Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN KONSEP NEGARA

DALAM ISLAM TERHADAP INDONESIA


SEBAGAI NEGARA DEMOKRASI

HUKUM ISLAM KELAS I

Florencia Davy Novitasari (160710101490)

Meida Putri Arisinta (160710101502)

Erfika Nurhaza Iryanti (160710101508)

Nadiya Nurmaya (160710101509)

Fakultas Hukum Universitas Jember

Tahun Pelajaran 2016 / 2017


George Jellinek, menyatakan bahwa negara yaitu sebuah organisasi kekuasaan dari
sekelompok manusia di mana mereka mendiami sebuah wilayah tertentu. Sementara Roger
H. Soltau mengemukakan definisi negara sebagai alat yang mengatur dan mengendalikan
persoalan bersama atas nama masyarakat. Dari makna negara tersebut, maka ada hal yang
bisa dikaji tentang makna definisi konsep negara Islam. Konsep Negara Islam dapat diartikan
sebagai sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat wilayah, penduduk, undang-undang
serta kedaulatan yang mengacu pada ajaran agama Islam.
Sedangkan Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya
keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dalam merealisasikan tujuan
tersebut, Alqur’an meletakkan kaidah dan prinsip-prinsip umum yang berkaitan dengan
negara dan pemerintahan seperti penegakkan keadilan, penerapan musyawarah,
memperhatikan kesamaan, jaminan hak dan kebebasan berpendapat, dan penetapan
solidaritas sosial secara komprehensif serta hubungan pemimpin dan rakyatnya seperti hak
dan kewajiban timbal balik antara pemimpin dengan rakyatnya. Islam hanya meletakkan
kaidah-kaidah umum dan tidak menetapkan bentuk ataupun aturan terperinci yang berkaitan
dengan kepemimpinan dan pengelolaan negara. Adapun bentuk ataupun model pemerintahan
beserta metode pengelolaannya menjadi ruang lingkup ijtihaj dan proses pembelajaran kaum
Muslimin dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan menyesuaikan perkembangan
zaman.
Setiap umat Islam pada dasarnya sudah menciptakan pola tersendiri dalam
menanggapi mengenai definisi negara Islam tersebut. Terkait dengan hal ini, ada tiga
kelompok pendapat yang memberikan pernyataan berbeda. Ketiga pendapat tersebut antara
lain :
a) Kelompok pertama menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling
sempurna dan lengkap. Di dalamnya berisi berbagai macam aturan mengenai segala
aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah tentang kehidupan bernegara.
Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu mencari sistem bernegara lain, terutama
sistem yang berasal dari pemikiran manusia. Sebab, sistem yang diciptakan manusia
pasti akan menemui kelemahan karena kodrat manusia yang penuh dengan
keterbatasan. Untuk itu masyarakat cukup meniru dan mencontoh sistem bernegara
yang sudah dijalankan serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW beserta
Khulafaurrasyidin.
b) Kelompok kedua menyatakan bahwa Islam hanyalah sebuah agama, sehingga oleh
karenanya tidak memiliki keterkaitan dengan masalah kenegaraan. Nabi Muhammad
hanyalah seorang Rasul, sama seperti para pendahulunya yang bertugas untuk
menyampaikan ajaran agama dan memperbaiki akhlak manusia. Dan Nabi
Muhammad tidak pernah ditugaskann untuk mendirikan agama, serta tidak ada
sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah mengepalai sebuah negara.
c) Kelompok ketiga menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang serba lengkap.
Di dalamnya sudah mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik di dunia atau di
akhirat. Sehingga hal ini menunjukkan dalam ajaran Islam terdapat sebuah sistem
kenegaraan yang lengkap pula.

Pengertian konsep negara Islam sendiri adalah suatu negara, yang menggunakan
ajaran agama Islam sebagai landasan dan dasar penetapan hukum positif yang diberlakukan
pada negara tersebut. Dengan demikian, segala keputusan yang berhubungan dengan
pengambilan kebijakan negara itu, semua harus berdasarkan pada hukum agama Islam.
Dalam hal ini, harus mengacu pada aturan yang ada dalam Al Quran dan hadist sebagai
pijakan.
Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, disini
akan dijelaskan setidaknya terdapat enam alasan pentingnya kedudukan negara dan
pemerintahan dalam Islam berdasarkan sumber dalam Alquran, Sunnah dan praktek Shahabat
menurut Prof. Muhammad al Mubarak dalam “Nizham al Islam: al Mulk wad Daulah” :
1. Alqur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanaannya membutuhkan institusi
negara dan pemerintahan. Diantara seperangkat hukum itu adalah hukum yang
berkenaan dengan pelaksanaan hudud dan qishas, hukum yang berkaitan harta benda
(mal) serta hukum yang menyangkut kewajiban jihad.
2. Alquran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan
akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin.
Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum
Muslimin tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.
3. Terdapat ucapan-ucapan Nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan
pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Ucapan-ucapan Nabi itu
meliputi aspek imarah (kepemimpinan), al walayah (keorganisasian), al hukmu
(kepemerintahan) dan al qadha (ketetapan hakim). Beberapa contoh hadistnya :

“Tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di sebuah perjalanan kecuali salah
seorang diantara mereka menjadi pemimpin.” (HR. Ahmad)
Mengomentari hadist ini, Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan adalah wajib
mengangkat kepemimpinan sebagai bagian pelaksanaan agama (ad Dien) dan sebagai
perbuatan mendekatkan diri kepada Allah.”
4. Adanya perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-
tugas negara dan kepemerintahan. Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima
perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan rampasan perang, mengatur
pembelanjaan, mengirim duta, menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian dengan
negara lain. R. Strothman dalam Encyclopedia of Islam mengatakan, “Islam adalah
fenomena agama politik sebab pendirinya adalah seorang Nabi dan sekaligus kepala
Negara.”
5. Setelah wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas
bermusyawarah memilih pengganti (Khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat ini
menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’)
mereka dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi
sumber hukum Islam.
6. Hal ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan
para ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang sejarah.

Kaidah – kaidah dasar dalam politik Islam


Kepemimpinan (Khalifah)
Khalifah adalah bentuk tunggal dari khulafa yang berarti menggantikan orang lain
disebabkan ghaibnya (tidak ada di tempat) orang yang akan digantikan atau karena
meninggal atau karena tidak mampu atau sebagai penghormatan terhadap apa yang
menggantikannya. Istilah itu digunakan untuk membedakan sistem kerajaan dan
kepemimpinan diktator. Hal ini menyiratkan bahwa terminologi khilafah adalah
bahwa sistem khilafah ini sejalan dengan prinsip-prinsip kenabian (nubuwwah).
Sistem kepemimpinan ini dibangun dari antitesis sistem kerajaan dimana kekuasaan
berdasarkan pewarisan keluarga (dinasti) ataupun sistem diktator yang cenderung
berbuat zalim dan tidak disukai rakyat. Kekhilafahan sebagai sebuah nilai mengacu
kepada dua hal pokok, yakni pertama, kepemimpinan (khilafah) itu harus
merefleksikan kewajiban meneruskan tugas-tugas pasca kenabian untuk mengatur
urusan umat, menjalankan hukum secara adil dan mensejahterakan umat manusia
serta melestarikan bumi, kedua, kepemimpinan harus dibangun berdasarkan prinsip
kerelaan dan dukungan mayoritas umat, bukan pendelegasian kekuasaan berdasarkan
keturunan (muluk) dan kediktatoran (jabariyah). Secara garis besar menurut Al
Mawardi ada 10 tugas pemimpin dalam Islam, yakni: Pertama, menjaga kemurnian
agama. Kedua, membuat keputusan hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Ketiga, menjaga kemurnian nasab. Keempat, menerapkan hukum pidana Islam.
Kelima, Menjaga keamanan wilayah dengan kekuatan militer. Keenam, mengorganisir
Jihad dalam menghadapi pihak-pihak yang menentang dakwah Islam. Ketujuh,
mengumpulkan dan mendistribusikan harta pampasan perang dan zakat. Kedelapan,
membuat anggaran belanja negara. Kesembilan, melimpahkan kewenangan kepada
orang-orang yang amanah. Kesepuluh, melakukan pengawasan melekat kepada hirarki
dibawahnya, tidak semata mengandalkan laporan bawahannya, sekalipun dengan
alasan kesibukan beribadah. Sementara Ibnu Hazm dalam “Mihal wa an Nihal”
berpendapat bahwa tugas pemimpin adalah menegakkan hukum dan konstitusi,
menyiarkan Islam, memelihara agama dan menggalang jihad, menerapkan syari’ah,
melindungi hak asasi manusia, menyingkirkan kezaliman dan menyediakan
kebutuhan bagi setiap orang.

Syarat-Syarat kepemimpinan dalam Islam


Secara umum, Alqu’ran mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena factor
keluasan pengetahuan (ilmi) dan fisik (jism).
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiy
kekuatan (fisik dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi
menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan
berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas,
memiliki visi yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy.
Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu,
keadilan, kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat
nasab Quraisy, Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi
ketetapan hukum yang mengikat. Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan
Sunnah, serta pandangan ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam
Islam, yakni integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan
kemampuan profesional.

Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara dalam Islam


A. Prinsip Syura
Makna yuridisnya adalah menyarikan suatu pendapat (ra’yu) berkenaan dengan
suatu permasalahan tertentu. Prinsip ini mengharuskan kepala negara dan pemimpin
pemerintahan untuk menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan masyarakat
melalui permusyawaratan.
B. Prinsip Keadilan
Alqur’an setidaknya mengunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yakni al-’dl,
al-qisth dan al-mizan. Terma adil beserta turunannya tidak kurang disebutkan 30
kali dalam Al qur’an.
- Al-‘dl berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih karena jika
hanya ada satu pihak berarti tidak akan terjadi persamaan,
- Al-qisth lebih umum dari adl yang berarti “bagian” (yang wajar dan cukup).
- Sedangkan mizan berasal dari akar kata wazan (timbangan) yang dapat berarti
keadilan. Alqur’an menegaskan alam semesta ditegakkan atas dasar keadilan. Allah
SWT berfirman,”Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-Mizan (neraa
kesetimbangan)” (QS 55:7)
Jadi ada tiga konteks makna keadilan yang dimaksudkan, yakni pertama, keadilan
adalah sama dengan tidak membedakan seseorang dengan yang lainnya, kedua,
keadilan berarti seimbang antara berbagai unsur yang ada dan ketiga, keadilan
berarti perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya.
C. Prinsip Kebebasan
Menurut Syaikh Abdul Qadir Audah, kebebasan dengan maknanya yang seluas-
luasnya telah menjadi asas bagi kehidupan umat Islam. Adapun berkaitan dengan
kebebasan mengemukakan pendapat, Islam melindungi kebebasan tersebut. Setiap
orang bebas mengatakan apa saja yang dikehendaki tanpa melanggar hak-hak orang
lain. Oleh karena itu, kebebasan berbicara tidak boleh berupa celaan, tuduhan dan
fitnah. Kebebasan berbicara harus menjaga etika tersebut.
D. Persamaan (Musawwah)
Rasulullah SAW bersabda
“Manusia itu sama bagaikan gigi-gigi sisir.” (al Hadist)
“Tidak ada kelebihan antara Arab dan bukan Arab kecuali karena
takwa. Tidak ada kelebihan juga antara yang berkulit putih dengan yang
berkulit hitam kecuali karena takwa.” (HR. Bukhari)
Prinsip-prinsip persamaan derajat dalam Islam mencakup:
1. Persamaan secara umum
Semua manusia sama dan sederajat dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab
mereka. Tidak ada keistimewaan yang diberikan atas satu orang dengan yang lainnya
tanpa pengecualiaan.
2. Persamaan didepan Hukum
epala negara dan rakyat pada umumnya memiliki kesederajatan didepan hukum.
Kepala negara dalam Islam tidak memiliki kekebalan atau legitimasi kesucian
teologis seperti halnya doktrin Kristiani. Jika seorang kepala negara melakukan
tindak pidana, maka kepala negara dapat dihukum sebagaimana pelaku pidana
lainnya didalam peradilan biasa.
3. Persamaan Hak-Hak Sosial
Islam mengakui prinsip perbedaan dalam potensi dan kemampuan. Oleh karena itu,
semua potensi dan kemampuan diberi hak yang sama.

Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (Al – Qur'ân) dikatakan agama yang
hanya mengaturpersoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang
membawa misi rahmatan lilâlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia
mengenai persoalan yang terkait denganurusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem
perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat
dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat
yang majemuk, terdiri dari berbagai agama danperadaban yang berbeda dalam satu tatanan
masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliaudeklarasikan dengan orang-orang Yahudi
adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciridemokrasi. Perjanjian itu mengandung
kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara
Berbicara mengenai konsep negara dalam Islam, lalu bagaimana kaitannya konsep –
konsep negara yang ada di dalam Islam dengan negara Indonesia sebagai negara demokrasi?
Indonesia adalah negara demokrasi karena negara Indonesia merupakan negara yang
berdaulat. Artiya kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pemerintah hanya pihak yang
diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mewujudkan cita – cita negara . Setiap negara memiliki
demokrasi berdasarkan ideoogi yang dianut negara tersebut Diantaranya adalah demokrasi
liberal, konstitusional, komunis, pancasila, dan lainnya. Berbeda dengan Amerika yang
menganut sistim demokrasi liberal (peran pemerintah terbatas dalam ikut campur kehidupan
masyarakatnya), Indonesia sendiri menganut sistim demokrasi pancasila yakni demokrasi
yang berdasarkan pada asas – asas pancasila.
Indonesia sebagai negara demokrasi juga berpegang pada nilai – nilai yang ada dalam
Al – Qur’an. Contoh sederhananya saja tertuang pada pancasila sila pertama yakni
“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berasal dari kata Tuhan yaitu Allah pencipta segala yang
ada dan semua makhluk. Yang Maha Esa berarti yang Maha Tunggal artinya bahwa zat
Tuhan tidak dari zat – zat yang banyak lalu menjadi satu. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam
semesta beserta isinya.
Keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan
yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan
yang berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui logika.
Contoh salah satu dalil naqli : Al – Baqarah ayat 163
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang
bersifat umum. Panduan al-Qur'ân dan sunnah juga bersifat umum. Karena itu, permasalahan
politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha
secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat
diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah
sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam,
pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan
bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur
negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum
muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut
prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran
yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup
prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk
itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara
Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara
implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
1. Keadilan
(QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
2. Musyawarah
(QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran
(QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yangma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah
kepada Allah.
4. Perdamaian dan persaudaraan
(QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu
damaikanlahantara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.
5. Keamanan
(QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini
negeri yang amansentosa.
6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalamkeadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yangbaik (QS. 16:97).
Jika prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuahnegara, tanpa melihat simbol
atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allahtelah lukiskan dalam Al –
Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut :
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitudua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
Makanlaholehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu)adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun
(QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk
menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan
lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan
agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa
yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih
berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya
dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara
yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam.
Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang
mapan untuk menentukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki
seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang
sejalan dengan prinsip – prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan
urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai
wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena
paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Jadi walaupun Indonesia adalah negara demokrasi bukan berarti negara ini tidak
berpegang kepada nilai – nilai yang ada dalam Al – Qur’an. Indonesia tidak perlu membentuk
pembentukan “Negara Islam” dalam pengertian yang formal dan ideologis karena tidak
terlalu begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai – nilai Al – Qur’an
seperti musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi
manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa
direalisasikan dalam konteks bernegara. Juga telah dijelaskan diatas bahwa Islam pun
mengakui adanya prinsip perbedaan dalam potensi dan kemampuan. Oleh karena itu, semua
potensi dan kemampuan diberi hak yang sama. Adapun dalam konteks kesetaraan hak-hak
ahlul dzimmi (non Muslim), tidak ada perbedaan antara ahlul dzimmi dengan kaum Muslimin
dalam hak-hak sosial mereka kecuali perbedaan dalam hal Aqidah. Kesetaraan dalam
perspektif ini adalah memperlakukan kaum Muslimin sesuai dengan aqidah mereka dan
memperlakukan ahlul dzimmi tidak sesuai dengan aqidah mereka. Namun diluar itu, ahlul
dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin dalam segala hal.
Sehingga pada akhirnya (baldatun toyyibatun wa robbun ghafur) bukan hanya sekedar ide
dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA

http://anisatulfaiqoh.blogspot.co.id/2014/12/makalah-negara-islam-dan-negara.html
http://ahmeddzakirin.blogspot.co.id/2010/09/bab-ii-konsep-negara-dalam-islam.html.
h

Anda mungkin juga menyukai