Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan
adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan Visum et Repertum (VeR) atau lebih sering
disingkat ‘visum’ saja. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang
membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan.
Visum adalah jamak dari visa, yang berarti dilihat dan repertum adalah jamak dari repere
yang berarti ditemukan atau didapati, sehingga terjemahan langsung dari VeR adalah
‘yang dilihat dan ditemukan’. 1
Walaupun istilah ini berasal dari bahasa latin namun sudah dipakai sejak jaman
belanda dan sudah demikian menyatu dalam bahasa indonesia dalam kehiduapn sehari-
hari. Jangankan kalangan hukum dan kesehatan, masyarakat sendiripun akan segera
menyadari bahwa visum pasti berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk
kepentingan polisi dan pengadilan. Di Belanda sendiri istilah ini tidak dipakai. 1
Ada usaha untk mengganti istilah VeR ini ke bahasa indonesia seperti yang terlihat
dalam KUHAP, dimana digunakan istilah ‘keterangan’ dan ‘keterangan ahli’ untuk
pengganti visum. Namun usaha demikian tidak banyak berguna karena sampai saat ini
ternyata istilah visum tetap saja dipakai oleh semua kalangan. 1
Baik didalam Kitab Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB (Reglemen Indonesia
yang diper-Baharui) maupun Kitab Undang-undah Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
ada satu pasalpun yang memuat perkataan VeR. Hanya didalam lembaran negara tahun
1937 no.350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah
suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang
dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara
pidana. 2
Dari rumah sakit pemerintah maupun swasta sampai ke puskesmas, setiap bulan ada
ratusan pemeriksaan yang harus dilakukan dokter untuk membuat visum yang diminta
oleh penyidik. Yang paling banyak adalah visum untuk luka karena perkelahian,
penganiayaan, dan kecelakaan lalu lintas, selanjutnya visum untuk pelanggaran
kesusilaan atau perkosaa, kemudian diikuti visum jenazah. Visum yang lain seperti visum
1
psikiatri, visum untuk korban keracunan, atau penentuan keraguan siapa bapak seorang
anak (disputed parenity), biarpun tidak banyak namun merupakan pelayanan yang dapat
dilakukan doter juga. 1
2
BAB 2
PEMBAHASAN
3
Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah
tiap kali sebelum membuat visum. Seperti dikteahui setiap keerangan yang akan
disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya
ktetantuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan
pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR
biarpun lafal dan maksudnya berbeda. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir
cisum, masih dicantumkan ketetntuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat
maupun yang menggunakan visum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak
jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. 1
Pada seminar lokakarnya VeR di Medan ahun 1981 pengertian visum dirumuskan
lebih jelas, yaitu:
“laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah/janji yang
diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal
(fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia (hidup atau
mati) atau benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut”. 1
4
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah satu alat bukti yang sah
KUHAP pasal 184
Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keteragan terdakwa. 1
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan
Pasal 187 (c)
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarka keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. 2
5
diberikan oleh seorang dokter spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban
pembuktian yang lebih besar bila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh
dokter bukan spesialis forensik. Sehingga, kedudukan Visum et Repertum yang dibuat
oleh dokter spesialis forensik masih lebih tinggi dibandingkan dengan Visum et
Repertum yang dibuat oleh dokter bukan spesialis forensik. 4
Visum et Repertum juga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti karena segala
sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan di dalam bagian Pemberitaan.
Karena barang bukti yang diperiksa tentu saja akan mengalami perubahan alamiah,
seperti misalnya luka yang telah sembuh, jenazah yang mengalami pembusukan atau
jenazah yang telah dikuburkan yang tidak mungkin dibawa ke persidangan, maka
Visum et Repertummerupakan pengganti barang bukti tersebut yang telah diperiksa
secara ilmiah oleh dokter ahli. 4
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk persoalan di
sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan
baru. Sesuai dengan Pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat meminta kemungkinan
untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti jika memang timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu hasil
pemeriksaan. 4
6
perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang
terakhir merawat penderita.1
Berdasarkan objek yang diperiksa, Visum et Repertum dibagi menjadi dua yaitu:
(1) Objek psikis
Visum et Repertum berupa objek psikis ialah Visum et Repertum psikiatrikum.
Visum et Repertum ini perlu dibuat karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu
karena penyakit tidak dipidana” 2
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit
jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila penyakit jiwa
(psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada
sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja, jika semakin panjang jarak
antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan, maka akan semakin sulit bagi dokter
untuk menentukannya sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan. Demikian pula
jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang timbul juga akan mempersulit pembuatan
kesimpulan dokter. 3
Visum et Repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana Visum et Repertum lainnya.
Selain itu, Visum et Repertumpsikiatrikum menguraikan tentang segi kejiwaan
manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena Visum et Repertum
psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat Visum et Repertum
psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa
atau rumah sakit umum. 3
(2) Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu
A. Visum et Repertum orang hidup
a. Visum et Repertum perlukaan atau keracunan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah
untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka atau
7
sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan
medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang
dengan membawa serta surat permintaan Visum et Repertum. Sedangkan
para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau
rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan
Visum et Repertum-nya akan datang terlambat. Keterlambatan surat
permintaan Visum et Repertumini dapat diperkecil dengan diadakannya
kerja sama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan
penyidik atau instansi kepolisian. 3
Dalam membuat kesimpulan dalam kasus perlukaan dokter sebaiknya
menentukan juga derajat keparahan luka yang dialami korban atau disebut
juga derajat kualifikasi luka. Ini sebagai usaha untuk membantu yudex
facti dalam menegakkan keadilan. 1
Kualifikasi luka yang dapat dibuat dokter adalah menyatakan pasien
mengalami luka ringan, sedang, atau berat. 1
Yang dimaksud dengan luka ringan adalah luka yang tidak
menimbulkan halangan dalam menjalankan mata pencaharian, tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari. Sedangkan luka berat harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam undang-undang yaitu yang diatur dalam KUHP
pasal 90. Luka sedang adalah keadaan luka diantara luka ringan dan luka
berat. 1
KUHP pasal 90
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian.
(3) Kehilangan salah satu panca indra
(4) Mendapat cacat berat
(5) Menderita sakit lumpuh
8
(6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. 1,2
Penganiayaan ringan diatur dalam KUHP pasal 352 dan penganiayaan
sedang diatur dalam KUHP pasal 351 ayat 1.
KUHP pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
empat ribu lima ratus rupiah. 1
KUHP pasal 351
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat dyang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 1
b. Visum et Repertum korban kejahatan susila
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan Visum et
Repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana
oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan pada
wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang belum
cukup umur. 2
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk
membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan, serta usia
korban. Selain itu, dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit
hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatri atau kejiwaan
sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter tidak dibebani
9
pembuktian adanya pemerkosaan karena istilah pemerkosaan adalah istilah
hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. 2
10
berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135
KUHAP).3
Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian. 3
11
4. Kesimpulan
Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang terpenting, karena diharpkan
dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya.
Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab-akibat
dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan
bagaimana harapan kesembuhan.
Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu
umur korban.
5. Penutup
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat
dengan sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. 1
Selain dari 5 bagian diatas, Visum et Repertum dapat juga disertakan lampiran foto.
Lampiran foto terutama perlu untuk memudahkan pemakai visum memahami laporan
yang disampaikan dalam visum. Pada luka yang sulit disampaikan dengan kata-kata,
dengan lampiran foto akan memudahkan pemakai visum memahami apa yang ingin
disampaikan dokter. 1
12
Jika korban sudah meninggal dunia, sesuai dengan KUHP pasal 133 maka permintaan
dilakukan secaraq tertulis dan disebutkan secara jelas apakah untuk pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat, serta pada saat mayat dikirim kerumah sakit harus
diberi label mayat yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Pada kenyataanya dilapangan sering terjadi ketidak pahaman dari pihak penegak
hukum tentang tata cara permohonan visum kepada dokter, sehingga dapat menyebabkan
kerugian pada pihak korban. Maka dari itu diterbitkan instruksi polisi
No.Pol.INS/E/20/IX/75 tentang tata cara permohonan/pencabutan Visum et Repertum.
Pada dasarnya penarikan/pencabutan Visum et Repertum tidak dapat dibenarkan. Bila
terpaksa Visum et Repertum yang sudah diminta harus diadakan pencabutan/penarikan
kembali, maka hal tersebut hanya diberikan oleh komandan kesatuan paling rendah
tingkat Komres dan untuk kota hanya oleh DANTES.
13
BAB 3
PENUTUP
- Visum et repertum terdapat dalam lembaran negara tahun 1937 No. 350 pasal 1 dan
pasal 2.
- Dokter yang telah disumpah dapat membuat VeR, dimana didalam VeR berisi laporan
tertuis tentang apa yang dilihat dan diemukan pada benda/korban yang diperiksa
- Dasar hukum dari Visum et Repertum terdapat dalam KUHAP pasal 133, 184, 186,
dan 187.
- Fungsi dari Visum et Repertum adalah berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan, jiwa, dan juga orang yang telah meninggal. Visum
et Repertum juga dapat dianggap sebagai barang bukti yang sah karena segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan dalam bagian pemberitaan. Serta
keterbatasan barang bukti yang diperiksa pasti akan mengalami perubahan alamiah
sehingga tidak memungkinkan untuk dibawa kepengadilan.
- Jenis-jenis visum et Repertum:
o Berdasarkan waktu pemberian
1. Visum seketika (definitif)
2. Visum sementara
3. Visum lanjutan
o Berdasarkan objek yang diperiksa
1. Objek psikis
2. Objek fisik
a) Korban hidup
keracunan/perlukaan
kejahatan susila
b) Korban meninggal
Pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar dan dalam
14
- Struktur visum et repertum:
1. Pro justititia
2. Pendahuluan
3. Pemeriksaan
4. Kesimpulan
5. Penutup
- Tata cara permohonan visum korban hidup:
1. Harus tertulis, tidak boleh lisan
2. Surat diantar langsung oleh penyidik, tidak boleh dititip atau melalui pos
3. Bukan kejadian yang sudah lewat
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kedokter
5. Ada identitas korban
6. Ada identitas peminta
7. Mencantumkan tanggal permintaan
8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa
- Jika korban meninggal, sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat 3:
1. Harus diperlakukan secara baik
2. Diberi label (identitas mayat, dilak, dan diberik cap jabatan) diletakkan pada ibu
jari kaki atau bagian tubuh lain mayat.
- Sesuai dengan instruksi polisi No.Pol.INS/E/20/IX/75 tentang tata cara permohonan/
pencabutan Visum et Repertum, pada dasarnya pencabutan VeR tidak dapat
dibenarkan. Bila terpaksa Visum et Repertum yang sudah diminta harus diadakan
pencabutan/penarikan kembali, maka hal tersebut hanya diberikan oleh komandan
kesatuan paling rendah tingkat Komres dan untuk kota hanya oleh DANTES.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir, Prof. Dr. Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
Percetakan Ramadhan: Medan.
2. Idries, Dr. Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Binapura Aksara: Jakarta Barat.
3. Budiyanto A, Widiatmaka W, sudiono S, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik Universitas Indonesia: Jakarta.
4. Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal: FK UNRI
16