Anda di halaman 1dari 13

3.

1 Saat Timbulnya Utang Pajak

Terdapat dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak.

l. Ajaran materiil

Utang pajak timbul karena adanya undang-undang dan adanya sesuatu yang
menyebabkan, yaitu rangkaian peristiwa atau keadaan yang dapat menimbulkan utang
pajak.

2. Ajaran formil

Utang pajak timbul karena adanya surat kesepakatan pajak oleh fiskus. Ajaran
ini tidak melihat tentang adanya sesuatu yang tnenyebabkan, yaitu rangkaian peristiwa
atau keadaan sebagai dasar yang menunbulkan utang pajak, tetapi tergantung pada
adanya surat ketetapan pajak.

3.2 Cara Pengenaan Utang Pajak

Menurut teori ada tiga cara pengenaan pajak yang dilakukan yaitu :

1. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)


Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan
atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi
UU. Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama
dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang
sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi
dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan
demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk
tahun yang akan dating. Pasal 25 UU PPh merupakan contoh cara pemajakan didepan
yang dilakukan dengan suatu perhitungan (formula) tertentu.
Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang
harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran
pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperduabelas dari besarnya
PPh tahun pajak yang lalu. Contoh sederhananya, misalnya, Tuan A mempunyau PPh
tahun pajak 2008 sebesar Rp. 120 Juta, maka angsuran pajak yang harus dibyara Tuan
A setiap bulan pada tahun pajak 2009 adalah Rp. 10 Juta (Rp120 juta : 12 bulan)

1
2. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)
Pengenaan pajak di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang
didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam
suatu tahun pajak. Karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak
baeru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya
suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang,
yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara di belakang diketahui dari ketentuan
yang diatur dalam Pasal 29, yang selengkapnya menyatakan: ‘apabila pajak yang
terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak
yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.’ Pengenaan pajak di belakang seperti diatur dalam Pasal 29
merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayaran pajak
yang dilakukan di depan. Pengenaan pajak di belakang ini merupakan kekurangan
pembayaran pajak yang sebenarnya, yang dihitung pada akhir tahun setelah
berakhirnya tahun pajak.

3. Pengenaan Campuran
Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang
mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak,
fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang-
undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak
berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prinsipnya mendasarkan
pengenaan pajak dengan cara campuran ini.
Pengenaan cara campuran ini mengombinasikan cara pengenaan di depan
dengan pengenaan di belakang sesuai keadaan yang sebenarnya. Kombinasi Pasal 25
dan Pasal 29 UU PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan
pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran merupakan cara pengenaan pajak
yang meringankan Wajib Pajak. Artinya, Wajik Pajak diberikan kesempatan untuk
mencicil beban pajaknya dengan cara membayar di depan yang dilakukan setiap bulan.
Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib Pajak disuruh menghitung sendiri kekurangan
pajak yang sebenarnya terutang. Dengan demikian, Wajib Pajak hanya tinggal
membayar kekurangannya setelah berakhirnya tahun pajak. Pengenaan cara campuran

2
ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses pemungutan pajak guna
tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh pemerintah.

3.3 Hapusnya Utang Pajak

Ada empat hal yang mengakibatkan hapusnya (berakhirnya) utang pajak, yaitu:

1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Kedaluwarsa; dan
4. Penghapusan.

Utang pajak akan hapus apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran atas
utangnya pajak ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk
lainnya. Sementara itu, kompensasi adalah suatu cara menghapus utang pajak yang
dilakukan melalui cara pemindahan kelebihan pajak pada suatu jenis pajak (pada tahun
yang sama atau tahun yang berbeda) dengan menutup kekurangan utang pajak atas jenis
pajak yang sama atau jenis pajak lainnya (juga pada tahun yang sama atau tahun yang
berbeda).

Selanjutnya, kedaluwarsa utang pajak merupakan suatu cara untuk menghapus


utang pajak karena lampaunya waktu. Kedaluwarsa utang pajak bisa terjadi karena
lampaunya waktu penetapan pajak (penerbitan surat ketetapan pajak) maupun karena
lampaunya waktu proses penagihan pajak. Kedaluwarsa utang pajak dimaksudkan agar
ada suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk suatu masa tertentu yang ditentukan
UU tidak lagi mempunyai utang pajak. Pasal 13 dan Pasal 22 UU No. 16 Tahun 2000
(UU KUP) menyatakan bahwa kedaluwarsa penetapan dan penagihan pajak lampau
setelah 10 (sepuluh) tahun. Artinya, setelah batas waktu tersebut, Wajib Pajak tidak lagi
mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak.

Hapusnya utang pajak yang terakhir terjadi karena adanya proses penghapusan
piutang pajak yang bisa disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.

1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau

3
2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat
keterangan dari pemerintah daerah setempat. Penghapusan utang pajak melalui proses
penghapusan merupakan bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar
mengalami hal tersebut di atas ; atau
3. Sebab lain, misalnya, Wajib Pajak atau dokumen tidak lagi dapat ditemukan karena
keadaan yang tidak dapat dihindarkan, seperti kebakaran, bencana alam, dan
sebagainya.

Dalam beberapa kasus, sering diketahui bahwa pembayaran utang pajak tidak
dilakukan sesuai ketentuan yang diatur. Pembayaran pajak seharusnya dilakukan
melalui bank persepsi atau kantor pos. Namun, ada kalanya wajib pajak malah
memercayai okum kesultanan pajak atau pegawai pajak untuk menitipkan pembayaran
utang pajak. Ketika dilakukan klarisifikasi atas utang pajak, ternyata pembayaran utang
pajak belum masuk ke rekening kas negara.

Dengan adanya kejadian demikian, tentu akan mengakibatkan utang pajak


dianggap belum dilunasi. Oleh karena itu, disarankan kepada Wajib pajak untuk tidak
memberikan plunasan utang pajak kepada pihak yang tidak bertanggung jawab. Perlu
ditegaskan bahwa hanya bank dan kantor pos yang saat ini diberikan kepercayaan oleh
pemerintah untuk menerima pembayaran uang pajak.

3.4 Tarif Progresif

Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai
dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.

Tarif progresif ini dapat dibedakan menjadi tiga, adalah sebagai berikut.

l. Tarif progresif-proporsional

2. Tarif progresif-progresif.

3. Tarif progresif-degresif.

 Tarif Progresif-Proporsional

4
Tarif progresif-proporsional adalah tax-if pajak yang persentasenyan semakin
besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan dari
tarifnya sama besar. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan
perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif progresif-
proporsional masih dapat dibagi menjadi dua yaitu tarif progresif-proporsional absolut
dan tarif progresif-proporsional berlapisan.

Contoh tarif progresif-proporsional absolut

Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Peningkatan Jumlah pajak


tarif
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 di atas Rp10.000.000 s.d 5% Rp 3.000.000 (20.000.000 x 15%)
Rp20.000.000 = 15%
Rp 30.000.000 di atas Rp20.000.000 s.d 5% Rp 6.000.000 (30.000.000 x 20%)
Rp30.000.000 =20%
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 =25% 5% Rp 10.000.000 (40.000.000 x 25%)

Contoh tarif progresif-proporsional berlapisan.

Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Peningkat Jumlah pajak


an tarif
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 di atas Rp10.000.000 s.d 5% Rp 2.500.000 (10.000.000 x 10% +
Rp20.000.000 = 15% 10.000.000 x 15%
Rp 30.000.000 di atas Rp20.000.000 s.d 5% Rp 4.500.000 (10.000.000 x 10% +
Rp30.000.000 =20% 10.000.000 x 15% +10.000.000 x20%)
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 5% Rp 4.500.000 (10.000.000 x 10% +
=25% 10.000.000 x 15% + 10.000.000 x 20%
+ 10.000.000 x 25 %)

 Tarif Progresif-Progresif

Tarif progresif-progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan tarifnya semakin besar. jumlah
pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar
pengenaan pajaknya. Tarif progresif-progresif masih dapat dibagi menjadi dua, yaitu tarif
progresif-progresif absolut dan tarif progresif-progresif berlapisan.

5
Contoh tarif progresif-progresif absolut

Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Peningkatan Jumlah pajak


tarif
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 s.d Rp20.000.000 = 15% 5% Rp 3.000.000 (20.000.000 x 15%)
Rp 30.000.000 s.d Rp30.000.000 =25% 10% Rp 6.000.000 (30.000.000 x 25%)
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 =40% 15% Rp 10.000.000 (40.000.000 x 40%)

Contoh tarif progresif-progresif berlapisan.

Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Peningkat Jumlah pajak


an tarif
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 di atas Rp10.000.000 s.d 5% Rp 2.500.000 (10.000.000 x 10% +
Rp20.000.000 = 15% 10.000.000 x 15%
Rp 30.000.000 di atas Rp20.000.000 s.d 10% Rp 5.000.000 (10.000.000 x 10% +
Rp30.000.000 =25% 10.000.000 x 15% +10.000.000 x25%)
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 =40% 15% Rp 9.000.000 (10.000.000 x 10% +
10.000.000 x 15% + 10.000.000 x 25%
+ 10.000.000 x 40%)

 Tarif progresif-degresif

Tarif progresif-degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya tariff semakin kecil. Jumlah pajak yang
terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tariff dan perubahan dasar pengenaan
pajaknya. Tarif progresif-degresif masih dapat dibagi menjadi dua yaitu, tarif progresif-
degresif absolut dan tarif progresif-degresif berlapisan

Contoh tarif progresif-degresif absolut

Dasar pengenaan Tarif pajak Peningka Jumlah pajak


pajak tan tarif
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 s.d Rp20.000.000 = 25% 15% Rp 5.000.000 (20.000.000 x 25%)
Rp 30.000.000 s.d Rp30.000.000 = 35% 10% Rp 10.500.000 (10.000.000 x 35%)
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 =40% 5% Rp 16.000.000 (40.000.000 x 40%)

6
Contoh tarif progresif-degresif berlapisan

Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Peningkat Jumlah pajak


an tariff
Rp 10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp 1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp 20.000.000 di atas Rp10.000.000 s.d 15% Rp 3.500.000 (10.000.000 x 10% +
Rp20.000.000 = 25% 10.000.000 x 25%
Rp 30.000.000 di atas Rp20.000.000 s.d 10% Rp 7.000.000 (10.000.000 x 10% +
Rp30.000.000 =35% 10.000.000 x 25% +10.000.000 x35%)
Rp 40.000.000 di atas 30.000.000 =40% 5% Rp 11.000.000 (10.000.000 x 10% +
10.000.000 x 25% + 10.000.000 x 35%
+ 10.000.000 x 40%)

3.5 Tarif Degresif (Menurun)


Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin kecil bila
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak makin besar. Sekalipun persentasenya
makin kecil,
tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga makin besar. Tarif ini tidak
pernah digunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
Contoh pemakaian tarif degresif :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
≤ Rp 10.000.000 30%
Rp 10.000.000-Rp 50.000.000 25%
> Rp 50.000.000 15%

Jika Tuan Ali punya penghasilan sebesar Rp 100.000.000, maka besarnya pajak yang
terutang adalah:
30% x Rp 10.000.000 = Rp 3.000.000
25% x Rp 40.000.000 = Rp 10.000.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
Jumlah pajak terutang = Rp 20.500.000

Tarif Degresif ini dapat dibedakan menjadi tiga, adalah sebagai berikut.
1. Tarif degresif-proporsional
Tarif degresif-proporsional adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya sama
besar. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan

7
perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif degresif-proporsional masih dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tarif degresif proporsional aboslut dan tariff degresif
proporsional berlapisan. Dalam praktik, tarif degresif ini tidak digunakan karena
tidak memenuhi asas keadilan.
Contoh: Tarif Degresif-Proporsional Absolut
Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak
Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 25% - Rp 2.5000.000(Rp10.000.000 x 25%)
Rp 20.000.000 s.d Rp 20.000.000 = 20% 5% Rp 4.000.000(Rp20.000.000 x 20%)
Rp 30.000.000 s.d Rp 30.000.000 = 15% 5% Rp 4.500.000(Rp30.000.000 x 15%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 = 20% 5% Rp 4.000.000(Rp40.000.000 x 10%)

Contoh: Tarif Degresif-Proporsional Berlapisan


Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak
Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 25% - Rp 2.500.000 (10.000.000 x 25%)
Rp 20.000.000 diatas Rp 10.000.000 s.d Rp 5% Rp 4.500.000 (10.000.000 x 25% +
20.000.000 = 20% 10.000.000 x 20%)
Rp 30.000.000 diatas Rp 20.000.000 s.d Rp 5% Rp 6.000.000 (10.000.000 x 25% +
30.000.000 = 15% 10.000.000 x 20%+10.000.000 x 15%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 = 10% 5% Rp 7.000.000 (10.000.000 x 25% +
10.000.000 x 20% +10.000.000 x 15%
+ 10.000.000 x 10%)

2. Tarif degresif-progesif
Tarif degresif-progesif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya
semakin besar. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan
tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif degresif-progesif masih dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tarif degresif-progesif absolute dan tarif degresif-progesif
berlapisan.

8
Contoh: Tarif Degresif-Progesif Absolut
Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak
Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 40% - Rp 4.000.000 (10.000.000 x 40%)
Rp 20.000.000 s.d Rp 20.000.000 = 35% 5% Rp 7.000.000 (20.000.000 x 35%)
Rp 30.000.000 s.d Rp 30.000.000 = 25% 10% Rp 7.500.000 (30.000.000 x 25%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 =
15% Rp 4.000.000 (40.000.000 x 10%)
10%

Contoh: Tarif Degresif-Progesif Berlapisan

Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak


Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 40% - Rp 4.000.000 (10.000.000 x 40%)
Rp 20.000.000 diatas Rp 10.000.000 s.d 5% Rp 7.500.000 (10.000.000 x 40% +
Rp 20.000.000 = 35% 10.000.000 x 35%)
Rp 30.000.000 diatas Rp 20.000.000 s.d 10% Rp 10.000.000 (10.000.000 x 40% +
Rp 30.000.000 = 25% 10.000.000x35%+10.000.000x 25%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 = 15% Rp 11.000.000 x 35% + 10.000.000 x
10% 25% + 10.000.000 x 10%)

3. Tarif degresif-degresif
Tarif degresif-degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya
semakin kecil. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan
tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif degresif-degresif masih dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tarif degresif-degresif absolute dan tarif degresif-degresif
berlapisan
Contoh: Tarif Degresif-Degresif Berlapisan

9
Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak
Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 40% - Rp 4.000.000 (10.000.000 x 40%)
Rp 20.000.000 s.d Rp 20.000.000 = 25% 15% Rp 7.000.000 (20.000.000 x 25%)
Rp 30.000.000 s.d Rp 30.000.000 = 15% 10% Rp 7.500.000 (30.000.000 x 15%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 =
5% Rp 4.000.000 (40.000.000 x 10%)
10%

Contoh: Tarif Degresif-Degresif Berlapisan


Dasar Tarif Pajak Penurunan Jumlah Pajak
Pengenaan Tarif
Pajak
Rp 10.000.000 s.d Rp 10.000.000 = 40% - Rp 4.000.000 (10.000.000 x 40%)
Rp 20.000.000 diatas Rp 10.000.000 s.d 15% Rp 6.500.000 (10.000.000 x 40% +
Rp 20.000.000 = 25% 10.000.000 x 25%)
Rp 30.000.000 diatas Rp 20.000.000 s.d 10% Rp 8.000.000 (10.000.000 x 40% +
Rp 30.000.000 = 15% 10.000.000x25%+10.000.000x 15%)
Rp 40.000.000 diatas Rp 30.000.000 = 5% Rp 9.000.000 (10.000.000 x 40% +
10% 10.000.000x25%+10.000.000x 15%
+ 10.000.000 x 10%)

3.6 Tarif Proporsional (Sebanding)

Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase


tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, makin besar jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini
diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (UU PPN) yang menggunakan tarif
proporsional sebesar 10%.

Misalnya, Tuan Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu Barang Kena
Pajak (BKP), sebagai berikut:

10
Jumlah Penjualan Tarif Besarnya Pajak
Rp. 500.000 10% Rp. 50.000
Rp. 1.000.000 10% Rp. 100.000
Rp. 5.000.000 10% Rp. 500.000
Rp. 10.000.000 10% Rp. 1.000.000

Demikian pula dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) menggunakan tariff proporsional sebesar 0,5% serta UU No. 21
Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB)
menggunakan tariff proporsional sebesar 5%. Karena tariff proporsional ini hanya
menggunakan satu tariff yang persentasenya tetap maka sering disebut juga dengan
tariff tunggal.

3.7 Tarif Tetap


Tarif tetap yaitu tarif dengan jumlah atau angka tetap berapa pun yang menjadi dasar
pengenaan pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Tarif pajak

Rp 1.000.000 Rp 3000
Rp 10.000.000 Rp 3000
Rp 20.000.000 Rp 3000
Rp 50.000.000 Rp 3000

Misalnya, bea materai untuk cek atau bilyet giro. Berapapun jumlahnya
dikenakan bea materai yang sama yaitu sebesar Rp 3000.

Menurut buku berbeda, yaitu Hani Handoko, dalam bukunya yang berjudul
“Manajemen”, tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap
tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini
diterapkan dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM). Dalam undang-
undang bea materai, tarif yang digunakan adalah bea materai dengan nominal sebesar
Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah.

11
Berdasarkan PP No.7 Tahun 1995, tarif bea materai tersebut dinaikkan menjadi Rp
1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya dengan PP No. 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikkan
lagi menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000.

3.8 Tarif Advalorem


Tarif Advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang
dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya, PT ABC mengimpor barang jenis ‘X’sebanyak 1.000 unit dengan
harga per unit Rp 100.000. jika tarif bea masuk atas impor barang tersebut 10%, maka
besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah sebagai berikut.

Nilai barang impor = 1.000 x Rp 100.000


= Rp 100.000.000
Tarif bea masuk 10%, maka
Bea masuk yang harus dibayar = 10% x Rp 100.000.000
= Rp 10.000.000

3.9 Tarif Spesifik


Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu asas suatu jenis barang tertentu
atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya, PT BCD mengimpor barang jenis ‘X’ sebanyak 1.000 unit dengan
harga Rp. 100.000. Jika tarif bea masuk atas impor barang Rp. 100.000 per unit, maka
besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah barang impor = 1.000 unit
Tarif Rp.100.000 maka
bea masuk yang harus dibayar = Rp. 100.000 x 1.000
= Rp. 100.000.000

12
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, wirawan B., Burton Richard. 2013. Hukum pajak, edisi 6. Jakarta selatan: Salemba
Empat.
Suand, erly. 2011. Hukum pajak, edisi 4. Jakarta selatan: Salemba Empat.
Halim, Abdul., Rangga Bawono, Icuk., dkk. 2014. Perpajakan. Jakarta Selatan : Salemba
Empat.

13

Anda mungkin juga menyukai