Anda di halaman 1dari 78

BLOTONG (FILTER CAKE) SEBAGAI AKTIFATOR

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

SKRIPSI

Oleh :

Rr FANNY KARUNIA RAMADHANI


0952010006

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
2013

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BLOTONG (FILTER CAKE) SEBAGAI AKTIFATOR
PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik (ST.)
Program Studi Teknik Lingkungan.

Diajukan Oleh :

Rr FANNY KARUNIA RAMADHANI


0952010006

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
2013

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BLOTONG (FILTER CAKE) SEBAGAI AKTIFATOR
PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
Disusun Oleh :

Rr FANNY KARUNIA RAMADHANI


0952010006

Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi


Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Program Studi Teknik Lingkungan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada Tanggal : ............................2013

Pembimbing, Penguji I,

Dr. Ir. Munawar Ali, MT. Ir. Yayok Suryo Purnomo, MS.
NIP. 19600401 198803 1 00 1 NIP. 19600601 198703 1 00 1

Penguji II,

Ir. Tuhu Agung Rachmanto, MT.


NIP. 19620501 198803 1 00 1

Penguji III,

Ir. DG. Okayadnya Wijaya, MT.


NIP. 19571105 198503 1 00 1

Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
UPN “Veteran” Jawa Timur

Ir. Naniek Ratni Juliardi AR., M. Kes.


NIP. 19590729 198603 2 00 1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
– Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Blotong
(Filter Cake) Sebagai Aktifator Pembuatan Pupuk Organik”. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, UPN “Veteran” Jawa
Timur untuk mendapatkan gelar sarjana. Selama menyelesaikan skripsi ini,
penulis telah banyak memperoleh bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Naniek Ratni Juliardi AR., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Dr. Ir. Munawar Ali, MT, selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur dan
juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu, mengarahkan
dan membimbing mulai dari penyusunan proposal sampai penyusunan
skripsi ini sehingga dapat selesai dengan baik.
3. Juli Winarti, ST, selaku Laboran mikrobiologi Program Studi Teknik
Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur yang telah membantu
menganalisa mikroba.
4. Pihak Pabrik Gula Candi Baru Sidoarjo yang telah bersedia memberikan
ijin untuk meneliti limbah padat berupa blotong (filter cake) Pabrik
tersebut.
5. Bapak/ Ibu dosen Program Studi Teknik Lingkungan UPN “Veteran”
Jatim yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar
bagi penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
6. Ir. Indra Tjahaya Amir, MS yang telah membantu dalam penulisan skripsi
ini.

i
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7. Teruntuk Ayahanda Ir. Trikardi Hariyoso dan Ibunda Rr. Indiarini
Soelistyaningtyas, SH yang selalu menekankan bahwa ilmu pengetahuan
adalah warisan yang paling berharga.
8. Teman – teman mahasiswa Teknik Lingkungan yang telah memberi
semangat dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun akan penulis terima
dengan senang hati. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila didalam penulisan skripsi ini terdapat kata-
kata yang kurang berkenan atau kurang dipahami.

Surabaya, 16 Oktober 2013

Penulis

ii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vii
ABSTRAK....................................................................................................... viii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................. 3
1.4 Ruang Lingkup ................................................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bahan Organik................................................................................................. 5
2.1.1 Tanaman Tebu .............................................................................................. 6
2.1.2 Pengertian Blotong ....................................................................................... 6
2.2 Sampah ............................................................................................................ 8
2.2.1 Sampah Kebun (Sisa – Sisa Daun) ............................................................... 12
2.3 Bakteri Dekomposer ........................................................................................ 13
2.4 Pupuk............................................................................................................... 17
2.4.1 Pupuk Organik.............................................................................................. 18
2.4.2 Faktor – faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Produk Pupuk Hijau
Cair dan Padat ....................................................................................................... 19
2.5 Teknik Pengomposan ...................................................................................... 21

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Bahan Penelitian .............................................................................................. 26

iii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3.2 Peralatan Penelitian ......................................................................................... 26
3.3 Variabel ........................................................................................................... 26
3.4 Prosedur Penelitian .......................................................................................... 26
3.5 Proses Secara Teknis ....................................................................................... 28
3.6 Kerangka Penelitian ........................................................................................ 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Karakteristik Awal Blotong dan Sampah Kebun ............................................ 30
4.2 Pengomposan Sampah Kebun Dengan Penambahan Blotong dan Variasi
Metode Aerasi ....................................................................................................... 30
4.2.1 Kondisi Suhu Selama Proses Pengomposan ................................................ 31
4.2.2 Kondisi pH Selama Proses Pengomposan .................................................... 36
4.2.3 Kondisi Kadar Air Selama Proses Penngomposan ...................................... 40
4.2.4 Kondisi Rasio C/N Selama Proses Pengomposan ........................................ 45
4.2.5 Bakteri Perombak ......................................................................................... 61

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan...................................................................................................... 63
5.2 Saran ................................................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva pertumbuhan kultur mikroba .................................................. 15
Gambar 3.1 Proses Secara Teknis ......................................................................... 28
Gambar 3.2 Kerangka Penelitian .......................................................................... 28
Gambar 4.1 Fluktuasi suhu selama pengomposan secara manual ........................ 33
Gambar 4.2 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs) ........ 34
Gambar 4.3 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs) ........ 35
Gambar 4.4 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs) ........ 36
Gambar 4.5 Fluktuasi pH selama pengomposan secara manual ........................... 38
Gambar 4.6 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs) ........... 38
Gambar 4.7 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs) ........... 39
Gambar 4.8 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs) ........... 40
Gambar 4.9 Kondisi kadar air selama pengomposan secara manual .................... 42
Gambar 4.10 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs) .. 43
Gambar 4.11 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs) .. 44
Gambar 4.12 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs) .. 45
Gambar 4.13 Kondisi kadar karbon selama pengomposan secara manual ........... 47
Gambar 4.14 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)
............................................................................................................................... 47
Gambar 4.15 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
............................................................................................................................... 48
Gambar 4.16 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
............................................................................................................................... 49
Gambar 4.17 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan secara manual ......... 51
Gambar 4.18 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 1,8
l/min/kgVs)............................................................................................................ 51
Gambar 4.19 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 2,7
l/min/kgVs)............................................................................................................ 52

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Gambar 4.20 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 3,6
l/min/kgVs)............................................................................................................ 53
Gambar 4.21 Kondisi rasio C/N selama pengomposan secara manual ................. 55
Gambar 4.22 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs) . 55
Gambar 4.23 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs) . 56

Gambar 4.24 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs) . 57

vi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi dari blotong ......................................................................... 7
Tabel 2.2 Komposisi kimia sampah organik ......................................................... 10
Tabel 2.3 Jumlah kandungan zat dalam sampah kebun ........................................ 13
Tabel 2.4 Standart kualitas pupuk SNI 19 – 7030 – 2004 .................................... 24
Tabel 4.1 Karakteristik awal blotong dan sampah kebun ..................................... 30
Tabel 4.2 Fluktuasi suhu pada proses pengomposan (oC)..................................... 31
Tabel 4.3 Pengukuran pH selama proses pengomposan ....................................... 37
Tabel 4.4 Kondisi kadar air selama proses pengomposan (%) ............................. 41
Tabel 4.5 Kondisi kadar karbon selama proses pengomposan (%)....................... 46
Tabel 4.6 Kondisi kadar nitrogen selama proses pengomposan (%) .................... 50
Tabel 4.7 Rasio C/N selama proses pengomposan ............................................... 54
Tabel 4.8 Laju penyisihan C/N ............................................................................. 58
Tabel 4.9 Perkembangan populasi bakteri selama proses pengomposan .............. 61

vii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Abstrak

Pengomposan merupakan upaya pengolahan sampah organik secara biologis


dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk merubah timbunan sampah
organik menjadi material dengan karakteristik seperti tanah. Blotong memiliki
kandungan karbon, nitrogen, phospat, kalium dan beberapa mineral lain yang dapat
mendukung perbaikan sifat tanah diantaranya daya menahan air tinggi dan lain – lain.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah organik menjadi pupuk. Limbah
yang digunakan adalah limbah pabrik gula berupa blotong yang dicampur dengan
sampah kebun.
Penelitian ini menggunakan sistem aerobik, dengan variasi penambahan
blotong 1 kg, 2 kg, 3 kg, dan 4 kg. Menggunakan metode aerasi tanpa aerator dan
menggunakan aerator dengan variasi dosis yaitu 1,8; 2,7 dan 3,6 l/min/kgVs. Sampah
kebun sebanyak 3 kg tanpa penambahan blotong sebagai variabel kontrol.
Dari hasil penelitian penambahan blotong 4 kg tiap 3 kg sampah kebun paling
cepat menurunkan rasio C/N yaitu 19,2 rasio C/N. Metode aerasi yang efektif
mempercepat pengomposan adalah dengan menggunakan aerator. Pertumbuhan
populasi bakteri mempengaruhi penurunan rasio C/N selama proses dekomposisi
dengan besar penurunan 84 %.

Kata kunci : blotong, kompos, aerasi, sampah kebun.

viii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Abstract

Composting is a way of treating organic waste biologically, using microbial


activity to convert organic waste into material with soil characteristic. Filter cake
from sugar factory has carbon, nitrogen, phosphate, calium and the other minerals
that can be use for soil recovery for example high water holding capacity. The goal of
research is to use organic waste for green manure. The waste from sugar factory is
filtercake that mix with rubbish.
This research use aerobic system, with variant of filter cake add are 1 kg, 2 kg,
3 kg and 4 kg. Use aeration method without aerator and with aerator use variant of
dosis are 1,8; 2,7 and 3,6 l/min/kgVs. Rubbish with 3 kg weight without filter cake
add as control.
The result of the research is 4 kg filter cake add each 3 kg rubbish stimulation
decrease of C/N ratio 19,2. Aeration method that effective for composting is use
aerator. The microbial growth influence decrease of C/N ratio during composting
with 84 % decrease.

Key word : filter cake, composting, aeration, rubbish.

ix

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Hutasoit dan Toharisman (1993) sebagian limbah ada yang
setelah dikeluarkan tidak dapat dipergunakan lagi dan ada yang dapat
dimanfaatkan kembali tergantung dari kandungan limbah tersebut. Limbah pabrik
gula sebagian besar dapat dipergunakan kembali, baik limbah padat maupun
limbah cairnya. Proses pembuatan gula di dalam pabrik gula menghasilkan 4%
tetes (molase), 32% ampas (bagasse), 3.5% blotong (filter cake) pada PG sulfitasi
dan 7.5% pada PG karbonatasi, serta 0.3% abu ketel (boiler ash) (Goenadi 2006).
Di Sidoarjo, tepatnya di daerah Candi terdapat pabrik gula yang telah
berdiri sejak zaman penjajahan Belanda yaitu Pabrik Gula Candi Baru Sidoarjo.
Pabrik ini memiliki kapasitas produksi 24.000 kuintal tebu per hari (PG Candi
Baru Sidoarjo 2012). Dari produksi tersebut menghasilkan limbah cair rata-rata
2960 l/hari (kibiro S.A. industrial pollution control 1982), sedangkan kuantitas
limbah padat berupa blotong sebesar ± 60 ton/hari atau 3% tebu, abu kering 28,8
ton/hari dan abu basah ± 27 ton/hari (laporan limbah PG Candi Baru Sidoarjo
2011).
Blotong adalah endapan dari nira kotor yang ditapis di rotary vacuum
filter, merupakan limbah pabrik gula berbentuk padat seperti tanah dan
mengandung air. Blotong masih banyak mengandung bahan organik, mineral,
serat kasar, protein kasar dan gula yang masih terserap di dalam kotoran itu
(Fadjari 2009).
Diantara limbah pabrik gula lain, blotong merupakan limbah yang paling
tinggi tingkat pencemarannya dan menjadi masalah bagi pabrik gula dan
masyarakat. Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan
pencemaran, karena di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan
mengalami penguraian secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam
air dan menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk (Purwaningsih 2011).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2

Oleh karena itu apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran
lingkungan (Kuswurj 2009).
Blotong memiliki komposisi sebagai berikut :
N = 2,9 %
Humus = 64,45 %
P2O5 = 1,87 %
K2O = 1,68 %
CaO = 7,78 %
Mg O = 0,64 %
C/N = 21,39 %
(laporan limbah PG Candi Baru Sidoarjo 2011).
Menurut Triwahyuningsih dan Muhammad sifat blotong yang mendukung
perbaikan sifat tanah antara lain daya menahan air tinggi, berat volume rendah,
porous dan KTK tinggi. Blotong menunjukkan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanpa mengganggu pertumbuhan
tanaman (Rajiman 2008).
Sementara ini pemanfaatan blotong sebagai pupuk organik masih belum
maksimal dan penggunanya pun terbatas, hal ini disebabkan karena pengolahan
limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan,
masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar
sehingga pupuk organik yang dihasilkannya pun masih belum sempurna, dan
minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari
bahan blotong (Widodo 2009).
Sedangkan di daerah Medayu Utara terdapat banyak sampah organik
terutama sampah kebun (sisa daun). Ini merupakan resiko dari penggalakkan
slogan Medayu Bersih Medayu Hijau, sehingga warganya banyak yang memiliki
tanaman baik tanaman berkayu maupun yang berada di dalam pot.
Tumpukan sampah organik terlihat nyata dan cukup mengganggu
kenyamanan ketika selesai kegiatan kerja bakti, untuk meminimalisasi sampah
tersebut warga hanya menumpuk dan membakar. Membakar sampah dapat
menyebabkan polusi udara dan gangguan pernafasan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3

Dalam penelitian ini blotong akan dikombinasikan dengan sampah kebun


(sisa daun), kemudian dijadikan pupuk organik.

1.2 Rumusan Masalah


Belum ada penanganan terhadap penimbunan sampah kebun di daerah
Medayu Utara dan limbah padat P.G. Candi Baru Sidoarjo.
Apakah blotong dapat mempercepat dekomposisi sampah kebun
(daun) sehingga dapat menjadi pupuk organik dengan kualitas baik.
Metode aerasi apakah yang dapat mempercepat proses pengomposan.

1.3 Tujuan Penelitian


Pemanfaatan limbah padat di PG Candi Baru Sidoarjo dan sampah
kebun (daun) di daerah Medayu Utara.
Untuk melihat pengaruh pemberian blotong sebagai aktifator terhadap
kecepatan dekomposisi sampah kebun serta pengaruhnya terhadap
kualitas kompos.
Untuk mengetahui metode aerasi yang paling efektif mempercepat
proses dekomposisi.

1.4 Ruang Lingkup


Menggunakan limbah padat PG Candi Baru Sidoarjo (blotong/filter
cake) dan dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
Menggunakan sampah kebun (daun) yang diambil dari daerah
Medayu Utara sebagai campuran pembuatan pupuk organik.
Penelitian dilakukan dengan variasi metode aerasi yaitu tanpa
menggunakan aerator dan dengan menggunakan aerator.
Penelitian dilakukan dengan variasi penambahan berat blotong.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
4

1.5 Manfaat Penelitian


Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana
teknik pengomposan pada limbah blotong di PG Candi Baru Sidoarjo
dan sampah kebun di daerah Medayu Utara.
Dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan dapat pula
dimanfaatkan oleh petani maupun pedagang bunga dan tanaman di
Surabaya dan sekitarnya.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Organik


Menurut Bohn, Mc Neal dan O'Connor (1979) bahan organik tanah adalah
bagian tanaman dan hewan yang telah membusuk dan sisa dari bagian tersebut
yang masih terakumulasi. Sedangkan menurut Kononova (1966) bahan organik
tanah merupakan suatu sistem yang komplek dan dinamis, berasal dari sisa - sisa
tanaman dan binatang yang terdapat dalam tanah terus menerus mengalami
perubahan dipengaruhi faktor biologi, fisik, dan kimia. Menurut Baver bahan
organik bertanggung jawab dalam proses sementasi partikel-partikel utama sampai
membentuk agregat stabil. Menurut Forsyth (1947) dan Staling (1957) dalam
penyemenan menyatakan bahwa campuran liat dan bahan organik lebih nyata
pengaruhnya dibandingkan liat tanpa bahan organik. Bahan organik dalam tanah
berpengaruh terhadap plastisitas. Oksidasi bahan organik dengan H2O2
menyebabkan berkurangnya batas plastis. Penambahan bahan organik pada tanah
akan mempengaruhi keadaan gembur pada kadar air yang tinggi (Suryaman
1991).
Kandungan bahan organik di dalam tanah memiliki peranan yang sangat
penting dan jumlah bahan organik tersebut sering digunakan secara langsung
untuk mengukur indeks kesuburan tanah (Goenadi 2006). Menurut Gaur (1980)
pemberian bahan organik ke dalam tanah akan berpengaruh pada sifat fisik,
biologi dan kimia tanah. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah
diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah dan meningkatkan
kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologi tanah adalah
meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan
transfer hara tertentu seperti N, P dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia
tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga dapat mempengaruhi
serapan hara oleh tanaman (Guntoro 2003).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
6

2.1.1 Tanaman Tebu


Menurut Djoehana (1992) tebu (Saccharum officunarum L.) termasuk
dalam family Andropogonae dan genus Saccharum. Dalam genus Saccharum
termasuk lima spesies tebu yaitu S. officunarum, S. sinese, S. berberi, S.
spontaneum dan S. robustun. Diantara lima spesies ini, Saccharum officunarum
merupakan penghasil gula utama, sedangkan yang lainnya mengandung kadar
gula sedang sampai rendah. Nama latin Saccharum yang diberikan oleh Linnacus
tahun 1953 berasal dari kata Karkara dan Sakkara dalam bahasa Sansekerta dan
Prakrit yang berarti kristal gula atau sirup yang berwarna gelap. Penelitian terakhir
menyimpulkan bahwa tanaman tebu berasal dari pulau Irian, lalu sejak 3000 tahun
yang lalu menyebar ke kepulauan Indonesia dan Malaysia, dan kemudian
menyebar ke Indocina dan India. India adalah negara pertama yang membuat gula
tebu. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera
(Puspitasari 2010).
Tebu (Saccharum officunarum L.) merupakan salah satu jenis tanaman
yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis, termasuk salah
satunya di Indonesia. Perkebunan tebu di Indonesia tersebar di Medan, Lampung,
Jawa dan Makassar, dengan luas area sekitar 232.000 hektar. Menurut Marradjo
(1977) tumbuh dengan baik pada ketinggian sekitar 900 sampai 1100 meter diatas
permukaan laut dengan pertumbuhan lebat dan rapat. Menurut Sutjahjo (1992)
tanaman tebu ini umumnya diperbanyak dengan cara stek. Menurut Marradjo
(1977) adapun morfologi tebu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula
adalah sebagai berikut : tebu adalah jenis tanaman yang tumbuh tegak, tinggi
tanaman tebu 2-6 meter dengan ruas batang 5-15 cm, berbentuk buku-buku,
berdaun lebar dan panjang dengan tulang daun sejajar dan keras serta memiliki
akar serabut dengan perakaran yang tidak terlalu dalam (Simangunsong 2012).
2.1.2 Pengertian Blotong
Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping,
antara lain ampas, blotong dan tetes. Blotong atau filter cake adalah endapan dari
nira kotor pada proses pemurnian nira yang di saring di rotary vacuum filter. Rata-
rata blotong dihasilkan sebanyak 3.8 % tebu atau sekitar 1.1 juta ton blotong per

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7

tahun (produksi tebu tahun 2011 sekitar 28 juta ton). Blotong dari stasiun sulfitasi
rata-rata berkadar air 67 % dan kadar pol 3 % , (Kuswurj 2012).
Produksi blotong mencapai 3,5-7,5% dari berat tebu giling. Menurut
Triwahyuningsih dan Muhammad, sifat blotong yang mendukung perbaikan sifat
tanah antara lain daya menahan air tinggi, berat volume rendah, porous dan KTK
tinggi. Blotong menunjukkan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai
sumber bahan organik tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman (Rajiman 2008).
Blotong keluar dari proses dalam bentuk padat mengandung air dan masih ber
temperatur cukup tinggi (panas), berbentuk seperti tanah, blotong sebenarnya
adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi
blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2,
CaO, P2O5 dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan
PG lainnya, bergantung pada pola prodkasi dan asal tebu (Kurnia 2010). Berikut
dapat dilihat kandungan dari blotong pada tabel 2.1 di bawah ini (Kuswurj 2012) :
Tabel 2.1 Komposisi dari blotong
Komponen % Zat Kering
Wax dan Fat kasar 5 – 14
Protein kasar 5 – 15
Sabut 15 – 30
Gula 5 – 15
Total abu 9 – 20
SiO2 4 – 10
CaO 1–4
Komponen % Zat Kering
P 2 O5 1–3
MgO 0,5 – 1,5

Berdasarkan hasil penelitian Mudhoo et al (2011) yang mencampurkan


blotong dengan sampah sayuran dan ampas tebu untuk dijadikan pupuk, ternyata
blotong menunjukkan potensi untuk dijadikan bahan pembuatan pupuk organik
serta blotong dapat dikombinasikan dengan bahan lain seperti ampas tebu, sampah

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
8

sayuran dan sampah lainnya yang mengandung selulosa dan lignin. Berdasarkan
penelitian Bhosale (2012) yang mempelajari tentang karakter fisika – kimia materi
organik dalam blotong dan pengaruhnya terhadap kapasitas atau daya tanah dalam
menahan air, menunjukkan bahwa blotong segar tidak dapat langsung digunakan
sebagai pupuk karena akan membuat sifat fisik tanah menjadi lebih buruk maka
diperlukannya proses ekstraksi atau proses pengomposan. Hasil dari pembelajaran
bahwa ekstraksi bahan organik dalam blotong terlihat secara nyata terhadap
struktur fisik dan kualitas blotong serta membantu menambah kapasitas tanah
dalam menahan air. Berdasarkan penelitian Nurawan (2008) blotong yang
diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan tanam padi di lokasi prima tani kabupaten
Cirebon menunjukkan dampak terhadap peningkatan produksi padi juga dapat
memperlambat penuaan daun padi.

2.2 Sampah
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan baik telah
diambil bagian utamanya atau karena pengolahan atau karena sudah tidak ada
manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomi tidak ada harganya dan dari
segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran. Sampah berpotensi besar dalam
pembuatan pupuk, ini dikarenakan banyaknya sampah yang berada dalam
perkotaan dan tempat-tempat lainnya, sampah yang tidak diolah akan
menimbulkan permasalahan tersendiri bagi lingkungan dan umat manusia, oleh
sebab itu sangatlah pantas jika sampah dapat diolah dan menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat misalkan gasbio, pupuk ataupun briket. Sampah memiliki
karakteristik sendiri yaitu :
a. Karakteristik sampah berdasarkan sifat fisik
a. Garbage
Garbage adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik, pada
umumnya berasal dari sisa-sisa makanan dan sering disebut sampah
basah. Sumber sampah berasal dari domestik (rumah tangga), pasar,
rumah makan. Sifat sampah ini adalah cepat membusuk dan
memberikan karakteristik bau dari hasil pembusukkan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
9

b. Rubbish
Rubbish adalah komponen sampah kering yang susunannya terdiri dari
bahan organik maupun bahan anorganik, baik yang dapat terbakar
maupun yang tidak terbakar. Sifat sampah ini adalah tidak cepat
membusuk. Jenis sampah ini terbagi atas dua golongan yaitu sampah
kering logam dan non logam.
c. Sampah lembut
Sampah lembut adalah sampah yang terdiri dari partikel-partikel kecil,
ringan dan mempunyai sifat yang mudah beterbangan. Menurut
bentuknya ada 2 macam yaitu :
Abu (ashes) : komponen sampah yang berupa sisa karbon
hasil pembakaran.
Debu (dust) : partikel halus tanah.
d. Sampah besar
Sampah besar adalah sampah yang berukuran besar, misal : barang-
barang meubel bekas.
e. Sampah khusus
Sampah khusus adalah komponen yang bersifat anorganik dan toksik,
serta memerlukan penanganan khusus, yang termasuk dalam golongan
ini antara lain :
Sampah patogen : sampah yang berasal dari rumah sakit,
puskesmas dan lain-lain.
Sampah beracun : sisa peptida, insektisida, wadah bahan
beracun.
Sampah radioaktif : sampah dari bahan-bahan nuklir.
Sampah explosive : sampah yang mudah meledak.
f. Sampah binatang
Sampah binatang adalah sampah yang berupa bangkai dan kotoran
hewan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10

g. Sampah bongkaran bangunan


Sampah bongkaran bangunan adalah sampah yang berupa sisa-sisa
pembongkaran atau penghancuran bangunan.
b. Karakteristik sampah berdasarkan sifat kimia
a. Sampah organik
Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan
hayati, sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik dan oleh
karena itu tersusun dari unsur-unsur C, H dan N sehingga dapat
didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah
ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah
tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah
organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus
(selain ketas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit buah, daun dan
ranting.
Menurut Juli W. (2002) terdapat beberapa kandungan bahan organik yang
dapat memperbaiki struktur tanah atau dapat digunakan sebagai soil conditioner di
dalam sampah organik. Kandungan atau komposisi bahan organik yang terdapat di
dalam sampah organik terdiri dari kadar air, massa jenis ( ), abu, karbon (C),
nitrogen (N), hidrogen (H), oksigen (O). Semua kandungan tersebut sangat
dibutuhkan oleh tanaman dalam proses pertumbuhannya. Adapun jumlah setiap
kandungan atau komposisi dalam sampah organik tersebut dapat dilihat pada tabel
2.2 :
Tabel 2.2 Komposisi kimia sampah organik
No Kandungan Jumlah
1 Kadar air 70 %
2 Massa jenis 0,34 kg/l
3 Abu 10 %
4 Karbon (C) 17,2 %
5 Nitrogen (N) 0,44 %
6 Hidrogen (H) 2,36 %

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11

No Kandungan Jumlah
7 Oksigen (O) 9,21 %
Sumber : Japan International Cooperation Agency, 1998 The Study on The Solid
Waste Management for Surabaya, Main Report
b. Sampah anorganik
Sampah anorganik adalah sampah dari bahan-bahan yang tidak
tersusun oleh senyawa organik dan tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme, contoh : kaca, besi dan lain-lain.
c. Karakteristik sampah berdasarkan sumbernya
a. Sampah alam
Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui
proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan
yang terurai menjadi tanah. Di luar kehidupan liar, sampah-sampah
ini dapat menjadi masalah, misalnya daun-daun kering di
lingkungan pemukiman.
b. Sampah manusia
Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa
digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses
dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi
kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana
perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah
satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah
pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan
cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk didalamnya adalah
perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia
dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir
tanpa air.
c. Sampah konsumsi
Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh
(manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-
sampah yang dibuang ke tempat sampah. Ini adalah sampah yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12

umum dipikirkan manusia. Meskipun demikian, jumlah sampah


kategori ini pun masih jauh lebih kecil dibandingkan sampah-
sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri.
d. Sampah nuklir
Sampah nuklir merupakan hasil dari fusi nuklir dan fisi nuklir yang
menghasilkan uranium dan thorium yang sangat berbahaya bagi
lingkungan hidupdan juga manusia. Oleh karena itu sampah nuklir
disimpan ditempat-tempat yang tidak berpotensi tinggi untuk
melakukan aktifitas tempat-tempat yang dituju biasanya bekas
tambang garam atau dasar laut (walau jarang namun kadang masih
dilakukan).
e. Sampah industri
f. Sampah pertambangan (Sudarsono 2007).
2.2.1 Sampah Kebun (Sisa-Sisa Daun)
Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan manusia yang berwujud
padat baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai
maupun tidak terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke
lingkungan. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan
hewan yang diambil dari alam atau yang didapat dari hasil pertanian, perikanan
dsb. Substansi sampah kebun berasal dari unsur-unsur penyusun alam maka
sampah ini mudah terurai oleh bakteri pengurai sehingga mudah hancur dan
menjadi unsur pembentuk tanah yang sangat subur dan berguna bagi kesuburan
tanah. Contoh dari sampah ini adalah daun-daun, sisa makanan, kulit buah dll
(Sanggilora 2012).
Menurut Nandhar (2011) pencampuran sampah kebun dalam pembuatan
pupuk organik meningkatkan kadar nitrogen dalam tumpukan kompos sehingga
dapat membantu menurunkan rasio C/N dalam proses pengomposan.
Menurut Gotaas (1986) terdapat perbedaan komposisi kompos pada
sampah kota dan sampah kebun. Adapun kandungan zat dalam sampah
perkebunan dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini (Tridarmanto 1985) :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13

Tabel 2.3 Jumlah Kandungan Zat Dalam Sampah Kebun


No Kandungan Zat Jumlah (%)
1 Bahan Organik 50
2 Karbon (C) 50
3 Nitrogen (N) 3,5
4 Phospor (P2O5) 3,5
5 Potassium (K2O) 1,8
6 Kalsium (CaO) 7
7 Abu 20

2.3 Bakteri Dekomposer


Bakteri dekomposer adalah makhluk hidup yang berfungsi untuk
menguraikan makhluk hidup yang telah mati, sehingga materi yang diuraikan
dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup disekitar daerah tersebut.
Mikroorganisme perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang
tumbuh alami atau sengaja diinokulasikan untuk mempercepat pengomposan dan
meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganime turut menentukan
keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan. Di dalam ekosistem,
mikroorganisme perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa
organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam
tanah dalam bentuk hara mineral N, P, K, Ca, Mg, dan atau dalam bentuk gas
yang dilepas ke atmosfer berupa CH atau CO. Dengan demikian terjadi siklus hara
yang berjalan secara alamiah, dan proses kehidupan di muka bumi dapat
berlangsung secara berkelanjutan.
Mikroba perombak bahan organik dalam waktu 10 tahun terakhir mulai
banyak digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang
banyak mengandung lignin dan selulosa untuk meningkatkan kandungan bahan
organik dalam tanah. Di samping itu, penggunaannya dapat meningkatkan biomas
dan aktivitas mikroba tanah, mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, dan
volume bahan buangan, sehingga dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan
tanah.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14

Pengertian umum mikroorganisme perombak bahan organik atau


biodekomposer adalah mikroorganisme pengurai serat, lignin, dan senyawa
organik yang mengandung nitrogen dan karbon dari bahan organik seperti sisa-
sisa organik dari jaringan tumbuhan (hemiselulosa,selulosa dan lignin) atau hewan
yang telah mati. Mikroba perombak bahan organik terdiri atas Trichoderma
reesei, T. harzianum, T. pseudokoningii, Phanerochaeta crysosporium,
Cellulomonas, Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A. terreus,
Penicillium, Streptomyces, Rhizobium sp, Azospirillum sp, Azotobacter sp,
Bacillus sp dan bakteri pelarut phospat. Menurut Alexander (1977) umumnya
mikroba yang mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi
hemiselulosa (Yelianti 2008). Trichoderma reesei, T. pseudokoningii,
Phanerochaeta crysosporium merupakan mikroorganisme unggul dalam
mendegradasi lignin dan selulosa (Goenadi 2006). Menurut Mala dkk., (2001) T.
harzianum merupakan salah satu jenis mikroba yang mampu menghidrolisis
selulosa alami secara efektif, karena menghasilkan tiga komponen enzim, yaitu:
selobiohidrolase, endoglukinase, dan glukosidase (Yelianti 2008).
Perombakan terhadap bahan organik yang melibatkan bakteri terjadi dalam
proses fermentasi anaerob. Proses fermentasi sendiri merupakan suatu proses
pencernaan bahan organik yang dilakukan oleh bakteri dalam kondisi anaerob,
pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh banyak faktor yang diantaranya
adalah :
1. Waktu
Pada kondisi optimal hamper semua bakteri memperbanyak diri dengan
pembelahan biner tiap 20 menit. Dalam pertumbuhannya, bakteri melalui
beberapa fase yang dapat digambarkan pada gambar grafik 2.1 dibawah ini
sebagai berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
15

Grafik hubungan antara laju jumlah


organisme hidup dengan waktu

Jumlah organisme
20 Grafik
hubungan
10 antara laju
jumlah
0
organisme
0 5 10 15 20 25 30 35 hidup dengan
Hari ke waktu

Gambar 2.1 Kurva pertumbuhan kultur mikroba


a. Fase Adaptasi
Fase adaptasi terjadi pada rentang waktu 0 sampai kurang lebih 7 hari.
Pada fase ini bakteri membutuhkan waktu untuk penyesuaian terhadap
kondisi lingkungan dan selanjutnya mulai membelah diri.
b. Fase Pertumbuhan Logaritmik
Fase pertumbuhan logaritmik terjadi pada rentang waktu kurang lebih 7
sampai 12 hari. Pada fase ini bakteri mengalami pertumbuhan dan
pembelahan yang ditentukan oleh waktu untuk mencapai pembelahan serta
kemampuan untuk memproses makanan. Pada fase ini juga terjadi
peningkatan aktifitas bakteri yang ditandai dengan peningkatan suhu
sehingga pada kondisi mesofilik.
c. Fase Stasioner
Fase stasioner terjadi pada rentang waktu kurang lebih 13 sampai 27 hari.
Jumlah bakteri pada fase ini relatif tetap hal itu disebabkan oleh
keterbatasan substrat dan nutrient serta adanya bakteri yang mati.
d. Fase Kematian
Fase kematian terjadi pada rentang waktu kurang lebih 25 sampai 35 hari.
Jumlah bakteri yang mati relatif banyak secara logaritmik daripada
pertumbuhannya.
2. Nutrient
Semua mikroorganisme memerlukan nutrient untuk kelangsungan hidup
dan nutrient akan menyediakan :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16

Energi : biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung


karbon.
Nitrogen : untuk sintesa protein.
Vitamin : berkaitan dengan faktor pertumbuhan.
Mineral
3. Kelembaban
Mikroorganisme memerlukan air untuk mempertahankan hidupnya.
4. Suhu
Mikroorganisme dalam pertumbuhannya membutuhkan suhu yang
optimal, berdasarkan suhu untuk pertumbuhan mikroorganisme dibedakan
menjadi :
Psikofilik : dimana bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu
dibawah 20o C, kisaran suhu optimal 10-20o C.
Mesofilik : dimana bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu
antara 20-45o C.
Termofilik : dimana bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu
diatas 45o C, kisaran pertumbuhan optimalnya adalah 50-60o C.
5. Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen mikroorganisme dikelompokkan menjadi :
Aerob obligat : bakteri dapat tumbuh jika terdapat oksigen yang
banyak.
Aerob fakultatif : bakteri dapat tumbuh dengan baik jika oksigen
cukup tetapi juga dapat tumbuh secara anaerob.
Anaerob obligat : bakteri dapat tumbuh jika tidak ada oksigen.
Anaerob fakultatif : bakteri dapat tumbuh sangat baik jika tidak ada
oksigen tetapi juga dapat tumbuh secara aerob.
6. Derajat keasaman (pH)
Menurut Kuntari (2004) hampir semua mikroorganisme tumbuh dengan
baik jika pHnya antara 6,6-7,9 (Sudarsono 2007).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17

2.4 Pupuk
Menurut Saifuddin Sarief (1985) pupuk adalah setiap bahan yang
dicampurkan tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah
unsur hara yang diperlukan tanaman. Pengertian lain dari pupuk adalah suatu
bahan yang diberikan sehingga dapat mengubah keadaan fisik, kimiawi dan hayati
dari tanah sehingga sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman (Simangunsong
2012).
Menurut Djoehana Setyamidjaja (1986) pupuk juga merupakan bahan
yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologintanah. Ada
bermacam-macam pupuk antara lain berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kompos,
abu tanaman, atau ekskremen hewan, tepung darah, bungkil, pupuk buatan pabrik
(anorganik) dan sebagainya (Simangunsong 2012).
Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung berbagai jenis unsur
baik unsur makro seperti nitrogen (N), phosphor (P), kalium (K), magnesium
(Mg), kalsium (Ca), dan sulfur (S) dan unsur mikro seperti besi (Fe), mangan
(Mn), dan klorida (Cl) yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhan
dan perkembangan agar dapat berproduksi menghasilkan produk yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia (Sumada 2009).
Berdasarkan bahan baku yang dipergunakan dalam produksi pupuk,
terdapat dua jenis pupuk yaitu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik
merupakan pupuk dengan bahan baku organik seperti limbah dan sisa tanaman
serta limbah atau kotoran hewan. Pupuk anorganik merupakan pupuk dengan
bahan baku anorganik seperti pupuk urea, TSP, KCl, ZA dan DAP maupun NPK.
Berdasarkan komposisi, pupuk dibagi menjadi pupuk tunggal dan pupuk
majemuk. Pupuk tunggal yaitu pupuk yang hanya mengandung satu unsur makro
sedangkan pupuk majemuk mengandung lebih dari satu unsur makro (Sumada
2009).
Pemberian nama pupuk hijau didasarkan atas bahan-bahan pembentuk
pupuk itu sendiri yaitu tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih muda.
Bagian-bagian tanaman ini dibenamkan dalam tanah dengan maksud agar dapat

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18

meningkatkan tersedianya bahan-bahan organik dan unsur-unsur hara makro dan


mikro bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sumada 2009).
Menurut Saiffudin Sarief (1985) pupuk terdapat dalam berbagai klasifikasi
(penggolongan) diantaranya adalah :
1. Berdasarkan terjadinya pupuk dibagi atas :
a. Pupuk buatan
b. Pupuk alam
2. Berdasarkan susunan kimiawi dan perubahan-perubahannya di dalam
tanah, pupuk dibagi atas :
a. Pupuk organik
b. Pupuk anorganik
Secara umum ciri-ciri tanaman yang dapat dipergunakan sebagai pupuk
hijau antara lain : pertumbuhan tanaman sangat cepat, perakarannya dangkal,
bagian atas lebat dan sekulen, tanaman tahan terhadap kekeringan dan mampu
tumbuh dengan baik di tanah miskin hara. Pengaplikasian pupuk hijau dengan
cara pembenaman secara langsung harus dilakukan secara tepat agar tanah dan
tanaman pokok tidak dirugikan karena banyaknya bahan yang belum mengalami
pelapukan. Perkembangan selanjutnya bagian-bagian tanaman dilakukan proses
komposting terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk, pupuk ini biasa
disebut pupuk kompos daun. Pada proses komposting akan membutuhkan waktu
yang cukup lama kurang lebih 20-30 hari dan akan kehilangan berbagai jenis
unsur hara akibat proses leaching oleh air atau air hujan. Dalam rangka
mengurangi waktu proses komposting dan menghindari hilangnya berbagai jenis
unsur hara akibat leaching, perlu dikembangkan proses yang lebih efisien yaitu
proses ekstraksi dan fermentasi (Sumada 2009).
2.4.1 Pupuk Organik
Pupuk organik merupakan pupuk yang bahannya berasal dari bahan
organik seperti tanaman, hewan ataupun limbah organik. Bahan-bahan yang dapat
digunakan sebagai pupuk organik misalnya : jerami, tanaman perdu, tanaman
legum, pucuk tebu, sekam, bekas gergajian kayu dan lain-lain. Pupuk organik
menjadi bahan untuk perbaikan struktur tanah yang terbaik dan alami. Pemberian

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19

pupuk organik pada tanah akan memperbaiki struktur tanah dan menyebabkan
tanah mampumengikat air lebih banyak (Simangunsong 2012).
Pupuk organik memiliki ciri-ciri umum, memiliki kandungan hara rendah
namun kandungan hara bervariasi tergantung bahan yang digunakan, ketersediaan
unsur hara lambat, hara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman, memerlukan
perombakan atau dekomposisi baru dapat terserap oleh tanaman, jumlah hara
tersedia dalam jumlah yang terbatas (Simangunsong 2012).
2.4.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Produk Pupuk
Hijau Cair dan Padat
Pada produksi pupuk hijau cair dan padat dengan kombinasi proses
ekstraksi dan fermentasi melibatkan dua proses utama yaitu proses ekstraksi dan
fermentasi. Proses ekstraksi merupakan proses pemisahan unsur-unsur makro
(nitrogen, phosphor, kalium, magnesium, kalsium dan sulfur) dalam daun atau
ranting tanaman dengan mempergunakan pelarut (solven). Sedangkan proses
fermentasi merupakan proses peruraian (pembusukkan) bahan organik oleh
mikroorganisme. Proses fermentasi bertujuan untuk menurunkan ratio C/N pada
pupuk hijau padat, hal ini terjadi karena pada proses fermentasi dengan
mikroorganisme akan dihasilkan gas berupa gas CO2 sehingga konsentrasi ion C
akan menurun mengakibatkan ratio C/N akan turun atau kualitas produk pupuk
hijau padat akan meningkat. Pada proses ini proses ekstraksi dan fermentasi
berjalan bersamaan. Berdasarkan kajian proses produksi, berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas produk pupuk hijau cair maupun padat seperti
ukuran daun atau ranting, jenis pelarut (solven), waktu proses ekstraksi dan
fermentasi, pengadukan dan temperatur pengeringan produk pupuk hijau padat
(Sumada 2009).
1. Ukuran daun dan ranting
Ukuran daun dan ranting berpengaruh terhadap proses ekstraksi dan
fermentasi, semakin kecil ukuran daun atau ranting akan mempermudah keluarnya
ion-ion (unsur-unsur) makro dalam daun atau ranting masuk kedalam media cair.
Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran daun atau ranting luas permukaan
semakin besar dan mempermudah keluarnya ion atau unsur makro dari daun atau

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20

rantin. Semakin kecil ukuran daun atau ranting waktu proses ekstraksi dan
fermentasi semakin cepat.
2. Jenis pelarut (solven)
Proses ekstraksi dan fermentasi daun atau ranting tanaman dipengaruhi
oleh jenis pelarut, hal ini disebabkan ion atau unsur makro dalam daun atau
ranting dapat larut dengan sempurna pada jenis pelarut tertentu, pemilihan jenis
pelarut berpengaruh terhadap kualitas pupuk hijau cair maupun padat. Jenis
pelarut juga dapat memberikan spesifikasi produk pupuk yang diproduksi, seperti
produk pupuk hijau cair asam yang bermanfaat pada lahan pertanian basa atau
pupuk hijau cair basa yang bermanfaat bagi lahan pertanian asam. Kualitas produk
pupuk hijau cair dan padat juga ditentukan oleh rasio (perbandingan) berat bahan
daun atau ranting terhadap volume pelarut. Semakin besar rasio berat bahan atau
volume pelarut kualitas produk pupuk hijau cair semakin tinggi tetapi jika terlalu
besar kualitas produk akan tetap hal ini disebabkan rasio berat bahan atau volume
pelarut terlalu besar dapat menghambat proses ekstraksi. Dalam mengendalikan
kualitas produk perlu mengkaji rasio berat bahan atau volume pelarut yang
optimal.
3. Waktu Proses Ekstraksi dan Fermentasi
Waktu ekstraksi dan fermentasi sangat mempengaruhi kualitas pupuk hijau
cair dan padat, semakin lama waktu ekstraksi jumlah ion yang terakumulasi dalam
pupuk cair semakin tinggi berarti kualitas pupuk cairnya semakin tinggi. Semakin
lama waktu fermentasi dapat menurunkan konsentrasi ion nitrogen dalam pupuk
hijau cairnya tetapi mempercepat proses pembusukkan pupuk hijau padatnya.
Dalam rangka mengendalikan kualitas pupuk hijau cair dan padat diperlukan
waktu ekstraksi dan fermentasi optimal.
4. Pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk mempercepat proses ekstraksi, semakin
cepat pengadukan proses ekstraksi berlangsung dengan cepat dan mempercepat
waktu proses produksi pupuk.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21

5. Temperatur pengeringan produk pupuk hijau padat


Temperatur pengeringan mempengaruhi kualitas produk pupuk hijau
padat, temperatur terlalu tinggi dapat menurunkan konsentrasi air dan dapat
mengakibatkan timbulnya jamur pada produk.
(Sumada 2009).

2.5 Teknik Pengomposan


Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia
dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan
yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar ± 30, sedangkan
kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki
nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama,
sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena
menguap selama proses perombakan berlangsung (Nia 2012).
Kompos berdasarkan fungsinya dikelompokkan sebagai bahan pembenah
tanah (soil conditioner). Dalam hal peningkatan daya dukung tanah, kompos jelas
lebih unggul dan bersifat ramah lingkungan daripada pupuk kimia sintetik karena
dapat meningkatkan kandungan bahan organik di dalam tanah (Goenadi 2006).
Menurut Diaz dkk., (1993) pengomposan bahan organik secara aerobik
merupakan suatu proses humifikasi bahan organik tidak-stabil (rasio C/N >25)
menjadi bahan organik stabil yang dicirikan oleh pelepasan panas dan gas dari
substrat yang dikomposkan. Menurut FAO (2003) lamanya waktu pengomposan
bervariasi dari 2 sampai 7 minggu, bergantung pada teknik pengomposan dan
jenis mikroba dekomposer yang digunakan. Tingkat kematangan (derajat
humifikasi) dan kestabilan kompos (terkait dengan aktivitas mikroba) menentukan
mutu kompos yang ditunjukkan oleh berbagai perubahan sifat fisik, kimia, dan
biologi substrat kompos. Menurut Butler dkk., (2001) dan Wu and Ma (2001)
penggunaan kompos yang tidak matang (rasio C/N >25) atau kompos hasil proses
dekomposisi substrat yang tidak sempurna sering menimbulkan banyak masalah.
Pada kompos yang belum matang, proses dekomposisi bahan organik masih terus
berlangsung yang dapat menciptakan suasana anaerobik di lingkungan perakaran

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
22

(penggunaan oksigen oleh mikroba) dan kahat N (imobilisasi N oleh mikroba),


sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Menurut Zucconi dkk., (1981)
pengomposan yang tidak sempurna juga kerap menghasilkan senyawa fitotoksin
seperti fenolat yang dalam banyak kasus menghambat pertumbuhan bibit tanaman
atau menjadi tempat transien bagi mikroba pathogen (Husen 2012).
Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi
mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan
kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional (Nia
2012).
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia
agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud
mikrobia disini bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini
merupakan bahan untuk baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah
pertanian, kotoran hewan/ ternak dan sebagainya. Cara pembuatan kompos
bermacam‐macam tergantung: keadaan tempat pembuatan, budaya orang, mutu
yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia
dan selera si pembuat. Menurut British Columbia, Ministry of Agriculture and
Food (1996) beberapa faktor penting yang menunjukkan proses dekomposisi
kompos adalah (Kusuma 2012) :
a. Perbandingan karbon (C) dengan nitrogen (N).
b. Aerasi dan porositas.
c. Suhu timbunan.
d. Derajat keasaman (pH).
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah:
a. Kelembaban timbunan bahan kompos.
Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat dipengaruhi oleh kelembaban
yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau tergenang (Nia 2012).
Mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40-60%. Kondisi
tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme bekerja optimal (Cahaya 2007).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
23

b. Aerasi timbunan.
Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob
mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau
terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke
dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya
nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3 (Nia 2012). Kebutuhan
oksigen dalam pembuatan kompos yakni berkisar antara 10-18% (Cahaya 2007).
Adapun efek dari aerasi dapat di evaluasi dengan melihat kurva temperatur selama
pengomposan. Tingkat aerasi rendah 0,17-0,28 L/menit/kg VS mengakibatkan
suhu puncak akhir. Tingkat aerasi sedang antara dari 0,39-1,26 L / menit/kg VS,
memberikan suhu puncak setelah empat hari dan setelah itu suhu menurun
perlahan-lahan. Tingkat aerasi yang tinggi antara dari 1,41-3,35 L/menit/kg VS
juga mengalami suhu puncak setelah empat hari tapi setelah itu suhu menurun
drastis (Bari 1999).
c. Temperatur
Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60o C).
Selama pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang
dikomposkan temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencapai 60o C. Pada
temperatur tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk
menurunkan temperatur umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos
(Nia 2012). Temperatur optimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk
merombak bahan adalah 34-55oc (Cahaya 2007).
d. Derajat keasaman (pH)
Suasana proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asam‐asam
organik, sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai
dampak netralisasi kemasaman (Nia 2012). Derajat keasaman terbaik untuk proses
pengomposan adalah kondisi pH netral yakni berkisar antara 6-8 (Cahaya 2007).
e. Netralisasi
Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan
pengapuran misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24

menetralisasi tetapi juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang
dibuat (Nia 2012).
f. Penambahan aktifator
Kadang‐kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos,
timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan
mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan
untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat.
Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena
kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan
tidak menguap (Nia 2012).
Untuk mengetahui pupuk yang dihasilkan melalui teknik pengomposan
telah menjadi pupuk yang baik dan layak untuk diaplikasikan pada tanaman atau
tidak, maka terdapat parameter-parameter yang bisa dibandingkan dengan SNI 19-
7030-2004, parameter-parameter yang umumnya dibandingkan diantaranya adalah
kadar air, rasio C/N, pH, temperatur dan lain-lain yang berhubungan dengan
kandungan mineral dan unsur hara lain yang terdapat dalam tanah.
Berikut tabel 2.4 tentang standart kualitas pupuk menurut SNI 19-7030-
2004.
Tabel 2.4 Standart Kualitas Pupuk SNI 19-7030-2004 :
No Parameter Satuan Min Maks
1 Kadar Air % 50
o
2 Temperatur C Suhu Air Tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau Tanah
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air % 58
7 pH 6,8 7,49
8 Bahan Asing % * 1,5
Unsur Makro
9 Bahan Organik % 27 58

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25

No Parameter Satuan Min Maks


10 Nitrogen % 0,4
11 Karbon % 9,8 32
12 Phospor (P2O5) % 0,1
13 C/N Rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,2 *
Unsur Mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Cadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Cobal (Co) mg/kg * 34
18 Chromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Mercuri (Hg) mg/kg 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur Lain
25 Calsium % * 25,5
26 Magnesium (Mg) % * 0,6
27 Besi (Fe) % * 2
28 Aluminium (Al) % 2,2
29 Mangan (Mn) % 0,1
Bakteri
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonelia sp. MPN/4 gr 3

Keterangan : *Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian


1. Blotong yang diambil dari Pabrik Gula Candi Baru Sidoarjo.
2. Sampah kebun (sisa daun) yang diambil dari lingkungan Medayu Utara.

3.2 Peralatan Penelitian


1. Bak plastik ukuran diameter 50 cm dan tinggi 40 cm
2. Termometer celcius range 0-150o c
3. Timbangan kapasitas 2 kg
4. Gunting
5. Aerator/kompresor

3.3 Variabel
1. Kondisi tetap :
Sampah kebun (sisa daun) : 3 kg (juga sebagai variabel kontrol)
2. Kondisi berubah :
Blotong : 1 kg; 2 kg; 3 kg dan 4 kg
Aerasi : menggunakan aerator/kompresor dan secara manual
Udara yang diberikan dari aerator : 1,8; 2,7 dan 3,6 L/min/kgVS

3.4 Prosedur Penelitian


1. Uji pendahuluan suhu, pH, kadar air, % C dan % N pada tiap bahan
kompos.
2. Cincang halus sampah kebun (sisa daun) menggunakan gunting. Timbang
menggunakan timbangan bahan kue dengan berat 3 kg.
3. Ambil blotong segar, timbang dengan timbangan bahan kue dengan berat 1
kg; 2 kg; 3 kg; 4 kg.

26

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
27

4. Campur blotong dan sampah perkebunan (sisa daun) yang telah ditimbang
terlebih dahulu, kemudian masukkan ke dalam bak plastik. Uji suhu, pH,
kadar air, % C dan % N pada tiap variasi.
5. Tutupi timbunan dengan tutup bak.
6. Ukur suhu setiap hari, ukur pH dan siram timbunan dengan air
menggunakan semprotan air sambil diaerasi tiga hari sekali. Menghitung
jumlah koloni bakteri, uji kadar air, % C dan % N seminggu sekali.
7. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu pertama melarutkan
sampel dengan aquades kemudian diambil 0,1 ml dan membuat
pengenceran 1 : 200 kemudian diambil 1 ml, 0,5 ml, 0,1 ml, 2 tetes dan 1
tetes.
8. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu kedua membuat
pengenceran 1 : 100 lalu diambil sebanyak 0,1 ml. Pengenceran 1 : 10.000
lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml. Pengenceran 1 : 1.000.000 lalu
diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml.
9. Menghitung jumlah koloni bakteri pada minggu ketiga membuat
pengenceran 1 : 20.000 lalu diambil sebanyak 0,1 ml. Pengenceran 1 :
2.000.000 lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml. Pengenceran 1 :
200.000.000 lalu diambil sebanyak 1 ml dan 0,1 ml.
10. Setelah kompos matang uji suhu, pH, kadar air, % C dan % N pada tiap
variasi sekali lagi untuk menggetahui apakah kualitas pupuk sudah sesuai
dengan persyaratan.
11. Analisis data menggunakan metode statistik grafik dan uji statistik
menggunakan metode Anova Two Way, Anova One Way dan Correlation
dengan software Minitab 14.
12. Penarikan kesimpulan berdasarkan hasil statistik dan perbandingan data
terhadap standar SNI 19-7030-2004.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28

3.5 Proses Secara Teknis


Penelitian ini secara teknis ditunjukkan pada gambar 3.1 di bawah ini:

Blotong (variasi)
+ Kuantitatif :
Sampah Kebun
Rasio C/N
Kompos

Kualitatif :
Konvensional Konvensional Konvensional Bau
Aerator Warna
(variasi) Tekstur

Blotong (variasi)
+
Sampah Kebun
Kompos

Mekanik Mekanik Mekanik


Gambar 3.1 Proses Secara Teknis

3.6 Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian pada gambar 3.2 di bawah ini merupakan langkah-
langkah dalam pelaksanaan operasional di lapangan dan metode mengolah data.

Persiapan alat-alat pendukung dan bahan-bahan


(blotong dan sampah kebun).

Uji pendahuluan suhu, pH, kadar


air, % C dan % N Pada tiap bahan.
Timbang semua bahan sesuai yang

Pencampuran bahan yang akan


dikomposkan

3 kg sampah kebun + 1 kg blotong

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
29

Aerasi secara manual (M I)


Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 1,8 l/min/kgVs (A I 1,8)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 2,7 l/min/kgVs (A I 2,7)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 3,6 l/min/kgVs (A I 3,6)

3 kg sampah kebun + 2 kg blotong

Aerasi secara manual (M II)


Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 1,8 l/min/kgVs (A II 1,8)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 2,7 l/min/kgVs (A II 2,7)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 3,6 l/min/kgVs (A II 3,6)

3 kg sampah kebun + 3 kg blotong

Aerasi secara manual (M III)


Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 1,8 l/min/kgVs (A III 1,8)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 2,7 l/min/kgVs (A III 2,7)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 3,6 l/min/kgVs (A III 3,6)

3 kg sampah kebun + 4 kg blotong

Aerasi secara manual (M IV)


Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 1,8 l/min/kgVs (A IV 1,8)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 2,7 l/min/kgVs (A IV 2,7)
Aerasi secara mekanik menggunakan aerator 3,6 l/min/kgVs (A IV 3,6)

Uji pendahuluan suhu, pH, kadar air, % C dan % N tiap variasi.


Pengukuran suhu, pH dan jumlah koloni bakteri dalam timbunan.

Pematangan kompos.

Uji suhu, pH, kadar air, % C dan % N pada tiap


variasi. Analisis data menggunakan metode uji
statistik dengan software Minitab 14 .

Kesimpulan

Gambar 3.2 Kerangka Penelitian

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Awal Blotong Dan Sampah Kebun


Karakteristik awal bahan penelitian yang terdiri dari blotong dan sampah
kebun adalah karakteristik sebelum bahan-bahan tersebut dicampurkan dalam reaktor
dan dianalisa sebelum proses dimulai. Hasil analisa karakteristik awal untuk blotong
dan sampah kebun dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :
Tabel 4.1 Karakteristik Awal Blotong dan Sampah Kebun
Parameter Blotong Sampah Kebun
Suhu (oC) 37 30
pH 6 6,4
Kadar Air (%) 20,41 1,82
C-organik (%) 15,62 18,01
N-organik (%) 0,26 0,31
Rasio C/N 60,1 58,1
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Melalui tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa rasio C/N masih tinggi belum
sesuai dengan kriteria kompos yang baik (sesuai SNI 19 – 7030 – 2004), hal ini
dikarenakan nilai N-organik masih jauh di bawah minimal (min 0,4), sedangkan besar
C-organik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada (antara 9,8 – 32). Untuk besar pH
dari masing – masing bahan dikatakan netral.

4.2 Pengomposan Sampah Kebun Dengan Penambahan Blotong dan Variasi


Metode Aerasi.
Pengomposan sampah kebun dilakukan secara aerobik, kemudian ditambahan
blotong dengan variasi dosis 1 kg, 2 kg, 3 kg, dan 4 kg dan dengan dua variasi metode

30

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
31

aerasi yaitu secara manual atau tanpa menggunakan aerator dan dengan menggunakan
aerator.
4.2.1 Kondisi Suhu Selama Proses Pengomposan.
Peningkatan suhu diakibatkan dari aktivitas mikroorganisme dalam merombak
bahan – bahan organik. Fluktuasi suhu selama proses pengomposan ditunjukkan pada
tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Fluktuasi Suhu pada Proses Pengomposan (oC)
Hari M M M M A A A A A A A A A A A A Kontrol
ke- I II IIII I II III IV I II III IV I II III IV
V 1,8 1,8 1,8 1,8 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 34 35 36 35 34 35 36 35 33 35 34 35 34 34 36 35 30
1 35 38 42 37 36 37 37 37 33 39 38 39 36 36 39 38 33
2 36 43 49 39 39 39 38 38 33 41 40 42 37 38 42 40 35
3 35 42 46 37 36 39 40 40 32 39 41 39 35 38 44 40 37
4 34 38 44 35 35 39 42 41 32 37 42 38 35 37 49 39 35
5 34 38 41 34 34 38 41 37 32 36 38 38 34 37 45 37 34
6 33 38 39 33 34 36 38 37 31 35 38 38 33 35 42 35 33
7 32 36 36 33 34 35 37 37 38 35 38 37 33 35 39 34 33
8 32 35 35 33 32 34 34 37 35 34 35 35 33 34 37 34 32
9 32 33 34 33 32 32 33 35 32 34 35 34 32 33 36 34 32
10 31 33 34 32 32 32 33 35 31 32 33 33 32 33 34 33 30
11 31 33 33 32 32 32 32 34 31 32 33 33 32 32 33 33 30
12 31 32 32 32 32 32 32 34 31 32 32 33 32 32 32 33 30
13 30 32 32 32 31 31 32 33 30 31 32 33 31 31 33 32 30
14 30 32 32 32 31 31 31 33 30 31 32 33 31 31 32 32 30
15 29 31 32 31 30 31 30 33 29 30 32 33 31 31 32 32 30
16 29 31 31 31 30 31 30 32 29 30 31 32 31 31 32 32 29
17 28 31 31 31 30 31 30 32 29 30 31 32 30 31 31 31 29
18 28 30 30 30 29 30 29 32 29 29 31 32 30 30 31 31 29
19 28 30 30 30 29 30 29 31 28 29 30 31 30 30 30 31 28
20 28 29 30 29 29 30 28 31 28 28 30 31 29 30 29 30 28
21 28 29 29 29 28 29 28 30 28 28 29 30 29 29 29 30 28
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013
Dinamika suhu memainkan peranan yang penting dalam proses pengomposan.
Dinamika suhu adalah indikator dari dinamika aktivitas mikrobiologi dalam

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
32

pengomposan. Oleh karena itu profil perubahan suhu menggambarkan pula


karakteristik proses pengomposan yang sedang berjalan, bahkan menjadi parameter
kematangan kompos. Proses pengomposan umumnya digambarkan sebagai hubungan
antara waktu – suhu. Ketersediaan oksigen mempengaruhi aktivitas mikrobiologi,
semakin tinggi laju penyerapan oksigen semakin tinggi suhunya. Hal ini dikarenakan
pada saat bahan organik dirombak oleh mikroorganisme maka dibebaskanlah
sejumlah energi berupa panas (Wahyono 2008).
Pada tahap pertama yaitu tahap penghangatan (tahap mesofilik),
mikroorganisme hadir dalam bahan kompos secara cepat dan suhu meningkat.
mikroorganisme mesofilik hidup pada suhu 10 – 45oC dan bertugas memperkecil
ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan
mempercepat proses pengomposan. Pada tahap kedua yaitu tahap termofilik,
mikroorganisme termofilik hadir dalam tumpukan bahan kompos, mikroorganisme
termofilik hidup pada suhu 45 – 60oC dan bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan
protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat. Mikroorganisme ini
berupa Actinomycetes dan jamur termofilik. Sebagian dari Actinomycetes mampu
merombak selulosa dan hemiselulosa. Kemudian proses dekomposisi mulai melambat
dan suhu puncak dicapai. Setelah suhu puncak terlewati, tumpukan mencapai
kestabilan, dimana bahan lebih mudah terdekomposisikan (Cahaya 2009).
Menurut FAO (2003), secara teknis transformasi bahan organik tidak stabil
menjadi bahan organik stabil (kompos matang) ditandai oleh pembentukan panas dan
produksi CO2. Selama proses pengomoposan, komposisi populasi mikroba berubah
dari tahap mesofilik (suhu 20 – 40oC) ke tahap termofilik (suhu bisa mencapai 80oC),
dan terakhir tahap stabilisasi atau pendinginan. Mikroba mesofilik memulai
dekomposisi substrat mudah hancur seperti protein, gula, dan pati yang selanjutnya
digantikan oleh mikroba termofilik yang secara cepat merombak substrat organik,
mikroba termofilik adalah mikroba yang hidup pada suhu antara 45 – 60oC (Husen
2009).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
33

Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.1 untuk proses pengomposan tanpa menggunakan aerator berikut :
50
45
40
35

Suhu (oC)
MI
30 M II
25
M III
20
M IV
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.1 Fluktuasi suhu selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.1 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan suhu semua reaktor
dengan aerasi manual pada hari pertama dan kedua yang berkisar antara 34-49oC.
Kenaikan suhu paling tajam terlihat pada reaktor M3 hingga mencapai 49oC, pada
reaktor ini hadir mikroorganisme termofilik, karena mikroorganisme termofilik dapat
hidup pada rentang suhu antara 45 – 60oC (Cahaya 2009). Setelah itu suhu berangsur-
angsur turun hingga mencapai suhu tanah. Hal ini disebabkan karena materi organik
telah dikomposkan, hanya beberapa nutrient yang tersisa sehingga aktivitas mikroba
menjadi berkurang dan suhu juga menurun (Wahyono 2008).
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.2 untuk proses pengomposan menggunakan aerator dengan dosis 1,8
l/min/kgVs atau setara dengan 0,1 bar berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
34

50
45
40
35

Suhu (oC)
A I 1,8
30 A II 1,8
25 A III 1,8
20
A IV 1,8
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.2 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan suhu semua reaktor
dengan aerasi menggunakan aerator 1,8 l/min/kgVs pada hari pertama sampai hari
keempat yang berkisar antara 34-42oC, reaktor dengan komposisi penambahan
blotong 1 dan 2 kg mencapai suhu tertinggi pada hari kedua dengan suhu masing-
masing 39oC. Sedangkan reaktor dengan komposisi penambahan blotong 3 dan 4 kg
mencapai suhu tertinggi pada hari keempat dengan suhu 42oC dan 41oC. Setelah itu
suhu turun secara perlahan hingga mencapai suhu tanah.
Melalui gambar 4.2 dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh terhadap
penambahan blotong, panambahan blotong sebanyak 3 dan 4 kg membuat reaktor
lebih lama mencapai suhu puncak dan suhu puncaknya lebih tinggi dibandingkan
dengan penambahan blotong 1 dan 2 kg.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.3 untuk proses pengomposan menggunakan aerator dengan dosis 2,7
l/min/kgVs atau setara dengan 0,15 bar berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
35

50
45
40
35 A I 2,7

Suhu (oC)
30 A II 2,7
25 A III 2,7
20 A IV 2,7
15 Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.3 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVS)
Melalui gambar 4.3 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan suhu semua reaktor
dengan aerasi menggunakan aerator 2,7 l/min/kgVs pada hari pertama sampai hari
ketujuh yang berkisar antara 33-42oC, reaktor dengan komposisi penambahan blotong
1 kg mencapai suhu tertinggi pada hari ketujuh dengan suhu 38oC, sedangkan reaktor
dengan komposisi penambahan blotong 2 dan 4 kg mencapai suhu tertinggi pada hari
kedua dengan suhu 41oC dan 42oC, pada reaktor dengan komposisi penambahan
blotong 3 kg mencapai suhu tertinggi pada hari keempat dengan suhu 42oC. Setelah
itu berangsur-angsur turun hingga suhu tanah.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.4 untuk proses pengomposan menggunakan aerator dengan dosis 3,6
l/min/kgVs atau setara dengan 0,2 bar berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
36

50
45
40
35 A I 3,6

Suhu (oC)
30 A II 3,6
25 A III 3,6
20 A IV 3,6
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.4 Fluktuasi suhu selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.4 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan suhu semua reaktor
dengan aerasi menggunakan aerator 3,6 l/min/kgVs pada hari pertama sampai hari
keempat yang berkisar antara 34 – 49oC, pada reaktor dengan komposisi penambahan
blotong 1, 2 dan 4 kg mencapai suhu tertinggi pada hari kedua dengan masing-masing
dengan suhu 37oC, 38oC dan 40oC, sedangkan pada reaktor dengan komposisi
penambahan blotong sebanyak 3 kg mencapai suhu tertinggi pada hari keempat
dengan suhu 49oC. Kemudian suhu perlahan menurun hingga suhu tanah yakni
berkisar antara 27 – 29oC.
Pada reaktor dengan penambahan blotong 3 kg suhu puncak mencapai 49 oC,
pada suhu tersebut mikroorganisme termofilik dapat hidup.
4.2.2 Kondisi pH Selama Proses Pengomposan.
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam
proses pengomposan adalah tingkat keasaman (pH). Adanya suasana asam, menurut
Butler (2001) akibat pembentukan senyawa intermediet yaitu senyawa berpasangan
seperti H2S, dan asam – asam organik yang dihasilkan dari aktivitas bakteri (Husen
2009). Dibawah ini tabel fluktuasi pH selama proses pengomposan ditunjukkan pada
tabel 4.3 :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37

Tabel 4.3 Pengukuran pH Selama Proses Pengomposan


Hari ke- M M II M M A A A A
I III IV I II III IV
1,8 1,8 1,8 1,8
0 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5
3 6,6 6,9 7,3 6,9 6,6 6,8 7 6,7
6 6,8 7,2 7,2 6,7 7,2 7,2 6,9 7,1
9 7,2 7 7 6,9 7 6,8 6,9 6,8
12 7,2 7,2 7 7 6,9 7,3 7,3 7,1
15 7,7 7,7 7,7 7,9 7,7 7,7 7,7 7,7
18 7,5 7,6 7,7 7,7 7,6 7,5 7,4 7,5
21 7,4 7,5 7,5 7,5 7,4 7,4 7,3 7,5

Hari A A A A A A A A Kontrol
ke- I II III IV I II III IV
2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,4
3 6,9 6,8 7 7,1 7 6,9 7,1 6,8 6,7
6 6,7 6,6 7 7,2 7,3 7,1 7 7,2 6,9
9 7 6,9 7 7 6,9 6,8 6,9 7,1 6,9
12 7,5 7 7 7 7,2 7,4 7 7,3 7,4
15 7,8 7,7 7,6 7,8 7,5 7,6 7,6 7,7 7,7
18 7,6 7,5 7,4 7,5 7,4 7,3 7,4 7,6 7,5
21 7,5 7,4 7,3 7,4 7,4 7,2 7,2 7,5 7,5
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013
Melalui tabel 4.3 dapat diketahui bahwa besar pH pada semua reaktor sama
yaitu 6,5, pH selama pengomposan dikatakan netral karena berkisar antara 6,4-7,9.
Kondisi pH netral ini dikarenakan proses pengadukan dan aerasi pada setiap reaktor
secara teratur, dan juga mencegah timbulnya jamur dikarenakan pH yang terlalu
rendah.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.5 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
38

10
9
8
7 MI
6 M II

pH
5 M III
4 M IV
3
Kontrol
2
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.5 Fluktuasi pH selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.5 dapat dilihat bahwa pada awal proses pengomposan
derajat keasaman dari semua reaktor 6,5 kemudian secara bertahap naik dan berkisar
6,5 sampai 7,9 dan dikatakan netral. Kenaikan mulai terlihat pada hari kedua dan
mencapai puncak pada hari ke 15 – 17, kemudian pH turun perlahan dan berhenti
pada pH antara 7,4 – 7,5, kisaran pH tersebut sesuai dengan SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan
gambar 4.6 berikut :
10
9
8
A I 1,8
7
6 A II 1,8
pH

5 A III 1,8
4 A IV 1,8
3
Kontrol
2
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.6 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
39

Melalui gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pH semua reaktor pada hari pertama
yaitu 6,5 dan meningkat sejak hari kedua, kemudian mencapai puncak pada hari ke 15
kemudian pH sedikit menurun dan akhirnya berhenti pada kisaran 7,3 – 7,5 dimana
sudah sesuai dengan standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.7 berikut :
10
9
8
A I 2,7
7
6 A II 2,7
pH

5 A III 2,7
4
A IV 2,7
3
2 Kontrol
1
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.7 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.7 di atas dapat dilihat bahwa pada awal proses
pengomposan pH berada pada posisi 6,5 untuk semua reaktor dan mulai terlihat
peningkatan pada hari kedua dan seterusnya. Kemudian pH mencapai puncak pada
hari ke 15 dan setelah itu mengalami penurunan sampai pada kisaran 7,3 sampai 7,5
dimana kisaran pH tersebut telah sesuai dengan standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.8 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
40

10
9
8
7
6 A I 3,6

pH
5 A II 3,6
4
A III 3,6
3
2 A IV 3,6
1 Kontrol
0
0 3 6 9 12 15 18 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.8 Fluktuasi pH selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.8 dapat dilihat bahwa pada awal proses semua reaktor pH
berada pada 6,5 dan kemudian mengalami peningkatan pada hari kedua sampai hari
ke 15 – 16, kemudian turun hingga kisaran 7,2 sampai 7,5 dimana besar pH tersebut
sudah sesuai dengan SNI 19 – 7030 – 2004.
4.2.3 Kondisi Kadar Air Selama Proses Pengomposan.
Pengamatan kadar air dilakukan karena kadar air merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan
organik. Air merupakan faktor pelarut nutrient dan sel protoplasma. Air dihasilkan
pada saat proses pembuatan kompos oleh mikroorganisme dalam bentuk lindi dan
sebagian ada yang hilang karena proses evaporasi ke dalam aliran udara. Berikut
kondisi kadar air selama proses pengomposan ditunjukkan pada tabel 4.4 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
41

Tabel 4.4 Kondisi Kadar Air Selama Proses Pengomposan (%)


Hari M M M M AI A II A III A IV
ke- I II III IV 1,8 1,8 1,8 1,8
0 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2
7 10,4 11,4 11 14,4 14,7 13,9 17,1 12
14 15,8 24,7 18,8 13,6 24,9 24,3 21,7 31,6
21 30,4 30,7 27,1 30,2 35,9 33,8 31,7 38,5

Hari AI A II A III A IV AI A II A III A IV kontrol


ke- 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 20,2 1,8
7 18,7 14,1 17,1 15,2 12,1 9,4 7,7 12,6 9,5
14 30,1 22 21,6 22,3 19,7 25,1 18,8 25,4 17
21 37,4 32,4 36,6 36 38 31,1 26,7 33 20,4
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Melalui tabel 4.4 dapat dilihat bahwa pada awal pencampuran bahan-bahan
yang akan dikomposkan kadar air sama yaitu sebesar ± 20,2 %, tetapi kemudian pada
minggu pertama cenderung turun. Kemudian pada minggu-minggu berikutnya
terdapat peningkatan, menurut Polprasert (1996), kenaikan kadar air terjadi karena
dihasilkannya lindi oleh mikroorganisme pengurai bahan organik, dimana saat
mikroorganisme pengurai mendekomposisi bahan organik disertai dengan kenaikan
suhu, pelepasan CO2 dan uap air, serta terjadinya perubahan – perubahan menurut
Indriani (2002) :
a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi CO2 dan H2O

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
42

b. Zat putih telur (protein) menjadi ammonia, CO2 dan H2O


(Pradana 2007).
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.9 berikut :
50
45

Kadar Air (%)


40
35 MI
30 M II
25 M III
20
M IV
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.9 Kondisi kadar air selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.9 dapat dilihat bahwa pada awal proses kadar air yang
dicapai semua reaktor yaitu ± 20,2 %, dan kemudian seminggu kemudian mengalami
penurunan. Hal tersebut dikarenakan kadar air dari dua bahan baku memiliki kadar air
yang sangat berbeda sehingga saat pencampuran pertama kadar airnya tidak jauh
berbeda dengan kadar air blotong, tetapi kemudian terjadi berbagai macam reaksi
antara lain evaporasi yang menyebabkan kadar air menurun.
Kemudian secara bertahap kadar air semua reaktor meningkat, hal ini
dikarenakan timbulnya lindi akibat aktivitas mikroorganisme. Tetapi pada metode
aerasi manual kenaikan kadar air perlahan, tidak terlalu tajam.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.10 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
43

50
45

Kadar Air (%)


40
35 A I 1,8
30 A II 1,8
25
A III 1,8
20
A IV 1,8
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.10 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.10 dapat dilihat bahwa kadar air awal mula – mula sebesar
± 20,2 %, kemudian menurun pada hari ke 7, hal tersebut dikarenakan terjadi proses
evaporasi akibat dari aktivitas mikroorganisme. Setelah itu kadar air cenderung naik,
kenaikannya cukup tajam jika dilihat dari semua reaktor, hal ini dikarenakan
mikroorganisme yang mendegradasi bahan – bahan organik, akibat dari kegiatan
tersebut terjadi pelepasan uap air dan dihasilkannya lindi sehingga terjadi peningkatan
kadar air hingga sebesar ± 35 %. Nilai tersebut telah sesuai dengan SNI 19 – 7030 –
2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.11 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
44

50
45

Kadar Air (%)


40
A I 2,7
35
30 A II 2,7
25 A III 2,7
20 A IV 2,7
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.11 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.11 kondisi kadar air pada kondisi awal sebesar ± 20,2 %
dan nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai kadar air blotong, hal ini
dikarenakan belum terjadi berbagai macam reaksi, namun seminggu setelah
pencampuran terjadi reaksi evaporasi, karena mendapat berbagai macam perlakuan
yaitu pembalikkan timbunan dan aerasi menggunakan aerator sehingga kadar air
mengalami penurunan.
Kemudian secara bertahap kadar air meningkat, hal ini dikarenakan adanya
aktivitas mikroorganisme yang kemudian menghasilkan lindi sehingga
mengakibatkan kadar air meningkat. Meningkatnya kadar air ini cukup tajam karena
pada minggu ketiga kadar air rata – rata dari semua reaktor melebihi 30 % tetapi
kurang dari 40 %, nilai tersebut telah sesuai dengan standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dari tabel yang disajikan dalam bentuk grafik ditunjukkan pada
gambar 4.12 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
45

50
45

Kadar Air (%)


40
35 A I 3,6
30 A II 3,6
25 A III 3,6
20 A IV 3,6
15 Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.12 Kondisi kadar air selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.12 dapat dilihat bahwa semua reaktor pada awal proses
pencampuran memiliki kadar air ± 20,22 %, kemudian seminggu setelah proses
pencampuran karena telah mendapat berbagai perlakuan yaitu pembalikkan timbunan
dan aerasi menggunakan aerator maka terjadilah proses evaporasi. Dengan adanya
suplai oksigen mikroorganisme berkembang dan beraktivitas dalam mendegradasi
bahan – bahan organik, akibat dari adanya aktivitas mikroorganisme tersebut
timbullah lindi yang meningkatkan kadar air.
4.2.4 Kondisi Rasio C/N Selama Proses Pengomposan
Rasio C/N merupakan parameter penting dalam mengidentifikasi apakah suatu
proses pengomposan telsh mencapai kematangan atau belum. Pengamatan rasio C/N
akan dijelaskan melalui pengamatan kondisi kadar karbon (%C) dan kadar nitrogen
(%N) selama proses pengomposan. Berikut kondisi kadar karbon selama proses
pengomposan ditunjukkan melalui tabel 4.5 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
46

Tabel 4.5 Kondisi Kadar Karbon Selama Proses Pengomposan (%)


Hari MI M II M III M IV AI A II A III A IV
ke- 1,8 1,8 1,8 1,8
0 24 24 24 24 24 24 24 24
7 23,4 20,8 20,1 23,1 22,6 21,4 22,4 20,7
14 23,3 20,3 17,3 22,8 21,2 18,4 20,8 19,5
21 21 15,2 15,3 22,2 19,8 15,7 19,2 17,3

Hari AI A II A III A IV AI A II A III A IV Kontrol


ke- 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 24 24 24 24 24 24 24 24 18
7 21 21,8 22,2 21,3 21,3 20,7 23,2 21,8 18,3
14 16,9 20,3 20 20,1 19,9 18,8 21,1 18,4 18,6
21 15,6 18,2 18,6 18 19,4 17,1 17,7 16,2 18
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Melalui tabel 4.5 di atas besar kadar karbon pada semua reaktor sama yaitu
24 % dan berada pada range yang sesuai standart SNI no 19 – 7030 – 2004 yaitu
minimal 9,8 % dan maksimal 32 %. Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam
bentuk grafik digambarkan pada gambar 4.13 untuk proses pengomoposan secara
manual berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
47

50

Kadar Karbon (%)


45
40
35 MI

30 M II
25 M III
20
M IV
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.13 Kondisi kadar karbon selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.13 dapat dilihat adanya penurunan, hal ini disebabkan
adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme karena karbon yang ada
dipakai oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. Penurunan yang paling terlihat
adalah penurunan pada reaktor dengan penambahan blotong sebanyak 2 kg dan 3 kg.
Besar persen kadar karbon setiap reaktor telah memenuhi standart SNI 19 – 7030 –
2004 yaitu antara 9,8 – 32 %.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.14 berikut :
50
Kadar Karbon (%)

45
40
35 A I 1,8
30 A II 1,8
25 A III 1,8
20
A IV 1,8
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.14 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
48

Melalui gambar 4.14 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar karbon, hal
ini dikarenakan adanya dosis udara yang diinjeksikan pada saat proses pengomposan,
serta mikroorganisme yang mendekomposisi materi organik menggunakan karbon
sebagai sumber energi. Pada tiap reaktor besar penurunan kadar karbon mengalami
penurunan yang hampir sama, terlihat dari besar kemiringan garis pada grafik yang
tidak terlihat jauh berbeda. Besar persen kadar karbon pada semua reaktor telah
memenuhi standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.15 berikut :
50
Kadar Karbon (%)

45
40
A I 2,7
35
30 A II 2,7
25 A III 2,7
20
A IV 2,7
15
10 Kontrol
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.15 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.15 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar karbon
sejak minggu pertama, namun penurunannya tidak jauh berbeda dengan reaktor –
reaktor yang menggunakan metode aerasi dengan aerator dosis 1,8 l/min/kgVs. Besar
persen kadar karbon pada tiap reaktor telah memenuhi standart SNI 19 – 7030 – 2004.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.16 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
49

50

Kadar Karbon (%)


45
40
A I 3,6
35
30 A II 3,6
25 A III 3,6
20 A IV 3,6
15
Kontrol
10
5
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.16 Kondisi kadar karbon selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.16 dapat dilihat bahwa kadar karbon mengalami penurunan,
akan tetapi penurunan tiap reaktor tidak terlihat adanya perbedaan hal ini ditunjukkan
dengan hampir samanya kemiringan garis dalam grafik. Besar persen kadar karbon
setiap reaktor sesuai dengan standart SNI no 19 – 7030 – 2004,
Sedangkan kondisi kadar nitrogen (%) selama proses pengomposan dapat
dilihat pada tabel 4.6 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
50

Tabel 4.6 Kondisi Kadar Nitrogen Selama Proses Pengomposan (%)


Hari MI M II M III M IV AI A II A III A IV
ke- 1,8 1,8 1,8 1,8
0 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
7 0,2 0,2 0,2 0,2 0,4 0,3 0,3 0,5
14 0,3 0,2 0,3 0,3 0,5 0,5 0,4 0,7
21 0,4 0,2 0,3 0,3 0,5 0,5 0,7 0,9

Hari AI A II A III A IV AI A II A III A IV Kontrol


ke- 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,3
7 0,3 0,2 0,3 0,4 0,4 0,3 0,4 0,4 0,3
14 0,4 0,4 0,5 0,6 0,5 0,4 0,5 0,6 0,3
21 0,4 0,5 0,6 0,8 0,5 0,5 0,6 0,7 0,3
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Pada awal proses pengomposan besar persen kadar nitrogen adalah sama yaitu
0,2 %. Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.17 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
51

Kadar Nitrogen (%)


1.8
1.6
MI
1.4
1.2 M II
1 M III
0.8 M IV
0.6
Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.17 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.17 dapat dilihat bahwa kadar nitrogen mengalami
peningkatan, hal ini dikarenakan adanya N-organik sebagai produk penguraian
protein dari proses dekomposisi. Besarnya kadar nitrogen belum sesuai SNI 19 –
7030 – 2004 (min 0,4 %),.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.18 berikut :
2
Kadar Nitrogen (%)

1.8
1.6
1.4 A I 1,8
1.2 A II 1,8
1 A III 1,8
0.8 A IV 1,8
0.6
Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.18 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.18 dapat dilihat bahwa adanya peningkatan persen kadar
nitrogen, hal ini dikarenakan adanya proses amonifikasi yaitu proses pembentukan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
52

amonium dari bentuk teroksidasinya yaitu nitrit. Persen nitrogen paling besar
ditunjukkan pada reaktor dengan penambahan blotong sebanyak 4 kg yaitu sebesar
0,9 % pada minggu ketiga. Besat persen kadar nitrogen pada tiap reaktor telah
memenuhi standart SNI no 19 – 7030 – 2004 yaitu lebih besar daripada 0,4 %.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.19 berikut :
2
Kadar Nitrogen (%)
1.8
1.6
A I 2,7
1.4
1.2 A II 2,7
1 A III 2,7
0.8 A IV 2,7
0.6
Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.19 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.19 dapat dilihat bahwa persen kadar nitrogen pada semua
reaktor mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar terlihat pada reaktor dengan
penambahan blotong seberat 4 kg yaitu 0,8 %. Besar kadar nitrogen pada minggu
ketiga telah memenuhi standar SNI 19 – 7030 -2004 yaitu lebih besar dari 0,4 %..
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.20 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
53

Kadar Nitrogen (%)


1.8
1.6
1.4 A I 3,6
1.2 A II 3,6
1 A III 3,6
0.8 A IV 3,6
0.6 Kontrol
0.4
0.2
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.20 Kondisi kadar nitrogen selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.20 dapat dilihat bahwa setiap reaktor mengalami
peningkatan, reaktor dengan penambahan blotong 4 kg yang menunjukkan
peningkatan paling besar pada minggu ketiga yaitu sebesar 0,7 %. Secara keseluruhan
besar persen kadar nitrogen pada tiap reaktor telah memenuhi standar SNI 19 -7030 –
2004 yaitu lebih dari 0,4 %.
Dengan adanya kadar karbon dan kadar nitrogen maka dapat dihitung rasio
C/N, berikut rasio C/N ditunjukkan pada tabel 4.7 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
54

Tabel 4.7 Rasio C/N Selama Proses Pengomposan


Hari MI M II M III M IV AI A II A III A IV
ke- 1,8 1,8 1,8 1,8
0 120 120 120 120 120 120 120 120
7 117 104 100,5 115,5 56,5 71,3 74,7 41,4
14 77,6 101,5 57,7 76 42,4 36,8 52 27,9
21 52,5 76 51 74 39,6 31,4 27,4 19,2

Hari AI A II A III A IV AI A II A III A IV Kontrol


ke- 2,7 2,7 2,7 2,7 3,6 3,6 3,6 3,6
0 120 120 120 120 120 120 120 120 60
7 70 109 74 53,3 53,2 69 58 54,5 61
14 42,3 50,8 40 33,5 39,8 47 42,2 30,7 62
21 39 36,4 31 22,5 38,8 34,2 29,5 23,1 60
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Melalui tabel 4.7 di atas besar rasio C/N adalah sama yaitu 120. Pada minggu
pertama hingga minggu ketiga mengalami penurunan, untuk lebih jelas
gpenurunannya maka data dalam tabel disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.21 untuk reaktor tanpa menggunakan aerator atau secara manual
berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
55

200
180
160

Rasio C/N
140 MI
120 M II
100 M III
80 M IV
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
Gambar 4.21 Kondisi rasio C/N selama pengomposan secara manual
Melalui gambar 4.21 dapat dilihat bahwa penurunan rasio C/N mulai terlihat
pada minggu pertama namun penurunan terlihat jelas pada minggu kedua dan ketiga.
Akan tetapi rasio C/N semua reaktor belum memenuhi standart SNI 19 – 7030 – 2004
yaitu 10 - 20.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.22 berikut :
200
180
160
A I 1,8
Rasio C/N

140
120 A II 1,8
100 A III 1,8
80 A IV 1,8
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,1 bar
Gambar 4.22 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 1,8 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.22 di atas dapat dilihat bahwa penurunan paling besar
terjadi pada awal pengomposan sampai minggu pertama, hal ini dikarenakan adanya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
56

aktivitas mikroorganisme. Karena pada awal pengomposan sampai minggu pertama


adalah fase berkembang biak bagi mikroorganisme sehingga mereka merombak
bahan organik lebih banyak dan menyebabkan rasio C/N menurun. Besar C/N pada
reaktor dengan penambahan blotong 4 kg telah sesuai dengan standart SNI 19 – 7030
– 2004 yaitu 19,2. Namun terkadang nilai rasio C/N pada kematangan kompos secara
relatif bisa diatas 20, hal ini dikarenakan terdapat sebagian bentuk dari C-organik
yang sulit didegradasikan oleh mikroorganisme.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.23 berikut :
200
180
160
Rasio C/N

140 A I 2,7
120 A II 2,7
100 A III 2,7
80 A IV 2,7
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
2,7 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,15 bar
Gambar 4.23 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 2,7 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.23 di atas dapat dilihat bahwa semua reaktor dengan
penambahan blotong mengalami penurunan rasio C/N pada minggu pertama. Hanya
reaktor dengan penambahan blotong 2 kg yang pada minggu pertama mengalami
sedikit penurunan sedangkan reaktor lain mengalami banyak penurunan (penurunan
sebesar 40 – 60 %). Pada minggu ketiga besar rasio C/N semua reaktor belum
memenuhi standart SNI no 19 -7030 – 2004 (antara 10 - 20), namun besar rasio C/N
reaktor dengan penambahan blotong 4 kg pada minggu ketiga mendekati standart SNI
yaitu sebesar 22,5. Akan tetapi terkadang besar rasio C/N pada kematangan kompos
secara relatif bisa diatas 20 hal ini dikarenakan terdapat sebagian bentuk dari C-

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
57

organik yang sulit didegradasikan oleh mikroorganisme dan tidak segera tersedia bagi
mikroorganisme untuk sumber energi.
Berikut data dalam tabel yang disajikan dalam bentuk grafik digambarkan
pada gambar 4.24 berikut :
200
180
160 A I 3,6

Rasio C/N
140 A II 3,6
120 A III 3,6
100
A IV 3,6
80
60 Kontrol
40
20
0
0 7 14 21
Hari ke-

Keterangan : A : Perlakuan dengan menggunakan aerator


I, II, III, IV : berat blotong (kg)
3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs) setara dengan 0,2 bar
Gambar 4.24 Kondisi rasio C/N selama pengomposan (aerator 3,6 l/min/kgVs)
Melalui gambar 4.24 dapat dilihat bahwa setiap reaktor mengalami penurunan.
Pada reaktor dengan penambahan blotong 4 kg saja yang memiliki kemiringan paling
besar sehingga pada minggu ketiga besar C/N sebesar 23,1. Namun besar C/N
tersebut belum sesuai dengan standart SNI 19 -7030 – 2004. Akan tetapi terkadang
besar rasio C/N pada kematangan kompos secara relatif bisa diatas 20 hal ini
dikarenakan terdapat sebagian bentuk dari C-organik yang sulit didegradasikan oleh
mikroorganisme dan tidak segera tersedia bagi mikroorganisme untuk sumber energi.
Melalui grafik – grafik rasio C/N di atas, dibuat garis linier dan dicari
persamaannya untuk dapat melihat laju penyisihan rasio C/N dari masing – masing
reaktor. Laju penyisihan C/N dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
58

Tabel 4.8 Laju Penyisihan C/N


Kode Persamaan Laju Penurunan
MI y = -19,25x + 152,2 19,25
M II y = -13,45x + 134 13,45
M III y = -24,98x + 144,7 24,98
M IV y = -17,75x + 140,7 17,75
A I 1,8 y = -25,53x + 128,4 25,53
A II 1,8 y = -30,03x + 139,9 30,03
A III 1,8 y = -30,05x + 143,6 30,05
A IV 1,8 y = -31,59x + 131,1 31,59
A I 2,7 y = -27,07x + 135,5 27,07
A II 2,7 y = -30,9x + 156,3 30,9
A III 2,7 y = -30,1x + 141,5 30,1
A IV 2,7 y = -31,23x + 135,4 31,23
A I 3,6 y = -25,7x + 127,2 25,7
A II 3,6 y = -27,94x + 137,4 27,94
A III 3,6 y = -28,73x + 134,2 28,73
A IV 3,6 y = -31,75x + 136,2 31,75
Kontrol y = 0,1x + 60,5 -0,1
Keterangan tabel : M : Perlakuan tanpa menggunakan aerator
A : Perlakuan dengan menggunakan aerator
I, II, III, IV : berat blotong (kg)
1,8; 2,7; 3,6 : dosis aerator (l/min/kgVs)
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 1 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 19,25; 25,53; 27,07 dan 25,7 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 1 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 3,6 l/min/kgVs atau setara dengan 0,2 bar. Hal

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
59

ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis aerasinya semakin besar penurunan rasio
C/N, disebabkan unsur C dalam timbunan berkurang.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 2 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 13,45; 30,03; 30,9 dan 27,94 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 2 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 2,7 l/min/kgVs atau setara dengan 0,15 bar.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 3 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 24,98; 30,05; 30,01 dan 28,73 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 3 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 2,7 l/min/kgVs atau setara dengan 0,15 bar.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penambahan
blotong seberat 4 kg dengan metode aerasi berbagai dosis yaitu 0; 1,8; 2,7 dan 3,6
l/min/kgVs menunjukkan penurunan C/N sebesar 17,75; 31,59; 31,23 dan 31,75 rasio
C/N. Dari perbedaan perlakuan penambahan blotong seberat 4 kg laju penurunan
terbesar dengan dosis aerasi sebesar 3,6 l/min/kgVs atau setara dengan 0,2 bar. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis aerasinya semakin besar penurunan rasio
C/N, disebabkan unsur N dalam timbunan bertambah.
Jadi laju penurunan rasio C/N yang paling besar pada penambahan blotong
seberat 4 kg menggunakan aerator dengan dosis 3,6 l/min/kgVs (setara dengan 0,2 bar)
yaitu 31,75 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari). Laju penurunan terbesar kedua
pada penambahan blotong seberat 4 kg menggunakan aerator dengan dosis 1,8
l/min/kgVs (setara dengan 0,1 bar) yaitu 31,59 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari).
Dan laju penurunan terbesar ketiga pada penambahan blotong seberat 3 kg
menggunakan aerator dengan dosis 2,7 l/min/kgVs (setara dengan 0,15 bar) yaitu
31,23 (besar penurunan rasio C/N per 7 hari).
Dari hasil data penurunan rasio C/N diatas diperlukan adanya uji statistik
untuk mengetahui pengaruh perbedaan dari dua perlakuan yang diterapkan. Uji

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
60

statistik yang digunakan yaitu metode Anova two way, karena terdapat lebih dari satu
variabel yang diharapkan berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova Two Way memperlihatkan bahwa berat
penambahan blotong p-value 0,977 jika p-value lebih dari 0,05 maka berat
penambahan blotong tidak mempengaruhi penurunan rasio C/N, hal ini dapat
dibuktikan dari besar p-value sebesar 0,977 artinya semua reaktor yang diberi
tambahan blotong 1 kg, 2 kg, 3 kg, dan 4 kg semuanya menunjukkan hasil penurunan
rasio C/N yang sama atau tidak adanya perbedaan diantaranya.
Dilihat dari perlakuan dosis aerator menunjukkan besar p-value 0,022, jika p-
value kurang dari 0,05 maka dosis aerator berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Demikian pula halnya interaksi antara penambahan blotong dan dosis aerator tidak
berpengaruh, terbukti dari besar p-value 0,806, hal ini disebabkan berat penambahan
blotong tidak berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N.
Diketahui bahwa rasio C/N terbaik adalah yang mempunyai rasio C/N terkecil.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai rata – rata penambahan berat blotong terbaik
adalah menggunakan perlakuan 4 kg dengan rasio C/N 74,25. Demikian pula dengan
metode aerasi terbaik menggunakan aerator dengan rasio C/N sebesar 62,1938.
Penelitian ini selain menggunakan metode aerasi tanpa aerator juga
menggunakan aerator yang terdiri atas 3 dosis aerasi berbeda yaitu 1,8; 2,7; dan 3,6
l/min/kgVs. Untuk mengetahui terdapat atau tidaknya pengaruh dari variasi dosis
aerator tersebut maka dilakukan uji statistik dengan metode Anova one way.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova one way dapat dijelaskan besar p-value
0,983 maka variasi dosis aerator memberikan pengaruh yang sama artinya pemberian
variasi dosis aerator menunjukkan adanya penurunan rasio C/N. Diketahui bahwa
rasio C/N terbaik adalah yang memiliki nilai rasio C/N terkecil, dimana nilai uji
statistik Hsu’s Multiple Comparisons with the Best yaitu -51,24; -4,88 dan 41,49
ditunjukkan pada dosis aerator 3,6 l/min/kgVs.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
61

Berdasarkan hasil uji statistik Anova one way dapat diuraikan bahwa nilai
Tukey and Fisher menunjukkan adanya persamaan, artinya memberi pengaruh yang
sama terhadap penurunan rasio C/N.
4.2.5 Bakteri Perombak
Dalam mendekomposisikan bahan – bahan organik, peran bakteri perombak
atau mikroorganisme sangat penting. Menurut Djuarnani (2004) karena
mikroorganisme ini merombak senyawa organik menjadi senyawa – senyawa yang
lebih sederhana untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan sebagian besar
digunakan untuk sintesa mikromolekul seperti asam nukleat, lipida, dan polisakarida.
Sintesa asam nukleat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sel (Fitri 2012).
Berikut tabel perkembangan populasi bakteri perombak selama proses
pengomposan ditunjukkan oleh tabel 4.9 berikut :

Tabel 4.9 Perkembangan Populasi Bakteri Selama Proses Pengomposan


Minggu ke- Pengenceran Sampel yang Hasil
Diambil
Sampel 0,1 ml Penuh
1 ml >300
I 0,5 ml ±289
1 : 200 0,1 ml ±165
2 tetes ±115
1 tetes ±98
1 : 100 0,1 ml Sprayder
1 ml Sprayder
II 1 : 10.000 0,1 ml Sprayder
1 ml Sprayder
1 : 1.000.000 0,1 ml ±189

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
62

Minggu ke- Pengenceran Sampel yang Hasil


Diambil
1 : 20.000 0,1 ml Sprayder
1 : 2.000.000 1 ml Sprayder
III 0,1 ml Sprayder
1 : 200.000.000 1 ml Sprayder
0,1 ml ±60
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2013.
Kemudian data hasil penelitian di atas diolah menggunakan software Minitab
14 dengan metode Correlation untuk mengetahui terdapat atau tidaknya hubungan
dari pertumbuhan bakteri dengan penurunan rasio C/N.
Dari hasil uji statistik Correlation nilai korelasi bernilai negatif berarti
hubungan antara 2 variabel jika satu variabel menurun maka variabel yang lain akan
meningkat. Besar nilai p-value 0,024 maka ada korelasi atau hubungan antara dua
variabel. Dengan kata lain perkembangan bakteri ada hubungan atau mempengaruhi
kecepatan dekomposisi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang
didapatkan adalah :
1. Ada pengaruh pemberian blotong sebagai aktifator terhadap kecepatan
dekomposisi ditandai dengan pertumbuhan bakteri pada blotong yang
mempengaruhi penurunan rasio C/N selama proses dekomposisi. Besar
penurunan rasio C/N yaitu 84 %.
2. Ada pengaruh pemberian blotong terhadap kualitas kompos dengan rasio C/N
19,2. Dosis blotong yang paling mempercepat proses dekomposisi yaitu 4 kg
tiap 3 kg berat sampah kebun.
3. Metode aerasi yang paling efektif mempercepat proses pengomposan adalah
secara mekanik menggunakan aerator.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, maka saran yang
diberikan adalah :
1. Perlu dilakukan percobaan pengomposan lebih lanjut di atas 21 hari untuk
mengetahui pengaruh pemberian variasi berat blotong dan dosis aerator.
2. Dalam penelitian ini faktor kematangan kompos yang dilihat hanya suhu, pH,
kadar air, kadar karbon, kadar nitrogen dan rasio C/N, maka disarankan untuk
meninjau faktor lainnya seperti kadar phospat, kadar kalium, dan tinggi
tumpukan.

63

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2011. Limbah Tahun 2011 Baru. 25 hal.

Bari, Quazi Hamidul. 1999. Effect of different modes of aeration on composting of


solid waste in a closed system. The University of Hongkong.

Bhosale P.R., Chonde S.G., Nakade D.B., dan Raut P.D. 2012. Study on Physico –
Chemical Characteristics of Waxed and Dewaxed Pressmud and its effect on
Water Holding Capacity of Soil. Kolhapur. India. ISCA Journal of Biological
Sciences (1) 1: 35 – 41.

Cahaya, A., Dody Adi Nugroho. 2009. Pembuatan Kompos Dengan


Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran Dan Ampas Tebu).
Jurusan Teknik Kimia FT Universitas Diponegoro. Semarang. 1 – 7 hal.

Fadjari, Tjahja. 2009. Memanfaatkan Blotong, Limbah Pabrik Gula.


www.kulinet.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2012.

Fitri, Rahayu Fadillah. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Selulotik Pengurai
Sampah Organik Dari Berbagai Tempat. Universitas Pendidikan Indonesia.

Goenadi, D. H., L.P. Santi. 2006. Aplikasi Bioaktivator Superdec dalam


Pengomposan Limbah Padat Organik Tebu. Bogor. Bul. Agron. (34) 3: 173 –
180.

Guntoro, Dwi. Purwono dan Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos


Bagasse Terhadap Serapan Hara dan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.). Bandung. Bul. Agron. (31) 3: 112 – 119.

Husen, E. dan Irawan. 2009. Efektivitas dan efisiensi mikroba dekomposer


komersial dan lokal dalam pembuatan kompos jerami. Dalam Buku II Teknologi
Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Prosiding Seminar Nasional dan Dialog
Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor. 75-90 hal.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Kurnia, Rizky. 2010. Pengolahan Dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula Dalam
Rangka ZeroEmission. http://lordbroken.wordpress.com/2010/01/14/pemanfaatan-
limbah-pabrik-gula/ diakses pada tanggal 26 September 2012.

Kusuma, Angga M., 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap aju
Dekomposisi Kompos Sampah Organik Di Kota Depok. Tesis Teknik Lingkungan
FT Universitas Indonesia. Depok.

Kuswurj, R. 2009. Blotong (filter cake). www.risvank.com diakses pada tanggal


15 Oktober 2012.

Mudhoo, A., A. Bhawoo dan R. Mohee. 2011. Process Parameter Variations


During The Co-composting of Mixed Filtercake, Bagasse and Vegetable Waste. 1st
International Conference on ”Waste Management in Developing Countries and
Transient Economies. Mauritus. Africa.

Nandhar. 2011. Pembuatan Bioaktivator. Diakses pada tanggal 17 November


2013.

Nia. 2012. Kompos. Solo. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

Nurawan, A., Yati Haryati. 2008. Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik


Blotong Pada Padi Di Lokasi Prima Tani Kabupaten Cirebon. Bandung. Seminar
Hasil Padi : 1053 – 1060.

Pradana, Andreas. 2007. Pengaruh Penambahan Ragi Tape Dalam Pengomposan


Sampah Organik Dengan Penambahan Ampas Tahu. Skripsi Teknik Lingkungan
FTSP UPN “Veteran” Jatim. Surabaya.

Purwaningsih, E. 2011. Pengaruh Pemberian Kompos Blotong, Legin dan


Mikoriza Terhadap Serapan Hara N dan P Tanaman Kacang Tanah. Widya
Warta. Madiun. 2: 55 – 68.

Puspitasari, A. 2010. Hidrolisa Pentosan Menjadi Furfural Dari Ampas Tebu.


Skripsi Teknik Kimia FTI UPN “Veteran” Jatim. Surabaya.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Rajiman, Prapto Y., Endang S., Eko Hanudin. 2008. Pengaruh Pembenah Tanah
Terhadap Sifat Fisika Tanah dan Hasil Bawang Merah Pada Lahan Pasir Pantai
Bugel Kabupaten Kulon Progo. Agrin. Yogyakarta. (12) 1: 67 – 77.

Sanggilora, Ayik. 2012. Pengolahan Daur Ulang Sampah Organik.


http://ayiekzz.blogspot.com/2012/01/pengolahan-daur-ulang-sampah-
organik_22.html diakses tgl 18 November 2012.

Setyawan, Fauzi. 2008. Proses Pengomposan Kotoran Kelelawar Menggunakan


Beberapa Aktivator. Skripsi Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran” Jatim.
Surabaya.

Simangunsong, Johan C. 2012. Proses Pembuatan Pupuk Kalium Berbahan


Dasar Pucuk Tebu. Skripsi Teknik Kimia FTI UPN “Veteran” Jatim. Surabaya.

Sudarsono, Yos. 2007. Pembuatan Biogas Dari Sampah Organik Sebagai


Penghasil Sumber Energi. Skripsi Teknik Kimia FTI UPN “Veteran” Jatim.
Surabaya.

Sumada, K., Caecillia Pujiastuti. 2009. Kajian Produksi Dan Kinerja Pupuk Hijau
Cair Dari Tanaman Muntingia C.L Dan Helianthus A.L. Seminar Nasional
Implementasi Teknologi Informasi Dalam Pengembangan Industri Pangan, Kimia
Dan Manufaktur. LPPM UPN “Veteran” Jatim. Surabaya. 41 – 52 hal.

Wahyono, S., Firman L. Sahwan. 2008. Dinamika Perubahan Temperatur Dan


Reduksi Volume Limbah Dalam Proses Pengomposan. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta. J. Tek. Ling. (9) 3: 255 – 262.

Widodo, W.F. 2009. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula (Filter Cake) dan Limbah
Ethanol (Vinasse) Menjadi Pupuk Organik HOSC yang Dapat Menggantikan
Pupuk Kimia. www. plantamor.com diakses pada tanggal 26 September 2012.

Yelianti, U., Kasli, M. Kasim, E. F. Husin. 2008. Kualitas Pupuk Organik Hasil
Dekomposisi Beberapa Bahan Organik dengan Dekomposernya. Jurnal Akta
Agrosia. Padang. (12) 1: 1 – 7.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Anda mungkin juga menyukai