Anda di halaman 1dari 4

LABELLING THEORY

* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si

Latar belakang Labelling Theory Sebagai mahkluk sosial tentunya manusia tidak akan terlepas dari
keberadaan manusia lainya. Interaksi yang terjadi antara manusia sangat kompleks dan berkelanjutan. Dengan
interaksi inilah, setiap manusia selalu tergantung kepada orang lain baik dalam hal kebutuhan hidup maupun
kebutuhan sebagai identitas pribadinya sebagai manusia. Karena tanpa adanya manusia lainnya maka tidak ada
sebuatan kita sebagai manusia. Termasukpun yang memberikan manusia sebuah nama atau penjulukan, seperti
nama identitas di KTP, sebutan sopan dalam kebiasaan perilaku tertentu, tingkat kemampuan belajar dalam
sebutan pintar atau bodoh ataupun sebutan untuk suatu perilaku yang menyimpang.
Lahirnya Teori Penjulukan atau yang lebih dikenal dalam bahasa keren Labelling Theory, diinspirasi oleh
perspektif Interaksi Simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang dengan kajian-kajian dan riset-risetnya
dalam bidang kriminolog, Mental Health dan juga dalam pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang
penyimpangan di akhir tahun 1950 dan awal 1960 yang merupakan penolakan terhadap Teori Konsensus atau
Fungsionalisme Struktural.
Pada awalnya, Teori Struktural Deviasi atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang merupakan karakter
yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Deviasi adalah bentuk dari perilaku. Namun Labelling Theory
menolak pendekatan itu, deviasi hanya merupakan nama yang diberikan atau penandaan (nominalism).
Tegasnya, Labelling Theory rejected this approach and claimed that deviance is not away of behaving, but is a
name put on something: a label.... Deviance is not something inherent in the behavior, but is an outcome of how
individuals or their behavior are labelled. (Socioglossary, September 26th, 1997).

Howard S. Becker, salah satu ahli teori interaksi yang lebih awal, mengklaim bahwa, “kelompok sosial
menciptakan penyimpangan (deviance) dengan pembuatan aturan mendasar dengan menerapkan aturan itu
kepada orang-orang tertentu dan memberikan label mereka sebagai orang luar”. Menurut Becker, setelah
individu berlabel menyimpang mereka akan terus menyimpang dan menjadi sulit untuk melepaskan label
tersebut karena orang lain melihatnya dengan status individu menunjuk orang luar (Outsiders): “Study
Sociology of Deviance” 1963. ini menunjukkan, bahwa ketika kita mempelajari orang penyimpang, seseorang
tidak harus menerima penyimpangan mereka sebagaimana adanya karena seseorang menganggap orang-orang
tersebut benar telah melakukan penyimpangan atau melanggar beberapa aturan, karena proses teori penjulukan
tidak sempurna. Penjulukan penyimpang tidak perlu berarti bahwa individu telah melakukan penyimpangan di
masa lalu.
Becker juga menyatakan bahwa Labelling Theory, memusatkan kajian terhadap reaksi orang lain (di luar
dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat untuk kemudian menghasilkan penyimpangan. Ketika
seseorang mengetahui dirinya diperlakukan secara berbeda, individu tersebut terpisah dari lingkungan yang
memberikan label padanya, seperti seoarang pencuri, sampah masyarakat, pelacur, berpenyakit, pemabuk dan
lain-lain.
Teori Penjulukan berupaya menekankan pada pentingnya melihat penyimpangan dari sudut pandang individu
yang deviant. Seseorang yang dikatakan menyimpang dan dia mendapatkan perilaku tersebut, maka sedikit
banyak akan mengalami stigma, dan jika dilakukan terus menerus, dirinya akan menerima atau terbiasa dengan
sebutan tersebut.
Becker menguatkan bahwa penyimpangan bukanlah suatu property yang melekat pada bentuk tingkah laku
tertentu, tetapi property yang digunakan oleh individu. Penyimpangan menurut teori penjulukan oleh Becker,
diperlukan pada stabilitas masyarakat dibandingkan tanggung jawab pada kerusakannya. Karena individu yang
menyimpang bertindak sebagai parameter perbedaan antara baik dan buruk, benar dan salah.

Asumsi (Essensi) Labelling Theory Teori labelling pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang
berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-
orang lain (orang tua, keluarga, dan masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang
sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam
kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: Residual) otomatis akan dianggap
menyimpang. Karena itulah orang biasa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak aneh pada
suatu tempat atau situasi tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari
ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
Yang menjadi permasalahan bahwa yang terkena pengaruh labelling ini bukan hanya awam (khususnya pasien
atau subjek), melainkan juga ilmuwan (termasuk para dokter dan psikolog sendiri). Sebagai contoh, pada
anggota kongres AS yang terkemuka, Barry Goldwater, misalnya pernah didiagnosis sebagai “schizophrenia
paranoid”; presiden AS dan pemenang Nobel Woodrow Wilson, pernah didiagnosis sebagai “sangat mirip
psikosis”; dan semua politisi Uni Sovyet yang menjalani pemeriksaan psikiatrik didiagnosis sebagai
“kepribadian psikopat”, “cenderung paranoid” atau “schizophrenia” dengan simptom-simptom: “idea reformis,
perilaku bizarre, emosi datar, emosi tak adequat, tidak kritis pada situasi, mau benar sendiri, bereaksi tidak
sesuai dengan situasi dan kecenderungan untuk memoralisasi segala sesuatu” (McCaghy, Capron dan Jamieson,
2002:356).
Dua proporsi dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, perilaku menyimpang bukan merupakan perlawanan
terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviasi atau
penyimpangan tidak inheren dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam
bertindak, penyimpangan dikatakan ada dalam “mata yang melihat”. Kedua, penjulukan itu sendiri
menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial
menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image
or self definition) sebagai seseorang yang secara permanen “terkunci” dengan peran orang yang menyimpang.
Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial.
Dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, Master Status, dalam Teori Penjulukan
label dominan seringkali lebih mengarah pada suatu keadaan yang disebut sebagai Master Status.
Once someone has been successfully labelled as criminal or deviant, the label attached may become the
dominant label or 'master status' which is seen as more important than all the other aspects of the person. He or
she becomes a 'hooligan' or 'thief' rather than a father, mother or friend. Each label carries with it prejudices and
images and this may lead to others interpreting the behavior of the labelled person in a particular way.
(http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/labelling.html: 17 April 2006).
Master Status adalah label yang “dicantelkan” yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling
penting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan (Becker, 17 April 2006). Bagi
sebagian orang julukan penyimpangan telah diterapkan atau yang biasa dikenal dengan konsep diri, mereka
menerima dirinya sebagai menyimpang, dan akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang
selanjutnya dimana mereka bertindak.
Bagi para penyimpang sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan
sebutan tersebut. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau bergabung dengan yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa orang emngalami stigma sebagai penyimpang dengan berbagai
konsekwensinya, dan akan dikeluarkan dari kontak hubungan-hubungan sosial yang ada. Kondisi seperti ini
akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan menyimpang.
Sehingga berakibat bahwa dia akan melihat dirinya secara mendasar sebagaimana julukan yang dia dapatkan.
Kedua, Deviant Career, konsep diri deviant career mengacu pada sebuah tahapan ketika si pelanggar aturan
memasuki atau telah menjadi devian secara penuh. Kai T. Erikson dalam Becker (17 April 2006) menyatakan
bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku yang inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota
lingkungan yang mengetahuinya dan menyaksikan tindakan mereka secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga dapat disimpulkan dari teori penjulukan atau labelling theory dari Becker menempatkan pihak yang
dominan sering mendefinisikan realitas kehidupan berdasarkan perspektif mereka dan membiarkan bahkan
mengharapkan pihak yang lemah mendefinisikan realitas tersebut dengan cara yang sama.

Aplikasi Labelling Theory


Penjulukan sesungguhnya merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik. Ketika seseorang atau kelompok
menjuluki orang lain atau pihak lain, yang katakanlah dengan sebutan bonek, ninja, kaum kafir ataupun yang
lebih ekstrem sebagai golongan teroris, maka julukan tersebut akan tersosialisasi dengan intens dan pandangan
masyarakat terhadap pihak yang dijuluki akan menjadi sangat negatif, tidak peduli apakah penjulukan tersebut
memiliki landasan argumen yang kuat atau tidak terhadap keselarasan norma kemanusiaan, bersifat benar atau
hanya mengada-ada belaka dalam tirani golongan tertentu. Sehinga, pada keadaan tertentu, orang yang terkena
julukan tersebut kemudian tidak akan mampu membendung arus negatif yang menerpa mereka, dari berbagai
cacian, kecaman, hujatan, dan sanksipun seolah-olah merupakan suatu harga yang harus mereka bayar.
Teori penjulukan (Labelling Theory) menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga
korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Berondongan julukan yang bertentangan
dengan pandangan ataupun keyakinan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang
diberikan orang lain. Dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran
penjulukan tersebut, terutama bagi mereka yang dalam posisi lemah, minoritas dan rakyat jelata misalnya.
Persoalannya yang adalah bagaimana sekiranya orang atau pihak yang mendapat julukan tersebut keberatan dan
sama sekali tidak menerima penjulukan tersebut, yang katakanlah dipandang sebagai sesuatu yang “ngawur”
dan sekehendak sendiri??. Disinilah terjadinya dilematik dan sekaligus problematik dari penjulukan tersebut.
Ketika seseorang atau pihak tertentu yang dijuluki tersebut membantah dan memprotes keras penjulukan yang
dimaksud, maka protes dan bantahannya dipandang mengkonfirmasikan julukan tersebut. Sebaliknya, jika pihak
yang dijuluki berdiam diri atau bersikap pasif dan pasrah saja, maka itu sama halnya dengan membenarkan apa
yang dijulukkannya. Jadi, ya serba salah gitu!!? Dan karena juga, sekali penjulukan telah menimpa seseorang,
maka sulit sekali bagi yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari julukan tersebut.
Sebagai contoh aplikasi, tentang bonek atau kalo dipanjangkan berarti bondo nekad merupakan julukan negatif
yang diberikan kepada pendukung atau suporter sepak bola pada periode pertandingan semi final dan final sepak
bola liga Indonesia pada sekitar tahun 1997-an, yang berasal dari kesebelasan Jawa Timur. Bonek dianggap
orang liar yang mesti dijauhi, ditangkap dan kalo perlu digebuki oleh pihak berwajib. Bagi orang awam yang
mendengar kata-kata bonek pasti mengidentikkan dengan segerombolan anak muda yang berpenampilan urakan,
kasar, suka merampas barang orang lain, makan minum tanpa membayar, pembuat kerusuhan, suka berkelahi,
dan merusak fasilitas umum. Tapi, menurut salah seorang suporter Ilham, pendukung Persebaya asal Gresik,
“sebutan bonek memang sangat merendahkan kami, sebab tidak semuanya adalah orang yang bermodal nekad
saja. Kami punya uang, bahkan untuk beli karcis sekalipun”, (Republika, 29 Juli 1997).
Penjulukan yang lebih ngetrend di tahun 2000-an ini yaitu teroris. Penjulukan ini ditujukan bagi sekelompok
orang yang suka melakukan teror dan kekhawatiran bagi orang lain. Misalnya kalau kita mencermati peristiwa
pemboman yang beruntun di beberapa daerah Indonesia sejak tahun 2000, seperti: bom Bali, bom Hotel Mariot
dan bom mobil yang meledak di depan kedubes Australia. Beberapa laporan intelejen menunjukkan bahwa ada
keterkaitan yang sangat kuat bahwa peristiwa tersebut berhubungan dengan Islam Garis Keras, yang terhimpun
dalam Jamaah Islamiyah. Dengan mengatasnamakan jihad mereka melakukan beberapa keresahan dengan
melakukan aksi pemboman, yang nota bene dilakukan secara terorganisir. Penyelidikan pihak berwajib secara
nyata telah menemukan adanya kaitan antara peristiwa tersebut berkaitan dengan jaringan yang bersifat
internasional. Seperti tertangkapnya Amrozy cs, yang secara lugu dan berani mengakui kegiatan mereka dengan
alasan Jihad, yang mungkin bagi sebagian besar umat Muslim menyatakan bahwa pemaknaan jihad yang
mereka lakukan adalah keliru. Dan lucunya, penjulukan teroris yang dikenakan kepada mereka malah dibalas
dengan ungkapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka melawan teroris dunia. Maka jadilah
teroris melawan teroris (pen).
Dari berbagai peristiwa yang terjadi tersebut muncullah berbagai sebutan dan interpretasi atas realitas yang
seolah-olah menunjukan keadaan sebenarnya atas keterlibatan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan
jaringan terorisme internasional. Realitas itu dikonstruksi oleh berbagai pihak untuk dikenakan kepada pihak
tertentu, seperti Islam Garis Keras, Islam Radikal, Islam Jalanan, Islam Mapan, Komando Jihad, Kaum Kafir,
Veteran Afganistan dan lainnya. Setidaknya dengan penjulukan seperti ini semakin membuat resah masyarakat,
setidaknya cukup membuat masyarakat saling waspada terhadap satu sama lainnya, dan malah semakin
membuat masyarakat saling curiga terhadap orang lain, jangan-jangan tetangganya, temannya atau saudaranya
termasuk yang dijuluki tersebut dan bisa mengancam ketenteraman masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai orang tua yang menyebut anaknya. "Nakal". Tidak jarang
sebutan itu dilontarkan demikian saja, tanpa alasan yang jelas (kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa
orang tua tidak memanjakan anaknya). Akibatnya adalah bahwa anak yang awalnya tidak bermasalah bisa
sungguh-sungguh menjadi masalah karena selalu diberi stigma nakal. (dalam McCaghy, Capron & Jamieson,
2002: 348-349).
Sehingga ada peribahasa yang bijaksana, mengatakan “jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia
belajar rendah diri. Jika ia dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Begitupun dengan anak yang
dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri, dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri,
dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Serta jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan
persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan”. (Rosani : 17 April 2006).

Kritik terhadap Labelling Theory


Kemampuan untuk menentang pemberian label terasa sangat penting daripada membahas permasalahan
kriminalitas (penyimpangan di masyarakat). Masyarakat berusaha untuk tidak memberikan lebel secara gegabah
kepada orang lain atau suatu kelompok tertentu, karena berdampak sangat panjang pada kehidupan seseorang
atau kelompok yang di berikan label tersebut. Peranan budaya sangat penting karena sebagai tempat yang
memiliki banyak norma-norma sosial yang berlaku. Terdapat beberapa kritikan terhadap teori labelling ini
(Gove W (ed), 17 April 2006), seperti:
- Persoalan teoritikal bukan sangat eksplisit, karena Labelling Theory mengikuti teori interaksi simbolik dalam
menerapkan studi deskripitif (memberikan informasi yang menjelaskan tentang budaya minoritas).
- Pemberian label menjadi variabel mandiri atau dependent, dengan kata lain, adalah suatu penjelasan dalam
keejahatan atau menjelaskan kebutuhan golongan tertentu. Terkadang, nampak sebagai suatu variabel
dependent, yaitu hasil hubungan kekuasaan dengan tingkatan toleransi yang berbeda, dan jarak sosial antara
pemberi label dan penerima label. Perbedaan status nampak seperti sifat variabel yang menjelaskan paling
utama, dan Gove mengusulkan pengujian ini dengan membandingkan ukuran sosial kecil dengan tingkat
penyimpangan yang nyata, karena menjadi kelompok kecil lebih mungkin untuk diberikan label menyimpang.
- Mekanisme pemberian label perlu untuk diterangkan secara lebih detail. Khususnya, dalam suatu dugaan dari
penyimpangan yang terkandung. Jika tindakan dari pelanggar atau penyimpang dapat dipisahkan secara analitis
dari pemberi label yang pemberiannya sangat tergantung kepada penerima label, apakah bisa diterima ataukan
tidak. Seperti dikatakan Gove yang mencurigai bahwa penyimpangan perilaku atau aktifitas sendiri merupakan
suatu faktor aktif sedangkan dalam proses pemberiannya sangat relatif bagi orang lain. Karena sebagai contoh
bagi penerima label, jika menentang semakin keras maka proses pemberi label akan semakin menekankan label
tersebut, dan penyimpangan akan semakin kuat, karena ada faktor untuk memenuhi label tersebut.

http://manajemenkomunikasi.blogspot.co.id/2010/05/labelling-theory.html

Anda mungkin juga menyukai