LP Cva Ivh
LP Cva Ivh
Oleh:
Novia Ecci
NIM. 180070300111012
Kelompok 2B
2. KLASIFIKASI
a) Primer
Primer Intraventricular Hemorrhage (PIVH) adalah terdapatnya darah hanya
dalam sistem ventrikuler, tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding ventrikel.
Disebutkan pula bahwa PIVH merupakan perdarahan intraserebral
nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel. “Primary” menandakan
tampilan patologik dan bukan menandakan etiologi yang tidak diketahui.
b) Sekunder
Sekunder Intraventrikuler Hemorrhage muncul akibat pecahnya pembuluh
darah intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang meluas ke
sistem ventrikel. Sekitar 70% perdarahan intraventrikular (IVH) terjadi
sekunder, IVH sekunder mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan
intraparenkim atau subarachnoid yang masuk ke system intraventrikel.
3. ETIOLOGI
Penyebab pasti terjadinya pecah pembuluh darah (perdarahan) pada
ruangan ventrikel pada otak belum diketahui, namun keadaan Hipertensi sering
kali disebut sebagai penyebab yang paling mungkin, walaupun
abnormalitas arteri-vena otak dapat juga menyumbang kejadian
perdarahan ini. (Donna, dkk, 2011).
Tekanan darah yang melebihi kapasitas elastisitas vaskuler otak
merupakan pemicuter jadinya perdarahan pada otak, terutama bila memang
pasien adalah penderita hipertensi parah. (Adria, luis dkk 2012).
Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan kecil bahwa
penyebab yang paling memungkinkan dari terjadinya IVH yang dapat
menimbulkan serangan stroke adalah hipertensi yang bersifat kronik,
selain itu abnormalitas formasi vaskuler juga turut menyumbang
kejadian IVH ini.
Terdapat beberapa penyebab terjadinya CVA-IVH, diantaranya adalah:
1) Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan
hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat
dekat dengan sistem ventrikuler
2) Kebiasaan merokok dan alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke
perdarahan pada pasien merokok dan konsumsi alkohol
3) Anomali pembuluh darah serebral, malformasi pembuluh darah termasuk
angioma kavernosa dan aneurisma serebri merupakan penyebab tersering
PIVH pada usia muda. Pada orang dewasa, PIVH disebabkan karena
penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur periventrikel
5. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
6. MANIFESTASI KLINIS
Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran
yang berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di
dapati hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi
uncal dengan hiiangnya fungsi batang otakdapat terjadi. Pasien yang selamat secara
bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari. Pasien dengan
perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-
tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Ropper, 2005 Dalam khoirul
2009).
Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau
perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathybiasanya telah menderita
penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam
perjalanannnya perdarahan dapat memasukirongga subarakhnoid.(Gilroy, 2000,
Dalam khoirul 2009).
Secara mendetail gejala yang muncul diantaranya (Isyan, 2012):
a. Kehilangan Motorik, Disfungsi motor paling umum adalah:
- Hemiplegia yaitu paralisis pada salah satu sisi yang sama seperti pada
wajah, lengan dan kaki (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
- Hemiparesis yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh yang sama seperti
wajah, lengan, dan kaki (Karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
b. Kehilangan atau Defisit Sensori.
- Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi)
Kejadian seperti kebas dan kesemutan pada bagian tubuh dan kesulitan
dalam propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh).
- Kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
c. Kehilangan Komunikasi (Defisit Verbal).
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
- Disartria adalah kesulitan berbicara atau kesulitan dalam membentuk kata.
Ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
- Disfasia atau afasia adalah bicara detektif atau kehilangan bicara, yang
terutama ekspresif atau reseptif (mampu bicara tapi tidak masuk akal) .
- Apraksia adalah ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
- Disfagia adalah kesulitan dalam menelan.
d. Gangguan Persepsi.
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterprestasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan :
- Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara
mata dan korteks visual.
- Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang)
- Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial).
e. Defisit Kognitif.
- Kehilangan memori jangka pendek dan panjang.
- Penurunan lapang perhatian.
- Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
- Alasan abstrak buruk.
- Perubahan Penilaian.
f. Defisit Emosional.
- Kehilangan kontrol-diri.
- Labilitas emosional.
- Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress.
- Depresi.
- Menarik diri.
- Rasa takut, bermusuhan, dan marah.
- Perasaan Isolasi
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai dan
menegakkan diagnose terkait CVA menurut (Batticaca, 2008; Wijaya, 2013), yaitu:
A. Pemeriksaan Saraf Kranial
1) Fungsi saraf kranial I (N. Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
2) Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca
atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,
minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah
mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda
yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila
pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan
mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus
dan optic disk (warna dan bentuk)
3) Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
4) Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien
mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala
yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta
klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata
dan lihat refleks menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.
5) Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk
gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien
memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula
klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
6) Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan
weber test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien
berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi
adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi,
lihat apakah klien dapat mempertahankan posis
7) Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal
bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air
sedikit, observasi gerakan menelan dan kesulitan menelan. Periksa
getaran pita suara saat klien berbicara.
8) Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang
pergerakan sendi
c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan
kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong
9) Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi
dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong
kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain
3) Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi
panggul dan lutut.
4) Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350
terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5) Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
1. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar
kedalam dan kaki plantar fleksi.
2. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,
ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki
plantar fleksi.
D. Pemeriksaan Radiologi
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti
perdarahan arteriovena, adanya ruptur, atau sumbatan arteri.
2) CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti. CT scan
merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam
pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk
menilai stabilitas.
3) Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan
adanya proses inflamasi.
4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5) USG Dopler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
E. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengetahui adanya anemia, trombositopenia dan leukositosis
yang dapat menjadi factor risiko stroke hemoragik
b. Pemeriksaan glukosa darah
Untuk mengetahui kadar glukosa darah sebagai sumber bahan bakar
untuk metabolism sel otak. Apabila kadar glukosa darah yang terlalu
rendah maka akan dapat terjadi kerusakan pada jaringan otak
c. Pemeriksaan analisa gas darah
Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai
sumber untuk metabolisme
d. Pemeriksaan serum elektrolit
e. Pemeriksaan LED (Laju Endap Darah)
Mengetahui adanya hiperviskositas yang dapat menjadi factor risiko
stroke hemoragik
f. Pemeriksaan faal hemostatis
Untuk mengetahui adanya risiko perdarahan sebagai komplikasi dan
pencetus stroke hemoragik
8. PENATALAKSANAAN CVA-IVH
Secara garis besar terapi konvensional berpusat pada pengelolaan hipertensi
dan tekanan intrakranial sambil mengoreksi koagulopati dan menghindari
komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Terapi bedah saja tidak
mengubah riwayat alami penyakit secara signifikan. Namun, fibrinolisis dalam
kombinasi dengan drainase extraventricular menunjukkan janji sebagai teknik
untuk mengurangi volume yang menggumpal intraventrikular dan untuk mengelola
komplikasi seiring IVH.
Penatalaksanaan ini perlu, secara rinci sebagai berikut:
Dilakukan CT Scan kepala, karena sangat sensitive dalam mengidentifikasi
perdarahan acut dan dipertimbangkan sebagai Gold Standard.
Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan
peningkatan tekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan
mencegah komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a) Resusitasi cairan iv
b) Elevasi kepala posisi 30 derajat
c) Mengkoreksi demam dengan antipiretik
d) Usaha awal untuk focus menangani peningkatan TIK sangat
beralasan, karena peningkatan TIK yang besar berhubungan dengan
herniasi dan iscemik
e) Pada dasarnya terapi umum IVH juga mengacu pada stroke tipe
perdarahan yaitu :
Indikasi masuk ICU jika volume darah 30 cc, atau terdapat perdarahan
intraventrikel dengan hidrosefalus dan memburuk.
Perawatan berlanjut di unit perawatan intensif (ICU) pengaturan. Pasien
harus mendapatkan manfaat dari perawatan ICU neurologis konvensional
termasuk resusitasi dengan cairan intravena, penempatan kepala tempat
tidur pada 30 °, koreksi demam dengan antipiretik, dan profilaksis
trombosis vena dalam dengan perangkat kompresi berurutan dan / atau
stoking kompresi. Dosis rendah antikoagulan profilaksis harus dimulai 48
jam setelah cedera.
TD diturunkan 15-20% bila TDS >180, TDD >120, MAP >130, dan volume
darah bertambah.
Bila terdapat gagal jantung, tensi diturunkan dgn labetolol i.v. dosis 10 mg
(dlm 2 mnt) sampai 20 mg (dlm 10 mnt) max 300 mg; enelapril i.v. 0,625-
1.25 mg per 6 jam; Captopril 3 kali 6,25-25 mg peroral.
Jika TIK meningkat, posisi kepala 300, bisa diberi manitol dan
hiperventilasi (PCO220-35 mmHg).
Bila terdapat kemungkinan peningkatan TIK, dipertimbangkan untuk
memonitor TIK dan reduksi tekanan darah dengan infus intravena
intermiten atau kontinyu saat mempertahankan cerebral perfusion pressure
>60 mmHg.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan resusitasi cairan
intravena, elevasi kepala pada posisi 30p dan mengoreksi demam dengan
antipiretik.11 Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) sangat beralasan, karena peningkatan tekanan intrakranial
yang berat berhubungan dengan herniasi dan iskemi.
Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten ditemukan pada
kebijakan terapi dengan: (1) penggunaan keteter intraventrikuler untuk
mempertahankan TIK dalam batas normal dan (2) usaha untuk
menghilangkan bekuan darah dengan menyuntikkan trombolitik dosis
rendah.
Rekomendasi AHA Guideline 2009: 1. Pasien dengan nilai GCS <8,
dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial, atau dengan IVH yang nyata
atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor dan tatalaksana TIK.
Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan untuk
dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri. (IIb; C). (rekomendasi
baru). 2. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan
pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran. (IIa; B). (rekomendasi
baru).
Manajemen terapi umum sama dengan stroke iskemik.
Jika ada tukak dapat diberi antagonis H2, sukralfat, atau inhibitor pompa
proton
Komplikasi respirasi → fisioterapi dan antibiotika.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dari IVH antara lain:
1) Hidrosefalus
Hal ini merupakan komplikasi yang sering terjadi yang seiring dan
kemungkinan disebabkan karena obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau
berkurangnya absorbsi meningeal. Hidrosefalus dapat berkembang pada 50%
pasien dan berhubungan dengan keluaran yang buruk.
Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian
bedah saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shunt merupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus, yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.
Sebuah studi tentang hidrosefalus menunjukkan rasio kesuksesan perbaikan
gejala dan tanda klinis pada 50%- 90% penelitian pada anjing yang mendapatkan
tatalaksana ventriculoperitoneal shunting.
2) Perdarahan Ulang (rebleeding)
Tindakan medis untuk mencegah perdarahan ulang setelah SAH dari AHA
Guideline 2009 : 1). Tekanan darah sebaiknya dimonitor dan dikontrol untuk
mengimbangi risiko stroke, hipertensi yang berhubungan dengan perdarahan
ulang, dan mempertahankan CPP (cerebral perfusion pressure) (I, B). 2). Tirah
baring saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan ulang setelah SAH. Dapat
dipertimbangkan strategi tatalaksana yang lebih luas, bersamaan dengan
pengukuran yang lebih definitif (IIb, B). 3). Meskipun studi yang lalu
menunjukkan keseluruhan efek negatif dari antifibrinolitik, bukti sekarang
menyarankantatalaksana awal dengan pemberian antifibrinolitik jangka pendek
dilanjutkan dengan penghentian antifibrinolitik dan profilaksis melawan
hipovolemi dan vasospasme (IIb, B).
3) Vasospasme
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular
hemorrhage (IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu : yaitu: 1).
Disfungsi arteriovena hipotalamik berperan dalam perkembangan vasospasme
intrakranial. 2). Penumpukkan atau jeratan dari bahan spasmogenik akibat
gangguan dari sirkulasi cairan serebrospinal.(27)Rekomendasi tatalaksana
vasospasme serebri dari AHA Guideline pada SAH, yaitu: Nimodipin oral
diindikasikan untuk mengurangi keluaran yang buruk yang berhubungan dengan
SAH aneurisma (I, A). Nilai dari pemberian antagonis kalsium secara oral atau
intravena masih belum jelas. Dosis oral yang dianjurkan adalah 60 mg setiap 6
jam.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CVA
A. Pengkajian
1) Data demografi
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan
tidak dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Sedangkan stroke infark tidak terlalu
mendadak, saat istirahat atau bangun pagi, kadang nyeri copula, tidak kejang dan
tidak muntah, kesadaran masih baik.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat
kontrasepsi oral.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut,
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia
ditandai dengan kesulitan menelan, obesitas
c. Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia
urine, anuria. Adanya distensi abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus
negatif (ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus
d. Pola aktivitas dan latihan
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
Tanda yang muncul adalah gangguan tonus otot (flaksid, spastis),
paralitik (hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran
e. Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri
otot
f. Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak
kooperatif.
h. Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/ kekaburan
pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang
sakit.
i. Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan
stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
j. Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena
gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k. Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa dengan tanda emosi
yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulian
mengekspresikan diri
l. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak
stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
Pemeriksaan integumen
Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
Rambut : umumnya tidak ada kelainan
Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik
Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
Leher : kaku kuduk jarang terjadi
Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing
ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan
refleks batuk dan menelan, adanya hambatan jalan nafas. Merokok
merupakan faktor resiko.
Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Penglihatan menurun, diplopia, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman, paralisis atau parese wajah.
Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh, kelemahan, kesemutan, kebas, genggaman
tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral, apraksia
Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi, hilangnya rangsang
sensorik kontralteral.
Pemeriksaan refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli
dengan refleks patologis.
Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat kesadaran,
gangguan fungsi kognitif seperti penurunan memori, pemecahan
masalah, afasia, kekakuan nukhal, kejang,
Rencana Intervensi
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
NOC : Tissue Perfusion: Cerebral
INDICATOR Severe Substantial Moderate Mild No
deviation deviation deviation deviation deviation
from from from normal from from
normal normal range normal normal
range range range range
Tekanan intracranial v
Tekanan sistolik v
Tekanan diastolic v
MAP v