Anda di halaman 1dari 10

Laporan Praktikum 24 Desember 2018

Mata Kuliah Teknologi Budidaya Ikan Kerapu

TEKNIK PEMBESARAN BUDIDAYA IKAN KERAPU

Faradilla Anggraini, C1K016036, Kelompok II

Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram. Jl. Majapahit No. 62,
Mataram 83125, Nusa Tenggara Barat. Tel.: +62-370-646506, Fax.: +62-370-
646506

ABSTRAK
Ikan kerapu (Epinephelus Spp) merupakan salah satu komoditi ekspor non migas
yang cukup potensial untuk dikembangkan. Sebagai ikan konsumsi ikan ini
banyak dibutuhkan untuk hidangan restoran dan hotel mewah di dunia. Kisaran
berat 500 – 100 gram per ekor, terutama dalam keadaan hidup memiliki harga
tinggi dibandingkan dalam bentuk ikan mati. Negara konsumen terbesar adalah
Hongkong dan Singapura. Teknik budidaya ikan kerapa pada keramba jaring
apung (KJA) haruslah merupakan KJA yang efektif dan efisien. Tujuan praktikum
adalah untuk mengetahui teknik pembesaran budidaya ikan kerapu dan cara
pencegahan penyakit. Metode yang digunakan yaitu metode pengambilan sampel
adalah ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altevalis) diambil pada keramba jaring
apung (KJA) di Perairan Batu Nampar secara acak sebanyak 2 ekor dengan
ukuran yang bervariasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh yaitu tahapan
pembesaran ikan kerapu dapat dilakukan di keramba jaring apung (KJA) dan
cara penangan penyakit dapat dilakukan dengan cara perendaman air tawar atau
dipping dengan waktu yang telah ditentukan.

Kata kunci : Pembesaran ikan kerapu, keramba jaring apung (KJA), dipping,
panjang-berat
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan komoditas penting di perairan Indonesia yang
mempunyai prospek pemasaran yang cerah, baik dalam negeri maupun ekspor.
Permintaan yang cukup tinggi terhadap komoditas kerapu telah mengakibatkan
terjadinya eksploitasi (penangkapan ikan) yang berlebih. Penangkapan yang
berlebih dengan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, misalnya dengan
menggunakan bahan peledak atau racun, dapat mengancam kelestarian
lingkungan.
Dari beberapa jenis ikan kerapu, ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis)
merupakan salah satu ikan laut yang berprospek cukup cerah. Ikan kerapu tikus
merupakan ikan yang harga pasarannya paling mahal yakni mencapai Rp 300.000
per kg dan untuk benih Rp 1.500 per cm nya. Produksinya tidak hanya berasal
dari penangkapan, tingkat pemanfaatan yang tinggi dan penangkapan berlebih
menuntut diperlukannya upaya pengelolaan agar kelestariannya terjaga. Aktivitas
yang dilakukan diantaranya melalui pembudidaya yang berminat untuk
membesarkan ikan kerapu tikus, akan tetapi dari sekian banyak pengusaha
budidaya kerapu, tidak banyak yang memahami tentang pembesaran dan
penanganan penyakit pada ikan kerapu. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian
tentang teknik pembesaran dan cara penanganan penyakit ikan kerapu tikus.
Tujuan dari praktikum ini adalah Untuk mengetahui teknik pembesaran dan cara
penanganan penyakit pada ikan kerapu tikus.
Menurut Weber and Beofort (1940) dalam Evalawati et al (2001)
taksonomi ikan kerapu tikus adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Sub Class : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidea
Famili : Serranidae
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis
Ikan kerapu tikus ini bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubuhnya
abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran
kecil dengan moncong agak meruncing. Karena kepala yang kecil mirip bebek,
maka jenis ini popular sebagai kerapu bebek. Namun, ada pula yang menyebutnya
sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai
moncong tikus. Ikan kerapu tikus digolongkan sebagai ikan konsumsi bila bobot
tubuhnya telah mencapai 0.5 – 2 kg/ekor (Kordi, 2001).
Menurut Subyakto dan Cahyaningasih (2003), kerapu bersifat hermaprodit
protogini, yakni pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad)
berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar
atau ketika umurnya bertambah tua.
Menurut Kordi (2001) ikan kerapu memijah sepanjang tahun. Untuk
melakukan pemijahan, ikan kerapu membutuhan salinitas antara 28-32 ppt,
dengan suhu antara 27°C - 30°C. Ikan kerapu tikus memijah disaat gelap, yaitu
ketika bulan tidak bersinar terang. Biasanya berlangsung antara tanggal 25 hingga
tanggal 5 berikutnya (bulan arab).
Habitat favorit larva kerapu tikus muda adalah perairan pantai yang
pasirnya berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu
karang). Pada siang hari, larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air,
sebaliknya pada malam hari, larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal
ini sesuai dengan sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari
lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif
bergerak di kolom air untuk mencari makanan. (Subyakto, et. al. 2003).
Kebiasan makan ikan kerapu tikus, menurut Iskandar dan Mawardi (1996)
dalam Risamasu (2008) ikan kerapu tikus yang termasuk dalam keluarga
serranidae merupakan ikan nokturnal dimana ikan ini mencari makan pada malam
hari. Aktivitas ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-
ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas makan dilakukan
secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak
begitu luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman.
Setianto (2011) melaporkan dalam siklus hidupnya, pada umumnya kerapu tikus
muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5- 3 meter selanjutnya
menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 meter,
biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan
larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga dewasa bersifat demersal.
Ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses
diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan.

METODOLOGI
Waktu dan tempat praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Minggu, 16 Desember 2018. Praktikum
dilaksanakan di Desa Batu Nampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat.
Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Keramba Jaring Apung
(KJA), perahu, bak kontainer, timbangan, penggaris, DO meter, pH meter,
refraktometer, TDS, secchi disk, turbidimeter. Dan bahan yang digunakan adalah
ikan kerapu, air tawar, air laut.
Pengukuran panjang dan berat
Pengukuran panjang dan berat dilakukan dengan cara mengukur panjang
total sampel kerapu di keramba jaring apung. Masing-masing kelompok minimal
2 ekor sampel. Lalu dihitung jumlah total kerapu dalam 1 lubang/jaring (berat
total=berat rata-rata 1 ekor kerapu x jumlah total kerapu dalam 1 lubang) dan
dicatatt hasil pengukuran tersebut.
Perendaman (dipping)
Perendaman (dipping) dengan air tawar dilakukan dengan cara
menyiapkan bak kontainer dan letakkan air tawar di ember. Masukkan kerapu dan
rendam dengan air tawar (kelompok 1:1 menit, kelompok 2:5 menit, kelompok
3:10 menit, kelompok 4:20 menit). Catat dan dokumentasikan tingkah laku ikan
selama perendaman
Pengukuran kualitas air
Pengukuran kualitas air dengan cara mengukur oksigen terlarut, pH,
salinitas, kekeruhan, kecerahan, suhu, TDS di keramba jaring apung untuk
budidaya kerapu. Catat hasil pengukuran kualitas air
HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya ikan kerapu tikus dapat dilakukan dengan menggunakan bak
semen atau pun dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA).
Mempersiapkan unit budidaya ikan kerapu harus berada di lokasi yang tidak
mengancam kelestarian sumber daya kelautan. Kapasitas perlu dipertimbangkan
agar keramba jaring apung (KJA) yang berlebih muatannya tidak berubah menjadi
sistem yang mengganggu kondisi lingkungan. Mengatur jarak antara keramba
untuk mengoptimalkan penggunaan daya dukung. Keramba jaring apung untuk
ikan kerapu perlu pengawasan terhadap kondisi fisik lingkungan yang meliputi
suhu, arus, kedalaman, kekeruhan, gelombang, amplitudo pasang surut. Serta,
faktor kimia lingkungan di antaranya kadar oksigen terlarut, salinitas dan
parameter biologi lainnya.

Desain atau tata letak keramba jaring apung (KJA) terdiri dari pembuatan
rakit keramba, pelampung, jaring, rumah jaga, pengikat pemberat dan sebagainya.
Rakit merupakan kerangka untuk menempatkan semua peralatan KJA serta
sebagai jalan untuk memudahkan pemiliharaan. Terbuat dari bahan bambu utuh,
kayu, pipa PVC/galvanis, atau kombinasi. Ukurannya menyesuaikan dengan
kebutuhan luas per petak jaringnya dan jumlah per unitnya, yaitu sekitar 3 m x 3
m, 5 m x 5 m, atau 7 m x 7 m. dalam 1 unit biasanya terdapat 2 – 8 petak jarring
atau lebih. Hal ini sejalan dengan Ardi (2013) yang menyatakan bahwa Keramba
jaring apung terdiri atas keramba (jaring) dan rangka (rakit dan besi) dengan
ukuran yang seragam. Satu unit KJA terdiri atas 4 petak (kolam) dan dibangun
dari beberapa bagian rangka yang dilengkapi dengan dua lapis jaring. Satu petak
KJA dibuat dengan ukuran panjang 7 m, lebar 7 m, dan dalam 4 m.

Pembuatan Rakit Terapung Untuk membuat keramba jaring apung (KJA)


langkah pertama adalah membuat rakit terapung. Pembuatan rakit ini dilakukan di
perairan pantai agar mudah dalam pembuatan dan pemindahan ke lokasi budidaya.
Rakit dapat dibuat dari bambu atau kayu. Penggunaan bahan dari kayu akan lebih
tahan lama dan biasanya digunakan untuk skala yang lebih besar. Rakit ini terdiri
dari beberapa unit dan dilengkapi dengan lantai dan rumah jaga. Pembuatan
Keramba Ukuran keramba sebaiknya 3x3x3 meter. Bahan yang digunakan adalah
jaring poilietelin No.380 D/9 dan 380 D/13 berukuran mata jaring (mesh size) 1
inci dan 2 inci. Untuk membuat sebuah keramba dengan ukuran tertentu, ukuran
pemotongan ditambah 30% dari ukuran yang dikehendaki. Untuk panjang jaring 3
meter ditambah 30% (110 m2), maka panjang pemotongan jaring 410 meter.

Pemasangan Keramba pada Rakit Keramba yang sudah siap, segera


dipasang pada rakit dengan mengikatkan sudut- sudut keramba ke sudut-sudut
bingkai rakit. Disetiap sudut keramba dipasang pemberat dan tali pemberat. Untuk
pemberat, dapat digunakan timah atau adukan semen + pasir dengan bobot 3 - 4
kg per buah, sedang untuk tali pemberat, digunakan tali berdiameter 1 cm dengan
panjang 4 m. Cara memasang pemberat: tali pemberat diikatkan pada pemberat,
ujung yang lain diikatkan sementara pada bingkai di sudut-sudut keramba.
Ujung tali diikat pemberat dibelitkan pada sudut bawah keramba. Pemberat
diturunkan ke perairan sampai keramba menjadi tegang, kemudian tali pemberat
ditarik ke atas, 10 cm dan ujung tali pemberat diikat kembali pada bingkai rakit di
sudut keramba dengan demikian yang tegang adalah tali pemberat, bukan
keramba.

Pengamatan Kualitas Air


Tabel 1. Kualitas Air
No. Parameter Hasil pengukuran
1 pH 7,50
2 Salinitas 33 ppt
3 Kekeruhan 3,19 NTU
4 Suhu 32,1 OC
5 TDS 134x10 ppm
6 DO 4,3 mg/L

Berdasarkan tabel 1 didapatkan nilai kualitas air di keramba jaring apung


(KJA) Batu Nampar dengan nilai pH 7,50 Menurut Affan (2012) ikan kerapu akan
baik pertumbuhannya bila dipelihara pada perairan dengan nilai pH lebih besar
dari 7. Nilai pH tersebut tergolong ke dalam pH yang normal atau layak untuk
dikembangkan sebagai media ikan kerapu. Nilai kekeruhan 3,19 NTU. Suhu
merupakan parameter oseanografi yang mempengaruhi pertumbuhan ikan kerapu
di KJA, berdasarkan hasil pengukuran suhu didapatkan nilai suhu yaitu 32,1oC
nilai suhu tersebut terbilang masih optimum untuk kelangsungan hidup ikan
kerapu, hal ini sejalan dengan Akbar dkk (2002) yang menyatakan bahwa suhu
optimum untuk budidaya kerapu di KJA berkisar antara 27oC - 32oC. Dan
memiliki salinitas 33 ppt, Ikan kerapu menyukai hidup di habitat perairan karang
dengan salinitas 30 ppt sampai 35 ppt Akbar dkk (2002). Total padatan
tersuspensi (TDS) memiliki nilai 134x10 ppm. Berdasarkan hasil pengukuran
oksigen didapatkan nilai DO 4,3 mg/L nilai ini kurang sesuai untuk kelangsungan
hidup biota laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
51 Tahun 2004, kadar DO yang sesuai untuk biota laut bernilai lebih besar dari 5
mg/l.

Tingkah Laku Ikan Selama Perendaman


Tabel 2. Tingkah Laku Ikan Kerapu Selama Perendaman
Kelompok Lama perendaman (menit) Tingkah laku ikan
1 1 menit Lemas, tidak aktif bergerak dan
menetap dibagian dasar
2 5 menit Ikan mulai lemah, bukaan opercullum
melambat. Bukaan mulut lemah
3 10 menit Pada menit awal ikan terlihat lemas,
dan posisi tubuh tidak seimbang, menit
berikutnya sitip tidak bergerak dan
hanya opercullum yang bergerak
semakin lambat, tergeletak didasar,
posisi tubuh ikan pada menit ke tujuh
terbalik dan menit ke 10 ikan masih
hidup
4 20 menit Pada menit awal ikan menjadi lemas,
keadaan tubuh tidak seimbang,
tergeletak didasar dengan bukaan
opercullum yang melambat, sirip dan
badan semakin pucat, terdapat bintik
putih yang terlepas dari mata dan
opercullum. Ikan tidak
Mati
5 30 menit lemas, tidak seimbang, tergeletak
dibagian dasar, bukaan opercullum
melemah. Kulit cenderung terkelupas
dan menjadi kusam. Pada menit ke 21
ikan mati dengan mulut menganga
Salah satu cara pencegahan penyakit pada ikan kerapu adalah dengan cara
dipping atau perendaman di air tawar. Perendaman dengan air tawar akan
memutus siklus hidup ektoparasit, karena dengan perlakuan ini menyebabkan
kondisi yang tidak nyaman bagi parasit sehingga akan keluar dari tubuh ikan.
Berdasarkan tabel 2 tentang tingkah laku ikan kerapu selama perendaman di air
tawar didapatkan hasil bahwa ikan kerapu yang direndam dalam air tawar dengan
waktu 5-20 menit tidak mengalami kematian, hanya mengalami pergerakan tubuh
yang lemah, bukaan mulut atau operculum melemah dan berenang didasar.
Sedangkan ikan kerapu yang direndam dalam air tawar selama 30 menit
mengalami kematian pada menit ke 21. Hal ini menunjukan bahwa ikan kerapu
hanya dapat bertahan di air tawar paling maksimal hingga 20 menit saja, dan lebih
dari itu ikan kerapu tidak toleran dan mengakibatkan kematian.

Pengukuran Panjang dan Berat


Tabel 3. Panjang dan Berat
Kelompok Panjang (cm) Berat(gr)
1 19 cm 85 gr
2 19,5 cm 100,5 gr
3 22 cm 133 gr
4 19,8 cm 106 gr
5 20 cm 125 gr
Menurut Richter (2007) dalam Mulfizar dkk (200) menyatakan bahwa
pengukuran panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok-kelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang-berat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu. Berdasarkan
tabel 3 didapatkan rata-rata panjang berat 20 cm dengan rata-rata berat 109,9 gr.
Hasil tersebut menunjukan bahwa adanya variasi pola pertumbuhan ikan dan
faktor kondisi. Pertambahan bobot ikan dipengaruhi oleh pertambahan panjang.
Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum, produktivitas
dan kondisi fisiologi dari populasi ikan. Faktor kondisi ini mencerminkan
karakteristik morfologi tubuh, kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa teknik pembesaran
budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA) memerlukan konstruksi
KJA yang efektif dan efisien untuk keberhasilan budidaya. Parameter kualitas air
mempengaruhi kelangsungan dan pertumbuhan ikan kerapu. Dan penanganan
penyakit pada ikan kerapu dapat dilakukan dengan cara perendaman pada air
tawar atau dipping sebelam beberapa menit untuk memutuskan siklus hidup
ektoparasit.

DAFTAR PUSTAKA
Affan, J.M. 2012. Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba
jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di
perairan pantai timur Bangka Tengah. J. Depik. 1(1):78-85
Akbar, S. dan Sudaryanto. 2002. Pembenihan dan pembesaran ikan kerapu bebek.
Penebar Swadaya. Jakarta. Hal:103
Baskoro, Mulyono S., Taurusman, Am Azbas dan Sudirman. 2010. Tingkah Laku
bebek dan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Ditjenkan. Jakarta
Evalawati., M. Meiyana dan Aditya. 2001. Biologi Kerapu, Pembesaran Kerapu
Tangga. Agromedia pustaka. Jakarta. Hal:61
Kordi, M. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius.
Yogyakarta
Mulfizar, Zainal AM, Irma D. 2012. Hubungan Panjang berat dan faktor kondisi
tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan kuala gigieng, aceh besr,
provinsi aceh. jurnal depik vol 1(1) hal:1-9
Risamasu, F.J.L. 2008. Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dengan
Bubu Dasar Berumpon. Institut Pertanian Bogor. Bogor, hal:21
Setianto, Adi. 2011. Usaha Budidaya Ikan Kerapu. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta.hal:162
Subyakto, Slamet dan Cahyaningasih, S. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Ikan Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap.
Lubuk Agung. Bandung. 258
Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode, dan
Teknik Edisi kedelapan. Penerbit Tarsito. Bandung

Anda mungkin juga menyukai