Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA) dengan INTRAVENTRICULAR


HEMORRHAGE (IVA)

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal


Ruang 26 Stroke RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
Novia Ecci
NIM. 180070300111012
Kelompok 2B

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA) dengan
INTRAVENTRICULAR HEMORRHAGE (IVH)
1. DEFINISI
CVA merupakan suatu penyakit yang mengacu pada setiap gangguan neurologi
mendadak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya
pembuluh darah di otak, sehingga suplai darah ke otak berkurang dan
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Bahrudin, 2012).
Pengertian IVH secara singkat dapat diartikan sebagai perdarahan intraserebral
nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel atau yang timbul di dalam atau
pada sisi dariventrikel. (Donna, dkk, 2011). Dari pengertian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa kejadian IVH yang menimbulkan serangan stroke
merupakan salah satu dari jenis stroke (CVA) hemoragik yang berasal dari
intra cranial atau sumber permasalahannya adalah peredaran vaskuler otak.
Kontusio dan perdarahan subarachnoid (SAH) berhubungan erat dengan IVH.
Perdarahan dapat berasal dari middle communicating artery atau dari posterior
communicating artery.

2. KLASIFIKASI
a) Primer
Primer Intraventricular Hemorrhage (PIVH) adalah terdapatnya darah hanya
dalam sistem ventrikuler, tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding ventrikel.
Disebutkan pula bahwa PIVH merupakan perdarahan intraserebral
nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel. “Primary” menandakan
tampilan patologik dan bukan menandakan etiologi yang tidak diketahui.
b) Sekunder
Sekunder Intraventrikuler Hemorrhage muncul akibat pecahnya pembuluh
darah intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang meluas ke
sistem ventrikel. Sekitar 70% perdarahan intraventrikular (IVH) terjadi
sekunder, IVH sekunder mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan
intraparenkim atau subarachnoid yang masuk ke system intraventrikel.
3. ETIOLOGI
Penyebab pasti terjadinya pecah pembuluh darah (perdarahan) pada
ruangan ventrikel pada otak belum diketahui, namun keadaan Hipertensi sering
kali disebut sebagai penyebab yang paling mungkin, walaupun
abnormalitas arteri-vena otak dapat juga menyumbang kejadian
perdarahan ini. (Donna, dkk, 2011).
Tekanan darah yang melebihi kapasitas elastisitas vaskuler otak
merupakan pemicuter jadinya perdarahan pada otak, terutama bila memang
pasien adalah penderita hipertensi parah. (Adria, luis dkk 2012).
Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan kecil bahwa
penyebab yang paling memungkinkan dari terjadinya IVH yang dapat
menimbulkan serangan stroke adalah hipertensi yang bersifat kronik,
selain itu abnormalitas formasi vaskuler juga turut menyumbang
kejadian IVH ini.
Terdapat beberapa penyebab terjadinya CVA-IVH, diantaranya adalah:
1) Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan
hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat
dekat dengan sistem ventrikuler
2) Kebiasaan merokok dan alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke
perdarahan pada pasien merokok dan konsumsi alkohol
3) Anomali pembuluh darah serebral, malformasi pembuluh darah termasuk
angioma kavernosa dan aneurisma serebri merupakan penyebab tersering
PIVH pada usia muda. Pada orang dewasa, PIVH disebabkan karena
penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur periventrikel

Etiologi berdasarkan lokasi perdarahannya:


1) Perdarahan intra cerebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau
hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak.
Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di
daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum.
Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding permbuluh darah
berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2) Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma
paling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi
willisi. AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan
ventrikel otak, ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid.
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan
tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,
sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-
tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya
perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah
minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-
bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis
dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan
aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak
boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada
saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
4. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko stroke dikelompokan menjadi dua menurut Bahrudin (2012), yaitu:
Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah :
Faktor Risiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
setiap 10 tahun di atas 55 tahun
Seks Pria lebih berisiko terkena stroke dari pada wanita, tetapi penelitian
menyimpulkan bahwa lebih banyak wanita yang meninggal karena
stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi dan pada wanita. Tetapi
serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga
tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi. Sementara, wanita lebih
berpotensi terserang stroke pada usia lanjut hingga kemungkinan
meninggal karena penyakit itu lebih besar.
Keturunan, Stroke juga terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang sangat
sejarah stroke berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung,
dalam diabetes dan cacat pada bentuk pembuluh darah, gaya dan pola
keluarga hidup keluarga dapat mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk
pembuluh darah (cadasil) mungkin merupakan faktor genetik yang
paling berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke lainnya.

Faktor resiko stroke yang dapat dimodifikasi adalah:


Faktor Risiko Keterangan
Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan
pengerasan dan penyumbatan arteri. Sejumlah penelitian
menunjukkan, obat-obatan anti hipertensi dapat mengurangi
risiko stroke sebesar 38% dan pengurangan angka kematian
akibat stroke sebesar 40%.
Diabetes mellitus Diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli
sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-
orang tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu
untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan
aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri
koronari, arteri karotid atau dengan efek lokal pada
mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung  Penyakit Arteri koroner → Indikator kuat kedua dari
keberadaan penyakit difusvaskular aterosklerotik dan
potensi sumber emboli dari thrombi mural karena
Miocardiofarction.
 Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi →
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
 Fibrilasi atrial → Sangat terkait dengan stroke emboli dan
fibrilasi atrial karena penyakit jantung rematik;
meningkatkan risiko stroke sebesar 17 kali.
 Lainnya → Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan
dengan stroke,seperti prolaps katup mitral, patent foramen
ovale, defek septum atrium, aneurisma septum atrium, dan
lesi aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta.
Karotis bruits Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian
stroke, meskipun risiko untuk stroke secara umum dan
tidak untuk stroke khusus dalam distribusi arteri dengan bruit.
Merokok Kandungan kimia rokok dalam waktu yang lama mampu
menyebabkan penurunan fungsi organ di dalam tubuh
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah
keseluruhan adalah dari isi sel darah merah, plasma protein
terutamanya fibrinogen memainkan peranan penting.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko
tingkat fibrinogen untuk stroke trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah
dan kelainan sistem juga telah dicatat, seperti antitrombin III dan kekurangan
pembekuan protein C serta protein S dan berhubungan dengan vena
thrombotic.
Hemoglobinopathy  Sickle-cell disease → Dapat menyebabkan infark iskemik
atau hemoragik intraserebral dan perdarahan subaraknoid,
vena sinus dan trombosis vena kortikal. Keseluruhan
kejadian stroke dalam Sickle-cell disease adalah 6-15%.
 Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria→dapat
mengakibatkan trombosis vena serebral

Penyalahgunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke


obat termasuk methamphetamines, norepinefrin , LSD, heroin, dan
kokain. Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis
yang dapat mengakibatkan pendarahan petechial menyebar,
atau fokus bidang iskemia dan infark.
 Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas vaskular
menyebabkan alergi. Perdarahan subarachnoid dan
difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan
kokain.
Hiperlipidemia Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan bertambahnya
usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan intraserebral
atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan yang jelas
antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko
stroke pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen
menurunkan masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali.
Ini adalah faktor risiko paling kuat pada wanita yang lebih
dari 35 tahun . Mekanisme diduga meningkatkan koagulasi
karena stimulasi estrogen tentang produksi protein liver atau
jarang penyebab autoimun.
Diet  Konsumsi alkohol → Ada peningkatan risiko infark otak,
dan perdarahan subarakhnoid dikaitkan dengan
penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda.
Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada tekanan darah, platelet, osmolalitas
plasma, hematokrit, dan sel-sel darah merah
 Kegemukan → Diukur dengan berat tubuh relatif atau
body mass indexs, obesitas telah secara konsisten
meramalkan stroke.
Penyakit pembuluh Karena bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah.
darah perifer
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral
melalui pengembangan perubahan inflamasi dalam
dinding pembuluh darah. Sifilis meningovaskular dan
mucormycosis dapat menyebabkan arteritis otak dan infark.
Homosistinemia Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi risiko
atau homosistinuria stroke di usia muda adalah 10-16%.
Stres Stres psiokososial dapat menyebabkan depresi. Jika depresi
berkombinasi dengan faktor risiko lain (misalnya,
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat
memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko
terkena stroke sebesar 2 kali.

5. PATOFISIOLOGI
(terlampir)

6. MANIFESTASI KLINIS
Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran
yang berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di
dapati hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi
uncal dengan hiiangnya fungsi batang otakdapat terjadi. Pasien yang selamat secara
bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari. Pasien dengan
perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-
tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Ropper, 2005 Dalam khoirul
2009).
Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau
perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathybiasanya telah menderita
penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam
perjalanannnya perdarahan dapat memasukirongga subarakhnoid.(Gilroy, 2000,
Dalam khoirul 2009).
Secara mendetail gejala yang muncul diantaranya (Isyan, 2012):
a. Kehilangan Motorik, Disfungsi motor paling umum adalah:
- Hemiplegia yaitu paralisis pada salah satu sisi yang sama seperti pada
wajah, lengan dan kaki (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
- Hemiparesis yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh yang sama seperti
wajah, lengan, dan kaki (Karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
b. Kehilangan atau Defisit Sensori.
- Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi)
Kejadian seperti kebas dan kesemutan pada bagian tubuh dan kesulitan
dalam propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh).
- Kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
c. Kehilangan Komunikasi (Defisit Verbal).
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
- Disartria adalah kesulitan berbicara atau kesulitan dalam membentuk kata.
Ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
- Disfasia atau afasia adalah bicara detektif atau kehilangan bicara, yang
terutama ekspresif atau reseptif (mampu bicara tapi tidak masuk akal) .
- Apraksia adalah ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
- Disfagia adalah kesulitan dalam menelan.
d. Gangguan Persepsi.
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterprestasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan :
- Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara
mata dan korteks visual.
- Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang)
- Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial).
e. Defisit Kognitif.
- Kehilangan memori jangka pendek dan panjang.
- Penurunan lapang perhatian.
- Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
- Alasan abstrak buruk.
- Perubahan Penilaian.
f. Defisit Emosional.
- Kehilangan kontrol-diri.
- Labilitas emosional.
- Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress.
- Depresi.
- Menarik diri.
- Rasa takut, bermusuhan, dan marah.
- Perasaan Isolasi

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai dan
menegakkan diagnose terkait CVA menurut (Batticaca, 2008; Wijaya, 2013), yaitu:
A. Pemeriksaan Saraf Kranial
1) Fungsi saraf kranial I (N. Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
2) Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca
atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,
minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah
mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda
yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila
pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan
mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus
dan optic disk (warna dan bentuk)
3) Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
4) Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien
mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala
yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta
klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata
dan lihat refleks menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.
5) Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk
gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien
memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula
klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
6) Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan
weber test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien
berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi
adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi,
lihat apakah klien dapat mempertahankan posis
7) Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal
bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air
sedikit, observasi gerakan menelan dan kesulitan menelan. Periksa
getaran pita suara saat klien berbicara.
8) Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang
pergerakan sendi
c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan
kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong
9) Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi
dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong
kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain

B. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks
cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus
pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
1) Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
2) Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak
pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk
secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu
tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu
mencerminkan tonus otot.
a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan
otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah,
melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan
spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi
bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk
menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan
sendi pergelangan tangan.
c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
3) Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara
aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji
biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan
otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)

1 : tidak ada kontraksi sama sekali.


2 : kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan
atau gravitasi.
3 : cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 : cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 : cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

4) Pemeriksaan Fungsi Sensorik


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap
beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis
stimulus. Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan
sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas
(burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain.
Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan,
miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan
sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a) Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b) Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan
sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
c) Pen / pensil, untuk graphesthesia.

5) Pemeriksaan Fungsi Refleks


Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan
refleks hammer.Skala untuk peringkat refleks yaitu:
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :


a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang
lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae)
dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps
femoris yaitu ekstensi dari lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian
dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi
fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar
keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks
ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah
daerah yang digores.
f. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat
bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan
kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu
jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon
yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
C. Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan
selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1) Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2) Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I
positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan
sendi lutut.

3) Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi
panggul dan lutut.
4) Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350
terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

5) Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
1. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar
kedalam dan kaki plantar fleksi.
2. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,
ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki
plantar fleksi.

D. Pemeriksaan Radiologi
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti
perdarahan arteriovena, adanya ruptur, atau sumbatan arteri.
2) CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti. CT scan
merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam
pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk
menilai stabilitas.

3) Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan
adanya proses inflamasi.
4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

5) USG Dopler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
E. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengetahui adanya anemia, trombositopenia dan leukositosis
yang dapat menjadi factor risiko stroke hemoragik
b. Pemeriksaan glukosa darah
Untuk mengetahui kadar glukosa darah sebagai sumber bahan bakar
untuk metabolism sel otak. Apabila kadar glukosa darah yang terlalu
rendah maka akan dapat terjadi kerusakan pada jaringan otak
c. Pemeriksaan analisa gas darah
Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai
sumber untuk metabolisme
d. Pemeriksaan serum elektrolit
e. Pemeriksaan LED (Laju Endap Darah)
Mengetahui adanya hiperviskositas yang dapat menjadi factor risiko
stroke hemoragik
f. Pemeriksaan faal hemostatis
Untuk mengetahui adanya risiko perdarahan sebagai komplikasi dan
pencetus stroke hemoragik

8. PENATALAKSANAAN CVA-IVH
Secara garis besar terapi konvensional berpusat pada pengelolaan hipertensi
dan tekanan intrakranial sambil mengoreksi koagulopati dan menghindari
komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Terapi bedah saja tidak
mengubah riwayat alami penyakit secara signifikan. Namun, fibrinolisis dalam
kombinasi dengan drainase extraventricular menunjukkan janji sebagai teknik
untuk mengurangi volume yang menggumpal intraventrikular dan untuk mengelola
komplikasi seiring IVH.
Penatalaksanaan ini perlu, secara rinci sebagai berikut:
 Dilakukan CT Scan kepala, karena sangat sensitive dalam mengidentifikasi
perdarahan acut dan dipertimbangkan sebagai Gold Standard.
 Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan
peningkatan tekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan
mencegah komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a) Resusitasi cairan iv
b) Elevasi kepala posisi 30 derajat
c) Mengkoreksi demam dengan antipiretik
d) Usaha awal untuk focus menangani peningkatan TIK sangat
beralasan, karena peningkatan TIK yang besar berhubungan dengan
herniasi dan iscemik
e) Pada dasarnya terapi umum IVH juga mengacu pada stroke tipe
perdarahan yaitu :

 Indikasi masuk ICU jika volume darah 30 cc, atau terdapat perdarahan
intraventrikel dengan hidrosefalus dan memburuk.
 Perawatan berlanjut di unit perawatan intensif (ICU) pengaturan. Pasien
harus mendapatkan manfaat dari perawatan ICU neurologis konvensional
termasuk resusitasi dengan cairan intravena, penempatan kepala tempat
tidur pada 30 °, koreksi demam dengan antipiretik, dan profilaksis
trombosis vena dalam dengan perangkat kompresi berurutan dan / atau
stoking kompresi. Dosis rendah antikoagulan profilaksis harus dimulai 48
jam setelah cedera.
 TD diturunkan 15-20% bila TDS >180, TDD >120, MAP >130, dan volume
darah bertambah.
 Bila terdapat gagal jantung, tensi diturunkan dgn labetolol i.v. dosis 10 mg
(dlm 2 mnt) sampai 20 mg (dlm 10 mnt) max 300 mg; enelapril i.v. 0,625-
1.25 mg per 6 jam; Captopril 3 kali 6,25-25 mg peroral.
 Jika TIK meningkat, posisi kepala 300, bisa diberi manitol dan
hiperventilasi (PCO220-35 mmHg).
 Bila terdapat kemungkinan peningkatan TIK, dipertimbangkan untuk
memonitor TIK dan reduksi tekanan darah dengan infus intravena
intermiten atau kontinyu saat mempertahankan cerebral perfusion pressure
>60 mmHg.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan resusitasi cairan
intravena, elevasi kepala pada posisi 30p dan mengoreksi demam dengan
antipiretik.11 Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) sangat beralasan, karena peningkatan tekanan intrakranial
yang berat berhubungan dengan herniasi dan iskemi.
Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten ditemukan pada
kebijakan terapi dengan: (1) penggunaan keteter intraventrikuler untuk
mempertahankan TIK dalam batas normal dan (2) usaha untuk
menghilangkan bekuan darah dengan menyuntikkan trombolitik dosis
rendah.
Rekomendasi AHA Guideline 2009: 1. Pasien dengan nilai GCS <8,
dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial, atau dengan IVH yang nyata
atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor dan tatalaksana TIK.
Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan untuk
dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri. (IIb; C). (rekomendasi
baru). 2. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan
pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran. (IIa; B). (rekomendasi
baru).
 Manajemen terapi umum sama dengan stroke iskemik.
 Jika ada tukak dapat diberi antagonis H2, sukralfat, atau inhibitor pompa
proton
 Komplikasi respirasi → fisioterapi dan antibiotika.

Dan juga mengacu pada terapi khusus stroke perdarahan meliputi


 Pemberian neuroprotektor kecuali bersifat vasodilator.
 Pembedahan dgn pertimbangan usia dan letak lesi (serebelum dgn diameter
>3 cm3), hidrosefalus→ pemasangan VP-shuntdan perdarahan lobar >60 cc
dgn tanda-tanda TIK meningkat.
 Jika kejang beridiazepam 5-20 mg i.v. pelan (3 mnt) maks100 mg perhari
dan dilanjutkan pemberian fenitoinatau carbamazepin selama 1 bulan. Bila
kejang timbul setelah 2 minggu beriantikonvulsan peroral jangka panjang.
 Pasien dengan ICH, terutama lobar ICH, beresiko untuk kejang; 30-hari
risiko pasca-ICH mereka dikutip pada sekitar 8%. Kejang klinis dan secara
electrographic harus ditangani secara agresif, tetapi obat antiepilepsi (AED)
profilaksis yang lebih kontroversial. AED sering digunakan sebagai
profilaksis pada ICH untuk menghindari kejang-terkait neurologis
kerusakan dan perdarahan ulang. Tahun 2007 American Heart Association
pedoman untuk perawatan ICH menyarankan bahwa “singkat” periode AED
profilaksis dapat diberikan untuk mencegah kejang awal lobar ICH. Dengan
demikian, AED profilaksis harus dipilih dan dikelola secara bijaksana untuk
pasien pada risiko tertinggi untuk kejang.
 TIK meningkat beri manitol bolus i.v. 0,25-1 g/kgBB per 30 menit,
dilanjutkan 0,25g/kg per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari, dapat juga
diberiNaCl 3%atau furosemid.
 Pertumbuhan hematoma merupakan faktor penentu independen dari kedua
mortalitas dan hasil fungsional setelah ICH . Dalam analisis data sekunder
170 dari 374 pasien (45%) memiliki ivh pada awal dan 12% (44 dari 374)
memiliki peningkatan yang lebih besar dari 2 mL volume ivh antara
baseline dan 24 jam CT scan . Membatasi pertumbuhan hematoma
intraventrikular mungkin menjadi target terapi yang penting.

Adapun indikasi bedah pada stroke hemoragik


1) Perdarahan serebelar > 3 cm dengan perburukan klinis atau kompresi batang
otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel.
2) Perdarahan intra serebral dgn lesi struktural (aneurisma, MAV atau angioma
kavernosa), jika mempunyai harapan outcome baik dan lesi strukturnya
terjangkau / accessible
3) Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar (≥ 50 cm3 )
yang memburuk
4) Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten ditemukan pada kebijakan
terapi dengan penggunaan kateter intreventrikuler untuk mempertahankan
TIK dalam batas normal dan usaha untuk menghilangkan bekuan darah
dengan menyuntikan trmbolitik dosis rendah.

Menurut American Hearth Association (AHA), algorithm CVA untuk mengobati


keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut:
a. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
- Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir
yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
- Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
b. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
c. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
d. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan
gerak pasif (Muttaqin, 2008)

9. KOMPLIKASI
Komplikasi dari IVH antara lain:
1) Hidrosefalus
Hal ini merupakan komplikasi yang sering terjadi yang seiring dan
kemungkinan disebabkan karena obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau
berkurangnya absorbsi meningeal. Hidrosefalus dapat berkembang pada 50%
pasien dan berhubungan dengan keluaran yang buruk.
Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian
bedah saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shunt merupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus, yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.
Sebuah studi tentang hidrosefalus menunjukkan rasio kesuksesan perbaikan
gejala dan tanda klinis pada 50%- 90% penelitian pada anjing yang mendapatkan
tatalaksana ventriculoperitoneal shunting.
2) Perdarahan Ulang (rebleeding)
Tindakan medis untuk mencegah perdarahan ulang setelah SAH dari AHA
Guideline 2009 : 1). Tekanan darah sebaiknya dimonitor dan dikontrol untuk
mengimbangi risiko stroke, hipertensi yang berhubungan dengan perdarahan
ulang, dan mempertahankan CPP (cerebral perfusion pressure) (I, B). 2). Tirah
baring saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan ulang setelah SAH. Dapat
dipertimbangkan strategi tatalaksana yang lebih luas, bersamaan dengan
pengukuran yang lebih definitif (IIb, B). 3). Meskipun studi yang lalu
menunjukkan keseluruhan efek negatif dari antifibrinolitik, bukti sekarang
menyarankantatalaksana awal dengan pemberian antifibrinolitik jangka pendek
dilanjutkan dengan penghentian antifibrinolitik dan profilaksis melawan
hipovolemi dan vasospasme (IIb, B).
3) Vasospasme
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular
hemorrhage (IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu : yaitu: 1).
Disfungsi arteriovena hipotalamik berperan dalam perkembangan vasospasme
intrakranial. 2). Penumpukkan atau jeratan dari bahan spasmogenik akibat
gangguan dari sirkulasi cairan serebrospinal.(27)Rekomendasi tatalaksana
vasospasme serebri dari AHA Guideline pada SAH, yaitu: Nimodipin oral
diindikasikan untuk mengurangi keluaran yang buruk yang berhubungan dengan
SAH aneurisma (I, A). Nilai dari pemberian antagonis kalsium secara oral atau
intravena masih belum jelas. Dosis oral yang dianjurkan adalah 60 mg setiap 6
jam.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CVA

A. Pengkajian
1) Data demografi
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan
tidak dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Sedangkan stroke infark tidak terlalu
mendadak, saat istirahat atau bangun pagi, kadang nyeri copula, tidak kejang dan
tidak muntah, kesadaran masih baik.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat
kontrasepsi oral.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut,
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia
ditandai dengan kesulitan menelan, obesitas
c. Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia
urine, anuria. Adanya distensi abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus
negatif (ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus
d. Pola aktivitas dan latihan
 Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
 Tanda yang muncul adalah gangguan tonus otot (flaksid, spastis),
paralitik (hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran
e. Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri
otot
f. Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak
kooperatif.
h. Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/ kekaburan
pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang
sakit.
i. Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan
stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
j. Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena
gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k. Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa dengan tanda emosi
yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulian
mengekspresikan diri
l. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak
stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
 Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
 Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
 Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
 Pemeriksaan integumen
 Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
 Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
 Rambut : umumnya tidak ada kelainan
 Pemeriksaan kepala dan leher
 Kepala : bentuk normocephalik
 Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
 Leher : kaku kuduk jarang terjadi
 Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing
ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan
refleks batuk dan menelan, adanya hambatan jalan nafas. Merokok
merupakan faktor resiko.
 Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
 Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
 Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan neurologi
 Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Penglihatan menurun, diplopia, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman, paralisis atau parese wajah.
 Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh, kelemahan, kesemutan, kebas, genggaman
tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral, apraksia
 Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi, hilangnya rangsang
sensorik kontralteral.
 Pemeriksaan refleks
 Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli
dengan refleks patologis.
 Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat kesadaran,
gangguan fungsi kognitif seperti penurunan memori, pemecahan
masalah, afasia, kekakuan nukhal, kejang,

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Perubahan perfusi jaringan serebral b/d interupsi aliran darah, vasospasme serebral,
edema serebral
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas b/d akumulasi sputum akibat penurunan
tingkat kesadaran, penurunan kemampuan batuk, ketidakmampuan mengeluarkan
sekret
3. Kerusakan mobilitas fisik b/d keterlibatan neuromuskuler kelemahan, parestesia,
kerusakan perseptual/kognitif
4. Defisit perawatan diri b/d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan
ketahanan, kehilangan kontrol, nyeri, depresi
5. Kerusakan komunikasi verbal b/d kerusakan sirkulasi serebral, kehilanga tonus otot
fasial ketidakmampuan berbicara

Rencana Intervensi
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
NOC : Tissue Perfusion: Cerebral
INDICATOR Severe Substantial Moderate Mild No
deviation deviation deviation deviation deviation
from from from normal from from
normal normal range normal normal
range range range range
Tekanan intracranial v
Tekanan sistolik v
Tekanan diastolic v
MAP v

Indicator severe substantial moderate mild none


Headache v
Carotid bruit v
Decreased level of v
consciousness
Impaired v
neurological reflexes
NIC:
a. Intracranial pressure (ICP) Monitoring
a. Mengkaji dengan alat monitoring ICP
b. Memeberikan informasi kepada pasien dan keluarga
c. Set alarm monitor
d. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang ICP
e. Monitor status neurological
b. Cerebral perfusion promotion
a. Konsultasikan dengan dokter untuk menetukan parameter
hemodinamik
b. Memberikan analgesic sesuai order
c. Memberikan antikoagelan sesuai order
d. Memberikan antiplatelet sesuai order
e. Monitor tekanan darah
f. Monitor MAP

2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2X24 klien mampu melakukan
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
NOC: Mobility
Indicator Severely Substantiall Moderately Midly Not
compromise y compromise compromised compromised
d compromise d
d
Balance V
Coordination V
Muscle movement V
Joint movement V
Moves with ease V
NIC:
1. Exercise Therapy: balance
 Menentukan kemampuan pasien untukmengikuti latihan
 Mengevaluasi kemampuan sensori (penglihatan, pendengaran)
 Menyediakan tempat yang aman untuk latihan
 Kaji respon klien selama latihan
2. Joint mobility
 Menetukan keterbatasan gerak sendi
 Kolaborasi dengan therapist dalam mengembangkan program latihan
 Mengkaji tingkat nyeri sebelum melakukan latihan
 Melindungi klien dari trauma selama latihan
 Membantu klien untuk posisi yang optimal dalam melakukan
passive/aktive joint movement
 Mendorong klien melakukan latihan ROM aktif
 Mengajari PROM dan membantu AROM jika diindikasikan
 Berikan pujian yang positif untuk

3. Defisit perawatan diri: Mandi


Setelah dilaukan tindakan keperawatan selama 1X24 jam klien nampak
bersih dan terawat.
NOC
Indicators Severely Substantially Moderately Midly Not
compromised compromised compromised compromised compromised
Cuci muka V
Mandi badan V
bagian atas
Mandi badan V
bagian bawah
Memebersihka V
n area perineal
Mengeringkan V
badan
NIC:
Self-care Assistance: Bathing/Hygiene
1. Mempertimbangkan budaya pasien ketika akan memandikan
2. Mempertimbangkan usia pasien ketika akan memandikan
3. Menetukan jumlah dan jenis bantuan yang dibutuhkan
4. Menyiapkan alat-alat mandi (handuk, sabun, deodorant, dan kebutuhan
mandi lainnya)
5. Menyediakan lingkungan yang terapeutik dan mejaga privacy klien
6. Bantu klien menggosok gigi dengan tepat
7. Bantu klien membersihkan badannya
8. Monitor kebersihan kuku klien.
9. Monitor integritas kulit klien.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. 2012. Diagnosa Stroke. Scientifc Jurnal UMM. I: 193-197


Batticaca, F. B. 2008. Asuhan keperawatan Klien dengan gangguan sistem persyarafan.
Jakarta: Salemba medika.
Gofir. 2009. Manajemen Stroke Evidance Based Medicine. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press
Muttaqin, A. 2008. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sisitem
persyrafan. Jakarta: Salemba medika.
Setyopranoto, I. 2011. Stroke : Gejala dan Penatalaksanaan. (online) (tersedia di
http://journal.rskariadi.co.id) diakses 3 Oktober 2018.
Wijaya, A.K. 2013. Patofisiologi Stroke Non-Hemoragis Akibat Trombus. (Online).
(tersedia di http://ojs.unud.ac.id) diakses 3 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai