Anda di halaman 1dari 8

Pengertian ROA (Return on Assets)

dan Rumus ROA


Return on Assets atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan Tingkat Pengembalian
Aset adalah rasio profitabilitas yang menunjukan persentase keuntungan (laba bersih) yang
diperoleh perusahaan sehubungan dengan keseluruhan sumber daya atau rata-rata jumlah aset.
Dengan kata lain, Return on Assets atau sering disingkat dengan ROA adalah rasio yang
mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan
laba selama suatu periode. ROA dinyatakan dalam persentase (%).
Dapat dikatakan bahwa satu-satunya tujuan aset perusahaan adalah menghasilkan pendapatan
dan tentunya juga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan itu sendiri. Rasio ROA
atau Return on Assets ini dapat membantu manajemen dan investor untuk melihat seberapa baik
suatu perusahaan mampu mengkonversi investasinya pada aset menjadi keuntungan atau laba
(profit). Tingkat Pengembalian Aset atau Return on Assets ini sebenarnya juga dapat dianggap
sebagai imbal hasil investasi (return on investment) bagi suatu perusahaan karena pada
umumnya aset modal (capital assets) seringkali merupakan investasi terbesar bagi kebanyakan
perusahaan. Dengan kata lain, uang atau modal diinvestasikan menjadi aset modal dan tingkat
pengembaliannya atau imbal hasilnya diukur dalam bentuk laba atau keuntungan (profit) yang
diperolehnya.

Tingkat pengembalian Aset atau Return on Assets ini berbeda-beda pada industri yang berbeda.
Industri yang padat modal seperti Industri Kereta Api, Industri Pertambangan dan Industri Alat
Elektronik berteknologi tinggi akan menghasilkan tingkat pengembalian aset yang rendah, hal ini
dikarenakan industri-industri tersebut memerlukan aset-aset berharga mahal untuk melakukan
bisnisnya. Sedangkan Industri yang bukan padat modal seperti industri perangkat lunak atau
industri jasa akan menghasilkan tingkat pengembalian aset atau rasio ROA yang tinggi karena
industri-industri tersebut tidak memerlukan aset-aset yang berharga mahal. Oleh karena itu,
Rasio ROA (Return on Assets) ini lebih tepat digunakan untuk membandingkan perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama atau untuk membandingkan kinerja
perusahaan dari satu periode dengan periode berikutnya.

Rumus ROA (Return on Assets)

ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset ini dihitung dengan cara membagi laba
bersih perusahaan (biasanya pendapatan tahunan) dengan total asetnya dan ditampilkan dalam
bentuk persentase (%). Ada dua cara umum dalam menghitung ROA yaitu dengan menghitung
total aset pada tanggal tertentu atau dengan menghitung rata-rata total aset (average total
assets). Berikut ini adalah Rumus ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset.

Rumus ROA
Return on Assets (ROA) = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata
Total Aset)

Contoh Perhitungan ROA (Return on Assets)

Berdasarkan laporan keuangan per tanggal 31/12/2016, Laba bersih atau Net Income PT.
Waskita Karya Persero Tbk adalah Rp. 1,713 triliun sedangkan Total Asetnya adalah sebanyak
Rp. 61,433 triliun. Berapakah ROA atau Return on Assets (Tingkat pengembalian aset) PT.
Waskita Karya Persero Tbk ?
Jawaban :

ROA = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata Total Aset)
ROA = Rp. 1,713 triliun / Rp. 61,433 triliun
ROA = 2,79%

Jadi ROA PT. Waskita Karya Persero Tbk dengan kode emiten WSKT ini adalah sebesar 2,79%.

Analisis dan Penilaian ROA (Return on Assets)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Rasio Return on Assets ini berguna untuk mengukur
seberapa efisiensinya suatu perusahaan untuk dapat mengubah uang yang digunakan untuk
membeli aset menjadi laba bersih.

Rasio yang lebih tinggi menunjukan bahwa perusahaan tersebut lebih efektif dalam mengelola
asetnya untuk menghasilkan jumlah laba bersih yang lebih besar. ROA akan sangat bermanfaat
apabila dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak di industri yang sama, karena industri
yang berbeda akan menggunakan aset yang berbeda dalam menjalankan operasionalnya.
Misalnya, perusahaan pertambangan harus menggunakan peralatan yang besar dan mahal,
sementara perusahaan perangkat lunak (software house) hanya mengunakan komputer dan
server dalam menjalankan bisnisnya.

Pengertian dan Jenis-jenis Leverage


Ditulis oleh Muchlisin Riadi Minggu, 06 November 2016 2 Komentar

Pengertian Leverage

Leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana (source of funds) oleh perusahaan yang
memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial
pemegang saham (Sartono, 2008:257). Leverage adalah suatu tingkat kemampuan
perusahaan dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai beban tetap
(hutang dan atau saham istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan untuk
memaksimisasi kekayaan pemilik perusahaan.

Berikut ini beberapa pengertian leverage dari beberapa sumber:


 Menurut Irawati (2006), leverage merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh suatu
perusahaan dalam hal menginvetasikan dana atau memperoleh sumber dana yang disertai
dengan adanya beban/biaya tetap yang harus ditanggung perusahaan.

 Menurut Fakhrudin (2008:109), leverage merupakan jumlah utang yang digunakan untuk
membiayai / membeli aset-aset perusahaan. Perusahaan yang memiliki utang lebih besar dari
equity dikatakan sebagai perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi.

 Menurut Sjahrial (2009:147), leverage adalah penggunaan aktiva dan sumber dana oleh
perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) berarti sumber dana yang berasal dari
pinjaman karena memiliki bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan
keuntungan potensial pemegang saham.

 Menurut Syamsuddin (2001:89), leverage adalah kemampuan perusahaan untuk


menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap (fixed cost assets or funds)
untuk memperbesar tingkat penghasilan (return) bagi pemilik perusahaan.

Perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap, maka perusahaan
tersebut menggunakan leverage. Penggunaan leverage dapat menimbulkan beban dan
risiko bagi perusahaan, apalagi jika keadaan perusahaan sedang memburuk. Di samping
perusahaan harus membayar beban bunga yang semakin membesar, kemungkinan
perusahaan mendapat penalti dari pihak ketiga pun bisa terjadi.

Jenis-jenis Leverage

Jenis leverage ada tiga macam yaitu Operating Leverage, Financial Leverage dan Combination
Leverage. Berikut penjelasan dari masing-masing leverage tersebut:

a. Leverage Operasi (operating leverage)


Leverage operasi adalah seberapa besar perusahaan menggunakan beban tetap
operasional (Hanafi, 2004:327). Menurut Syamsuddin (2001:107), leverage operasi adalah
kemampuan perusahaan di dalam menggunakan fixed operating cost untuk memperbesar
pengaruh dari perubahan volume penjualan terhadap earning before interest and taxes(EBIT).
Leverage operasi timbul sebagai suatu akibat dari adanya beban-beban tetap yang
ditanggung dalam operasional perusahaan. Perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap
atau biaya modal tetap, maka perusahaan tersebut menggunakan leverage. Dengan
menggunakan operating leverage perusahaan mengharapkan bahwa perubahan penjualan
akan mengakibatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar.

Beban tetap operasional tersebut biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya produksi dan
pemasaran yang bersifat tetap misal gaji karyawan. Sebagai kebalikannya adalah beban
variabel operasional. Contoh biaya variabel adalah biaya tenaga kerja yang dibayar
berdasarkan produk yang dihasilkan.

Leverage operasi adalah pengaruh biaya tetap operasional terhadap kemampuan


perusahaan untuk menutup biaya tersebut. Dengan kata lain pengaruh perubahan volume
penjualan (Q) terhadap laba sebelum bunga dan pajak (EBIT). Besar kecilnya leverage
operasi dihitung dengan DOL (Degree of operating leverage) yang dirumuskan sebagai
berikut:

Rumus Leverage Operasi (operating leverage)

Analisis leverage operasi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa peka laba operasi
terhadap perubahan hasil penjualan dan berapa penjualan minimal yang harus diperoleh
agar perusahaan tidak menderita kerugian.

b. Leverage Keuangan (financial leverage)


Financial leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan
beranggapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada
beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang
saham (Sartono, 2008:263).

Kebijakan perusahaan mendapatkan modal pinjaman dari luar ditinjau dari bidang
manajemen keuangan, merupakan penerapan Financial Leverage dimana perusahaan
membiayai kegiatannya dengan menggunakan modal pinjaman serta menanggung suatu
beban tetap yang bertujuan untuk meningkatkan laba per lembar saham.

Financial Leverage timbul karena adanya kewajiban-kewajiban finansial yang sifatnya tetap
(fixed financial charges) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Kewajiban-kewajiban
finansial yang tetap ini tidaklah berubah dengan adanya perubahan tingkat EBIT dan harus
di bayar tanpa melihat sebesar apa pun tingkat EBIT yang dicapai perusahaan.

Besar kecilnya leverage finansial dihitung dengan DFL (Degree of financial leverage). DFL
menunjukkan seberapa jauh perubahan EPS karena perubahan tertentu dari EBIT. Makin
besar DFL nya, maka makin besar risiko finansial perusahaan tersebut. Dan perusahaan
yang mempunyai DFL yang tinggi adalah perusahaan yang mempunyai utang dalam
proporsi yang lebih besar. DFL (Degree of financial leverage) dirumuskan sebagai berikut:
Rumus Leverage Keuangan (Financial Leverage)
DFL yang besar menunjukkan bahwa perubahan tingkat EBIT akan menghasilkan
perubahan yang besar pada laba bersih (EAT) atau pendapatan per lembar saham (EPS).
Beban tetap bunga ini pada kenyataannya dapat berupa beban seluruh utang atau obligasi
yang ada dan biaya deviden untuk saham preferen yang mempunyai beban pembayaran
tetap setelah perhitungan sebelum pajak.

c. Leverage Gabungan (Combination Leverage)


Combination leverage terjadi apabila perusahaan memiliki baik baik operating leverage
maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkan keuntungan bagi
pemegang saham biasa (Sartono, 2008:267).

Leverage gabungan adalah pengaruh perubahan penjualan terhadap perubahan laba


setelah pajak untuk mengukur secara langsung efek perubahan penjualan terhadap
perubahan laba rugi pemegang saham dengan Degree of Combine Leverage (DCL) yang
didefinisikan sebagai persentase perubahan pendapatan per lembar saham sebagai akibat
persentase perubahan dalam unit yang terjual.

Daftar Pustaka

 Sartono, Agus. 2008. Manajemen keuangan teori, dan aplikasi. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
 Irawati, Susan. 2006. Manajemen Keuangan. Bandung: Pustaka.
 Fakhruddin, Hendy M. 2008. Istilah Pasar Modal A-Z. Jakarta: Elex Media Komputindo.
 Sjahrial, Dermawan, 2009. Manajemen Keuangan. Edisi Tiga. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
 Syamsudin, Lukman. 2001. Manajemen Keuangan Perusahaan (Konsep Aplikasi Dalam
Perencanaan, Pengawasamn, dan Pengambilan Keputusan). Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
 Hanafi. 2004. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE UGM.
Tata Kelola Perusahaan (bahasa Inggris: corporate governance) adalah rangkaian proses,
kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta
pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup
hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan
pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang
saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan,
pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik
utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung
jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku
yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi
ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk
mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang
saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut
pandang pemangku kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap
pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern telah meningkat akhir-
akhir ini, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Enron
Corporation dan Worldcom. Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap masalah ini diwujudkan
dengan didirikannya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada akhir tahun 2004.

Kompensasi kerugian fiskal adalah suatu skema ganti rugi yang bisa diterapkan oleh
Wajib Pajak Badan ataupun Orang Pribadi yang telah melakukan pembukuan apabila
berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan Direktur Jenderal Pajak (DJP)
atau berdasarkan SPT Tahunan PPh (self assessment) mengalami kerugian fiskal.
Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu perusahaan memiliki dua jenis akuntansi
keuangan, yakni akuntansi komersial dan akuntansi fiskal. Akuntansi komersial
merupakan aktivitas untuk menyediakan informasi keuangan yang diperoleh melalui
suatu proses akuntansi secara umum. Sedangkan akuntansi fiskal merupakan bagian
dari akuntansi keuangan yang menekankan pada penyusunan laporan perpajakan
(SPT) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan
perusahaan.
Dengan kata lain, penghitungan fiskal bertujuan untuk menyediakan informasi
keuangan perusahaan yang ditujukan secara khusus kepada otoritas pajak sebagai
salah satu pemenuhan kepatuhan pajak (tax compliance). Dari hasil penghitungan
fiskal ini, nantinya akan diketahui apakah Wajib Pajak tersebut mengalami kerugian
fiskal atau tidak.

Kompetensi Kerugian Fiskal sesuai UU PPh


Sebelum berbicara lebih jauh terkait kompensasi kerugian fiskal, ada beberapa poin
penting yang harus Anda pahami terlebih dahulu. Berikut adalah penjelasannya
berdasarkan UU PPh.
1. Kerugian fiskal adalah kerugian berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan DJP serta kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self
assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh
DJP.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila dalam tahun pajak sebelumnya
terdapat kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi
ada kerugian fiskal).
3. Kerugian fiskal terjadi karena saat penghasilan bruto dikurangi biaya hasilnya
mengalami kerugian
4. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai
pada tahun pajak berikutnya secara berturut-turut sampai dengan lima tahun.
5. Ketentuan mengenai jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal
telah berlaku sejak tahun 2009.
6. Apabila pada kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT
Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian
fiskal tersebut harus segera direvisi sesuai dengan ketentuan dan prosedur
pembetulan SPT sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan
Umum Perpajakan.
Perlu dicatat bahwa kompensasi kerugian tersebut tidak berlaku bagi Wajib Pajak
yang keseluruhan penghasilannya bersifat Final dan atau bukan merupakan objek
pajak. Selain itu, kerugian yang diderita dari luar negeri tidak dapat diikutsertakan
dalam penghitungan kompensasi kerugian fiskal.

Contoh Perhitungan
PT Mahkota Prima pada tahun 2015 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp250 Juta,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2020, dengan rincian
perhitungan sebagai berikut:
1. Tahun 2015 : kerugian fiskal = Rp250 Juta
2. Tahun 2016 : laba fiskal Rp50 Juta, maka kerugian fiskal tahun 2017 dapat
dikurangkan, sehingga tersisa Rp200 Juta.
3. Tahun 2017 : rugi fiskal Rp25 Juta, sehingga pada tahun ini belum perlu
membayar pajak. Sedangkan sisa kerugian fiskal tahun 2017 tetap Rp200 Juta,
dan memiliki saldo rugi fiskal tambahan sebesar Rp25 Juta pada 2019.
Keduanya tidak bisa digabungkan.
4. Tahun 2018 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka laba ini akan digunakan
untuk mengurangi kerugian fiskal tahun 2017, sehingga saldo rugi fiskal 2017
berkurang menjadi Rp125 Juta, dan saldo rugi fiskal 2019 tetap Rp25 Juta.
5. Tahun 2019 : memperoleh laba fiskal Rp25 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun
2017 akan dikurangkan, sehingga menjadi Rp100 juta. Sedangkan rugi fiskal
tahun 2019 jumlahnya tidak berubah.
6. Tahun 2020 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun
2017 akan dikurangkan kembali, sehingga tersisa Rp25 Juta. Sedangkan rugi
fiskal tahun 2019 tetap Rp25 Juta.
Dari contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa saat tahun 2016, 2018, 2019,
dan 2020 menghasilkan laba fiskal, kerugian tahun 2017 dapat dikompensasikan atau
diperhitungkan. Pada tahun kelima yaitu tahun 2020, masih terdapat sisa kompensasi
kerugian sebesar Rp25 Juta. Jumlah ini tidak dapat dikompensasikan lagi karena
telah melewati batas waktu 5 tahun, sehingga sisa Rp25 Juta tersebut dapat
dikatakan hangus.

Anda mungkin juga menyukai