Tingkat pengembalian Aset atau Return on Assets ini berbeda-beda pada industri yang berbeda.
Industri yang padat modal seperti Industri Kereta Api, Industri Pertambangan dan Industri Alat
Elektronik berteknologi tinggi akan menghasilkan tingkat pengembalian aset yang rendah, hal ini
dikarenakan industri-industri tersebut memerlukan aset-aset berharga mahal untuk melakukan
bisnisnya. Sedangkan Industri yang bukan padat modal seperti industri perangkat lunak atau
industri jasa akan menghasilkan tingkat pengembalian aset atau rasio ROA yang tinggi karena
industri-industri tersebut tidak memerlukan aset-aset yang berharga mahal. Oleh karena itu,
Rasio ROA (Return on Assets) ini lebih tepat digunakan untuk membandingkan perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama atau untuk membandingkan kinerja
perusahaan dari satu periode dengan periode berikutnya.
ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset ini dihitung dengan cara membagi laba
bersih perusahaan (biasanya pendapatan tahunan) dengan total asetnya dan ditampilkan dalam
bentuk persentase (%). Ada dua cara umum dalam menghitung ROA yaitu dengan menghitung
total aset pada tanggal tertentu atau dengan menghitung rata-rata total aset (average total
assets). Berikut ini adalah Rumus ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset.
Rumus ROA
Return on Assets (ROA) = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata
Total Aset)
Berdasarkan laporan keuangan per tanggal 31/12/2016, Laba bersih atau Net Income PT.
Waskita Karya Persero Tbk adalah Rp. 1,713 triliun sedangkan Total Asetnya adalah sebanyak
Rp. 61,433 triliun. Berapakah ROA atau Return on Assets (Tingkat pengembalian aset) PT.
Waskita Karya Persero Tbk ?
Jawaban :
ROA = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata Total Aset)
ROA = Rp. 1,713 triliun / Rp. 61,433 triliun
ROA = 2,79%
Jadi ROA PT. Waskita Karya Persero Tbk dengan kode emiten WSKT ini adalah sebesar 2,79%.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Rasio Return on Assets ini berguna untuk mengukur
seberapa efisiensinya suatu perusahaan untuk dapat mengubah uang yang digunakan untuk
membeli aset menjadi laba bersih.
Rasio yang lebih tinggi menunjukan bahwa perusahaan tersebut lebih efektif dalam mengelola
asetnya untuk menghasilkan jumlah laba bersih yang lebih besar. ROA akan sangat bermanfaat
apabila dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak di industri yang sama, karena industri
yang berbeda akan menggunakan aset yang berbeda dalam menjalankan operasionalnya.
Misalnya, perusahaan pertambangan harus menggunakan peralatan yang besar dan mahal,
sementara perusahaan perangkat lunak (software house) hanya mengunakan komputer dan
server dalam menjalankan bisnisnya.
Pengertian Leverage
Leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana (source of funds) oleh perusahaan yang
memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial
pemegang saham (Sartono, 2008:257). Leverage adalah suatu tingkat kemampuan
perusahaan dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai beban tetap
(hutang dan atau saham istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan untuk
memaksimisasi kekayaan pemilik perusahaan.
Menurut Fakhrudin (2008:109), leverage merupakan jumlah utang yang digunakan untuk
membiayai / membeli aset-aset perusahaan. Perusahaan yang memiliki utang lebih besar dari
equity dikatakan sebagai perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi.
Menurut Sjahrial (2009:147), leverage adalah penggunaan aktiva dan sumber dana oleh
perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) berarti sumber dana yang berasal dari
pinjaman karena memiliki bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan
keuntungan potensial pemegang saham.
Perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap, maka perusahaan
tersebut menggunakan leverage. Penggunaan leverage dapat menimbulkan beban dan
risiko bagi perusahaan, apalagi jika keadaan perusahaan sedang memburuk. Di samping
perusahaan harus membayar beban bunga yang semakin membesar, kemungkinan
perusahaan mendapat penalti dari pihak ketiga pun bisa terjadi.
Jenis-jenis Leverage
Jenis leverage ada tiga macam yaitu Operating Leverage, Financial Leverage dan Combination
Leverage. Berikut penjelasan dari masing-masing leverage tersebut:
Beban tetap operasional tersebut biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya produksi dan
pemasaran yang bersifat tetap misal gaji karyawan. Sebagai kebalikannya adalah beban
variabel operasional. Contoh biaya variabel adalah biaya tenaga kerja yang dibayar
berdasarkan produk yang dihasilkan.
Analisis leverage operasi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa peka laba operasi
terhadap perubahan hasil penjualan dan berapa penjualan minimal yang harus diperoleh
agar perusahaan tidak menderita kerugian.
Kebijakan perusahaan mendapatkan modal pinjaman dari luar ditinjau dari bidang
manajemen keuangan, merupakan penerapan Financial Leverage dimana perusahaan
membiayai kegiatannya dengan menggunakan modal pinjaman serta menanggung suatu
beban tetap yang bertujuan untuk meningkatkan laba per lembar saham.
Financial Leverage timbul karena adanya kewajiban-kewajiban finansial yang sifatnya tetap
(fixed financial charges) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Kewajiban-kewajiban
finansial yang tetap ini tidaklah berubah dengan adanya perubahan tingkat EBIT dan harus
di bayar tanpa melihat sebesar apa pun tingkat EBIT yang dicapai perusahaan.
Besar kecilnya leverage finansial dihitung dengan DFL (Degree of financial leverage). DFL
menunjukkan seberapa jauh perubahan EPS karena perubahan tertentu dari EBIT. Makin
besar DFL nya, maka makin besar risiko finansial perusahaan tersebut. Dan perusahaan
yang mempunyai DFL yang tinggi adalah perusahaan yang mempunyai utang dalam
proporsi yang lebih besar. DFL (Degree of financial leverage) dirumuskan sebagai berikut:
Rumus Leverage Keuangan (Financial Leverage)
DFL yang besar menunjukkan bahwa perubahan tingkat EBIT akan menghasilkan
perubahan yang besar pada laba bersih (EAT) atau pendapatan per lembar saham (EPS).
Beban tetap bunga ini pada kenyataannya dapat berupa beban seluruh utang atau obligasi
yang ada dan biaya deviden untuk saham preferen yang mempunyai beban pembayaran
tetap setelah perhitungan sebelum pajak.
Daftar Pustaka
Sartono, Agus. 2008. Manajemen keuangan teori, dan aplikasi. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Irawati, Susan. 2006. Manajemen Keuangan. Bandung: Pustaka.
Fakhruddin, Hendy M. 2008. Istilah Pasar Modal A-Z. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sjahrial, Dermawan, 2009. Manajemen Keuangan. Edisi Tiga. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
Syamsudin, Lukman. 2001. Manajemen Keuangan Perusahaan (Konsep Aplikasi Dalam
Perencanaan, Pengawasamn, dan Pengambilan Keputusan). Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Hanafi. 2004. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE UGM.
Tata Kelola Perusahaan (bahasa Inggris: corporate governance) adalah rangkaian proses,
kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta
pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup
hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan
pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang
saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan,
pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik
utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung
jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku
yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi
ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk
mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang
saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut
pandang pemangku kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap
pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern telah meningkat akhir-
akhir ini, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Enron
Corporation dan Worldcom. Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap masalah ini diwujudkan
dengan didirikannya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada akhir tahun 2004.
Kompensasi kerugian fiskal adalah suatu skema ganti rugi yang bisa diterapkan oleh
Wajib Pajak Badan ataupun Orang Pribadi yang telah melakukan pembukuan apabila
berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan Direktur Jenderal Pajak (DJP)
atau berdasarkan SPT Tahunan PPh (self assessment) mengalami kerugian fiskal.
Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu perusahaan memiliki dua jenis akuntansi
keuangan, yakni akuntansi komersial dan akuntansi fiskal. Akuntansi komersial
merupakan aktivitas untuk menyediakan informasi keuangan yang diperoleh melalui
suatu proses akuntansi secara umum. Sedangkan akuntansi fiskal merupakan bagian
dari akuntansi keuangan yang menekankan pada penyusunan laporan perpajakan
(SPT) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan
perusahaan.
Dengan kata lain, penghitungan fiskal bertujuan untuk menyediakan informasi
keuangan perusahaan yang ditujukan secara khusus kepada otoritas pajak sebagai
salah satu pemenuhan kepatuhan pajak (tax compliance). Dari hasil penghitungan
fiskal ini, nantinya akan diketahui apakah Wajib Pajak tersebut mengalami kerugian
fiskal atau tidak.
Contoh Perhitungan
PT Mahkota Prima pada tahun 2015 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp250 Juta,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2020, dengan rincian
perhitungan sebagai berikut:
1. Tahun 2015 : kerugian fiskal = Rp250 Juta
2. Tahun 2016 : laba fiskal Rp50 Juta, maka kerugian fiskal tahun 2017 dapat
dikurangkan, sehingga tersisa Rp200 Juta.
3. Tahun 2017 : rugi fiskal Rp25 Juta, sehingga pada tahun ini belum perlu
membayar pajak. Sedangkan sisa kerugian fiskal tahun 2017 tetap Rp200 Juta,
dan memiliki saldo rugi fiskal tambahan sebesar Rp25 Juta pada 2019.
Keduanya tidak bisa digabungkan.
4. Tahun 2018 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka laba ini akan digunakan
untuk mengurangi kerugian fiskal tahun 2017, sehingga saldo rugi fiskal 2017
berkurang menjadi Rp125 Juta, dan saldo rugi fiskal 2019 tetap Rp25 Juta.
5. Tahun 2019 : memperoleh laba fiskal Rp25 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun
2017 akan dikurangkan, sehingga menjadi Rp100 juta. Sedangkan rugi fiskal
tahun 2019 jumlahnya tidak berubah.
6. Tahun 2020 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun
2017 akan dikurangkan kembali, sehingga tersisa Rp25 Juta. Sedangkan rugi
fiskal tahun 2019 tetap Rp25 Juta.
Dari contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa saat tahun 2016, 2018, 2019,
dan 2020 menghasilkan laba fiskal, kerugian tahun 2017 dapat dikompensasikan atau
diperhitungkan. Pada tahun kelima yaitu tahun 2020, masih terdapat sisa kompensasi
kerugian sebesar Rp25 Juta. Jumlah ini tidak dapat dikompensasikan lagi karena
telah melewati batas waktu 5 tahun, sehingga sisa Rp25 Juta tersebut dapat
dikatakan hangus.