Anda di halaman 1dari 33

A.

Latar Belakang Masalah


Definisi ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme
(bakteri dan virus) kedalam organ saluran pernafasan yang berlangsung
selama 14 hari. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai
jaringan paru. (DepKes. RI : Jakarta Tahun 2002).
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak,
episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia di perkirakan sebesar 3
sampai 6 pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapatkan serangan
batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Sebagai kelompok penyakit ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan,
sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30%
kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit
disebabkan oleh ISPA. (DepKes RI : Jakarta Tahun : 2002).
Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit utama kematian bayi
dan balita di Indonesia, sebagian besar kematian tersebut di pacu oleh
pneumonia, (http/www.media.indo.com.id/2005). Berdasarkan Survei
Keputusan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2001 diperkirakan kematian balita
karena pneumonia adalah 5 per 1000 balita setiap tahun (Bali Post: 2006).
Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa proporsi kematian akibat penyakit
sistem pernapasan adalah 32,1%, semantara kematian pada balita adalah
38,8% (http.www.media indo.com.id/balita.artikel /2006).
Pada akhir tahun 2002 diperkirakan kematian akibat pneumonia
sebagai penyebab utama ISPA. Di Indonesia mencapai 5 kasus diantaranya
1500 bayi/balita artinya pneumonia, mengakibatkan 150.00 bayi/balita
meningal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus sehari,
17 anak perjam, atau seorang bayi tiap 5 menit.
(http.www.Indosiar6.com/2003 /PK/PK).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru bagian bawah yang terjadi pada celah alveoli dan menyebar ke bagian
lain paru-paru. Terjadinya pneukomonia pada anak seringkali bersamaan
dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia)
gejala penyakit ini berupa nafas cepat dan napas sesak karena paru meradang
secara mendadak. Program P2 ISPA mengklasifikasikan penderita kepada 2
kelompok usia yaitu: usia dibawah 2 bulan (pneumonia berat dan bukan
pneumonia) dan usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. (Pneumonia,
pneumonia berat dan bukan pneumonia). http.ww.tempo
interaktif.com/hg/nusa.2004).
Pekanbaru khusus nya harapan raya tahun 2016 dari 10 pola penyakit
terbanyak yang terjadi di Puskesmas. ISPA merupakan penyakit yang berada
di posisi paling atas di tahun 2015 dengan angka kejadian mencapai 4.122
orang. Sedangkan di tahun 2016 sampai bulan november penderita ISPA
meningkat menjadi 7.143 orang penderita.
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasannya lingkungan
berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dilihat dari segi ilmu kesehatan
masyarakat penyakit terjadi karena ada interaksi antara manusia dengan
lingkungannya (Juli Soemitra: 2002). Sedangkan menurut Hendrik L.Blum
derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: F luif, prilaku, dan
kesehatan genetic. Keempat faktor tersebut disamping berpengaruh langsung
kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status
kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut
bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja
berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan akan
tergeser ke arah di bawah optimal (Notoatmodjo: 2003).
Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau
keadaaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan
lingkungan tersebut mencakup antara lain: Perumahan, pembuangan kotoran
manusia, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor,
rumah hewan ternak dan sebagainya. (Notoatmodjo: 2003), Kesehatan
lingkungan memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak,
kesehatan lingkungan yang kurang memudahkan terjadinya penyakit yang
erat hubungannya dengan saluran pernafasan. (IDI, 2002).
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam
berbagai program pemerintah telah menetapkan kebijakan umum
pembangunan perumahan dan pemukiman yang relevan guna memenuhi
kebutuhan dasar dan peningkatan harkat dan martabat masyarakat (Raidi
Hendro Koester: 1997 Hal ini sesuai dengan undang-undang tentang
perumahan dan pemukiman mengkerangkakan konsep yang lebih rinci
tentang bentuk fisik dan fungsi rumah. Keadaan perumahan yang layak
dengan kontruksi yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin
kesehatan dan keselamatan penghuninya misalnya pencahayaan yang cukup,
tidak sesak dan bebas polusi. (Ikatan Dokter Indonesia, 2002)
Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai “Gambaran Epidemiologi Kasus Pneumonia pada Balita dan
Determinan di Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru Tahun 2015,dan 2016 ”.
Data orang yang terkena penyakit ispa di tahun 2015, 2016 dan 2017
TAHU BULA 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1
N N1 2
2015 Dari januari hingga desember terdapat 4.122 penderita ISPA
2016 508 88 82 80 68 69 65 69 70 69 69
0 0 5 5 5 5 5 5 5 0

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut: “Bagaimana Gambaran Epidemiologi Kasus Pneumonia pada
Balita dan Determinan di Puskesmas Harapan Raya Tahun 2015,2016 dan
2017?”
Berdasarkan latar belakang di atas sesuai dengan data yang diperoleh,
Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan Bukit Raya relatif tinggi dan
menduduki posisi peringkat satu dari 10 pola penyakit berbahaya dengan
jumlah pelakunya di tahun 2015 sebanyak 4.122 dan meningkat di tahun
2016 menjadi 7.833 penderita. Dalam upaya intervensi pemberantasan
penyakit ISPA khususnya pneumonia tidak mungkin berhasil bila dilakukan
dengan upaya kreatif-kreatif saja, tanpa mengupayakan usaha preventif.
Walaupun telah diketahui sebagian penyebabnya adalah virus, bahkan dari
sikon nya tetapi faktor lingkungan yang tidak diperhatikan dengan
berkontribusi besar dan terjadinya penyakit ISPA karena lingkungan
merupakan tempat kehidupan dari agent itu sendiri. Salah satu faktor
lingkungan tersebut adalah lingkungan rumah karena rumah sangat erat
kaitannya dengan konsep lingkungan dan penataan ruang.
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kondisi lingkungan fisik rumah
dengan kejadian pneumonia di Kecamatan Bukit Raya.
b. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian
pneumonia pada balita di Kecamatan Bukit Raya.
b. Mengetahui hubungan antara jenis dinding dengan kejadian
pneumonia pada balita di Kecamatan Bukit Raya.
c. Mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian pneumonia
pada balita di Kecamatan Bukit Raya.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat bidang
peminatan epidemiologi dengan titik berat pada kajian tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia. Dan dapat
dijadikan informasi tambahan selanjutnya yang berhubungan dengan
kondisi fisik rumah dengan penyakit Pneumonia.
b. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi tentang kondisi lingkungan fisik
rumah sebagai faktor resiko pneumonia pada balita di
Kecamatan Bukit Raya Pekanbaru , sehingga dengan
informasi ini dapat menjadi bahan masukan bagi Puskesmas
di wilayah Kecamatan Bukit Raya dalam perencanaan
program penanganan masalah perumahan yang belum
memenuhi syarat kesehatan.
b. Sebagai tambahan Informasi/Kepustakaan Peminatan
KESMAS di STIKes Tengku Maha Ratu.
c. Meningkatkan kemampuan dan wawasan peneliti untuk
mengetahui Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
dengan Kejadian Pneumonia di Desa.
B. Pengertian ISPA
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut dan
mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam loka karya
Nasional ISPA di Cipanas istilah ini merupakan padanan istilah bahasa
Inggris Acute respitory infection (ARI). Dalam lokakarya nasional ISPA
tersebut terdapat dua pendapat yang berbeda, pendapat pertama memilih
istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua memilih
ISPA (Insfeksi Saluran Nafas Akut) pada akhir loka karya diputuskan untuk
memiliki istilah pada akhir lokakarya diputuskan untuk memiliki istilah ISPA
dan sampai sekarang istilah ini yang digunakan.
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksannya, seperti sinus,
hingga telinga tengah dan fleura.
ISPA atau infeksi saluran pernafasan alat mengandung tiga unsur
yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-
masing unsur adalah sebagai berikut:
a) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganik dalam tubuh manusia
dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b) Saluran pernafasan adalah organ yang dimulai dari hidung hingga adveoli
organ adnoksanya seperti, sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-
paru) dan organ adnoksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini suatu
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
c) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari,
batas 14 hari ini diambil untuk menumpukkan proses akut meskipun
untuk beberapa penyakit seperti digolongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung dari 14 hari.

C. Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli). Definisi pneumonia yang diperkenalkan WHO pada tahun
1989 dan dipakai oleh Dep Kes RI dalam program penanggulangan ISPA
secara nasional adalah suaut penyakit dengan gejala batuk pilek disertai napas
sesak atau napas cepat.
Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
terjadinya proses infeksi akut pada bronkus dan disebut bronchopneumonia.
Dalam pelaksanaan program P2 ISPA semua bentuk pneumonia (baik
pneumonia maupun bukan pneumonia) disebut pneumonia.

D. Etiologi
Etiologi Pneumonia pada Balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh, sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pneumonia. Hanya biasa dari aspirat paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk penetapan etiologi
Pneumonia.
Meskipun pemeriksaan spesimes aspiratif paru merupakan cara yang
sensitive untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab Pneumonia
pada Balita akan tetapi fungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan
bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk
penelitian.
Oleh karena alasan tersebut di atas maka penetapan etiologi
Pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar
Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian diberbagai negara
menunjukan bahwa di negara berkembang Streptokokus Pneumonia dan
Hemofilus Influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua
pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1 % hasil isolasi
dari spesimen darah sedangkan di negara maju, dewasa ini Pneumonia pada
anak umumnya di sebabkan oleh virus.

E. Klasifikasi
Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah
Balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas. Pola tatalaksana
penderita ini terdiri dari 4 bagian, yaitu:
a. Pemeriksaan
b. Penentuan keberadaan tanda bahaya
c. Penentuan klasifikasi penyakit
d. Pengobatan
Klasifikasi penyakit dibedakan atas 2 kelompok, yaitu kelompok
untuk umur. Dalam penentuan 2 bulan-kurang 5 tahun dan kelompok untuk
umur kurang 2 bulan untuk kelompok umur 2 bulanan kurang lebih 5 tahun
klasifikasi dibagi atas Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia
untuk kelompok umur kurang 2 bulan klasifikasi dibagi atas Pneumonia
berat dan bukan Pneumonia.
Klasifikasi bukan Pneumonia mencakup kelompok penderita dengan
batuk yang tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan
demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA ini
di luar Pneumonia seperti: batuk pilek biasa, sedangkan penyakit ISPA ini
seperti: Phargagitu- tonsillitis dan otitus belum dicakup oleh program ini
(Dirjen PPM dan PLP DepKes
RI: 2000).

Gejala Pneumonia
Gejala-gejala Pneumonia yang disebabkan oleh virus adalah infeksi
ringan di seluruh pernafasan bagian atas yang disusul oleh demam mendadak
yang tinggi (38-40co) tubuh merinding batuk-batuk, pernafasan yang cepat,
dan kadang-kadang rasa nyeri di salah satu atau di kedua sisi dada, pada bayi,
gangguan pernafasan dapat mengakibatkan bergetarnya hidung, penarikan
bagian-bagian lunak dada (ruang antar iga) serta adanya suara ketika anak
mengeluarkan nafas, Pneumonia virus yang berawal dengan perlahan-lahan
memperlihatkan gejala nyeri di kepala, rasa lelah, demam kadang-kadang
rendah dan tinggi (38-40 oC) jika ditenggorokan serta batuk parah dan kronis.
Diagnosis penyakit Pneumonia memerlukan pemeriksaan sinar X atas dada,
hidung darah lengkap dan kadang-kadang biak darah, pada anak-anak yang
sudah besar dapat ditambahkan pemeriksaan atas dahak. (Dr. Saskia Ibrahim;
2003).

Pencegahan Pneumonia
Pencegahan penyakit pnemonia dapat dilakukan dengan
a) Pengadaan rumah dengan ventilasi yang memadai
b) Perilaku hidup bersih dan sehat
c) Peningkatan gizi balita

F. Faktor Resiko Pneumonia


Status kesehatan seseorang di pengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu
Environment (lingkungan), Behavior (prilaku), Health care sevices
(pelayanan kesehatan) dan Herodity (keturunan). (Blum 1974).
Faktor resiko yang meningkatkan insidensi Pneumonia
1. Umur kurang 2 bulan
2. Laki-laki
3. Gizi kurang
4. Berat badan bayi lahir rendah
5. Tidak mendapat ASI memadai
6. Polusi Udara
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Membedung anak
10. Defisiensi vitamin A
11. Pemberian makanan tambahan terlalu dini
Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian Pneumonia
1. Umur kurang 2 bulan
2. Tingkat sosial ekonomi rendah
3. Gizi kurang
4. Berat bayi baru lahir rendah
5. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
6. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rawan
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Menderita penyakit kronis
10. Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang
salah
Sedangkan menurut hasil pendidikan di Indramayu oleh Bambang
Sutrisna tahun 1993 faktor resiko terjadinya kematian bayi dan balita karena
pneumonia dipengaruhi oleh faktor anak, anak belum pernah mendapat
campak, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan
yang salah, anak balita yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan yang
disediakan, dan anak yang belum mendapat vitamin A yang telah disediakan
oleh program.
Sedangkan terjadinya kematian bayi dan balita karena pneumonia
pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia dipengaruhi oleh
faktor yang hampir sama yaitu faktor anak, anak yang belum pernah di
imunisasi campak, anak belum pernah mendapat campak, aspek kepercayaan
setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah, anak balita yang
tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan yang telah disediakan, dan anak yang
lama di dapur bersama ibunya. (Depkes RI: 1996).

G. Patogenesis
Pneumonia lebih sama merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai
keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya
hanya yang dijumpai pada anak-anak dan orang tuanya, kuman masuk ke
dalam jaringan paru-paru melalui saluran pernafasan atas untuk mencapai
bronchiohs dan kemudian ke alveolus sekitarnya. (Dr. John Knight: 1997(
Infeksi pada saluran pernafasan pada dasarnya terjadi akibat
penghirupan (inhalation) mikroorganisme patogen. Agen infeksi ini dapat
berupa bakteri, virus, rickettsiae maupun jamur (pugi) infeksi yang terjadi
pada paru-paru dapat tersebar kemudian ke organ-organ atau bagian-bagian
tubuh yang lain. Meningitus Bakteriasis merupakan penyebaran lebih
lanjut (skunder) ke kepala meningen (otak) dan bentuk infeksi primer pada
paru-paru baik oleh Streptococcus pneumoniak, haemophyplus influenze
ataupun mycobactorium tubercolosis.
Rute penularan dapat berupa droplets (percikan ludah) droplet nuclei
(agen penyakit yang melayang diudara yang koma), debu (dast agen bersama
menempel ke debu) ataupun kontak (direct or indirect contacs) hospes (host)
yang terkena pada umumnya adalah siapa saja atau kelompok tertentu
(misalnya: kelompok anak-anak dan orang tua) yang hidup pada lingkungan
yang beresiko tinggi.
Disamping itu juga sangat berpengaruh adanya faktor nutrisi, ASI,
imunisasi, vitamin A dan gizi yang akan berakibat pada nutrisi pada defence
yang rendah disamping faktor-faktor pelayanan kesehatan yang belum
memadai.
H. Analisis situasi masalah ISPA di lingkungan kerja puskesmas bukit raya
Kecenderungan penyakit ISPA terdiri dari beberapa unsur:
a. Kondisi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk musiman disertai
dengan menurunnya kemampuan menyediakan lingkungan pemukiman
yang sehat di karenakan sebagian besar penduduk harapan raya termasuk
juga sebagai tempat yang padat penduduk dan sebagian besar penduduk
nya bekerja sebagaian besar 70% nya adalah sebagai pedagang kaki lima
dan juga sebagaian besar penduduk nya memiliki perekonomian yang
masih kurang dan juga mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan
terhadap serangan berbagai penyakit menular salah satunya termasuk
ISPA.
Pada umumnya akan mendorong meningkatnya penyakir ISPA
dan Pneumonia pada Balita. Di karena kan akibat perubahan iklim yang
ekstrim pada masa sekarang akibat nya banyak balita dan anak-anak yang
paling di pengaruhi oleh perubahan iklim dan trserang penyakit seperti
batuk atau asma
b. Kependudukan
Jumlah penduduk wilayah kerja puskesmas harapan raya
sebanyak 69.663 dengan jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari pada
jumlah penduduk perempuan ( sex ratio 108,42). Sedangkan
perbandingan jumlah penduduk usia tidak produktif terhadap jumlah
penduduk usia produktif menunjukkan rasio beban tanggungan . jumlah
penduduk terbesar adalah pada kelompok umur 9-34 tahun yaitu
34.464%). yang besar mendorong peningkatan jumlah populasi balita
yang besar pula atau dengan kata lain meningkatkan populasi sasaran P2
ISPA sehingga berimplikasi terhadap membengkaknya anggaran, sarana
dan peralatan yang dibutuhkan ditambah lagi dengan status kesehatan
masyarakat yang masih rendah, akan menambah berat badan kegiatan
Pemberantas Penyakit ISPA.

Kelompok Laki-laki perempuan jumlah persentase


umur
0-4 tahun 4.355 4.191 8.546 8.60
5-14 tahun 5.716 5.453 11.169 11.24
15-44 tahun 18.004 17.113 35.117 35.33
45-64 tahun 6.669 6.333 13.002 13.08
>65 1.004 825 1.829 1.84
tahun
Jumlah 35.748 33.915 99.387 100

c. Geografi
Sebagai daerah tropis Indonesia memiliki potensi daerah endemic
beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bayi
kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya
peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA. Dengan
demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan
mengatasi semua faktor resiko dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya. Kecamatan Bukit Raya merupakan salah satu
kecamatan yang ada dikota Pekanbaru. Pada mulanya kecamatan ini
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 Tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Dati II Kampar. Namun sering
dengan berkembangnya semangat otonomi daerah yang ditandai dengan
banyaknya daerah memerkarkan diri, kondisi ini pun terjadi di Kota
Pekanbaru. Kota Pekanbaru yang semula terdiri dari 8 (delapan)
kecamatan kemudian dimekarkan menjadi 12 (dua belas), termasuk
wilayah kecamatan Bukit Raya. Pemekaran wilayah ini berdasarkan pada
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 03 tahun 2003 tentang
pembentukan kecamatan Mar poyan Damai, Tenayan Raya, Rumbai
Pesisir dan Kecamatan Payung Sekaki, maka secara geografis kecamatan
bukitraya mengalami perubahan. Luas wilayah kecamatan bukitraya ±
23,10 km dengan batas wilayah kecamatan sebagai berikut:
a) Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan sail
b) Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten kampar
c) Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan marpoyan damai
d) Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Tenayan Raya

d. Hidrologi
Kondisi hidrologi di bedakan menjadi 2 bagian yaitu kondisi hidrologi
air permukaan dan air tanah.

a) Hidrologi Air Permukaan


Hidrologi air permukaan pada umumnya berasal dari sungai-sungai
yang mengalir di Kota Pekanbaru yaitu sungai Siak.Sungai Siak
digunakan sebagai jalur perhubungan lalu lintas perekonomian rakyat
pedalaman,selain itu juga sebagai sumber air baku yang digunakan
sebagai air minum,mck.Sungai Siak mengalir dari Barat ke Timur
dengan panjang sekitar 300km dan kedalaman 29m serta lebar 100-
400m .

b) Hidrologi Air Tanah


Menurut kondisinya Pekanbaru ditutupi oleh alluvium yang tersusun
dari kerakal,kerikl,pasir,dan lempung dengan tingkat kelulusan sedang,
serta sisa tumbuhan dan rawa gambut,dengan kelulusan rendah pada
material halus dan sedang pada material kasar.

e. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi
peningkatan ISPA perilaku hidup bersih dan sehat sangat berpengaruhi
kepada budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan demikian
meningkatnya tingkat pendidikan dimasyarakat diperkirakan akan
berpengaruh positif terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga
kesehatan balita agar tidak terkena penyakit ISPA, yaitu melalui upaya
memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.
Pada umum nya permasalahan penyakit ISPA di wilayah kerja
puskesmas harapan raya menjadi kompleks dengan minim nya
pengetahuan masyarakat setempat tentang bahaya penyakit ISPA dan
pencegahan nya serta di pengaruhi juga oleh faktor ekonomi dan
didukung oleh cuaca yang ekstrim di pekanbaru menambah pemicu
timbul nya penyakit ispa tersebut.
f. Desentralisasi Managemen Kesehatan (UU No. 22 tahun 1999 dan
UU no. 23 tahun 1999)
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada Kabupaten/Kota
menyebabkan hubungan Kabupaten/Kota dengan Provinsi maupun Pusat
tidak lagi hirarki. Implikasinya terdapat kecenderungan Kabupaten/Kota
kurang disiplin memenuhi kewajiban pelaporan yang diminta dari atas.
Akibatnya kecenderungan Kabupaten/Kota tidak memberikan data secara
rutin akan menjadi hambatan terhadap pencapaian sasaran
pemberantasan penyakit ISPA.
g. Lingkungan dan Iklim Global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas
buangan sarana transportasi dan populasi udara dalam rumah merupakan
ancaman kesehatan terutama penyakit ISPA. Demikian pula perubahan
iklim global terutama suhu, kelembaban, curah hujan, merupakan beban
ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA. Untuk tercapainya tujuan
pemberantasan penyakit ISPA, maka salah satu upaya adalah dengan
memperhatikan atau menanggulangi faktor resiko lingkungan
I. Faktor Lingkungan Fisik
Faktor Lingkungan fisik yang berhubungan dengan kejadian
Pneumonia adalah:
a) Luas Ventilasi
Rumah yang memenuhi syarat kesehatan harus memiliki ventilasi.
Hal ini karena fungsinya sebagai lubang pertukaran udara dan lubang
masuknya cahaya matahari dari luar. Apabila luas ventilasi kurang maka
akan menyebabkan udara yang tercemar tidak keluar dan udara terasa
pengap. Bayi dan balita yang lebih lama berada dirumah bersama ibunya
sehi ngga lebih sering menghirup udara yang tercemar dan lebih mudah
terkena penyakit saluran pernafasan.
b) Kepadatan Hunian
Luas rumah harus disesuaikan dengan jumlah penghuni yang
menempati rumah. Standar minimal rumah dikatakan tidak padat, bila
luasnya 79 M2 per orang. Pada rumah yang luasnya tidak sesuai
dengan jumlah penghuni akan memudahkan terjadinya penularan
penyakit khususnya Pneumonia (DepKes RI, 1995).
c) Pencahayaan
Pencahayaan alam dan buatan, langsung ataupun tidak
langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60
10 x dan tidak menyilaukan. (Kep, MenKes RI, 1996) tidak masuknya
sinar matahari kedalam rumah akan menyebabkan kelembaban rumah
tinggal sehingga merangsang kuman penyakit untuk cepat
berkembang biak sehingga meningkatkan resiko Pneumonia,
sedangkan menurut Robert Kocch semua jenis cahaya dapat
mematikan kuman hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya
proses mematikan kuman. Cahaya yang sama apabila melalui kaca
yang tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih
pendek daripada yang melalui kaca berwarna. Agar masuknya cahaya
matahari tidak terhalang sesuatu di luar rumah maka jarak rumah
yang satu dengan yang lain paling sedikit sama tingginya, dengan
rumah. (Artikel, Media LitbangKes, 2000)
d) Lubang asap dapur
Lubang asap dapur adalah lubang yang dapat mengeluarkan
asap dapur dengan segera. Lubang ini berupa cerobong asap atau atap
yang ditinggikan.
Asap dapur harus dikeluarkan karena: (a) asap dapur dapat
mengganggu pernafasan dan mata, (b) membuat lingkungan rumah
menjadi kotor, (c) udara dalam ruangan dapur menjadi tercemar
(DepKes RI; 2000)
e) Lantai
Lantai rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan debu dan kelembaban serta mudah dibersihkan dan
dikeringkan. Oleh karena itu lantai dari tanah sebaiknya tidak
digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab dan dapat
menimbulkan penyakit tehadap penghuninya maka harus dilapisi
dengan lapisan kedap air seperti semen, tegel tarso, dan lain-lain.
(DepKes RI: 1989).
f) Dinding
Jenis dinding rumah yang terbuat dari anyaman bilik bambu
atau jenis dinding rumah lainnya yang bersifat tidak kedap udara,
termasuk faktor resiko dominan untuk terjadinya penyakit Pneumonia
pada Balita (Sutrisna, 1993)
g) Suhu dan Kelembaban
Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur
menggunakan termometer (Kartasaputra, Ance Gunarsih: 1986:11)
satuan suhu biasanya digunakan dalam derajat celcius (Co).
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang ada di udara
(Kartasaputra, Ance Gunarsih: 1986)
h) Letak Dapur
Lingkungan yang bersih dan sehat dapat mencegah terjadinya
gangguan pernafasan pada bayi dan anak balita bahkan pada semua
orang, sehingga Dirjen PPM PLP DepKes RT dan OTA-33/ii, 1987,
menganjurkan agar kamar tidur dan dapur harus dipisahkan dari
rumah, karena bila ruang tidur digunakan juga untuk dapur, maka
dapat terjadi bahaya kebakaran disamping kamar tidur akan menjadi
kotor dan tidak nyaman untuk beristirahat. Balita yang tinggal dalam
rumah dengan letak dapur bersatu atau berdekatan dengan kamar
Balita, beresiko menderita Pneumonia 6,15 kali dibandingkan dengan
Balita yang tinggal dalam rumah yang dimana letak dapur berjauhan
dari rumah (Juliastuti: 2000).

i) Rumah
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan
manusia. Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman
mengalami perkembangan. Pada zaman purba manusia bertempat
tinggal di gua-gua, kemudian berkembang, dengan mendirikan rumah
tempat tinggal di hutan-hutan dan di bawah pohon. Sampai pada abad
modern ini manusia sudah membangun rumah (tempat tinggalnya)
bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang serba modern.
Sejak zaman dahulu pula manusia telah mencoba mendesain
rumahnya, dengan ide mereka masing-masing yang dengan sendirinya
berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah
mereka dengan bahan yang ada setempat (local material) pula.
Setelah manusia memasuki abad modern ini meskipun rumah mereka
dibangun dengan bukan bahan-bahan setempat, tetapi kadang-kadang
desainnya masih mewarisi kebudayaan generasi sebelumnya.
Disamping menjadi tempat berlindung rumah juga memiliki
fungsi lain, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses sosialisasi
proses dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai, adat
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya, juga tempat meniru
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan hidup ini sesuai dengan peradaban manusia yang
semakin tinggi Mtidak saja terbatas pada kebutuhan untuk
mempertahankan diri tetapi juga meningkat pada kebutuhan-
kebutuhan yang lebih tinggi nilainya, misalnya kebutuhan untuk
bergaul dengan manusia lain, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan
akan rasa aman juga kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (Budi
Hardjo: 1998).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dan membangun suatu
rumah adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu rumah
1. Faktor Lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun
lingkungan sosial.
Maksudnya membangun suatu rumah harus memperhatikan
tempat di mana rumah itu didirikan. Di pegunungan ataukah di tepi
pantai, di desa ataukah di kota, di daerah dingin ataukah didaerah
panas, di daerah dekat gunung berapi (daerah gempa) atau di daerah
bebas gempa dan sebagainya. Rumah di daerah pedesaan sudah
barang tentu disesuaikan kondisi sosial budaya pedesaan, misalnya
bahannya, bentuknya, menghadapnya dan lain sebagainya. Rumah di
daerah gempa harus dibuat dengan bahan-bahan yang ringan namun
harus kokoh, rumah di dekat hutan harus dibuat sedemikian rupa
sehingga aman terhadap serangan-serangan binatang buas.
2. Tingkat Kemampuan Ekonomi Masyarakat
Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan
kemampuan keuangan penghuninya, untuk itu maka bahan-bahan
setempat yang murah misal bambu, kayu atap rumbia dan sebagainya
adalah merupakan bahan-bahan pokok pembuatan rumah. Perlu
dicatat lagi bahwa mendirikan rumah adalah bukan sekadar berdiri
pada saat itu saja, namun diperlukan pemeliharaan seterusnya. Oleh
karena itu, kemampuan pemeliharaan oleh penghuninya perlu
dipertimbangkan.
3. Teknologi yang dimiliki oleh Masyarakat
Pada dewasa ini teknologi perumahan sudah begitu maju dan
sudah begitu modern. Akan tetapi teknologi modern itu sangat mahal
dan bahkan kadang-kadang tidak dimengerti oleh masyarakat. Rakyat
pedesaan bagaimanapun sederhananya, sudah mempunyai teknologi
perumahan sendiri yang dipunyai turun temurun. Dalam rangka
penerapan teknologi tepat guna, maka teknologi yang sudah dipunyai
oleh masyarakat tersebut dimodifikasi. Segi-segi yang merugikan
kesehatan dikurangi, dan mempertahankan segi-segi yang sudah
positif.
J. Prioritas masalah
Masalah urgensi intervensi Total rank
Rendah nya 3 2 5 II
angka
pemberian
ASI
Rendah nya 2 2 4 III
penggunaan
jamban
sehat
Tingginya 5 4 9 I
angka
Kejadian
ISPA

K. Indentifikasimasalah:
a. Berdasarkan distribusi
1) Kelompok umur dibawah 5 tahun paling rentan terkena ISPA karena
daya tahan tubuh masih rendah.
2) Daerah-daerah yang rentan terhadap penyebaran ISPA adalah daerah
kota yang penduduknya padat yang sanitasi ligkungan nya buruk
3) Kejadian kasus ISPA terjadi angka morbiditas akibat ISPA yang
banyak terjadi musim kemarau
b. Berdasarkan frekuensi
1) sampai tahun 2017telah tercatat 7.559 kasus di puskesmas kecamatan
bukit raya
2) prevalensi ISPA untuk bayi 42,2% dan anak umur 1-4 tahun 40,6%
sedangkan case spesific death rate karena ISPA pada bayi 21% dan
untuk anak-anak 1-4 tahun 35%
c. berdasarkan determinan
1) Host (pejamu)
a) Jenis kelamin, dimana laki-laki lebih rendah dari pada wanita
b) Anak usia dibawah 5 tahun lebih rentan terkena ISPA di banding
golongan umur lain
c) Anak dengan status gizi yang buruk lebih rentan terkena ISPA
d) Anak BBLR lebih renta terkena ISPA
2) Agent ( Penyebab)
Infeksi saluran pernafasan atas akut (ISPA) seperti faringitis dan
tonsilitis dapat disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun
jamur
3) Enviroment ( Lingkungan)
a) Kepadatan hunian tempat tidur dapat menjadi faktor pemicu
timbulnya penyakit ISPA
b) Penggunaan obat nyamuk bakar dan penggunaan bahan bakar yang
tidak ramah lingkungan
c) Terdapat penggunaan rokok yang dapat memicu timbulnya penyakit
ISPA
d) Perilaku pembakaran hutan dan pembakaran sampah dapat
mencemari udara
e) Kesadaran masyarakat yang masih kurang menjaga lingkungan
sebagai upaya pencegahan ISPA
f) Imunisasi ISPA masih kurang dilakukan
g) Masih kurangnya peran istansi kesehatan khusus nya posyandu
dalam penanganan masalah ISPA
L. Prioritas Masalah
Sehubung dengan identifikasi masalah diatas, maka yang menjadi prioritas
masalah adalah :
1) Kerentanan kelompok umur dibawah 5 tahun karena daya taha tubuh
yang sangat rendah
2) Kepadatan hunian tempat tidur dapat menjadi faktor pemicu timbulnya
penyakit ISPA
3) Terdapat penggunaan rokok yang dapat memicu timbulnya penyakit
ISPA
4) Perilaku pembakaran hutan dan pembakaran sampah yang dapat
mencemari udara
5) Masih kurangnya peran instansi kesehatan khususnya pada tingkat
posyandu dalam penanganan masalah ISPA

MASALAH PENYEBAB ALTERNATIF JALAN


KELUAR
ISPA -FAKTOR -PENDATAAN
LINGKUNGAN MASYARAKAT
-SIFAT NYA AKUT YANG TERKENA
-FAKTOR CUACA ISPA
-SISTEM -DILAKUKAN
PENULARANNYA SOSIALISASI (
LEBIH CEPAT EDUKASI)
KARENA VIRUS -PENGOBATAN
-INFEKSI KUMAN
BAB IV
MONITORING dan EVALUASI

A. Pencegahan Penyakit ISPA


Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan
dan pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan
rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait.

1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)


Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat
dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden)
pneumonia. Termasuk disini ialah :
a. Penyuluhan,
Dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat
terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit
ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit
ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan
kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat
mengurangi angka kesakitan (insiden) pneumonia.
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi
malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat
badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang
menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.

2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan
sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas
klasifikasi ISPA yaitu :
1. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :
a. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak
mengalami sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan
dinding dada yang hebat), terapi antibiotik dengan memberikan
benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.
b. Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan,
nasihati ibu untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI
secara sering, dan bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan
itu menggangu saat memberi makan.
c. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya
meliputi :
- Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan
oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan kloramfenikol
secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak terjadi
perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah
menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi,
perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan,
nilai ulang dua kali sehari.
- 2 Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen,
terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenesilin secara
intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari, obati
demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada
pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
- Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau
suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati ibu
untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati
mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
- Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi
antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk
batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk memberikan
perawatan di rumah.
- Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik
dengan memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk
mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik,
perawatan suportif, penilaian ulang.

3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)


Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA
agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah
pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi
dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu
pneumonia stafilokokus.
b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian
benzilpenisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah
pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan
ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda
pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab
pneumonia persistensi.
c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan
periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat,
demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan
kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding
dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu
rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat.
Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda
pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti
antibiotik dan pantau secara ketat.

4. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan
program. Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan
untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta lintas program
dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk
penyandang dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan
pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA
khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif.
Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya
tertuju pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan
dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan
peran aktif sektor lain yang berkompeten.
5. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA
meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA
di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS,
Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota,
provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA
dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap
pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan
monitoring serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan
pelatihan secara terpadu dengan program lain perlu dikembangkan,
terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau pengelola
program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi
tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop
sesuai dengan kebutuhan.
b. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang
pelaksanaan program P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan
Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini
logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan
dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi.
- Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup
obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer).
- Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik
yang telah disediakan program meliputi media cetak dan
elektronik.
B. MENETAPKAN TUJUAN
1. Tujuan jangka panjang ( 208-2020)
Menurunkan angka pervalensi dan Insidensi penyakit ISPA
2. TUJUAN JANGKA PENDEK (2018-2019) :
a. Meningkatkan status gizi balita dan memperluas cakupan imunisasi
pada balita
b. Meningkatkan jumlah rumah sakit atau puskesmas
c. Mengurangi jumlah orang yang merokok dengan meningkatkan
pengetahuan nya mengenai bahaya rokok
d. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan
surveilans epidemiologi khusus nya penyakit ISPA
C. PENYUSUNA RENCANA KERJA
1. Mengadakan imunisasi penyakit ISPA dengan penyuluhan
2. Mengadakan perbaikan gizi dengan memberikan vitamin
3. Melakukan pemantuan gizi balita setiap bulan
4. Mengadakan penyuluhan tentang rumah sehat
5. Melakukan penyuluhan bahaya merokok
6. Melakukan pelatihan tentang pengolahan sampah
7. Melakukan pelatihan surveilans pada petugas kesehatan
D. Kelompok sasaran
Adapun sasaran dari kegiatan ini adalah :
1. Anak balita
2. Orang tua
3. Pengetahuan petugas

C. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka
dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga
masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung
pelaksanaan penanggulangan pnemonia balita.
b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan
kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan
Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.
c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini,
pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke
sarana kesehatan yang lebih memadai.
d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor
e. resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan

Institusi yang berkaitan dengan program :


1. Dinkes
2. Dokter
3. Kader
4. RT/RW
5. Bendahara
6. Sekretaris

Media yang digunakan :


1. Brosur
2. Spanduk
3. Leaflet

1. BUILDING PLAN
Tujuan Advokasi :
Untuk mengetahui hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan
kejadian pneumonia di Kecamatan Bukit Raya.

Sumber Daya Manusia (SDM)


Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi
kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana
pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik.
pengelola program ISPA di puskesmas Harapan Raya, kecamatan
Bukit Raya . Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di
berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan
perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di
lapangan.
Ruang lingkup
Ruang lingkup pengendalian ISPA
pada awalnya fokus pada pengendalian pneumonia balita. Dalam beberapa tahun
terakhir telah mengalami pengembangan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu:
1.Pengendalian Pneumonia Balita.
2.Pengendalian ISPA umur ≥5 tahun.
3.Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit
saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.
4.Faktor risiko ISPA.

Kegiatan Pokok ISPA


NO KEGIATAN TANGGAL TEMPAT WAKTU
1 Promosi penanggulanggan 11 Balai desa 10.00-12.00
pnemonia balita september, wib
2018
2 Peningkatan penemuan kasus dan 19 Musholla 18.00-20.00
kualitas tatalaksana kasus ISPA oktober,201 wib
8
3 Peningkatan kualitas sumber daya 25 oktober, Aula 10.00-12.00
2018 puskesmas wib
4 Surveilans ISPA 19 Balai desa 14.00-16.00
november wib
2018
5 Pemantauan dan evaluasi 25 Balai desa 13.00-15.00
november, wib
2018
6 Pengembangan program ispa 15 Balai desa 9.00-11.00 wib
desember
2018
7 Kemitraan 30 Aula 10.00-12.00
desember20 puskesmas wib
18
Perlengkapan yang di gunakan
1. Spanduk
2. Brosur
3. Obat
4. Alat bantu hitung pernapasan

Sistem Anggaran
Horarium :
1. Pembicara : RP. 500.000
2. Panitia 5 orang : Rp. 2.000.000
3. Dokter : Rp. 3.000.000
4. Konsumsi : Rp. 3.000.000
5. Kader : Rp. 1.500.000
6. Transportasi : Rp. 1.000.000
7. ATK : Rp. 300.000
8. Biaya tak terduga : Rp. 5.000.000

Total Rp. 16.300.000;

3. CREATING MASSAGES AND MATERIALS


1. ISPA Tak kenal Cuaca perlu di waspadai
2. Waspada!!!
ISPA Mengincar!
Lakukan Pencegahan Sedini Mumgkin

E. Pemantauan dan Evaluasi


Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi).
a. Pemantaauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan
untuk memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar
dapat diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan
yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.
Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat
memanfaatkan kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan
Pelaporan Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M
& PL di Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah
memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan
hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan
selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi
dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat
pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota.
c. Peningkatan Manajemen Program, aspek manajemen program P2 ISPA
yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan diantaranya aspek
perencanaan, pembiayaan, dan administrsi. Aspek manajemen tersebut
diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola
Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
Kegiatan ini juga dilaksanakan diberbagai tingkat administrasi kesehatan.
Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan
melalui penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu
(P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA.
Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2 ISPA akan efektif bila
didukung kinerja surveilans yang mampu memberikan informasi yang
lengkap dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan program P2
ISPA berdasarkan fakta (evidence based planning). Dalam meningkatkan
manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya
masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga
donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk
program cukup terbatas.
Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber
dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah
RI dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri. Di
provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi
Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di
tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN
disamping DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari
masyarakat atau swasta belum teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam
mewujudkan pembiayaan program P2 ISPA yang memadai di berbagai
jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus
penggalian potensi sumber biaya non pemerintah.
F. Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA
khususnya pneumonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai
dengan tuntutan perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2
ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-
konsep intervensi baru seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA,
pencegahan dan penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan maupun
kependudukan, peningkatan kemitraan, peningkatan manajemen dan
sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan kajian
program, seminar, workshop dan sebagainya.
a. Faktor-faktor Keberhasilan
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat
mencengangkan. Betapa tidak, selama 10 tahun (2000-2010) persentase
atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%. Berdasarkan hasil survei
demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA) pada
tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar
30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini
berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap
harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika
Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai
penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Namun, jika dilihat kembali dan dibandingkan antara angka
kejadian ISPA pada Riskesda 2007, dan 2013, secara nasional mengalami
penurunan yaitu 0,5 % dari 25,5 % pada 2007 menjadi 25,0% pada 2013.
Meskipun angka tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan, namun
untuk pengendalian ISPA sendiri setidaknya ada sedikit titik terang.
Untuk meningktkan keberhasilan pengendalian ISPA, tidak dapat
dilaksanakan hanya dari jajaran kesehatan saja namun harus didukung
pemangku kepentingan dan masyarakat agar dapat mencapai tujuan.
Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen
pemerintah pusat, pemeritah daerah, dukungan dari lintas program, lintas
sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia usaha. Pedoman ini
mengulas situasi pengendalian pneumonia, kebijakan dan strategi,
kegiatan pokok, peran pemangku kepentingan, tantangan dan
pengembangan ke depan sesuai dengan visi misi dan rencana strategis
Kementerian Kesehatan.
Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung
dengan berbagai kegiatan pengendalian ISPA baik sarana, prasarana,
sumber daya manusia dan semua sumber dana pendukung program yang
tersedia baik APBN maupun APBD untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya
dalam mencapai tujuan program dan target yang telah ditentukan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing jajaran kesehatan,
pemangku kepentingan dan masyarakat itu sendiri.

TABEL MONITORING DAN EVALUASI


MONITORING EVALUASI
KEGIATAN TARGET PENCAPAIAN
TERCAPAI TIDAK TERCAPAI
PENYULUHAN TERCAPAI
PELATIHAN TERCAPAI
PEMBERIAN ASI
PEMBAGIAN TERCAPAI
LEAFLET

Dapat di lihat dari tabel diatas bahwa program yang telah disusun
dapat tercapai dengan baik, mudah-mudahan saja program tersebut dapat
berjalan terus sesuai dengan yang direncanakan dan tidak ada hambatan
lagi dalam program karna telah di rancang sebagaimana mesti nya, dan
tidak ada lagi balita dan anak-anak yang terkena penyakit ISPA

2. GATHERING INFORMATION
Setelah melakukan observasi data dipuskesmas Harapan Raya saya dapat
menyimpulkan hasil data sebagai berikut :
Penderita ispa tahun 2015 sebanyak 4122 orang

penderita ISPA tahun 2016


1000
800
600
400 penderita ISPA
200 tahun 2016

0
bulan 3
bulan 2

bulan 5
bulan 6
bulan 7
bulan 8
bulan 9
bulan 10
bulan 11
Bulan 4
bulan 1

Data yang saya dapatkan 100 % data didapat dari puskesmas Harapan
Raya

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita bayi
dan anak-anak, penyebab kematian dari ISPA yang terbanyak karena
pneumonia. Klasifikasi penyakit ISPA tergantung kepada pemeriksaan dan
tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan penderita, Penatalaksanaan dan
pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama semua pihak, yaitu
peranserta masyarakat terutama ibu-ibu, dokter, para medis dam kader
kesehatan untuk menunjang keberhasilan menurunkan angka, kematian dan
angka kesakitan sesuai harapan pembangunan nasional.
B. Saran
Karena yang terbanyak penyebab kematian dari ISPA adalah karena
pneumonia, maka diharapkan penyakit saluran pernapasan penanganannya
dapat diprioritaskan. Disamping itu penyuluhan kepada ibu-ibu tentang
penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara
berkesinambungan, serta penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA
yang sudah dilaksanakan sekarang ini, diharapkan lebih ditingkatkan lagi.

Anda mungkin juga menyukai