PT OTO INDO TBK PDF
PT OTO INDO TBK PDF
ABSTRAK
Sistem distribusi BBM retail yang dilakukan dengan pola cash advanced atau prepayment ,
dimana SPBU harus melakukan pembayaran ke Bank persepsi sebagai dasar pembuatan order
sebagai dasar pengiriman truk tangki (pull system). Pola ini menyebabkan terjadinya
variabilitas demand harian yang cukup tinggi, yang lalu membentuk bullwhip effect dan
berdampak negatif bagi keseluruhan sistem rantai pasok seperti utilisasi truk tangki yang
rendah, disatu waktu atau sebaliknya diperlukan tambahan truk tangki pada saat order tinggi
dan stok out BBM di SPBU. Pendekatan konsep vendor managed inventory (VMI)
digunakan untuk mengatasi permasalahan ini sebagai bentuk koordinatif sistem rantai pasok
antara Terminal BBM Surabaya Group dengan SPBU-SPBU yang disuplainya (push system).
Pada penelitian ini dilakukan perhitungan safety stock, reorder Point pada masing-masing
SPBU dan penentuan jumlah order harian dengan alat bantu berbasis spreadsheet. Hasil studi
komparasi sistem distribusi antara pola cash advanced dengan VMI pada parameter biaya
persediaan menunjukkan penurunan sebesar Rp. 5,02 Milyar selain itu pendekatan VMI juga
menurunkan variabilitas order dari nilai standar deviasi 1788,9 menjadi 140,6.
Kata kunci : Variabilitas Order, Bullwhip Effect, Cash Advance, Vendor Managed
Inventory¸ Safety Stock, Reorder Point
PENDAHULUAN
Proses distribusi BBM ke SPBU diawali oleh adanya pembayaran sejumlah pesanan
pembelian (Sales Order) oleh SPBU via Bank persepsi untuk selanjutnya akan diubah oleh
sistem menjadi Delivery Order yang menjadi dasar rencana pengiriman (dispatching) pada
hari berikutnya. Mekanisme ini umumnya dikenal dengan Cash Advance atau Prepayment.
Dari data historis terdapat variabilitas demand dalam satu minggu yang membentuk fenomena
Bullwhip Effect dimana rata-rata demand pada hari minggu dan senin lebih rendah daripada
hari lainnya, sebaliknya rata-rata demand pada hari sabtu dan selasa demand selalu lebih
tinggi, seperti digambarkan pada grafik dalam gambar 1. dibawah ini.
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
Average
8546 KL
Hal ini dapat dijelaskan karena system prepayment menutut SPBU memiliki modal
kerja untuk mengorder BBM. Situasi pada saat bank tidak beroperasi seperti hari jumat (akhir
pekan) maka SPBU dituntut memiliki modal kerja lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan 3
hari kedepan sekaligus yaitu Sabtu, Minggu dan Senin. Sebagian besar SPBU yang tidak
memiliki modal akan mengalami penurunan inventory (stock) akibat tidak adanya supply
BBM (replenishment). Di sisi lain terdapat peningkatan order yang signifikan pada hari
Selasa akibat aksi stock built-up ataupun kecendrungan SPBU untuk memperbesar order
(shortage gaming) sebagai respon minimnya inventory sehari sebelumnya.
Dapat diketahui variabilitas demand (order) yang membentuk Bullwhip Effect ini akan
menimbulkan inefesiensi pada pengelolaan transportasi (fleet management) yang terbagi atas
dua jenis sebagai berikut; (1) Adanya kondisi kelebihan kapasitas (excess capacity) truk
tangki pada saat jumlah demand yang lebih rendah dibanding total kapasitas angkut truk
tangki.(2) Diperlukannya tambahan anggaran guna membiayai tambahan penggunaan truk
tangki, baik dengan sistem spot charter maupun sistem tarif ongkos angkut.
Sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah dalam menekan variabilitas demand
BBM dari SPBU, pada penelitian ini akan dibahas mekanisme Vendor Managed Inventory
untuk membantu perencanaan pengiriman di Terminal BBM. Secara khusus obyek penelitian
ini adalah Terminal BBM Surabaya Group. Adapun tujuan dilakukannya penelitian tugas
akhir ini adalah menyusun dan mengembangkan alat bantu untuk menentukan pasokan BBM
ke SPBU dengan konsep Vendor Managed Inventory untuk menekan Bullwhip Effect. Vendor
Managed Inventory (VMI) adalah sistem manajemen persediaan dan permintaan yang lebih
koordinatif dan terintegrasi. Pada sistem ini pembeli tidak lagi memutuskan apa, kapan dan
berapa barang yang akan dipesan, melaikan hanya memberikan informasi permintaan dari
pelanggan akhir. Dengan mengetahui informasi tersebut pemasok (vendor) akan menentukan
sendiri waktu dan jumlah pengiriman ke perusahaan pembeli. Levy et al (2008) menjelaskan
bahwa pada sistem VMI, pemasok memutuskan tingkat persediaan yang layak secara
ekonomis untuk menjamin service level tertentu yang ditetapkan pembeli (retailer). Secara
gradual tingkat persediaan di retailer akan menurun dan berdampak adanya efisiensi biaya.
Hal ini terjadi karena tingkat visibilitas yang semakin baik dalam sistem rantai pasok, konsep
ini dikenal dengan retailer-supplier partnership. Untuk menjamin keberlangsungan model
VMI berjalan dengan baik diperlukan infrastruktur dan sistem informasi dan komunikasi yang
baik sehingga arus informasi dari ke dua arah pembeli dan vendor dapat berjalan secara real
time (Pujawan, 2010).
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
METODA
Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu tahap penelitian
pendahuluan, tahap pengumpulan data dan evaluasi sistem distribusi eksisting, tahap
formulasi dan pembuatan model berbasis spreadsheet, Tahap verifikasi dan analisa. Tahap
penelitian pendahuluan merupakan proses identifikasi dan perumusan masalah, studi literatur
dilakukan untuk memberikan pendekatan akademis terhadap pemecahan masalah, studi
lapangan untuk pendalaman terhadap objek yang akan diteliti dan wawancara serta tukar
pikiran dengan para para expertise untuk memperkaya pemahaman terhadap masalah.
Pengumpulan data diperlukan dalam rangka analisa kuantitatif dan evaluasi agar dapat
diketahui apakah metode yang akan dikembangkan dapat merepresentasikan penyelesaian
masalah secara komprehensif. Adapun data yang dibutuhkan dalam pengembangan model
antara lain :
1. Gambaran umum sistem pemesanan dan pendistribusian BBM eksisting.
2. Data jumlah, sales volume, kapasitas tangki pendam, jarak tempuh.
3. Data jumlah, jenis dan spesifikasi Truk Tangki.
4. Data biaya sewa truk tangki dan biaya tarif ongkos angkut.
5. Data komponen biaya penyimpanan inventory pada setiap SPBU dan biaya distribusi
produk
Pada tahap ini dilakukan pengolahan data terkait utilisasi armada truk tangki,
komposisi biaya dalam sistem distribusi, service level sehingga didapat informasi awal untuk
perbaikan. Pada tahapan formulasi pembuatan model ini didasarkan pada situasi deterministik
dimana permintaan maupun pasokan dianggap pasti, disamping Lead time juga belum
dipertimbangkan dalam perhitungan. Pada kondisi ketidakpastian perusahaan memerlukan
persediaan pengaman (buffer/safety stock) untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekurangan (Pujawan, 2010). Oleh karenanya waktu pemesanan kembali atau disebut Reorder
Point (ROP) suatu produk harus mempertimbangkan ketidakpastian tersebut dan dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
ROP = Dselama lead time x Safety Stock …………………...(1)
ROP = D x l+ Safety Stock (SS) …………………...(2)
Dimana, D = Demand dan l = Lead time
Safety stock berfungsi untuk melindungi kesalahan dalam memprediksi demand
selama lead time. Nilai Z diterjemahkan dari kebijaksanaan manajemen terkait dengan service
level pada aktivitas supply chain, dengan demikian service level dan demikian safety stock
dapat dirumuskan sebagai :
Service Level = 1 - Probabilitas (shortage) ……………………………. (3)
SS = Z x ……………………………. (4)
………………………………(5)
Dimana, d = rerata permintaan, Sl = standar deviasi lead time, l = rerata lead time dan
Sd = standar deviasi permintaan. Selanjutnya dilakukan formulasi dari variable-variabel yang
ada pada objek penelitian kedalam model matematis dengan pendekatan Vendor Managed
Inventory dan kemudian dikembangkan berdasarkan konstrain-konstrain yang ada agar model
tersebut dapat merepresentasikan kondisi distribusi BBM yang sebenarnya.
Tahap verifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah prosedur yang dijalankan oleh
model spreadsheet telah memberikan output sesuai dengan yang diharapkan .Uji verifikasi ini
dilakukan dengan mengimplementasikan model pada kondisi riil dengan skala tertentu. Jika
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
program sudah menjalankan prosedur sesuai dengan yang diharapkan, maka model dapat
dikatakan verified, sehingga dapat diimplementasikan pada kasus dengan skala operasi yang
sebenarnnya. Tahap terakhir dimana dilakukan analisa terhadap hasil dari running komputasi
dan interpretasi terhadap output keluaran untuk kemudian dibuat kesimpulan mengenai
keseluruhan penelitian dengan mengacu pada tujuan penelitian. Sedangkan saran yang
diberikan oleh peneliti dapat berupa ide bagi peneliti selanjutnya ataupun usulan tindakan
perbaikan bagi perusahaan agar hasil optimasi dapat sepenuhnya dilaksanakan dan
memberikan kontribusi.
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
Safety Stock (SS). Dari evaluasi data pengiriman dapat diketahui standar deviasi lead time (Sl)
sebesar 0,713 dan ditetapkan sama untuk setiap SPBU. Penentuan safety stock (SS) dengan
pemilihan nilai service level sebesar 95 % (Z = 1,645) yang merupakan perimbangan antara
probabilitas terjadinya stock out dengan biaya persediaan. Contoh perhitungan safety stock
dan reorder point BBM jenis Premium dan Solar untuk keseluruhan SPBU dalam bentuk
tabulasi ditampilkan sebagai berikut :
Tabel 1. Perhitungan Safety Stock & Reorder Point Tiap SPBU
Premium Solar
Lead
Sales Sales Safety Sales Sales Safety
No NO.SPBU time ROP ROP
rate Std.Dev Sdl Stock rate Std.Dev Sdl Stock
(Day) (KL) (KL)
(KL) (Kl) (KL) (KL) (KL) (KL)
1 5160165 0.10 21.30 1.02 15.19 24.99 27.17 4.68 0.44 3.34 5.49 5.97
2 5160166 0.09 15.61 0.99 11.14 18.32 19.76 7.96 1.39 5.69 9.36 10.10
3 5160177 0.10 22.16 1.18 15.81 26.00 28.19 3.99 0.60 2.85 4.69 5.08
4 5164120 0.20 4.60 0.89 3.30 5.44 6.37 3.07 1.25 2.26 3.71 4.34
…. …. …. …. …. …. …. …. …. …. …. ….
394 5460102 0.10 22.77 0.26 16.23 26.70 28.97 3.32 1.00 2.39 3.93 4.26
Penentuan service level dapat ditentukan dari perbandingan rata harian tingkat
persediaan hasil simulasi VMI dengan tingkat persediaan dan service level dari sistem
eksisting. Tujuan dari perbandingan adalah mendapatkan penurunan tingkat persediaan pada
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
service level minimal sama dengan kondisi eksisting. Tabel 4. dibawah menunjukkan tingkat
persediaan pada beberapa service level.
Tabel 4. Perbandingan Tingkat Persediaan Pada Service Level
Persediaan Pada Service Level (KL)
Produk Sistem Eksisting (KL)
90% 92% 95% 97% 99%
Premium 21.05 22.39 25.06 27.76 32.80 29.08 Service Level 91.90%
Solar 11.21 11.78 12.87 14.01 16.14 17.16 Service Level 95.03 %
Gambar 3. dibawah akan lebih menjelaskan titik optimal service level baik pada Premium
maupun Solar terkait dengan penurunan tingkat persediaan.
Premium Solar
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
Dengan mengacu persentase unit cost secara best practise bisnis retail BBM
persentase holding cost ditetapkan sebesar 19 % dari harga produk BBM yaitu sebesar Rp.
1235 /ltr untuk Premium dan Rp. 1045 /ltr untuk Solar. Dari perhitungan pada tabel 6. diatas,
nilai biaya persediaan BBM untuk keseluruhan SPBU pada sistem eksisting sebesar Rp.
21.215.324.000 Sedangkan pada sistem VMI biaya persediaan BBM keseluruhan SPBU turun
menjadi Rp. 16.193.715.200 Dengan demikian terdapat penurunan total biaya persediaan
BBM di SPBU sebesar Rp. 5.021.608.800
Tabel 6. Komparasi Inventory Holding Cost
Sistem Eksisting Simulasi VMI
Premium Solar Premium Solar
Harga produk Rp 6500 5500 6500 5500
Rerata Persediaan KL 29.08 17.16 22.39 12.87
Jumlah SPBU Unit 394 394 394 394
Unit Cost %
Cost of money 7.5% 487.5 412.5 487.5 412.5
Storage space 5.0% 325.0 275.0 325.0 275.0
Loss 0.5% 32.5 27.5 32.5 27.5
Handling 2.0% 130.0 110.0 130.0 110.0
Administration 2.0% 130.0 110.0 130.0 110.0
Insurance 2.0% 130.0 110.0 130.0 110.0
Total 19.0% 1235.0 1045.0 1235.0 1045.0
Data rata-rata order (pasokan) yang dihasilkan oleh simulasi VMI pada tabel 5
dengan nilai rata-rata order harian sebesar 8860 KL dengan standar deviasi 140,6
menunjukkan adanya penurunan variabilitas order harian bila dibandingkan dengan sistem
distribusi eksisting dengan rata-rata order harian sebesar 8517 KL dan standar deviasi 1788,9.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil simulasi VMI dapat menekan timbulnya Bullwhip Effect
akibat peningkatan variabilitas order. Perbandingan variabilitas order dari dua sistem
distribusi tersebut tersaji pada Grafik dalam gambar 4. dibawah ini
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
Perbandingan Variabilitas Order
11000
Volume (KL) 10000
9000
8000
7000
6000
5000
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
Eksisting 6062 10684 9008 9298 8222 10262 6290
VMI 8755 8932 8794 8878 8834 8563 8872
DAFTAR PUSTAKA
Ballou,Ronald H (2004). Business Logistic Supply Chain Management, USA : Prentice Hall
International, Inc.
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXI
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 19 Juli 2014
Chopra, S. dan Meindl, P. (2001), Supply Chain Management : Strategy, Planning, and
Operations, London : Prentice Hall.
Fuel Retail Marketing (2007), Panduan SPBU Pasti Pas, PT.Pertamina (Persero)
Ghiani, Giani. Laporte, Gilbert dan Roberto Musmanno, (2004). Introduction to Logistic
Systems Planning & Control, West Sussex, England : John Wiley & Sons Ltd.
Hidayat, Agriananta Vahmi (2012). Pengendalian Persediaan Material dengan Pendekatan
Continous Review (s,S), Studi Kasus ; PT.PLN Persero APJ Gersik, Tesis, Surabaya,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Hillier, Frederick S. dan Lieberman, Geral (2010). Introduction to Operations Research, New
York : McGraw-Hill
Hollstrom, Jan. (1998). Implementing Vendor Managed Inventory The Efficient Way : A
Case Study Partnership In Supply Chain, ProQuest Science Journals, third quarter ; 39,
3.
Lee, Ching C. dan Chu Wai H.J. (2005). Who Should Control in a Supply Chain, Eropean
Journal of Operational Research, 164 pp 158 – 172.
Simchi-Levy, David. Dan Kaminsky Philip. (2008). Designing and Managing The Supply
Chain : Concepts, Strtegies and Case Studies, New York : Mc Graw-Hill
Nurwidiana (2008), Pengembangan Model Dan Algoritma Common Replenishment Epoch
Untuk Koordinasi Rantai Pasok Dengan Mempertimbangkan Kelayakan Konsolidasi
Pengiriman, Skripsi, Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Prostiyono, Bayu (2011). Optimasi Pendistribusian BBM untuk Wilayah Sulawesi Tengah,
Utara dan Gorontalo Menggunakan Multi Moda Transportasi dengan Simulated
Annealing, Tesis, Jakarta, Universitas Indonesia.
Pujawan, I. N. dan E.R, Mahendrawati (2010). Supply Chain Management. Surabaya : Guna
Widya
Rusdiansyah, Ahmad, dan Tsao, De-bi (2004), ‘An Integrated Model Of The Periodic
Delivery Problems For Vending-Machine Supply Chains’, Journal of Food
Engineering, 70, pp. 421–434.
Soewartini, Sudarmo (2007) Analisis Distorsi Informasi dan Bullwhip Effect pada Supply
Chain ; Studi Kasus PT.Sinar Sosro Pabrik Gersik, Tesis, Surabaya, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Tersine, J. Richard (1994).Principls of Iventory and Material Management. Englewood
Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall.
Waters, Donald (2003). Inventory Control and Management. West Sussex, England : John
Wiley & Sons Ltd
ISBN : 978-602-70604-0-1
A-44-9