Anda di halaman 1dari 20

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kakao merupakan komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk


dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa
negara. Produksi biji kakao di Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun
mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain kurang
terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi,
cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji
kakao indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga dibandigkan
harga produk sama dari negara produsen lain
Coklat memiliki kandungan kakao lebih dari 70%. Coklat memiliki manfaat
untuk kesehatan karena terdapat kandungan antioksidan yaitu fenol dan flavonoid
yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh sangat besar. Antioksidan
mampu untuk menangkap radikal bebas dalam tubuh. Kandungan antioksidan
kakao 3 kali lebih banyak dari teh hijau. Produk hasil olahan kakao memiliki sifat
yang tidak dimiliki oleh pangan lain yaitu bersifat padat di suhu ruang, rapuh saat
dipatahkan dan meleleh sempurna pada suhu tubuh .
Salah satu cara untuk memperbaiki mutu cokelat adalah dengan cara
tempering yaitu proses yang melibatkan serangkaian tahapan pemanasan,
pendinginan, dan pengadukan dengan kecepatan rendah. Selain proses tempering,
kestabilan cokelat olahan juga ditentukan oleh proses mixing dan conching.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum pembuatan coklat adalah sebagai berikut mengetahui


sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering berbeda.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Coklat


Coklat merupakan hasil pengolahan biji kakao. Coklat merupakan kategori
makanan yang mudah dicerna oleh tubuh dan mengandung banyak vitamin yaitu
vitamin A1, B1, B2, C, D, dan E serta beberapa mineral seperti fosfor,
magnesium, zat besi, zinc, dan juga tembaga. Coklat mengandung antioksidan dan
flavonoid yang sangat berguna untuk mencegah masuknya radikal bebas ke dalam
tubuh yang bisa menyebabkan kanker. Kandungan senyawa aktif coklat seperti
kafein, theobromine, methyl-xanthine, dan phenylethylalanine dapat mengurangi
kelelahan sehingga bisa digunakan sebagai obat anti depresi (Wahyudi, 2008).
2.2 Fungsi Bahan Pembuatan Coklat
2.2.1 Biji Kakao
Biji kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang memiliki
peluang untuk mengembangkan usaha memperbesar atau meningkatkan devisa
negara serta penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao di Indonesia terus
meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah kareba kurang
terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi,
cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji
kakao indonesia yang relatif rendah dibandigkan harga produk sama dari negara
produsen lain (Haryadi, 2001).
2.2.2 Pasta Kakao
Pasta merupakan nib yang semula berbentuk butiran padat kasar harus
dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20 μm). Proses pemastaan atau
penghalusan nib kakao dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan
penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan
butiran >40 μm dengan menggunakan mesin pemasta silinder. Tahap kedua
disusul proses pelumatan dengan alat penghalus pasta atau refiner untuk
menghasilkan kehalusan pasta dengan ukuran partikel <20 μm. Proses pelumatan
dilakukan secara berulang sampai diperoleh pasta cokelat dengan tingkat
kehalusan di bawah 20 μm. Pasta yang demikian dapat langsung digunakan
sebagai bahan baku untuk berbagai jenis makanan, roti, kue atau permen cokelat
(Mulato dkk, 2004).
2.2.3 Lemak Kakao
Lemak kakao mengandung asam oleat, palmitat dan stearat. Lemak kakao
dalam pembuatan permen coklat memiliki ciri-ciri akan mencair pada suhu 32°C
– 35°C, mempunyai tekstur yang keras dan sedikit rapuh, serta warnanya tidak
buram dan tetap cerah jika dicampur pada bahan lain serta memadat pada suhu
kamar. Retensi waktu untuk penyimpanan juga harus disesuaikan dengan kondisi
coklat, karena jika tidak maka dapat menyebabkan coklat akan melekat pada
cetakan, menghasilkan warna yang buram serta menimbulkan blooming di
permukaan coklat. Fungsi dari lemak kakao pada pembuatan coklat yakni untuk
bahan pemadat (Ketaren, 1986).
2.2.4 Susu Full Cream
Susu bubuk full cream merupakan susu yang paling mudah dalam hal
penyimpanan dan mudah bercampur ke dalam air hangat (suam-suam kuku).
Kandungan susu bubuk full cream merupakan sumber protein yang baik bagi
badan kita. Susu bubuk full cream dapat diaplikasikan dalam minuman kopi atau
teh sebagai ganti krimer. Adapun aplikasi yang lain dapat dicampur untuk
pembuatan coklat, selai roti, kue kering, permen, ice cream dan segala jenis
makanan yang membutuhkan rasa krim. Susu full cream dalam pembuatan cokelat
digunakan untuk memberikan aroma serta meningkatkan nilai gizi dari produk
cokelat yang dihasilkan (Tokocsc, 2007).
2.2.5 Gula
Salah satu bahan tambahan dalam pembutan coklat adalah gula sukrosa.
Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam pengolahan
makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan dan kelapa kopyor.
Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan
biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul
disebut disakarida dan bila tiga molekul disebut triosa. Sukrosa (sakarosa atau
gula tebu) terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa.
jumlah kaori dari sukrosa adalah 3,87 kal per gram. Untuk industri-industri
makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam
jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada
pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan,
sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula
invert. Inversi sukrosa terjadi dalam suasana asam. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan
laktosa mempunyai gugusOH bebas (Winarno, 2004).
2.2.6 Lesitin
Lesitin merupakan sebutan untuk emulsifier utama dari alam dari agen
permukaan yang aktif. Sejak dikenalkan secara komersil sekitar lima puluh tahun,
lesitin telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam industri pangan
khususnya pada industri coklat. Lesitin terbentuk secara alami dalam makhluk
hidup, hewani dan nabati dengan kandungan tertinggi pada kuning telur (8-10)%
basis basah dan mentega mengandung 0,5-1,2% (Minifie, 1999).
2.2.7 Vanili
Fungsi vanili sebagai campuran untuk bahan pangan adalah sebagai
penguat aroma Vanilin merupakan komponen aroma utama yang terdapat dalam
buah vanili yakni sebesar 85% dari total senyawa volatil. Komponen lainnya
adalah p-hidroksi benzaldehid (sampai 9%) dan p-hidroksi benzil metil eter (1%).
Disamping itu, khusus untuk vanili Tahiti memiliki flavor berbeda akibat adanya
komponen tambahan yakni piperonal Selain prekursor dan enzim pembentuk
flavor, buah vanili mengandung komponen zat gizi lengkap yang meliputi protein,
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral ( De Guzman dan Siemonsma 1999 ).
2.2.8 Soda Kue
Soda kue adalah senyawa kimia dengan rumus NaHCO3. Senyawa ini
termasuk kelompok garam dan telah digunakan sejak lama. Senyawa ini disebut
juga baking soda (soda kue), Sodium bikarbonat, natrium hidrogen karbonat, dan
lainlain. Fungsi soda kue yaitu merupakan komponen pembuat
baking powder. Bikarbonat soda sendiri sifatnya basa. Soda kue akan
mengeluarkan gelembung udara jika bertemu dengan cairan dan bahan yang
sifatnya asam. Jadi untuk resep-resep yang adonannya bersifat asam, biasanya
memakai soda kue untuk bahan pengembangnya. Sifat bahan ini mengeluarkan
gas (CO2) sehingga kue akan mengembang. Untuk membuat cake,
penggunaannya biasanya bersamaan dengan baking powder. Bikarbonat Soda
menghasilkan tekstur yang berpori besar dan tidak beremah, tetapi jika dipakai
tanpa baking powder , rasanya sedikit pahit. Rasa pahit ini akan hilang jika soda
kue bercampur dengan bahan yang sifatnya asam itu.
2.2.9 Emulsifier
Emulsifier memberikan kemampuan untuk mempertahankan tekstur dari
pelelehan hal tersebut sebagai akibat adanya disperse lemak bahan dengan
struktur sel udara yang menghasilkan karakter tekstur yang keras dan kering
(Ketaren, 1986). Emulsifier dapat membantu menjaga kestabilan emulsi minyak
dan air. Terdapat beberapa bahan pangan yang dapat difungsikan sebagai
emulsifier, yaitu : kuning telur, lesitin kedelai dan kasein. Emulsifier ini
digunakan untuk menurunkan viskositas dan dapat mengikat atau menyimpan
lemak pada coklat sehingga tidak menimbulkan bunga pada coklat (Minifie,
1999).
2.3 Proses Pembuatan Coklat
2.3.1 Persiapan Biji Coklat (Cocoa Bean)
Biji ditumpuk di lantai atau wadah (keranjang bambu, kotak kayu) dan
difermentasi selama 2–8 hari. Selama fermentasi, suhu biji naik menjadi 45 - 50°C
yang mematikan biji (menghentikan germinasi) dan meningkatkan keasaman biji.
Selain itu juga terjadi pembentukan warna dan flavor serta degradasi parsial
komponen penyebab rasa pahitdan kelat. Pulp yang menempel pada biji coklat
terdekomposisi secara enzimatis menjadi cairan yang larut air. Fermentasi
dikatakan sempurna jika warna biji kakao berubah dari warna terang menjadi
coklat gelap yang homogen dan biji mudah dipisahdari kulit bijinya. Setelah
fermentasi selesai, biji dikeringkan hingga kadar air mencapai 6–8%. Proses
pengeringan bisa dilakukan dengan cara penjemuran atau menggunakan oven
pengering (55–66oC). Dilakukan pencucian biji sebelum dikeringkan yang akan
memperbaiki penampakan biji, tetapi pencucian yang berlebihan beresiko untuk
meningkatkan kerapuhan biji.
2.3.2 Pembuatan Pasta Coklat (Cocoa Liquor)
Pembuatan pasta coklat melibatkan tahapan proses pembersihan biji,
pemisahan kulit dan penyangraian. Pembersihan ditujukan untuk mengeluarkan
pengotor yang mungkin terbawa, seperti pasir, batu, partikel-partikel tanaman dan
sebagainya. Proses penyangraian biji coklat dilakukan pada suhu maksimal 150oC,
selama 10–35 menit, tergantung dari tujuan akhir penggunaan biji. Biji yang akan
diolah menjadi coklat(chocolate), membutuhkan proses sangrai yang lebih intensif
dibandingkan dengan biji yang akan diolah untuk menjadi coklat bubuk (cocoa
powder). Proses tidak boleh menghanguskan kulit karena akan merusak flavor.
Selama proses penyangraian, kadar air biji turun menjadi sekitar 2%dan terjadi
pembentukan flavor coklat. Biji akan berwarna lebih gelap dengan tekstur yang
lebih rapuh dan kulit menjadi lebih mudah dipisah dari daging biji (nib).
Penyangraian juga akan mempermudah proses ekstraksi lemak, juga berperan
untuk membunuh kontaminan yang mungkin terikut dari tahapan sebelumnya. Biji
yang telah disangrai secepatnya didinginkan untuk mencegah pemanasan yang
berlebihan. Selanjutnya dihancurkan dan dipisahkan dari kulit ari dan lembaganya
dengan menggunakan teknik hembusan udara (menampi secara mekanis). Setelah
penyangraian, biji coklat (nib) mengalami proses penggilingan (pelumatan).
Proses ini dilakukan secara bertingkat sebanyak 2–3 tahap untuk memperoleh
pastacoklat (cocoa liquor atau cocoa mass) dengan tingkat kehalusan tertentu.
Pada pembuatan pasta coklat, kadang juga dilakukan proses alkalisasi sebelum
proses penggilingan. Tujuan proses alkalisasi adalah untuk melembutkan flavor
dengan menetralkan sebagian asam-asam bebas, juga untuk memperbaiki warna,
daya basah (wettability) dan dispersibilitas coklat bubuk (cocoa powder) sehingga
mencegah pembentukan endapan dalam minuman coklat.
2.3.4 Pembuatan Coklat (Chocolate)
Coklat (chocolate) dibuat dengan menggunakan pasta coklat, yang
ditambahkan dengan sukrosa, lemak coklat, dengan atau tanpa susu dan bahan-
bahan lain (flavoringagent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya). Bahan-
bahan ini dicampur dalam sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan pasta
coklat yang kental yang selanjutnya mengalami proses pelembutan (refining)
dengan mesin tipe roll sampai diperoleh massa coklat dengan tekstur yang halus.
Untuk memperbaiki konsistensi tekstur dan flavornya, maka massa coklat kadang-
kadang diperam selama 24 jam pada suhu hangat (45–50oC) sebelum masuk
ketahapan proses penghalusan (conching). Proses pemeraman ini dikenal dengan
sistem dutch, kadang dilakukan untuk membuat coklat bubuk. Proses penghalusan
(conching) adalah proses pencampuran untuk menghasilkan coklat dengan flavor
yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya dilakukan dua tahap, proses dilakukan
pada suhu 80oC selama 24–96 jam. Adonan coklat dihaluskan terus-menerus dan
lesitin ditambahkan pada akhir conching untuk mengurangi kekentalan coklat.
Pada tahapan ini, air dan senyawa pengganggu flavor menguap, lemak kakaoakan
menyelimuti partikel coklat, gula dan susu secara sempurna sehingga memberikan
sensasi tekstur yang halus. Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang
dilakukan untuk memperoleh coklat yang stabil, karena akan menghasilkan
kristal-kristal lemak berukuran kecil dengan titik leleh yang tinggi. Adonan lemak
cair didinginkan dari 50oC menjadi 18oC dalam waktu 10 menit dengan
pengadukan konstan. Adonan lalu didiamkan di suhu dingin selama sekitar 10 menit
untuk membentuk lemak coklat yang bersifat stabil. Suhu selanjutnya dinaikkan
menjadi 29–31oC, dalam waktu 5 menit. Proses ini bisa bervariasi, tergantung
komposisi bahan yang digunakan. Sebelum pencetakan, suhu coklat cair dijaga
pada 30–32oC untuk dibawa ke wadah-wadah pencetakan. Selanjutnya, dilakukan
pendinginan lambat untuk memadatkan coklat dan coklat dikeluarkan dari cetakan
setelah suhu mencapai 10oC. Proses pendinginan terkontrol akan menghasilkan
coklat padat dengan kristal lemak yanghalus dan struktur yang stabil terhadap
panas, terlihat dari sifat lelehnya yang baik danpermukaan yang mengkilap.

2.4 SNI Pasta Kakao dan Coklat


Menurut SNI 3749:2009 yang berjudul “Kakao massa” menyebutkan
standar syarat-syarat pasta kakao (kakao massa) sebagai berikut:
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1.3 Warna - Coklat


2 Kadar lemak (b/b) % min. 48
3 Kadar air (b/b) % maks. 2 99,0
4 Kehalusan (lolos ayakan mesh 200) (b/b) % min. 99,0

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan


5 Kadar abu dari bahan kering tanpa lemak % maks. 14
(b/b)
6 Kulit (shell) dihitung dari alkali free nibs % maks. 1,75
(b/b)
7 Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0
7.2 Cadmium (Cd) mg/kg maks. 1,0
7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40
8 Cemaran arsen (as) mg/kg maks. 1,0
9 Cemaran mikroba
9.1 Angka lempeng total koloni/g maks. 5 x 10 3
9.2 Baketeri bentuk coli APM/g <3
9.3 Escherrichia coli per g negatif
9.4 Salmonella per 25 g negatif
9.5 Kapang koloni/g maks. 50
9.6 Khamir koloni/g maks. 50

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat Dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu
1. Roaster
2. Pisau
3. Timbangan
4. Gelas arloji
5. Tempat sampel
6. Mesin winnowing
7. Pinset
8. Alat pemasta
9. Thickness meter
10. Tisu
11. Ball mill refiner
12. Mesin conching
13. Wadah stainless steel
14. Pengaduk
15. Cetakan
16. Termometer
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
1. Kakao biji
2. Nib
3. Pasta komersial
4. Pasta kakao
5. Lemak kakao
6. Susu full cream
7. Fine sugar
8. Lesitin
9. Vanili
10. Soda Kue
11. Alumunium foil
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

Pasta kakao, lemak kakao, susu full cream, fine sugar,


lesitin,vanili, soda kue
Penimbangan

Pemasukan pasta kakao, lemak kakao, susu full


cream, dan fine sugar ke dalam ball mill refiner

Pengoperasian ball mill refiner pada suhu 60 oC selama 6 jam

Lesitin, vanili, Pemindahan adonan coklat ke mesin conching


soda kue
Conching selama 4 jam pada suhu 60-70 oC

Tempering dalam ruang ber-AC dengan 3 cara

Pencetakan

Pendiaman satu hari dan pengeluran

Pengemasan dan penyimpanan suhu kamar


dan suhu kulkas

Uji organoleptik

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Coklat

Pembuatan coklat susu bahan yang digunakan meliputi pasta kakao, lemak
kakao, fine sugar, dan susu full cream yang telah disiapkan pada proses persiapan
bahan dicampur dan di masukkan ke dalam ball mill refiner dengan penggunaan
suhu 60oC. Penggunaan suhu tinggi agar lemak kakao dapat meleleh dan seluruh
bahan dapat tercampur rata. Kemudian dilakukan pengamatan dan pengukuran
partikel adonan coklat pada jam 0,5;2;4;6 jam untuk mengetahui ukuran partikel
coklat seiring dengan bertambahnya waktu refining. Hasil dari ball mill refiner
yaitu adonan coklat yang selanjutnya adonan tersebut dimasukkan dalam mesin
conching dengan suhu 60-70oC selama 4 jam. Dua jam sebelum proses conching
selesai, di tambahkan lesitin, vanili dan soda kue.
Lesitin berfungsi sebagai emulsifier sehingga antara lemak kakao dan
bahan lainnya dapat tercampur secara merata. Vanili digunakan untuk menambah
flavor dan cita rasa coklat yang dihasilkan. Penambahan soda kue digunakan
untuk penetral, karena soda kue bersifat basa dan pasta coklat bersifat asam.
Setelah conching, dilakukan tempering dan pengadukan. Tempering bertujuan
sebagai pengkondisian lemak kakao supaya membentuk kristal β atau β’.
Tempering pada praktikum kali ini dilakukan dengan variasi suhu yaitu 35°C,
30°C, dan 25°C untuk mengetahui pengaruh suhu tempering terhadap coklat yang
dihasilkan. Kemudian dilakukan pencetakan ke dalam pencetak coklat.
Pencetakan ini kemudian didiamkan selama satu hari hingga coklat memadat.
Setelah satu hari, keluarkan coklat dari cetakan, simpan dalam wadah
kedap udara supaya tidak terkontaminasi oleh jamur atau mikroba lainnya.
Penyimpanan ini dilakukan selama 1 minggu pada suhu ruang dan suhu kulkas
untuk mengetahui pengaruh suhu penyimpanan tehadap coklat yang dihaslkan.
Terakhir dilakukan uji organoleptik yang meliputi kenampakan, warna, rasa,
aroma, tekstur, dan kecepatan leleh di mulut.

BAB 4. DATA PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Data Pengamatan


a. Kenampakan

Nama panelis Kode


281 953 679
Delvia I. 4 2 3
Andreas K. 4 2 3
Ernanda W. 5 3 2
Jenny M. 4 3 2
Nuriska O. 5 4 3
Retno Ayu 4 3 2
Wahida A. 4 2 5
Johan 4 2 1
Amelia N. 4 2 4
Tahnia F. 4 3 2
Zuida A. 5 3 3
Laroiba F. 4 3 3
Cici Mei 5 4 2
Wahyu A. 4 2 5
Siti Zainab 4 4 3
Iren Laurensa 4 3 3
Digdayani 5 4 2
Leny W. 5 4 2
Putri Sekaring 4 3 3
Rahmat Basofi 3 3 3
Anggi Wahyu 4 3 3
Retno P.P 4 4 5
Erika Binti 4 3 3
Mafazatul A. 3 4 3
Faiqotul Hima 5 3 3
A. Diantama 4 4 3
b. Tekstur

Nama panelis Kode


281 953 679
Delvia I. 4 3 4
Andreas K. 3 2 4
Ernanda W. 4 5 5
Jenny M. 5 3 2
Nuriska O. 4 4 4
Retno Ayu 3 4 3
Wahida A. 2 2 5
Johan 2 2 3
Amelia N. 4 4 5
Tahnia F. 4 3 4
Zuida A. 3 3 4
Laroiba F. 4 3 3
Cici Mei 5 5 2
Wahyu A. 4 5 4
Siti Zainab 4 4 3
Iren Laurensa 4 4 4
Digdayani 4 3 2
Leny W. 5 3 4
Putri Sekaring 4 2 2
Rahmat Basofi 2 4 3
Anggi Wahyu 3 4 4
Retno P.P 4 3 4
Erika Binti 4 4 3
Mafazatul A. 2 3 4
Faiqotul Hima 5 3 4
A. Diantama 4 4 3

c. Kecepatan Leleh

Nama panelis Kode


281 953 679
Delvia I. 5 3 5
Andreas K. 1 3 5
Ernanda W. 4 5 4
Jenny M. 5 4 3
Nuriska O. 5 5 3
Retno Ayu 2 4 3
Wahida A. 3 2 5
Johan 2 4 4
Amelia N. 4 4 5
Tahnia F. 3 2 4
Zuida A. 3 4 4
Laroiba F. 4 3 3
Cici Mei 4 5 3
Wahyu A. 5 5 4
Siti Zainab 3 4 4
Iren Laurensa 4 3 3
Digdayani 4 3 2
Leny W. 4 3 4
Putri Sekaring 4 2 2
Rahmat Basofi 2 4 3
Anggi Wahyu 3 4 4
Retno P.P 3 4 5
Erika Binti 4 4 5
Mafazatul A. 3 3 4
Faiqotul Hima 3 4 3
A. Diantama 2 3 3

4.2 Hasil Perhitungan


Parameter Kode
281 953 679
Kenampakan 4,19 3,08 2,92
Tekstur 3,69 3,42 3,54
Kecepatan leleh 3,42 3,62 3,73

BAB 5. PEMBAHASAN

Praktikum coklat menggunakan perbedaan perlakuan tempering yaitu


tempering dilakukan hingga suhu 28°C dengan pengadukan, penurunan suhu
hingga 28°C dengan pengadukan dan kemudian dinaikkan lagi menjadi suhu
33°C, serta tanpa dilakukan pengadukan hingga suhu 28°C. Uji sensoris terhadap
26 orang panelis dengan parameter kenampakan keseluruhan, tekstur dan
kecepatan leleh. Berdasarkan data dan hasil perhitungan didapatkan data berupa
grafik dibawah ini.

Uji Sensoris Coklat


Kenampakan Tekstur Kecepatan leleh
4.19
3.69 3.62 3.73
3.42 3.42 3.54
3.08 2.92

281 953 679

Gambar 2. Grafik Uji Sensoris Coklat

Pada pengujian kenampaka coklat dengan perbedaan suhu tempering


menunjukkan hasil yang berbeda. Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa panelis
lebih menyukai coklat dengan suhu tempering 28 derajat celcius tanpa dilakukan
pengadukan.Hal ini disebabkan karena pada suhu 28 derajat celcius tanpa
dilakukan pengadukan fat blooming yang terjadi lebih sedikit bila dibandingkan
dengan perlakuan yang lain. Menurut Winarno (2001), bila suatu lemak
didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul
dalam lemak, sehingga jarak antar molekul lebih kecil. Jika jarak antar molekul
lebih kecil, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul. Akibat dengan
adanya gaya ini, maka radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak akan
tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal. Tahap
pengkristalan lemak dimulai pada sisi-sisi tertentu saat suhu mencapai tingkat
yang mampu membentuk inti kristal dan semakin lama akan membentuk kristal
utuh.
Pada uji sensoris parameter teksutr variabel suhu tempering yang berbeda
menunjukkan semakin tinggi suhu tempering, tingkat kesukaan panelis terhadap
tekstur rendah. Dari gambar 1. dapat dilihat bahwa panelis lebih menyukai tekstur
coklat dengan suhu 28°celcius tanpa pengadukan. Pada proses tempering pada
suhu dingin menyebabkan tekstur yang dihasilkan lebih keras dan pembentukan
kristal tidak stabil sehingga kurang smooty. Hal ini disebabkan pada tempering
suhu 28oC, bentuk kristal yang dihasilkan berada pada bentuk  dengan titik leleh
21-240C, sedangkan pada tempering suhu 33oC bentuk kristal lebih stabil
(polimorfisme β) yang membentuk padatan yang mantap dengan titik leleh 34-
350C. Menurut Wahyudi (2008) proses refining berfungsi untuk memperkecil
ukuran partikel pada adonan sehingga semakin lama waktu pelembutan (refining)
semakin kecil ukuran partikel ukuran partikel yang dihasilkan semakin halus dan
lembek. Selain itu, perlakuan tempering juga sangat berperan penting dalam
penentuan tekstur coklat. Padahal menurut Tarbot (1999) bahwa tempering dengan
suhu 28-33oC dengan kondisi stabil akan membentuk tekstur yang baik dan
memberikan efek lembut di mulut. Namun panelis lebih memilih menyukai
cokelat dengan tempering 28°C, meskipun nilai dengan tempering 28-33oC hanya
berbeda sedikit.
Pada praktikum pengolahan coklat terdapat variabel perbedaan perlakuan
tempering dan suhu penyimpanan. Titik leleh awal adalah suhu saat terjadi tetesan
pertama lemak. Sedangkan titik leleh akhir adalah suhu saat seluruh lemak telah
meleleh sempurna (Beckett,2008). Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa panelis
lebih menyukai coklat dengan suhu tempering 28°C. Hasil pengujian kecepatan
leleh dimulut menunjukkan semakin tinggi suhu tempering dan suhu
penyimpanan, tingkat kecepatan leleh di mulut (mouthfell) semakin cepat.
Keadaan ini disebabkan karena adanya kandungan lemak kakao yang
mempengaruhi kecepatan leleh coklat dengan perbedaan suhu penyimpanan dan
suhu tempering. Proses tempering merupakan proses untuk pengaturan ikatan
kristal pada lemak kakao. Setelah pemanasan lemak struktur ikatan masing
terlepas sesuai dengan jenis kristal lemak dan akan membentuk ikatan
polimorphis α β dan β’. Menurut Winarno (2001) menyatakan bahwa tempering
yang dilakukan dengan cara pengadukan akan mengakibatkan gaya tarik menarik
antar molekul. Akibat dengan adanya gaya ini, maka radikal-radikal asam lemak
dalam molekul lemak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta
membentuk ikatan kristal sehingga menjadi kristal yang utuh. Jika tempering
dilakukan tanpa pengadukan maka tidak akan terjadi gaya tarik menarik antar
molekul sehingga bentuk coklatnya akan mudah rapuh dan jika dimakan
kecepatan leleh di mulut semakin tinggi. Berdasarkan hasil panelis lebih suka
pada cokelat yang memiliki kecepatan leleh lebih lama.

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang ingin dicapai pada praktikum ini adalah
dari hasil pengamatan praktikum cokelat dengan suhu 28°C tanpa pengadukan
lebih disukai oleh panelis dibandingkan dua perlakuan tempering lainnya.
6.2 Saran
Sebaikknya dalam setiap kelompok pembagian tugas dilakukan secara
merata dan saling menjelaskan tahapan yang dilakukan agar setiap praktikan
bertugas dan mengetahui setiap proses yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Beckett, 2003. Sambung Samping Kakao. Jawa Tengah: Trubus Agriwidya.


Belitz and Grosc, 1999. Food Biochemistry and Food Processing, 2nd Edition.
New York.

Buckett, 2000 Sambung Samping Kakao. Jawa Tengah: Trubus Agriwidya

Dand, D. 1993. The Effect The Shear Rate, Temperature, Sugar, and Emulisifier,
on The Tempering of Cocoa Butter. Journal of Food Engineering. 77 (936-
942).

Djatmiko, B. dan T. Wahyudi, 1986. Aspek Pengolahan dan Mutu Coklat Lindak
dan Mulia. Jember : Balai Penelitian Perkebunan.

Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L., 2008. Patiseri, jilid 3,
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta.

Haryadi, 2001. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Pusat Antar


Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ketaren, S., 1986. Pengantar Minyak dan Lenak Pangan. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

Minifie, B. W, 1999. Chocolate, Cacao, and Consectionery. Avi Publishing


Company, Inc. West Port, Connecticut.

Misnawi, dan J. Selamet. 2008. Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Cokelat. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat.


Jember: Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 21 (3).

Mulato, 2002. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; edisi 2, Jember.

Mulato, Sri. 2004. Desain Teknologi Pengolahan Pasta, Lemak, dan Bubuk
Coklat untuk Kelompok Tani. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember

Siswoputranto, P.S., 2000. Perkembangan The, Kopi, Cokelat Internasional. PT.


Gramedia, Jakarta
Susanto, F. X. Ir. 1994. Tanaman kakao (Budidaya dan Pengolahan Hasil).
Kanisius, Yogyakarta.

Swarbrock, 1995.Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Andi offset, Yogyakarta.

Tokocsc, 2007. Food Additive User’s Handbook. Van Nostrad Renihold, New
York.

Wahyudi, T., Pujiyanto, dan T. R. Panggabean, 2008. Panduan Lengkap Kakao,


Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, F.G.2001. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai