Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN

Dosen Pengampuh : Alva C. Mustamu,M.Kep

Disusu oleh
Tiara Ayu Sukmasari

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SORONG
DIV KEPERAWATAN TAHUN 2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Morbus Hansen adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae, sejenis bakteri tahan asam, basil berbentuk
batang. Penyakit ini menyerang kulit, safaf tepi, mukosa dari saluran pernapasan
atas, dan mata. Penularan M. Leprae terutamanya adalah dari pasien MB yang
tidak diobati. Bukti menunjukkan bahwa dua portal masuk utama adalah kulit dan
saluran pernapasan bagian atas. Nasal discharge dari pasien yang tidak diobati
dengan Morbus Hansen aktif telah terbukti mengandung sejumlah besar bakteri
tahan asam. Masa inkubasi dari Mycobacterium leprae adalah 2 atau 5 tahun,
tetapi bisa lebih (WHO,2012).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011 mengenai distribusi pasien
Morbus Hansen di seluruh dunia, Indonesia merupakan daerah endemis dengan
lebih dari 10.000 kasus baru per tahun dengan prevalensi 1,03 per 10.000
penduduk. Berdasarkan data epidemiologi depkes, jumlah kasus baru pada
tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, untuk cacat tingkat 2 (cacat yang terlihat)
sebesar 0,85/100.000 penduduk serta jumlah kasus baru anak < 15 tahun pada
tahun 2012 sebesar 1959 (10,9%) dari total kasus baru. Selain itu, berdasarkan
data dari Rekam Medis Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar dari
tahun 2010 hingga 2012 menunjukan bahawa pada tahun 2010 terdapat 258
kunjugan ke poli dengan 38 pasien baru. Pada tahun 2011 terdapat 280 kasus di
poli dan 33 diantaranya adalah pasien baru. Untuk tahun 2012 dari bulan Januari
sampai April dilaporkan 68 kasus dan 8 kasus diantaranya adalah pasien baru
(Hargrave, 2010)
Ada dua sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan penderita
Morbus Hansen, yaitu klasifikasi Ridley- Jopling dan WHO. Sistem klasifikasi
Ridley- Jopling paling komprehensif dan akurat. Klasifikasi ini menggunakan
tanda klinis, histopatologi, dan indeks bakteriologis (BI) untuk mengidentifikasi
sesuai kategorinya. Klasifikasi Ridley- Jopling terdiri dari tuberculoid leprosy( TL),
borderline tuberculoid( BT), borderline( BB), borderline lepromatous(BL) dan
lepromatous leprosy( LL). Klasifikasi ini relatif kompleks, karena itu jarang
digunakan di lapangan terutama pada daerah endemic dengan sumber daya
yang rendah. Sistem kedua yaitu klasifikasi WHO, berdasarkan pada jumlah lesi
kulit dan mengidentifikasi dua bentuk, PB dan MB. Hal ini digunakan sebagai
dasar penggunaan MDT dan terutama dikembangkan pada daerah yang tidak
memungkinkan dilakukan hapusan sedian BTA (ILEP,2002).
Perbedaan antara MH MB dan PB adalah pada PB jumlah lesi kulit
adalah 2-5 lesi, BTA negatif, distribusi asimetris, dan melibatkan hanya satu
saraf dan mati rasa yang tidak jelas. Pada pasien MB terdapat lebih dari 5 lesi,
BTA positif, distribusi lesi yang simetris, melibatkan lebih dari satu saraf, atau
mati rasa yang tidak jelas (Elfadl,2011).
Diagnosa Morbus Hansen menurut WHO ditegakkan berdasarkan
'cardinal sign'. Jika pasien menunjukan satu atau lebih cardinal sign ini maka dia
didagnosa sebagai pasien Morbus Hansen. Tanda - tanda cardinal itu adalah 1)
Hipo-pigmentasi atau kemerahan lesi kulit lokal dengan hilangnya sensasi
(khususnya sentuhan dan suhu); ATAU 2) keterlibatan saraf perifer, yang
ditunjukkan oleh penebalan pada saraf saraf perifer tertentu dengan hilangnya
sensasi (khususnya sentuhan dan suhu); ATAU 3) kulit yang positif untuk
BTA(WHO,2012).
Morbus Hansen adalah penyakit yang dapat disembuhkan secara efektif
menggunakan MDT degan regimen terapi untuk dewasa dan anak-anak.. Untuk
pasien dewasa dengan Paucibacillary pengobatan MDT adalah
Rifampicin 600 mg, Dapsone 100 mg untuk hari pertama dan Dapsone 100 mg
untuk hari ke 2- 28 sebanyak 6 blister. Bagi pasien dewasa dengan Multibacillary
pengobatan yang diberikan adlah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg dan
Dapsone 100 mg untuk hari 1, dan Clofazimine 50 mg dan Dapsone 100 mg
untuk hari 2- 28 sebanyak 12 blister. Sedangkan untuk anak dengan
Paucibacillary pengobatan MDT adalah < 5 tahun berdasarkan berat badan , 5-
<10 tahun rifampisin 300 mg/bulan dan DDS 25mg/ bulan serta 25 mg/ hari , 10-
15 tahun rifampisin 450 mg/bulan, DDS 50 mg/bulan serta 50 mg/ hari sebanyak
6 blister. Untuk anak dengan Multibacillary pengobatan MDT yang diberikan < 5
tahun berdasar berat badan, 5-<10 tahun rifampisin 300 mg/bln DDS 25
mg/bulan dan 25 mg/hari, Clofazimine 100 mg/bulan dan 50 mg dua kali
seminggu, 10-<15 tahun Rifampisin 450mg/bula, DDS 50 mg/bulan dan 50
mg/hari, Clofazimine 150 mg/bulan dan 50 mg setiap dua hari sebanyak 12
blister(Hargrave,2010).
Pada pasien MH bisa terjadi gejala reaksi sebelum pengobatan, semasa
pengobatan dan juga setelah pengobatan. Pada reaksi Tipe 1 keadaan umum
pasien baik dan bisa juga demam. Selain itu, Reaksi tipe 1 ditandai oleh
timbulnya bercak baru, nyeri saraf, atau gangguan fungsi saraf. Reaksi tipe ini
umumnya terjadi pada pasien MH dengan PB. Pada reaksi Tipe 2 keadaan
umum pasien tampak sakit ringan sampai berat disertai demam tinggi. Selain itu,
timbul nodul kemerahan, lunak dengan nyeri tekan. Selain itu dapat terjadi
peradangan pada organ organ lain seperti pada mata, kelengar getah bening,
sendi, testis dan lain lain (Elfadl,2011).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi
dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai
kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

2.2 Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara
pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50
tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk
pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan
1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai
kontribusi 94 %dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan
prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.

2.3 Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH Armauer
Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam,
berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.

2.4 Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda
kardinal, yaitu:

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau


kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.


Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf
tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

2.5 Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus
ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan
manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan
bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan


memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.

C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

2.6 Antigen M. leprae

Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae mengandung antigen
yang relatif sedikit (sekitar 20) yang dikenali antibodi di dalam serum pasien penderita
lepra dibandingkan dengan BCG (sekitar 100), dan banyak diantaranya yang bersifat
antigenik lemah. Hingga tahun1981, saat Brennan melaporkan phenolic glikolipid dan
menunjukkan bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M. leprae, semua antigen
yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-silang dengan Mycobacteria
lainnya, walaupun ada sebagian kecil molekul, suatu epitope, yang spesifik pada M. leprae.
Spesifisitas epitope memungkinkan tes antibodi spesifik bisa ditetapkan dengan
menggunakan serum yang telah diabsorbsi dengan spesies Mycobacteria lainnya.

2.7 Imunologi Kusta

Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan respon
imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan
oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M. leprae. Jika respon imun
yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada
stadium awal sehingga dapat mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan penting
dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler. Respon imun seluler
merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam
menekan multiplikasi atau menghancurkan bakteri.Respon imun humoral terhadap M.
leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran
darah. Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B
menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses
opsonisasi. Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif,
bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara
berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.

2.8 Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini.
Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan
untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini
diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.
Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis
lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya,
khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan
ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda
klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik
terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada
seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta
subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya
ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain:

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat
fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak
kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

B. Radio Immunoassay (RIA)

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang
diberi label radio aktif.

C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam
serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama
untuk keperluan skrining kasus seropositif.

D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan
M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-
kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler
terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien
kusta dan kontak.

E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi
antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai
dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.35

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk


mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau
antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk
mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk
dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi
perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang
tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya
reaksi.

Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

A. Direct ELISA

Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi sekunder
yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna
yang dapat diukur dengan spektrofotometer. Universitas Sumatera Utara

B. Indirect ELISA

Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi primer,
kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi
antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian
ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer.

C. Sandwich ELISA.

Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA, hanya saja
pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.

Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar antibodi
terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1, antibodi anti protein 35kD, dan lain-
lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti
PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan
dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal
atau monoklonal yang telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan
memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk
menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah
mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta danyang tidak sakit kusta. Di daerah
Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 telah diketahui sekitar 605 ì/ml.

Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA untuk mengukur kadar
antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta. Salah satu keuntungan dari uji ELISA
adalah sensitif karena dapat mendeteksi dari level 0,01 ìg/ml.

2.9 Pemeriksaan Fisik

Inspeksi pada pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga
harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan
menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air es, untuk melihat ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.

Pemeriksaan saraf tepi

A.N. Aurukularis magnus Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga acapkali sudah bisa
terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya
saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan , maka perabaan secara seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang
kiri dan kanan ( Daili,21;2003)

B.N. UlnarisTangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan
diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (
sulkus nervu ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan
antara kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak

C.N. Paroneus Lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke psterior

D.N. Tibialis Posterior Raba maleulus medialis kaki, raba bagian posterior dan urutkan ke
bawah kearah tumit. Pemeriksaan harus dibandingkan kiri dan kana dalam hal besar,
bentuk, seratnya, lunaknya.
BAB III

PENUTUP

Pemeriksaan Morbus Hansen dapat dilakukan dengan

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini.
Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan
untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini
diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.
Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis
lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin. Dan Inspeksi pada
pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus diperhatikan
dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat
sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing-
masing dengan air panas dan air es, untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi
yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari
tengah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki
kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah N. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Drop Out


Pengobatan Penderita Kusta Tipe MB. Unnes Journal of Public Health;
3(2): 1-11
Elfadl, 2011. State Of Leprosy In Khartoum-Sudan, A Descriptive Study On
Leprosy Eye Manifestations In Khartoum State Represented by the Abu
Rouf Opthalmic Clinic.x
Hargrave et al, Guidelines in the control of Leprosy in the Nothern Territory ,
2010.
http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/10/9
0.pdf
Lana FCF, Fabri ACOC, Lopes FN, Carvalho APM. 2013. Deformities due to
Leprosy in Children under Fifteen Years Old as an Indicator of Quality of
the Leprosy Control Programme in Brazilian Municipalities. J TropMed;
2013: 1-6
ILEP,2002. Working for a World Without Leprosy..http://www.ilep.org.uk/factsabout-
leprosy/the-treatment-of-leprosy/
Ishii N. 2003. Recent advances in the treatment of leprosy. Dermatology Online
Journal; 9(2): 1-9
Lee, Delphine J., Rea, Thomas H. dan Modlin, Robert L. Leprosy.
[penyunt.Lowell A. Goldsmith, et al. Fitzpatrick's Dermatology in Clinical
Medicine 8th Edition. New York : McGraw Hill, 2012, hal. 2253-2262.
Medical Support Department, AIFO, Italy - 2004. Leprosy Classification and
Differential Diagnosis
http://www.aifo.it/english/resources/online/courses/lepdd/lepdd2.htm
Mufidah, Agustina dan Rahmah. Morbus Hansen. [penyunt.] Benny Abdullah.
Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit. Surabaya:
Pusat penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2009, hal 149-159
Partogi D. 2008. Pengadaan Obat Kusta. USU e-repository; 2009: 1-11
Steven doerr, Leprosy 2012 ,
http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page7_em.htm#medical_treatment
Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years Old
Morbus Hansen. J Medula Unila; 3(2): 96-107
World Health Organization, 2012. Leprosy

Anda mungkin juga menyukai