CJR Kajian Tradisi Lisan
CJR Kajian Tradisi Lisan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Critical Journal Review (CJR) adalah riview semua komponen suatu laporan,
riset atau jurnal secara kritis dengan tujuan utama menemukan kelemahan dan
keunggulan suatu riset/jurnal serta menampilkan saran yang relevan untuk
mempertahankan keunggulan dan mengatasi kelemahan riset/jurnal tersebut.
Penugasan Critical Journal Review (CJR) bertujuan untuk melatih mahasiswa
mendeskripsikan garis-garis besar mengenai kajian tradisi lisan.
A. Ringkasan Jurnal
1. PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi.
Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena adanya bukti-bukti berupa peninggalan-
peninggalan lama yang sangat berharga yang masih dapat ditemukan.
Peninggalanpeninggalan yang membuktikan tingkat peradaban bangsa Indonesia itu
tidak hanya berwujud material, seperti bangunan-bangunan candi, prasasti-prasasti,
ornamen-ornamen pada rumah adat atau lumbung padi, alat-alat perlengkapan
kehidupan sehari-hari, melainkan juga berupa peninggalan-peninggalan yang
bersifat moral-spiritual. Dari warisan kebudayaan yang bersifat moral-spiritual
didapatkan informasi berharga tentang konsep dan pola pemikiran, pola tingkah laku,
adat-istiadat, sistem peribadatan dan kepercayaan, pendidikan dan tradisi budaya, serta
hal-hal lainnya dari kehidupan nenek moyang bangsa.
Orang Minangkabau menyebut negerinya dengan Alam Minangkabau dan
kebudayaannya dengan Adat Minangkabau. Penyebutan alam itu mengandung makna
bahwa alam adalah segalagalanya bagi masyarakat Minangkabau. Alam bukan saja
tempat tinggal (hidup, berkembang, dan mati) melainkan juga dasar filsafat kehidupan.
Masyarakat menyebutkan fungsi alam dengan alam takambang jadi guru (alam yang
terbentang dijadikan guru) (lihat juga Navis, 1984: 28).
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu etnik yang kukuh dan eksis di
Nusantara. Identitas etnisitas Minangkabau telah ikut memberikan sumbangan kepada
bentuk kebudayaan nasional, antara lain melalui bahasa, kesenian, dan berbagai aspek
tradisi lainnya. Masyarakat yang kukuh dan dapat memberikan sumbangan
kebudayaannya adalah masyarakat yang kuat, kompak, dan bangga pada identitasnya.
Masyarakat semacam ini tumbuh karena memiliki “perekat.” Perekat itu tentulah berupa
nilai-nilai mendasar yang dapat mengintegrasikan masyarakat Minangkabau pada suatu
kesatuan pola hidup (pandangan dan nilai-nilai kehidupan, dan falsafah hidup sebagai
suatu kearifan lokal di dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan). Satu di
antara perekat yang dipergunakan itu dapat dikatakan bersumber dari nilai-nilai tradisi
yang dapat ditemukan pada tradisi lisan kepercayaan rakyat masyarakat Minangkabau
berupa ungkapan pantang dan larang (Udin, 1993: 78).
Di dalam kondisi yang benar dan konstruktif, nilai-nilai tradisi dapat membantu
dinamika kehidupan masyarakat tempat nilai-nilai mendasar itu hidup dan berkembang;
menumbuhkan dan mengembangkan integritas masyarakat, menciptakan solidaritas
sosial, menumbuhkan kebanggaan akan identitas kelompok, dan berguna pula untuk
mengukuhkan keharmonisan komunal. Oleh sebab itu, pada hakikatnya setiap
masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern memerlukan nilai-
nilai kehidupan yang didasari atas keyakinan atau kepercayaan atas hal-hal tertentu
untuk menjalani perikehidupan bersama yang harmonis. Orang Minangkabau menyebut
negerinya dengan Alam Minangkabau dan kebudayaannya dengan Adat Minangkabau.
Penyebutan alam itu mengandung makna bahwa alam adalah segala-galanya bagi
masyarakat Minangkabau. Alam bukan saja tempat tinggal (hidup, berkembang, dan
mati), melainkan juga dasar filsafat kehidupan. Masyarakat menyebutkan fungsi alam
dengan alam takambang jadi guru (alam yang terbentang dijadikan guru (lihat juga
Navis, 1984: 28).
2. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pengolahan data
mengutamakan penghayatan peneliti terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji
secara empiris. Suatu penelitian yang dilakukan dengan maksud memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan secara holistik dengan suatu konteks khusus yang alamiah, dan dengan
memanfaatkan metode ilmiah. Penelitian ini adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati, bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya. Penelitian ini mengutamakan latar alamiah dan dilakukan untuk
menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku,
persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.
Data Penelitian ini adalah data tradisi lisan kepercayaan rakyat ungkapan
larangan masyarakat Minangkabau wilayah adat Luhak Nan Tigo kategori sekitar
kehidupan manusia, subkategori masa kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak.
Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, tahap perekaman tradisi
lisan kepercayaan rakyat ungkapan larangan masyarakat Minangkabau wilayah adat
Luhak Nan Tigo. Tuturan informan tentang tradisi lisan kepercayaan rakyat ungkapan
larangan masyarakat Minangkabau wilayah adat Luhak Nan Tigo direkam dengan
menggunakan alat perekam. Hasil rekaman tuturan lisan kepercayaan rakyat ungkapan
larangan masyarakat Minangkabau wilayah adat Luhak Nan Tigo ditranskripsi ke dalam
bentuk tulisan. Selanjutnya hasil transkripsi (alih aksara) akan ditransliterasi (alih
bahasa) dari bahasa daerah Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia. Tahap kedua,
pengumpulan data tentang lingkungan penuturan/penceritaan (pandangan dan falsafah
hidup, serta nilai-nilai kehidupan masyarakat penutur yang berhubungan dengan
kepercayaan rakyat ungkapan larangan kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak). Data
tentang lingkungan penuturan/penceritaan ini dikumpulkan melalui teknik pencatatan,
pengamatan, dan wawancara.
B. Hasil dan Pembahasan
Data Kepercayaan rakyat ungkapan larangan masyarakat Minangkabau yang
dapat diinventarisasi dan dikelompokkan sebagai data kepercayaan rakyat ungkapan
larangan subkategori kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak sebagian besar dituturkan
oleh penutur yang berada di tiga wilayah adat. Data ungkapan larangan Indak buliah
urang manganduang malilikan salendang ka lihie, beko talilik anak dek tali pusek
(Tidak boleh orang yang sedang hamil melilitkan selendang di leher, nanti bayi yang
dikandung terbelit oleh tali pusar (plasenta)) misalnya, dituturkan oleh semua penutur/
informan di semua wilayah adat (Luhak Limo Puluah Koto, Luhak Agam, dan Luhak
Tanah Datar).
Data Kepercayaan rakyat ungkapan larangan masyarakat Minangkabau yang
dapat diinventarisasi dan dikelompokkan sebagai data kepercayaan rakyat ungkapan
larangan subkategori kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak sebagian besar dituturkan
oleh penutur yang berada di tiga wilayah adat. Data ungkapan larangan Indak buliah
urang manganduang malilikan salendang ka lihie, beko talilik anak dek tali pusek
(Tidak boleh orang yang sedang hamil melilitkan selendang di leher, nanti bayi yang
dikandung terbelit oleh tali pusar (plasenta)) misalnya, dituturkan oleh semua penutur/
informan di semua wilayah adat (Luhak Limo Puluah Koto, Luhak Agam, dan Luhak
Tanah Datar). Data lainnya, yaitu Indak buliah urang manganduang baparangai
buruak, beko pindah parangai tu ka anak (Tidak boleh orang yang sedang hamil
berperilaku buruk, nanti pindah perilaku buruk itu kepada anak) adalah data yang juga
dituturkan oleh semua penutur/informan di semua wilayah adat (Luhak Limo Puluah
Koto, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar). Belum dapat dipastikan apakah kesamaan
data di ketiga wilayah adat ini disebabkan oleh proses monogenesis atau poligenesis.
Diperlukan penelitian pendalaman lebih jauh untuk mengetahui hal tersebut mengingat
tingginya tingkat mobilitas masyarakat yang berada di tiga wilayah adat tersebut untuk
pergi dan datang melintasi wilayah geografis adat luhak yang satu dengan lain.
Jika di dalam suatu teks tuturan ungkapan larangan disebutkan Di rabuik sanjo
paja ketek ndak buliah ditinggaan surang, beko dipamenan antu (Di pergantian sore dan
malam hari (waktu maghrib) bayi tidak boleh ditinggalkan sendirian, nanti diganggu
hantu), maka persoalannya bukan pada logis tidaknya tuturan itu, atau bukan pada soal
benar atau salahnya ucapan itu, melainkan pada bagaimana fungsi sosial yang dapat
diperankan dari keputusan yang diyakini. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan oleh
Barthes (2003: 14) bahwa keyakinan terhadap sesuatu hal (mitos) yang terdapat di
dalam karya sastra sebagai suatu unsur tradisi, bukanlah suatu benda, konsep, atau
gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Lambang-lambang semacam
ini tidak selalu dalam bentuk tertulis, tetapi dapat juga berupa tuturan, benda, atau
peralatan-peralatan tertentu. Pada masyarakat urban lambang itu dapat dalam bentuk
gambar, film, dan lain-lain. Unsur ini bukanlah benda, tetapi dapat dilambangkan
dengan benda.
4. SIMPULAN
Dari analisis data di atas ditemukan bahwa responden dari UPGRIS masih
mempertahankan leksikon tanaman tradisional untuk bumbu masak (bumbon) sebanyak
24 leksikon (75.00%) dari 32 leksikon yang diteskan bagi 30 responden. Selanjutnya,
mahasiswi dari UNNES menduduki peringkat kedua dengan pemertahanan leksikon
bumbon sebanyak 14 leksikon (43.75%) yang diteskan bagi 21 responden. Peringkat
ketiga ditempati oleh responden dari UNIKA dan UNDIP yang hanya mempertahankan
6 leksikon tanaman bumbon (18,75%) yang diteskan bagi masng-masing 20 responden.
Perhitungan itu didasarkan pada leksikon yang masih dipertahankan oleh seluruh
responden, yakni sebanyak 91 responden. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pemertahanan leksikon tanaman tradisional untuk bumbu masak (bumbon) mahasiswi
Kota Semarang tergolong rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa bumbu masak instan
telah menggeser bumbu masak tradisional hingga kurang lebih 45%. Pergeseran itu
kemungkinan besar terjadi karena lingkungan tempat tinggal mahasiswi Kota Semarang
jarang sekali ditemukan atau sebagian besar bumbu masak tradisional tersebut sudah
tidak ditemukan lagi. Kemungkinan selanjutnya adalah bergesernya budaya tradisional
ke budaya kontemporer, yakni bumbu masak tradisional telah tergesar dengan hadirnya
bumbu masak instan yang terus menggerus eksistensi bumbu masak tradisional tersebut
lewat penetrasi iklan dan membanjinrya bumbu instan di banyak tempat penjualan.
Selanjutnya, dalam pemaknaan tanaman bumbon, terdapat beberapa kesamaan,
misal secara sosial, tanaman itu dapat menjalin relasi sosial antara responden dengan
masyarakat (petani, penjual, dan keluarga sendiri). Secara ekonomis, tanaman bumbon
menghemat uang belanja keluarga dan dapat membantu/meningkatkan taraf hidup
petani dan penjual bumbon. Secara ekologis, tanaman bumbon ini melestarikan
lingkungan dan lingkungan menjadi semakin asri, alami, indah, sejuk, rindang, sehat,
cantik, bersih, ramah lingkungan.
Terakhir, faktor yang mempengaruhi pemertahanan tanaman bumbon oleh
keempat kelompok responden bersifat multifaktor, yakni faktor (i) kebiasaan keluarga,
(ii) alami, (iii) rasa enak/sedap/harum, (iv) harga murah, (v) mudah diperoleh/didapat,
dan sebagainya. Di samping itu, ada faktor yang sangat penting yang diyakini oleh
responden, yakni faktor pelestarian lingkungan, penjagaan kekayaan alam, dan
pemertahanan leksikon tanaman bumbon. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut
menunjukkan adanya interrelasi yang sangat erat antara manusia, lingkungan dan
keberagaman merupakan tiga hal yang menyatu (tri tunggal) atau trinity yang tak
terpisahkan (inseparable).
BAB III
PENUTUP
A. Keunggulan Jurnal
Jurnal ini menjelaskan dan menguraikan tentang sebuah penelitian Analisis
Sosio-Ekono-Ekolinguistik terhadap Pemertahanan Leksikon Tanaman Tradisonal
untuk Bumbu Masak bagi Mahasiswi di Kota Semarang yang ditulis oleh Wahyudi Joko
Santoso dan menelitinya dengan menggunakan metode dan teknik analisis seperti ini,
Sudaryanto (1993) membedakan metode penyajian hasil analisis data menjadi dua, yaitu
metode formal dan informal. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis
dengan tanda dan lambang yang dalam penerapannya dilakukan dengan bagan-bagan
dan tabel-tabel. Adapun metode penyajian informal adalah metode panyajian dengan
kata-kata biasa (natural language) walaupun dengan terminologi yang sifatnya teknis.
Metode yang akan dimanfaatkan adalah metode jenis kedua, yaitu metode informal dan
pelaksanaan dari metode informal tersebut sekaligus merupakan penggunaan teknik
informal itu sendiri.
Kemudian didapatkan hasil penelitian, bahwa pemertahanan leksikon tanaman
tradisional untuk bumbu masak (bumbon) mahasiswi Kota Semarang tergolong rendah.
Hal ini dapat diartikan bahwa bumbu masak instan telah menggeser bumbu masak
tradisional hingga kurang lebih 45%. Pergeseran itu kemungkinan besar terjadi karena
lingkungan tempat tinggal mahasiswi Kota Semarang jarang sekali ditemukan atau
sebagian besar bumbu masak tradisional tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Kemungkinan selanjutnya adalah bergesernya budaya tradisional ke budaya
kontemporer, yakni bumbu masak tradisional telah tergesar dengan hadirnya bumbu
masak instan yang terus menggerus eksistensi bumbu masak tradisional tersebut lewat
penetrasi iklan dan membanjinrya bumbu instan di banyak tempat penjualan.
(1) Pemertahanan Tanaman Tradisional ke-4 Perguruan Tinggi UPGRIS,
UNNES, UNIKA, UNDIP, (2) Makna Sosial-Ekonomis-Ekologis Leksikon Tanaman
Tradisional bagi Mahasiswi Kota Semarang, dan (3) Alasan Pemertahanan Leksikon
Tanaman Tradisional bagi Mahasiwi Kota Semarang.
B. Kelemahan Jurnal
Jurnal ini masih terdapat kesalahan dari segi penulisan yakni dalam tataran ejaan
dan tata bahasa. Pada saat menguraikan bagian pendekatan, penulis juga tidak
mencantumkan Jurnal penelitian ini juga membahas mengenai sumber datanya
darimana, teorinya menggunakan teori apa, dan pendapat ahli yang mendukung
pendekatan tersebut pun tidak ada. Kemudian dalam jurnal penelitian ini, peneliti
menggunakan metode penelitian metode deskriptif-analitik. Namun, peneliti tidak
menyertakan teori atau pendapat ahli yang mendukung tentang metode yang digunakan
oleh peneliti dalam jurnal penelitian tersebut. Untuk data dan sumber data dalam jurnal
penelitian ini, berupa satuan-satuan lingual (leksikon) tanaman tradisional dan
manfaatnya untuk bumbu masak yang digunakan dalam konteks menanam tanaman
tradisonal dan atau menggunakannya untuk memasak. Dalam hal ini, peneliti juga tidak
mencantumkan teori, pendapat ahli, atau sumber acuan data yang didapatkan dalam
jurnal penelitian ini.
Pada bagian simpulan dari jurnal penelitian ini, penulis menghubungkannya
dengan faktor yang mempengaruhi pemertahanan tanaman bumbon oleh keempat
kelompok responden bersifat multifaktor, yakni faktor (i) kebiasaan keluarga, (ii) alami,
(iii) rasa enak/sedap/harum, (iv) harga murah, (v) mudah diperoleh/didapat, dan
sebagainya. Namun, pembahasan ini tidak didapatkan pada pembahasan atau pun
pendahuluan dari jurnal penelitian tersebut, pembahasan ini hanya terdapat pada
simpulan jurnal penelitian.
C. Implementsi
Terdapat banyak kesamaan dalam memaknai tanaman tradisional untuk bumbu
masak (bumbon), misal secara sosial, tanaman tradisional tersebut dapat menjalin relasi
sosial yang baik antara responden dengan masyarakat (petani, penjual, dan keluarga
sendiri). Secara ekonomis, tanaman bumbon itu dapat menghemat uang belanja keluarga
dan dapat membantu/meningkatkan taraf hidup petani dan penjual bumbon. Secara
ekologis, tanaman bumbon dapat melestarikan lingkungan hidup (tanaman tradisonal
untuk bumbu masak) dan lingkungan menjadi semakin lebih asri, alami, indah, sejuk,
rindang, sehat, cantik, bersih, ramah lingkungan, dan tanaman tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai obat herbal. Artinya tanaman tersebut multiguna: sebagai bumbu
msak dan obat herbal yang tentu saja lebih sehat, aman, dan murah.
DAFTAR PUSTAKA
Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana
University Press.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Cetakan ke-20.
Bandung: Alfabeta.