A III 2,7
80 A IV 2,7
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-
organik yang sulit didegradasikan oleh mikroorganisme dan tidak segera tersedia bagi
mikroorganisme untuk sumber energi.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.24 berikut :
200
180
160 A I 3,6
Rasio C/N
140 A II 3,6
120 A III 3,6
100
A IV 3,6
80
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-
ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis aerasinya semakin besar penurunan rasio
C/N, disebabkan unsur C dalam timbunan berkurang.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 2 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 13,45; 30,03; 30,9 dan 27,94 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 2 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 2,7 l/min/kgVs atau setara dengan 0,15 bar.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 3 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 24,98; 30,05; 30,01 dan 28,73 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 3 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 2,7 l/min/kgVs atau setara dengan 0,15 bar.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 4 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 17,75; 31,59; 31,23 dan 31,75 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 4 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 3,6 l/min/kgVs atau setara dengan 0,2 bar. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis aerasinya semakin besar penurunan rasio
C/N, disebabkan unsur N dalam timbunan bertambah.
Jadi laju penurunan rasio C/N yang paling besar pada penambahan blotong
seberat 4 kg menggunakan aerator dengan dosis 3,6 l/min/kgVs (setara dengan 0,2 bar)
yaitu 31,75 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari). Laju penurunan terbesar kedua
pada penambahan blotong seberat 4 kg menggunakan aerator dengan dosis 1,8
l/min/kgVs (setara dengan 0,1 bar) yaitu 31,59 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari).
Dan laju penurunan terbesar ketiga pada penambahan blotong seberat 3 kg
menggunakan aerator dengan dosis 2,7 l/min/kgVs (setara dengan 0,15 bar) yaitu
31,23 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari).
Dari hasil data penurunan rasio C/N diatas diperlukan adanya uji statistik
untuk mengetahui pengaruh perbedaan dari dua perlakuan yang diterapkan. Uji
statistik yang digunakan yaitu metode Anova two way, karena terdapat lebih dari satu
variabel yang diharapkan berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova Two Way memperlihatkan bahwa berat
penambahan blotong p-value 0,977 jika p-value lebih dari 0,05 maka berat
penambahan blotong tidak mempengaruhi penurunan rasio C/N, hal ini dapat
dibuktikan dari besar p-value sebesar 0,977 artinya semua reaktor yang diberi
tambahan blotong 1 kg, 2 kg, 3 kg, dan 4 kg semuanya menunjukkan hasil penurunan
rasio C/N yang sama atau tidak adanya perbedaan diantaranya.
Dilihat dari perlakuan dosis aerator menunjukkan besar p-value 0,022, jika p-
value kurang dari 0,05 maka dosis aerator berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Demikian pula halnya interaksi antara penambahan blotong dan dosis aerator tidak
berpengaruh, terbukti dari besar p-value 0,806, hal ini disebabkan berat penambahan
blotong tidak berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Diketahui bahwa rasio C/N terbaik adalah yang mempunyai rasio C/N terkecil.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai rata – rata penambahan berat blotong terbaik
adalah menggunakan perlakuan 4 kg dengan rasio C/N 74,25. Demikian pula dengan
metode aerasi terbaik menggunakan aerator dengan rasio C/N sebesar 62,1938.
Penelitian ini selain menggunakan metode aerasi tanpa aerator juga
menggunakan aerator yang terdiri atas 3 dosis aerasi berbeda yaitu 1,8; 2,7; dan 3,6
l/min/kgVs. Untuk mengetahui terdapat atau tidaknya pengaruh dari variasi dosis
aerator tersebut maka dilakukan uji statistik dengan metode Anova one way.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova one way dapat dijelaskan besar p-value
0,983 maka variasi dosis aerator memberikan pengaruh yang sama artinya pemberian
variasi dosis aerator menunjukkan adanya penurunan rasio C/N. Diketahui bahwa
rasio C/N terbaik adalah yang memiliki nilai rasio C/N terkecil, dimana nilai uji
statistik Hsu’s Multiple Comparisons with the Best yaitu -51,24; -4,88 dan 41,49
ditunjukkan pada dosis aerator 3,6 l/min/kgVs.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova one way dapat diuraikan bahwa nilai
Tukey and Fisher menunjukkan adanya persamaan, artinya memberi pengaruh yang
sama terhadap penurunan rasio C/N.
4.2.5 Bakteri Perombak
Dalam mendekomposisikan bahan – bahan organik, peran bakteri perombak
atau mikroorganisme sangat penting. Menurut Djuarnani (2004) karena
mikroorganisme ini merombak senyawa organik menjadi senyawa – senyawa yang
lebih sederhana untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan sebagian besar
digunakan untuk sintesa mikromolekul seperti asam nukleat, lipida, dan polisakarida.
Sintesa asam nukleat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sel (Fitri 2012).
Berikut tabel perkembangan populasi bakteri perombak selama proses
pengomposan ditunjukkan oleh tabel 4.9 berikut :
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang
didapatkan adalah :
1. Ada pengaruh pemberian blotong sebagai aktifator terhadap kecepatan
dekomposisi ditandai dengan pertumbuhan bakteri pada blotong yang
mempengaruhi penurunan rasio C/N selama proses dekomposisi. Besar
penurunan rasio C/N yaitu 84 %.
2. Ada pengaruh pemberian blotong terhadap kualitas kompos dengan rasio C/N
19,2. Dosis blotong yang paling mempercepat proses dekomposisi yaitu 4 kg
tiap 3 kg berat sampah kebun.
3. Metode aerasi yang paling efektif mempercepat proses pengomposan adalah
secara mekanik menggunakan aerator.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, maka saran yang
diberikan adalah :
1. Perlu dilakukan percobaan pengomposan lebih lanjut di atas 21 hari untuk
mengetahui pengaruh pemberian variasi berat blotong dan dosis aerator.
2. Dalam penelitian ini faktor kematangan kompos yang dilihat hanya suhu, pH,
kadar air, kadar karbon, kadar nitrogen dan rasio C/N, maka disarankan untuk
meninjau faktor lainnya seperti kadar phospat, kadar kalium, dan tinggi
tumpukan.
63
Bhosale P.R., Chonde S.G., Nakade D.B., dan Raut P.D. 2012. Study on Physico –
Chemical Characteristics of Waxed and Dewaxed Pressmud and its effect on
Water Holding Capacity of Soil. Kolhapur. India. ISCA Journal of Biological
Sciences (1) 1: 35 – 41.
Fitri, Rahayu Fadillah. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Selulotik Pengurai
Sampah Organik Dari Berbagai Tempat. Universitas Pendidikan Indonesia.
Kusuma, Angga M., 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap aju
Dekomposisi Kompos Sampah Organik Di Kota Depok. Tesis Teknik Lingkungan
FT Universitas Indonesia. Depok.
Sumada, K., Caecillia Pujiastuti. 2009. Kajian Produksi Dan Kinerja Pupuk Hijau
Cair Dari Tanaman Muntingia C.L Dan Helianthus A.L. Seminar Nasional
Implementasi Teknologi Informasi Dalam Pengembangan Industri Pangan, Kimia
Dan Manufaktur. LPPM UPN “Veteran” Jatim. Surabaya. 41 – 52 hal.
Widodo, W.F. 2009. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula (Filter Cake) dan Limbah
Ethanol (Vinasse) Menjadi Pupuk Organik HOSC yang Dapat Menggantikan
Pupuk Kimia. www. plantamor.com diakses pada tanggal 26 September 2012.
Yelianti, U., Kasli, M. Kasim, E. F. Husin. 2008. Kualitas Pupuk Organik Hasil
Dekomposisi Beberapa Bahan Organik dengan Dekomposernya. Jurnal Akta
Agrosia. Padang. (12) 1: 1 – 7.