Anda di halaman 1dari 9

Tionghoa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Untuk kegunaan lain dari Tionghoa, lihat Tionghoa (disambiguasi).

Kaisar dan Permaisuri Huaxia.

Tionghoa atau Tionghwa (ejaan Hokkien dari kata Hanzi sederhana: 中华; Hanzi
tradisional: 中華; pinyin: zhonghua, Romanisasi Min Nan: Tiong-hôa) atau Huaren (华人)
atau Bangsa Tionghoa atau Orang Tionghoa adalah sebutan di Indonesia untuk orang-orang
dari suku atau bangsa Tiongkok. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk
menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif.[1] Kata ini juga dapat merujuk
kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat Tiongkok, seperti di
Indonesia (Tionghoa-Indonesia), Malaysia (Tionghoa-Malaysia), Singapura, Hong Kong,
Taiwan, Amerika Serikat, dsb.. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia, istilah orang
Tionghoa dan orang Tiongkok memiliki perbedaan makna; yang pertama merujuk pada etnis
atau suku bangsa, yang kedua merujuk pada kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok.
Orang-orang Tiongkok yang pergi merantau umumnya disebut sebagai orang Tionghoa
perantauan (Hoakiao).

Di Tiongkok sendiri, konsep serupa dikenal dengan nama Huaxia (Hanzi sederhana: 華夏)
yang merujuk pada konsep bangsa serta peradaban Tiongkok, yang bersumber dari kesadaran
bangsa Han (kelompok etnis mayoritas di Tiongkok Daratan, yang berasal dari Dinasti Han)
atas nenek moyang mereka, yang secara kolektif disebut sebagai Huaxia. Sedangkan istilah
Zhonghua sendiri digunakan secara resmi dalam nama negara, baik pada waktu sebelum
Perang Dunia II (Republik Tiongkok - Zhonghua minguo) maupun setelah Perang Saudara
Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok - Zhonghua remin gongheguo)

Daftar isi
 1 Zhonghua minzu
o 1.1 Sejarah konsep

o 1.2 Ambiguitas

o 1.3 Implikasi

o 1.4 Perbedaan Tiongkok dan Tionghoa


 2 Tionghoa di Indonesia
o 2.1 Era Hindia Belanda

o 2.2 Orde Lama

o 2.3 Orde Baru

o 2.4 Era Reformasi

 3 Lihat pula
 4 Referensi
 5 Pranala luar

Zhonghua minzu

Tionghoa
Hanzi tradisional: 中華民族
Hanzi sederhana: 中华民族
[tampilkan]Transliterasi
Artikel ini memuat teks berbahasa Tionghoa.
Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin
akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau
simbol lain, sebagai pengganti karakter yang
dimaksud.

Zhonghua minzu (Hanzi sederhana: 中华民族; Hanzi tradisional: 中華民族; pinyin:


Zhōnghuá Mínzú), kadang-kadang diterjemah sebagai "bangsa Tionghoa" atau ras
Tionghoa[2][3][4] dalam pengertian modern merujuk kepada semua rakyat di negara Tiongkok
tanpa memandang kumpulan etnik. Zhonghua dialihaksarakan menjadi Tionghoa, sedangkan
Minzu diterjemahkan menjadi rakyat atau kumpulan etnik. Yang disebut orang Tionghoa tidak
serta-merta merujuk pada bangsa Han, yang merupakan mayoritas di Tiongkok, tetapi juga 55
suku minoritas lainnya di Tiongkok.

Istilah Zhonghua minzu merupakan suatu istilah politis kunci yang sejarahnya berkaitan erat
dengan sejarah negara Tiongkok modern, baik sejarah kebangkitan nasional Tiongkok
maupun sejarah perjuangan bangsa Tiongkok.[5][6]

Sejak akhir 1980-an, perubahan paling mendasar dalam kewarganegaraan dan kebijakan
minoritas di Republik Rakyat Tiongkok adalah perubahan nama dari "rakyat Tiongkok"
(bahasa Tionghoa: 中国人民 atau zhongguo renmin) menjadi "bangsa Tionghoa" (bahasa
Tionghoa: 中华民族 zhonghua minzu),[6] yang menandakan perubahan paradigma dari suatu
negara komunis dengan berbagai suku bangsa, menjadi suatu negara nasional dengan sebuah
identitas tunggal.[6]

Sejarah konsep

Ketika para penguasa Dinasti Qing mengadopsi model kekaisaran Dinasti Han, dan
menganggap negara mereka sebagai "Tiongkok" ("中國", lit. Negara Pusat atau Negara
Tengah), namun tokoh-tokoh nasionalis Tiongkok seperti Dr. Sun Yat-sen mendeskripsikan
pemerintahan Manchu sebagai "penjajah asing" yang harus diusir keluar,[7] dan merencanakan
untuk membangun sebuah negara Tiongkok modern, yang didambakan seperti negara-negara
modern lainnya pada saat itu. Setelah keruntuhan dinasti Qing, maka muncullah kontroversi
seputar status wilayah yang didominasi oleh etnis minoritas, seperti Tibet dan Mongolia.
Walaupun Kaisar Qing terakhir yang turun takhta telah menganugerahkan semua wilayah
Qing kepada republik yang baru lahir, namun posisi bangsa Mongol dan Tibet ketika itu
adalah hanya setia kepada penguasa monarki Qing, sehingga mereka tidak merasa setia
kepada pemerintah republik yang baru menggantikan monarki Qing. Posisi kedua wilayah ini
hingga saat ini ditolak oleh Republik Tiongkok maupun Republik Rakyat Tiongkok.

Bendera Nasional Tiongkok (1912-1928) setelah Revolusi Xinhai, dengan lima warna 'Lima
Bangsa di Bawah Satu Negara'

Pada masa awal Republik (1912–27) dan Nasionalis (1928–49), istilah Zhonghua minzu
pertama kali disebut oleh Liang Qichao, yang pada mulanya hanya merujuk pada bangsa
Han. Kemudian istilah tersebut diperluas untuk mencakup empat bangsa mayoritas lainnya:
bangsa Man (Manchu), bangsa Menggu (Mongol), bangsa Hui (kelompok etnis beragama
Islam di barat laut Tiongkok), dan bangsa Zang (Tibet),[4][8], yang merupakan pembagian yang
dilakukan oleh Dinasti Qing, di bawah konsep Lima Bangsa di Bawah Satu Negara (bahasa
Tionghoa: 五族共和). Sun Yat-sen kemudian memperluas lagi konsep ini, dia menulis:

有人說,清室推翻以後,民族主義可以不要。這話實在錯了。……現在說五族共和,
我們國內何止五族呢?我的意思,應該把我們中國所有各民族融化成一個中華民族。
……並且要把中華民族造成很文明的民族,然後民族主義乃為完了。

Ada beberapa orang berkata bahwa setelah Qing digulingkan, kita tidak butuh lagi
nasionalisme. Ini salah. ... Pada saat ini kita berbicara tentang mempersatukan lima ras, tetapi
apakah bangsa kita hanya memiliki lima ras? Maksud saya, kita harus mempersatukan semua
etnis di Tiongkok menjadi satu bangsa (Zhonghua minzu). ... dan lebih jauh lagi,
mengembangkan bangsa Tionghoa menjadi bangsa yang yang maju, baru setelah itu
nasionalisme selesai.

Setelah pendirian Republik Rakyat Tiongkok, konsep zhonghua minzu dipengarui oleh
kebijakan kewarganegaraan Soviet. Secara resmi RRT menjadi negara kesatuan yang terdiri
dari 56 kelompok etnis, dan etnis Han merupakan mayoritas di antaranya (lebih dari 90% dari
jumlah penduduk). Konsep zhonghua minzu menjadi kategori yang mencakup semua bangsa
di dalam batas wilayah negara RRT.[2][5]

Di Taiwan, konsep "bangsa Tionghoa" ini juga digunakan oleh Presiden Ma Ying-jeou
sebagai konsep pemersatu yang mempersatukan Taiwan dan Tiongkok Daratan, tanpa
menggunakan istilah "orang Tiongkok" yang bermakna ambigu.[9]
Ambiguitas

Berdasarkan pengertian di atas, seorang etnis Korea dari Tiongkok yang tinggal dan bekerja
di Korea, atau seorang etnis Mongolia dari Tiongkok yang tinggal dan bekerja di Mongolia
akan dianggap sebagai anggota dari zhonghua minzu, yang dapat memunculkan masalah
identitas orang tersebut (termasuk kesetiaan terhadap negara asal/tempat tinggalnya, batas
antara negara dan bangsa, dan kategorisasi modern terhadap negara-negara historis).[10]

傳統中式服裝

Persoalan apakah etnis Tionghoa yang tinggal di luar Tiongkok dan bukan warganegara
Tiongkok juga menjadi bagian dari definisi zhonghua minzu tergantung pada konteksnya.
Seringkali, orang-orang Tionghoa di Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat garis yang
jelas antara menjadi warganegara Tiongkok dan menjadi orang Tionghoa, sehingga tidak
memunculkan salah tafsir maupun pertanyaan tentang negara kewarganegaraan mereka.

Batas-batas konseptual zhonghua minzu lebih kompleks di negara-negara yang berbatasan


langsung dengan Tiongkok, seperti Mongolia dan Korea. Sebagai contoh, wacana Genghis
Khan sebagai "pahlawan nasional" di Tiongkok[10] ditentang oleh Mongolia, yang sejak keluar
dari sosialisme telah secara eksplisit memposisikan Genghis Khan sebagai bapak
bangsa/negara Mongolia. Pada kenyataannya, saat ini terdapat lebih banyak etnis Mongolia di
Tiongkok (kebanyakan di wilayah Mongolia Dalam), daripada di negara Mongolia itu sendiri.

Implikasi

Penggunaan konsep Zhonghua minzu dapat memunculkan interpretasi ulang terhadap sejarah
Tiongkok. Sebagai contoh, Dinasti Qing yang didirikan oleh bangsa Manchu pada masa itu
dianggap sebagai rezim "asing", atau "non-Han". Demikian pula dengan Dinasti Yuan yang
didirikan bangsa Mongol. Setelah ideologi zhonghua minzu diadopsi, maka kedua suku
bangsa tersebut adalah bagian dari zhonghua minzu, dengan demikian mereka tidak lagi
dianggap sebagai bangsa asing, dan dinasti mereka dianggap merupakan dinasti yang
didirikan oleh salah satu etnis minoritas Tiongkok.
Di pihak lain, beberapa tokoh pahlawan tradisional Tiongkok juga dikaji ulang sejarahnya.
Pahlawan seperti Yue Fei dan Koxinga yang pada mulanya dianggap telah berjasa membela
Tiongkok dari serangan bangsa "barbar", sekarang telah dikarakterisasi ulang sebagai
"pahlawan etnis (Han)" yang berperang bukan melawan bangsa barbar, melainkan etnis lain
yang masih merupakan sesama orang Tionghoa (bangsa Jurchen dan Manchu).[11]

Dalam praktiknya, konsep zhonghua minzu telah memberikan akses yang sangat luas kepada
warganegara Tiongkok dari etnis minoritas. Mereka memperoleh hak masuk universitas
pilihan, kebijakan pajak yang longgar, tidak perlu mengikuti program kebijakan satu anak,
dan beberapa kelonggaran lainnya di bawah undang-undang Tiongkok tentang etnis
minoritas[12] Hal ini otomatis membuat populasi etnis minoritas di Tiongkok melesat tajam,
dari sekitar 5% total etnis minoritas di Tiongkok pada tahun 50-an, menjadi 10% pada tahun
2006-7.

Perbedaan Tiongkok dan Tionghoa

Lihat pula: Tiongkok (istilah)

Ada perbedaan antara istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa", yang seringkali rancu
penggunaannya dalam bahasa Indonesia, antara lain:

 Tiongkok merujuk pada suatu entitas geografis negara di Asia Timur, dan hal-hal yang
berkaitan dengan negara tersebut, termasuk sejarahnya, sementara Tionghoa merujuk
pada suatu konsep, yang penggunaannya mirip dengan adjektiva dalam bahasa
Inggris: Chinese (walaupun dalam bahasa Indonesia "Tiongkok" juga dapat digunakan
sebagai adjektiva).
 "Orang Tionghoa" merujuk pada jatidiri bangsa Tionghoa, sementara "orang
Tiongkok" hanya bermakna suatu kewarganegaraan, bukan suatu kebangsaan.
 Hanya ada bahasa Tionghoa (aksara Tionghoa, nama Tionghoa, marga Tionghoa,
dsb.), dan tidak ada "bahasa Tiongkok", karena bahasa bukan merupakan produk
suatu negara, melainkan suatu bangsa. Namun hanya ada sejarah Tiongkok, dan tidak
ada "sejarah Tionghoa".
 Terdapat budaya Tionghoa yang umurnya jauh lebih tua daripada budaya Tiongkok
(budaya di RRT), setua peradaban itu sendiri. Namun beberapa budaya khas
Tiongkok, seperti Opera Beijing tidak bisa disebut sebagai budaya Tionghoa secara
keseluruhan, melainkan hanya lokal Beijing.
 Beberapa pengertian yang lain dapat saling tumpang tindih, antara lain masakan
Tiongkok, yang sebagian besar juga merupakan masakan Tionghoa, namun ada
masakan Tionghoa tertentu, seperti misalnya masakan Tionghoa-Indonesia, yang
bukan merupakan masakan Tiongkok.

Di Tiongkok sendiri (dan Taiwan), pembedaan istilah ini tidak serta-merta memiliki padanan
istilah yang sama, karena dalam sudut pandang bahasa Tionghoa, istilah "Zhonghua" hanya
digunakan dalam nama lengkap negara ("Zhonghua Remin Gongheguo"), dan konsep
zhonghua minzu (kebangsaan Zhonghua), namun tidak digunakan sebagai adjektiva, seperti
dalam bahasa Indonesia.

 Negara disebut Zhongguo (中国)


 Warganegaranya disebut "Zhongguoren" (中国人), orang keturunan Tiongkok yang
bukan warganegara umumnya disebut "Hua Ren" (华人)

 Bahasanya disebut "Zhongwen" (中文, atau hanyu 汉语), sejarahnya disebut


"Zhongguo Lishi" (中国历史)
 Budaya, serta hal-hal seputarnya tercakup di dalamnya disebut "Zhongguo Wenhua"
(中国文化), dan tidak ada pembedaan antara budaya RRT dan non-RRT
 Hal-hal lain seputar Tiongkok menggunakan adjektiva "Zhongguo" (中国)

Dalam bahasa Inggris, walaupun ada perbedaan kata antara nomina China dan adjektiva
Chinese, namun tidak ada pembedaan antara adjektiva Tiongkok dan Tionghoa, seperti dalam
bahasa Indonesia. Oleh karena itu Chinese history (sejarah Tiongkok) dan Chinese language
(bahasa Tionghoa) menggunakan istilah yang sama. Hal yang senada juga terjadi ketika
Indonesia menggunakan istilah "Cina" pada periode waktu 1966 hingga 2014, karena tidak
ada pembedaan istilah antara "sejarah Cina" dan "bahasa Cina", oleh sebab itu terjadi
kesalahkaprahan bahasa, orang yang tidak memahami perbedaan tersebut dapat menggunakan
adjektiva yang salah antara "Tionghoa" dan "Tiongkok", misalnya menyebut "orang
Tionghoa" dalam konteks warga negara Tiongkok, "budaya Tiongkok" dalam konteks budaya
Tionghoa-Indonesia, "bahasa Tiongkok" (suatu istilah yang salah kaprah), dll.

Tionghoa di Indonesia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tionghoa-Indonesia

Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang


Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan
salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional
Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya
leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan
kebudayaan lokal lainnya.

Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan
nama aslinya dan menggunakan nama-nama Indonesia, meskipun secara pribadi masih
memakainya untuk pergaulan di antara sesama orang Tionghoa, sedangkan nama Indonesia
digunakan untuk keperluan formal. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa
takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang
enggan memakainya kembali. (Lihat pula Sejarah nama Tionghoa di Indonesia)

Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang Tionghoa-Indonesia antara lain:
tenglang, totok, peranakan, WNI keturunan, babah, nyonya, dll.

Era Hindia Belanda

Pada tahun 1900 di Indonesia didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Koan terpengaruh
gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi internasional ini dipimpin oleh Kang
Youwei dan Liang Qichao, dan di Indonesia dipimpin oleh Phoa Keng Hek di Jakarta dengan
tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran
Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan
bahasa.

Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880-an,
yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti
dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali
diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok
dengan mendirikan Republik Tiongkok (中華民國, Zhonghua Min'guo yang secara harfiah
berarti Negara "Rakyat Chung Hwa") pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing.
Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan
nasional di Indonesia. Sejak saat itu orang Tionghoa-Indonesia menyebut dirinya orang
Tionghoa, yang diserap dari bahasa Tionghoa, dialek Hokkian, dan menolak disebut "Cina"
(pada waktu itu ditulis "Tjina") yang sudah digunakan terlebih dahulu dan berkonotasi
negatif, yang diserap dari bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Jepang. Mao Zedong juga
meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (中華人民
共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.

Tahun 1928, Soekarno yang merasa berutang budi kepada masyarakat Tionghoa karena
koran-koran berbahasa Tionghoa banyak memuat tulisan Soekarno, sepakat mengganti
sebutan "Cina" dengan "Tionghoa". Koran Melayu-Tionghoa, Sin Po, misalnya, adalah koran
yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Koran ini merupakan publikasi
pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan Indonesia pada setiap
penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.
Supratman.

Orde Lama

Tahun 1945 di dalam teks penjelasan UUD 1945 Pasal 26 menggunakan istilah Tionghoa.
Tahun 1948 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia
mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa".
Meletusnya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai
Komunis Tiongkok, beberapa orang Tionghoa-Indonesia pun mendukungnya, meskipun
dalam jumlah yang kecil. Karena adanya benturan politik antara kaum nasionalis dan
komunis, akibatnya secara umum orang Tionghoa-Indonesia dijadikan kambing hitam dan
dikait-kaitkan dengan kegiatan komunisme. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya
Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru [13].

Tahun 1948 menilik dari perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi
penggunaan istilah Tiongkok/Tionghoa karena istilah ini digunakan oleh Partai Komunis
Indonesia.[14] Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yaitu
larangan dagang bagi semua orang asing (termasuk orang Tionghoa dengan kewarganegaraan
Tiongkok) di Daerah Tingkat II.

Tahun 1959 orang Tionghoa-Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi warga negara
Tiongkok atau warga negara Indonesia karena Indonesia tidak mengenal sistem
kewarganegaraan ganda. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa
rasialisme pada 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya seperti di
Garut 17 Mei 1963 dan kembali terjadi di kota Bandung 5 Agustus 1973. (Lihat pula
Kronologi SBKRI)
Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI (G30S/PKI) dan kecurigaan akan dukungan Republik
Rakyat Tiongkok yang akhirnya menggulingkan Presiden Soekarno.

Orde Baru

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia

Tahun 1967 pemerintahan Orde Baru pada di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dalam
salah satu tindakan pertamanya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang
melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tiongkok dilakukan di
Indonesia, dan mengeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun
1967 yang mengubah kata "Tionghoa"-"Tiongkok" menjadi "Cina"[15]

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu pihak yang menyatakan
keberatannya atas pemakaian istilah "Cina" di dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada
negara tersebut. Mereka keberatan dengan isi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan
Surat Edaran Nomor 06 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto yang
dinilai memulihkan istilah yang mengandung konotasi negatif, dan bukan sebaliknya seperti
yang digunakan sebagai alasan.

Tahun 1978 diterbitkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286 Tahun
1978[16]. Pemerintah Indonesia melalui Bakin mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa-
Indonesia melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC)
dengan alasan untuk mengawasi masalah komunisme.

Era Reformasi

Setelah era Reformasi, maka satu per satu kebijakan rasialis tersebut dicabut. Pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 [17] namun Keputusan Presidium
Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 maupun Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06
Tahun 1967 tidak turut dicabut, hingga tahun 2004 kelompok-kelompok etnis Tionghoa yang
beranggapan bahwa istilah Tiongkok/Tionghoa yang seharusnya digunakan masih
memperjuangkan dicabutnya surat edaran ini [18], antara lain Eddy Sadeli, anggota Komisi III
DPR RI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa, Paguyuban Sosial
Marga Tionghoa Indonesia , dll.

Adapun daftar peraturan yang dinilai merupakan bentuk diskriminasi adalah:[19]

1. Staatsblad Nomor 1849-25 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa.


2. Staatsblad Nomor 1917-130 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa.
3. Staatsblad Nomor 1920-751 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli
beragama Islam.
4. Staatsblad Nomor 1933-75 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli
beragama Kristen.
5. Staatsblad Nomor 1909 No 250 jo 1917 No 497 pasal 6 No 171 tentang Perkumpulan
Rahasia Cina.
6. Instruksi Presidium Kabinet RI No 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok
Penyelesaian masalah Cina.
7. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina.
8. Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
9. Instruksi Presiden No 15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina.
10. Instruksi Mendagri No 455.2-360 tentang Penataan Kelenteng.
11. Keputusan Kepala Bakin No 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Cina.
12. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No 286/1978 tentang pelarangan impor,
penjualan dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
13. Surat Edaran Bank Indonesia No SE 6/37/UPK/1973 tentang Kredit Investasi untuk
Golongan Pengusaha Kecil.
14. Surat Edaran Menteri Penerangan No 02/SE/Dit tentang Larangan Penerbitan dan
Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.

Pada tanggal 12 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan petisi
tersebut, dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014[20], setelah sebelumnya
judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidak dikabulkan, karena hal
tersebut berada di luar kewenangan mereka.[21]

Anda mungkin juga menyukai