Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pendarahan masih merupakan tiga penyebab utama kematian maternal
(ibu) tertinggi , disamping preeklamsi/eklamsi dan infeksi . pendarahan dalam
bidang obstertri dibagi menjadi 4 yaitu, pendarahan pada kehamilan muda (
kurang dari 22 minggu), pendarahan pada kehamilan lanjut, pendarahan saat
persalinan, dan pendarahan pasca persalinan (nifas).
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk pendarahan pada kehamilan
lanjut dan pada saat persalinan selain dari plasenta previa , solusio plasenta,
dan gangguan pembekuan darah . pendarahan pada kehamilan lanjut yaitu
pendarahan yang terjadi pada kehamilan yang lebih dari 22 minggu sampai
sebelum dilahirkan. pendarahan pada persalinan pendarahan intrapartum
sebelum kelahiran ( proses kelahiran bayi).
Penyumbang kematian terbesar bayi dalam kandungan adalah factor dari ibu
yang partus lama akibat reptur ateri dan diabetes militus. Maka hal ini
menandakan bahwa reptur uteri memberikan dampak negative pada
kehamilan ibu atau bayi.
Terjadinya ruptur uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin
masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya.
Kematian ibu dan anak karena reptur uteri masih tinggi. Insiden dan angka
kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang ,
seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada
pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care , pimpinan partus yang
baik , disamping pasilitas pengangkutan dari daerah-daerah prifer dan
penyediaan darah yang cukup juga merupakan factor yang penting.
1.2 . Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ruptur uteri?
2. Apa penyebab dari ruptur uteri?

1
3. Apa resiko kejadian ruptur uteri diindonesia dan NTB?
4. Berapa angka kejadian ruptur uteri diindonesia dan NTB?
5. Bagaimana anotomi dari ruptur uteri?
6. Apa patofisologi dari ruptur uteri?
7. Apa tanda dan gejala ruptur uteri?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari ruptur uteri?
9. Bagaimana cara pencegahan ruptur uteri?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada ruptur uteri?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ruptur uteri
2. Untuk mengetahui Etiologi dari ruptur uteri
3. Untuk mengetahui kejadian ruptur uteri diindonesia dan NTB
4. Untuk mengetahui angka kejadian ruptur uteri diindonesia dan NTB
5. Untuk mengetahui anatomi dari ruptur uteri
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari ruptur uteri
7. Untuk mengetahui tanda dan gejala ruptur uteri
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ruptur uteri
9. Untuk mengetahui cara pencegahan ruptur uteri
10. Untuk mengetahui asuhan keeperawatan pada ruptur uteri

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ruptur uteri


Secara sederhana ruptur uteri adalah robekan pada rahim atau rahim tidak
utuh. Terdapat keadaan yang meningkatkan kejadian repture uteri , misalnya
ibu yang mengalami operasi sesar pada kehamilan sebelumnya. Selain itu ,
kehamilan dengan janin terlalu besar , kehamilan dengan peregangan rahim
yang berlebihan , seperti pada kehamilan kembar , dapat pula menyebabkan
rahim sangat teregam dan sangat menipis sehingga robek.rupture uteri atau
robekan rahim merupakan pristiwa yang amat membahayakan baik untuk ibu
maupun janin.( Icesmi & Margareth ,2013).
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk pendarahan yang terjadi pada
kehamilan lanjut dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat umur
kehamilan lebih dari 28 minggu (Sari, 2015).
Rupture uteri merupakan unit gawat dalam bidang obsterti yang
dibutuhkan tindakan dan penanganan serius. (Manuaba,1996;161).
Rupture uteri adalah keadaan robek pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amion dan rongga peritoneum/hubungan
kedua rongga masih berbicara oleh pritonium viserale. ( sarwono,2010).
Rupture uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat
dilampauinya daya renggang miometrium. ( saifuddin,2006).
Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visarale. ( obstetri
dan ginekologi)

2.1.1 Etiologi dari ruptur uteri


Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah
ada sebelumnya karena truma, atau sebagai komplikasi persalianan pada
rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang diseksio

3
sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uteri yang
demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan
oksitosin atau sejenisnya.
Pasien yang beresiko tinggi antara lain:
1. Persalinan yang mengalami distotia, grande multipara,
penghunaaan oksitosin atau prostgladin untuk memepercepat
persalinan (Holmgren et al, 2012).
2. Pelaksanaaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio
sesarea klasik berlaku adagium Once Sesarean Section always
Sesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih
elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptur uteri
dengan syarat janin sedah matang (Yilmaz et al, 2011).
Penyebab utama dari ruptur uteri adalah :
a. Disporposi kepala panggul
b. Hirosefarus
c. Letak lintang
d. Ada tumor dijalan lahir
Sehingga segmen bawah uterus makin lama makin direnggangkan ,
pada saat direnggangkan melampaui kekuatan neometrium , maka
terjadilah repture uteri.
Factor predisposisi ruptur uteri , antara lain :
a. Multiparitas
b. Perut uterus ( bekas SC , bekas operasi neoma)
c. Pertolongan yang salah , yaitu :
 Mendorong uterus pada kondisi yang tidak memenuhi syarat
 Versi ekstraksi
 Pemberian oksitosin yang berlebihan
2.1.2 Resiko kejadian ruptur uteri
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus saat kehamilan maupun
melahirkan. Ruptur uteri merupakan kejadian yang jarang ditemukan, namun

4
dapat berakibat fatal.Insidens ruptur uteri di seluruh dunia diperkirakan
sekitar 0,05% dari seluruh kehamilan.Di negara berkembang, insidens ruptur
uteri lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Sebagai contoh, di
Yaman insidens ruptur uteri diperkirakan sebesar 0,63%, di Ethiopia sebesar
0,57% sementara di negara maju seperti Australia insidens ruptur uteri
didapatkan hampir sepuluh kali lebih rendah, yakni sebesar 0,086%, dan di

Irlandia sebesar 0,023%.12,13 Ruptur uteri dapat mengakibatkan mortalitas


ibu dan bayi. Flamm dkk melaporkan angka mortalitas ibu sebesar 4,2% dan
mortalitas bayi sebesar 45%. (Yilmaz, 2011).
Faktor risiko tersering pada ruptur uteri adalah riwayat operasi pada
uterus sebelumnya, dengan paling banyak adalah bekas sectio cesarea.
Faktor risiko ruptur uteri lainnya antara lain usia, paritas, persalinan lama
atau macet, persalinan dengan bantuan instrumen, dan penggunaan obat-
obatan untuk induksi atau augmentasi persalinan. (Turgut, 2013).
Berbagai faktor yang dilaporkan dalam literatur, yang terkait dngan
peningkatan resiko ruptut uteri meliputi anomali uteri kongenital,
multiparitas besar, oprasi rahim sebelumnya, makrrosomia janin,
molposisi janin, induksi persalinan, persalinan yang lambat,
instrumentasi, dan tarauma uteri. Faktor lain yang meningkatkan resiko
kejadian komplikasi obstetrik (termasuk ruptur uteri) umum terjadinya di
banyak wilayah di indonesia. Ini termasuk pernikahn dini dan kehmailan
pada anak perempuan muda, belum dewasa, malnutrisi, dan praktik
tradisional yang berbahaya seperti pemotongan alat kelamain perempuan.
(cabot et al, 2012).
Faktor resiko obstetrik ibu yang mengalami ruptur uteri (Astatike et al,
2017):
1. Ibu yang bekerja berat saat hamil.
2. Ibu yang tidak melakukan antenatal dan tidak lanjut
3. Ibu yang bersalin di rumah
4. Ibu dengan penyulit persalinan

5
5. Ibu dengan riwayat induksi
6. Memiliki riwayat bekas luka oprasi rahim sebelimnya
2.1.3 Angka kejadian ruptur uteri di Indonesia dan NTB
1. Angka kejadian ruptur uteri di Indonesia
Angka kejadian ruptur uteri di indonesia masih tinggi yaitu
berkisar antara 1:92 sampai 1:428 persalian, Angka-angka tersebut
masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju
yaitu antara 1:1250 sampai 1:2000 persalinan. Angka kematian ibu
akibat ruptur uteri juga masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9%
samapai 62,6% sedangkan angka kematiam anak pada ruptur uteri
berkisar antara 89,1% sampai 100%. (Husudo, 2015)
Di indonesia sendiri fekuensi reptur uteri dirumah sakit besar
berkisar antara 1:92 samapi 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat
tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai
penyebab utama terjadinya reptur uteri adalah trauma dorongan, yang
biasanya dilakukan oleh para dukun saat menolong persalinan.
Angka kematian ibu dan anak diindonesia masih tinggi , yaitu
jarak antara 1:92 sampai 1:428 persalinan . angka ini masih sangat
tinggi dari Negara-negara maju yang hanya 1:1250 sampai 1:2000
kelahiran (persalinan).
Angka kematian oleh ruptur uteri masih tinggi yaitu sekitar 17,9
sampai 26,6. Sedangkan angka kematian anak akibat repture uteri
berpartisipasi antara 69,1 sampai 100% pada bayi umumnya.
Ruptur uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi di
bandingkan dengan di Negara maju. Angka kejadian rupture uteri di
Negara maju dilaporkan juga semakin menurun. Sebagai contoh
beberapa tahun yang lalu dari salah satu penelitian di negara maju di
laporkan kejadian rupture uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan (1931-
1950) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983). Dalam tahun
1996 kejadiannya menjadi dalam 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam

6
masa yang hamper bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di
Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam
93 persalinan.Kedaruratan serius pada rupture uteri terjadi kurang dari
1% wanita dengan parut uterus dan potensial mengancam jiwa baik
bagi ibu maupun bayi. Separuh dari semua kasus terjadi pada ibu tanpa
jaringan parut uterus, terutama pada ibu multipara.
2. Angka kejadian reptur uteri di NTB
Angka kejadian ruptur uteri di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB
tahun 2012 sejumblah 4 kasus (0,14%) dari total 2.706 persalinan.
Tiga diantaranya terjadi pada ibu dengan bekas seksio sesarea Tujuan
umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan
persalinan, hasil luaran janin dan kejadian ruptur uteri di Rumah Sakit
Umum Provinsi NTB tahun 2012. (Bapeda NTB, 2014)
2.1.4 Anatomi Ruptur uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar :
Perpus uteri dan serviks uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri
(2 sampai 3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah
kira-kira kurang lebih 20 minggu , dimana ukuran janin sudah lebih
besar dari ukuran kavum uteri , maka mulailah terbentuk SBR ismus
ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut
lingkaran dari Bandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologi bila
terdapat pada 2 sampai 3 jari diatas simpisis , bila meninggi maka kita
harus waspada terhadap kemungkinan adanya rupture uteri
mengancam ( RUM).
Rukture uteri disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari
uterus. Sedangkan kalau uterus telah cacat , mudah dimengerti , karna
adanya lokus minoris resisten.
Rumus mekanisme terjadinya rukture uteri :
R=H+O

7
Keterangan :
R : rupture
H : His kuat ( tenaga)
O : Obstuksi (halangan)
Pada waktu in-partu korpus uteri mengadakan kontraksi sedang
SBR tetap pasif dan cervix menjadi lunak (effacementdan pembukaan )
bila oleh suatu sebab partus tidak dapat maju (obstuksi) , sedangkan
korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (HIS kuat) , maka
SBR yang pasif ini akan tertarik keatas , menjadi bertambah renggang
dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi , sehingga sewaktu waktu
terjadilah robekan pada SBR tadi – repture uteri.
Dalam hal ini terjadi repture uteri jangan dilupakan peranan dari
Anchoring apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum
rotunda, ligamentum latum , ligamentum sacrouterina , dan jaringan
parametra. (Rustam, 1998).

8
2.1.5 Patofisiologi Ruptur uteri
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retaksi,
dinding korpus uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus
uteri menjadi lebih keci. Akibatnya tubuh janin yang menempati
korpusuteri terdorong kebawah dan SBR. SBR menjadi menjadi lebih
besar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh
kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran
retaksi membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila
bagian terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab yang
menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka
volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus diimbangi
oleh perluasan SBR ke atas. Dengan demikian lingkaran retaksi fisiologi
(physiologic retraction ring) semakin meninggi kearah pusat melewati
batas fisiologi menjadi patologi (physiologic retraction ring) lingkaran
patologik ini disebut dengan lingkaran Bandl (ring van Bandl). SBR
terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi bertahan oleh serviks
dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi bagian bawah jain tidak
kunjung turun ke arah bawah melalui jalan lahir, lingkaran retaksi
semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya
beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi ruptur
imminens dan rahim yang terancam robek pada saat his berikut
berlangsung didinding SBR akan robek spontan pada tempat yang tertipi
dan terjadilah pendarahan. Jumblah pendarahan tergantung pada luas
robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus.
Ketika terjadi robekan, pasien merasa amat nyeri seperti teriris
sembilu dalam perutnya, dan his yang terakhir itu sekaligus mendorong
tubuh janin. Apabila robekannya cukup luas, tubuh janin sebagian atau
seluruhnya terdorong ke luar rongga rahim dan masuk ke rongga
peritoneum. Melaui robekan tersebut, usus dan omentum terkadang

9
masuk kedalamnya sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada
waktu periksa dalam.
Ruptur uteri yang tidak sampai ikut merobek perimetrium terjadi
pada bagian rahim yang longgar hubungnya dengan peritoneum yaitu
pada bagian samping dan dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks
yang merenggang karena ikut tertarik kadang-kadang bisa ikut robek.
Robeknya pada bagian samping bisa melulai pembuluh-pembuluh darah
besar yang erdapat didalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada
bagian dasar ligamentum latum, arteria rahim atau cabang-cabangya
bisa terluka disertai pendarahan yang banyak dan didalam parametrium
di pihak yang robek, akan terbentuk hematoma yang besar dan
menimbulkan syok yang sering kali fatal. Batas antara korpus yang
kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran Bandl. Lingkaran
Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat 2-3 jari di atas simphysis,
Bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya
rahim uteri mengancam.

10
2.1.6 Pathway Ruptur uteri

Anomali atau Riwayat oprasi Disporposi kepala


Trauma secsio sesarea panggul,Hirosefarus,letak tintang
dan ada tumor dijalan lahie

Terputusnya salah satu/lebih


jaringan penunjang uteri

Jalan lahir bayi


His korpus terhambat

SBR tertarik keatas dan Tindakan pembedahan


menyebabkan dinding uterus
bertambah tegang dan menitips
Post SC

Lingkaran bandl meningkat Robekan jaringan


kulit utk pos oprasi

Robekan pada SBR MK: Nyeri


akut Jahitan oprasi

Ruptur Uteri
Resiko terinfeksi
bakteri

Pendarahan Kontraksi uterus


bertambah
MK: Resiko infeksi
Nadi meningkat, TD
menurun,akral dingin Regangan aobomen
menekan diafgrahma

MK: Syok
hipovolemik Apex paru tertekan

Expansi dada terganggu

Nafas dangkal, cepat,


RR >20×/menit

MK: Pola nafas


tidak efektif

11
2.1.7 Tanda dan gejala dari ruptur uteri
Gejala dan tanda ruptur uteri sangat bervariasi. Secara klasik, ruptur
uteri di tandai dengan nyeri abdomen akut dan pendarahan pervaginam
berwarna merah segar serta keadaan janin yang memburuk. (Icesmi &
Margareth ,2013).
Gejala ruptur uteri ‘iminen’ :
1. Lingkaran retaksi patologis Bandl
Lingkaran retaksi patologis Bandl (Lingkaran Bandl) setelah
terjadi ruptur uteri, yeri abdomen hilang untuk sementara waktu
dan setelah itu penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata
dan disertai dengan gejala dan tanda:
1) Abnormalitas detik jantung janin (gawat janin sampai
mati)
2) Pasien jatuh kedalam syok
3) Bagian terendah janin mudah didorong keatas
4) Bagian janin mudah diraba melalui palpasi abdomen
2. Contour janin dapat dilihat melalui inspeksi abdomen
3. Hiperventilasi
4. Gelisah-cemas
5. Takikardia
6. Robekan uterus sat laparotomi. (Icesmi & Margareth ,2013).
2.1.8 Penatalaksanaan Ruptur Uteri
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan
umum penderita dengan pemberian cairan infus dan transfusi darah,
kardiotonika, antibiotika, dan sebagainya. Bila keadaan umum mulai baik,
tindakan selanjtnya adalah melakukan laparotomi dengan tindakan jenis
oprasi:
1. Histerektomi, baik total maupun subtotal
2. Hipterorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-
baiknya.

12
3. Konservatif, hanya dengan tamponade dengan pemberian
antibiotika yang cukup.
Tindakan mana yang akan dipilih, tergantung pada faktor,
anatara lain:
1) Keadaan umum penderita (syok dan sangat meringis)
2) Jenis ruptur, inkompleta, atau kompleta
3) Jenis luka robekan: jelek, terlalu lebar, sudah lama,
pinggir tidak rata, dan sudah banyak nekrosis
4) Tempat luka, apakah pada serviks, korpus, atau segmen
bawah rahim
5) Pendarahan dari luka: sedikit atau banyak
6) Umur dan jumblah anak hidup
7) Kemampuan atau keterampilan penolong.
2.1.9 Pencegahan Ruptur uteri
Resiko absolut terjadinya ruptur uteri dalam kehamilan sangat rendah
namun sangat bervariasi tergantung pada kelompok tertentu:
1. Uterus dengan kelainan kongenital
2. Uterus normal pasca miomektomi
3. Uterus normal dengan riwayat sectio caesar satu kali
4. Uterus normal dengan riwayat sectio lebih dari satu kali. (Icesmi
& Margareth ,2013).
Pasien dengan uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami
ruptur uteri paling kecil (0.013% atau 1:7449 kehamilan). Strategi
pencegahan kejadian ruptur uteri langsung adalah dengan
memeperkecil jumblah pasien dengan resiko; kriteria pasien
dengan resiko tinggi ruptur uteri adalah:
1) Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
2) Riwayat SC classic (midline uteri incision)
3) Riwayat SC jenis “low vertical oncision”
4) LSCS dengan jahitan uterus satu lapis

13
5) SC dilakukan kurang dari 2 tahun
6) LSCS pada uterus dengan kelainan kongenital
7) Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan pervaginam
8) Indukasi dan akselerasi persalian pada pasien dengan
riwayat SC
9) Riwayat SC dengan janin makrosomia
10) Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomi
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali
lebih besar dibandingkan ibu hamil umumnya.
Faktor prodisposisi
1. Multifaritas/grandiumultipara. Ini disebabkan oleh
karena, didinding perut yang lembek dengan
kedudukan uterus dalam posisi antefleksi, sehingga
dapat menimbulkan disproporsi sifalopelvik, terjadinya
infeksi jaringan fibrotik dalam otot rahim penderita,
sehingga mudah terjadi ruptur uteri spontan.
2. Pemakian distosin untuk indikasi atau stimulasi
persalian yang tidak tepat.
3. Kelaina letak dan implantasi plasenta umpamanya pada
plasenta aktera.plasenta inkreta atau plasenta perkreta.
4. Kelainan bentuk uterus umpamnaya uterus bikkronis.
5. Hidramnion. (Icesmi & Margareth ,2013).

14
2.2 Asuhan keperawatan pada Ruptur uteri
1. Pengakajian
1) Identitas: Sering terjadi pada ibu usia di bawah 20 tahun dan diatas 35
tahun. (Brunner & Suddart, 1996).
2. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Pendarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringan
dingin, kesulitan nafas, mendorong, pandangan berkunang-kunang.
(Klein, 1997)
2) Riwayat mensturasi
Riwayat mensturasi dikaji untuk mengetahui apakah sudah atrem atau
belum, mmelalui HPHT karena bila dijumpai ibu bersalin dengan
pretrem (<37 minggu) merupakan kontraindikasi dilakukan indikasi
persalinan, selain itu untuk mengetahui apakah ibu ada riwayat
keputihan, karena jika ada keputihan yang sipatnya patologis maka
kemungkinan terjadi infeksi. (Wildan & Hidayat 2008).
3) Riwayat kehamilan dan persalinan: Riwayat Hipertensi dalam
kehamilan,preeklamsi/eklamsi,bayi besar,gamelli, hidroamnioan,
grandmultigravida, primimuda, anemia, pendarahan saat hamil.
Persalian dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus,
partus lama/kasep, koriomnionitis , induksi persalinan , manipulasi
kala II dan III. (Prawirohardjo, 1997).
4) Riwayat kesehatan
Kelainan darah dan Hipertensi. (Klein, 1997)
3. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
1) Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang
luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek
kemudian menjadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat
dingin sapai kolaps.

15
2) Pernafasan menjadi dangkal dan cepat, kelihatan haus
3) Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum
4) Syok, nadi kecil dan cepat, keadaan tenanan darah turun tak
terukur
5) Keluar pendarahan pervaginam yang bisanya tak begitu
banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah
jauh turun, dan menymbat jalan lahir
6) Kadang-kadang ada perasan nyeri yang mengejar ke tungkai
bawah dan dibahu
7) Kontraksi uterus biasanya hilang
8) Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis usus)
2. Palpasi
1) Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya
emfisema subkutan
2) Bila kepala janin belum turun, maka mudah dilepaskan dari
pintu atas panggul.
3) Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga
perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah
kulit perut, dan disampingnya kadang-kadang teraba uterus
sebagai suatu bola keras sebesar kepala.
4) Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi
beberapa menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut
terlepas dan masuk kerongga perut.
4. Pemeriksan dalam
1) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan
mudah dapat didorong ke atas, dan ini disertai keluranya
darah pervaginam yang agak banyak.

16
2) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada
dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui
robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum, dan bagian-
bagian janin. Kalau jari tangan kita yang didalam kita
temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh
bagian yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat teraba
fundus uteri.
4. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-sehari
1) Pola nutrisi
Mengagambarkan tentang kebutuhan nutrisi ibu selama hamil , apakah
sesuai dengan gizi seimbang untuk ibu hamil (wildan & hidayat ,
2008)
2) Pola eliminasi
Menggambarkan pola fungsi eksresi , kebiasaan BAB (Frekuensi
jumlah , konsistensi , bau , dan kebiasaan BAK ( warna , frekuensi ,
jumlah dan terkhir kali ibu BAB dan BAK)
3) Pola istirahat
Menggambarkan tentang pola istirahat ibu , yaitu beberapa jam ibu
tidur siang dan berapa jam ibu tidur malam , karena berpengaruh
terhadap kesehatan fisik dan ibu (wildan & hidayat , 2008)
4) Personal hygiene
Menggambarkan pola hygiene pasien misalnya , beberapa kali ganti
pakaian dalam mandi , gosok gigi dalam sehari dan keramas dalam
satu minggu , pola ini perlu dikaji untuk mengetahui apakah pasien
menjaga kebersihan dirinya (wildan & hidayat , 2008)
5) Pola aktivitas
Untuk mengetahui apakah pekerjaan ibu sehari-hari berat , sehingga
dapat mempengaruh kehamilan (wildan & hidayat 2008)

17
5. Riwayat bio-pisiko-sosial dan spiritual (Virginia handerson)
1) Bernafas dengan normal
Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat adalah
membantu memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta
menggunakan bantal, alas dan sejenisnya sabagai alat pembantu agar
klien dapat bernafas secara normal dan kemampuan
mendemonstrasikan dan menjelaskan pengaruhnya kepada klien.
2) Kebutuhan akan nutrisi
Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai tinggi dan
berat badan yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan.
Pemilihan dan penyediaan makanan, dengan tidak lupa
memperhatikan latar belakang dan social klien.
3) Kebutuhan eliminasi
Perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan keadaan
normalnya, jarak waktu pengeluaran, dan frekuensi pengeluaran.
4) Gerak dan keseimbangan tubuh
Perawat harus mengetahui tentang prinsip-prinsip keseimbangan
tubuh, miring, dan bersandar.
5) Kebutuhan isthirahat dan tidur
Perawat harus mengetahui intensitas istirahat tidur pasien yang baik
dan menjaga lingkungan nyaman untuk istirahat.
6) Kebutuhan berpakaian
Perawat dasarnya meliputi membantu klien memilihkan pakaian yang
tepat dari pakaian yang tersedia dan membantu untuk memakainya.
7) Mempertahankan temperature tubuh atau sirkulasi
Perawat harus mengetahui physiologi panas dan bisa mendorong
kearah tercapainya keadaan panas maupun dingin dengan mengubah
temperature, kelembapan atau pergerakan udara, atau dengan
memotivasi klien untuk meningkatkan atau mengurangi aktifitasnya.
8) Kebutuhan akan personal hygiene

18
Perawat harus mampu untuk memotivasi klien mengenai konsep
konsep kesehatan bahwa walaupun sakit klien tidak perlu untuk
menurunkan standard kesehatannya, dan bisa menjaga tetap bersih
baik fisik maupun jiwanya.
9) Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Perawat mampu melindungi klien dari trauma dan bahaya yang timbul
yang mungkin banyak factor yang membuat klien tidak merasa
nyaman dan aman.
10) Berkomunikasi
Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan emosi,
keinginan, rasa takut dan pendapat. Perawat menjadi penerjemah
dalam hubungan klien dengan tim kesehatan lain dalam memajukan
kesehatannya, dan membuat klien mengerti akan dirinya sendiri, juga
mampu menciptakan lingkungan yang teraupeutik.
11) Kebutuhan spiritual
Perawat mampu untuk menghormati klien dalam memenuhi kebutuhan
spiritualnya dan meyakinkan pasien bahwa kepercayaan, keyakinan
dan agama sangat berpengaruh terhadap upaya penyembuhan.
12) Kebutuhan bekerja
Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap interprestasi terhadap
kebutuhan klien sangat penting, dimana sakit bisa menjadi lebih ringan
apabila seseorang dapat terus bekerja.
13) Kebutuhan bermain dan rekreasi
Perawat mampu memkilihkan aktifitas yang cocok sesuai umur,
kecerdasan, pengalaman dan selera klien, kondisi, serta keadaan
penyakitnya.
14) Kebutuhan belajar
Perawat dapat membantu klien belajar dalam mendorong usaha
penyembuhan dan meningkatkan kesehatan, serta memperkuat dan
mengikuti rencana terapi yang diberikan.

19
6. Analisa data
SYMPTOM ETIOLOGI PROBLEM

DS: Robekan pada SBR Syok hipovolemik


1. Pasien mengatakan berhubungan dengan
Ruptur uteri
nyeri pendarahan
2. Mengeluh lemas Pendarahan pervagina
3. Mengeluh sesak
DO:
1. Pendarahan
pervagina
2. Pasien terlihat
merasa kesakitan
3. Gelisah
4. Taku
5. Pucat
6. Keluar keringat
dingin
7. Pernafasan
dangkal
8. Muntah-muntah
9. Syok
10. Takikardi
11. TTD menurun
DS: Apex paru tertekan Pola nafas tidak efektif
1. Ortonea berhubungan dengan
2. Pernafasan pursed-lip Expansi dada exspansi dada terganggu.
3. Pernafasan cuping terganggu
hidung
4. Diameter thoraks Nafas dangkal, cepat,
RR >20×/menit

20
anterior-posterior
meningkat
Pola nafas tidak
5. Kapasitas vital efektif
menurun
6. Tekanan ekspirasi
menurun
7. Ekskrusi dada berubah
DO:
1. Dispnea
2. Penggunaan otot bantu
pernadasan
3. Fase ekspirasi
memanjang
4. Pola nafas abnormal
(mis, takipnea,
bradipnea,
hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-
stokes)
DS: Lingkaran bandl Nyeri akut berhubungan
meningkat
1. TTD meningkat dengan robekan pada SBR
2. Pola nafas berubah
Robekan pada SBR
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir
Nyeri akut
terganggu
5. Menarim diri
6. Berfokus pada diri
sendiri
7. Diaforesis
DO:

21
1. Mengeluh nyeri
2. Tampak meringis
3. Bersikap profektif
(mis, waspada, posisi
menghindari nyeri)
4. Gelisah frekuensi nadi
meningkat
5. Sulit tidur

8. Diagnosa keperawatan
1) Syok hipovolemik berhubungan dengan pendarahan.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan exspansi paru
terganggu.
3) Nyeri akut behubungan dengan Robekan pada SBR.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan post secsio sesarea.
9. Intervensi keperawatan

No Diagnosa
Tujuan dan kriteria hasi Intervensi
keperawatan
(NOC) (NIC)
1 Syok hipovolemik
Setelah dilakukan asuhan NIC:
berhubungan
keperaawtan selama 1×24 jam
dengan 1. Pencegahan
diharapkan pendarahan
pendarahan. Pendarahan:
berkurang.
Mengurangi
Hasil NOC:
stimulasi yang dapat
1. Keparahan
memicu pendarahan
Kehilangan Darah:
atau hemoragi pada
Keparahan komlikasi
pasien beresiko
akibat reaksi transpusi
2. Pengurangan
darah

22
2. Reaksi Transfusi Pendarahan:
Darah: Keparahan Membatasi
komplikasi akibat kehilangan volume
reaksi transfusi darah darah selama
3. Status Sirkulasi: episode pendarahan.
Aliran darah yang 3. Pengurangan
tidak terobstruksi dan Pendararahan:
tidak trarah pada Uterus
tekana yang tepat Antepartum:
melalui pembuluh Membatasi jumblah
besar sirkulasi penadarhan dari
sistemik dan uterus hamil selama
pulmonal trimester ketiga
4. Keparahan Infeksi: kehamilan
Keparahan infeksi 4. Pengurangan
dengan gejala terkait Pendarahan:
5. Pengendalian Gastrointestinal:
Resiko: Tindakan Membatasi jumblah
personal untuk pendarahan dari
mencegah, uterus hamil selama
menghilangkan, atau trimester ketiga
mengurangi acaman kehamilan
kesehatan yang dapat 5. Pengurangan
dimodifikasi Pendarahan:
6. Deteksi Resiko: Pospartum:
Tindakan personal membatasi jumblah
untuk pendarahan dari
mengidentifikasi uterus pospartum
ancaman kesehatn 6. Pengendalian

23
personal Hemoragi:
7. Perfusi Jaringan: Mengendalikan atau
Selular: Keadekuatan mengurangi
aliran darah melalui pendarahan yang
vaskulator untuk cepat dan berlebih
memperahankan 7. Pencegahan Syok:
fungsi ditingkat Mendeteksi dan
seluler menangani pasien
8. Tanda-Tanda Vital: yang beresiko
Tingkat suhu, nadi, mengalami syok
pernafasan, dan
tekanan darah rentang
normal.
Tujuan/Kriteria:
1. Pasien tidak mengalami
syok, yang ditunjukan
dengan Perfusi Jaringan:
Selular adekuat, dan
Tnada-Tanda Vital dalam
rentang normal.
2. Akan menunjukkan
Perfusi Jaringan:
Selular, yang dibuktikan
oleh indikator berikut
(sebutkan 1-5: sangat
berat, berat, sedang,
ringan, atau tidak ada
penyimpangan dari
rentang normal): Tekanan

24
darah (sistolik dan
diastolik), pengisian
ulang kapiler, Saturasi
oksigen, Bersihan
kreatinin.
2 Pola nafas tidak NIC:
Setelah dilakukan asuhan
efektif 1. Manajemen Jalan
keperaawtan selama 1×24 jam
berhubungan Nafas:
diharapkan pol nafas evektif.
dengan exspansi Memfasilitasi
Hasil NOC:
paru terganggu kepatenan jalan
1. Respon Alergik:
nafas
Sistemik: Tingkat
2. Pengisapan Jalan
keparahan respon imun
Nafas:
hipersensitif sistemik
mengeluarkan sekret
terhadap antigen tertentu
jalan nafas dengan
dari lingkungan (eksogen)
cara memasukkan
2. Respon Ventilasi
kateter pengisap
Mekanis: Orang
kedalam jalan nafas
Dewasa: Pertukaran
oral atau trakea
alveolar dan perfusi
pasien.
jaringan yang dibantu
3. Manajemen A
oleh ventilasi mekanis
lergi:
3. Respons Penyapihan
Mengidentifikasi,
Ventilasi Menaknis:
menangani, dan
Orang Dewasa:
mencegah respons
Penyesuaian sistem
alergi terhadap
pernafasan dan fisiologis
makanan, medikasi,
terhadap proses pernafasa
gigitan serangga,
dari ventilasi mekanis
media kontras,
secara bertahap

25
4. Status Respirasi: darah, dan zat lain.
Ventilasi: Pergerakan 4. Pemantauan
udara ke dalam dan ke Pernafasan:
paru-paru Mengumpulkan dan
5. Status Tanda-tanda menganalisis data
Vital: Tingkat suhu, nadi, pasien untuk
pernafasan, dan tekanan memastikan
darah dalam rentang kepatenan jalan
normal. nafas dan pertukaran
Tujuan/Kriteria: gas yang adekuat.
1. Menujukakan pula 5. Bantuan Ventilasi:
pernafasan efektif, Meningakatkan pola
yang dibuktikan oleh pernafasan spontan
status pernafasan yang optimal
yang tidak terganggu: sehingga
ventilasi dan status memaksomalkan
pernapasan: pertukaran oksigen
kepatenan jalan nafas; dan karbondioksida
dan tidak ada didalam paru.
penyimpangan tanda- 6. Pemantauan
tanda vital dari Tnada-Tanda
rentang normal Vital:
2. Menujukakan Status Mengumplkan dan
Pernafasan: menganalisis data
Ventilasi tidak kardiovaskular,
terganggu, yang pernafasan, dan suhu
dibuktikan oleh tubuh, pasien untuk
indikator sebagai mentukan dan
berikut (sebutkan 1-5: mencegah

26
gangguan ekstrem, komplikasi.
berat, sedang, ringan,
tidak ada gangguan).
3. Menunjukakan
adanya gangguan
status
pernavasan:Ventilas
i, yang dibuktikan
oleh indikator sebagai
berikut (sebutkan 1-5:
gangguan ekstrem,
berat, sedang, ringan,
tidak ada gangguan).
Penggunaan otot
aksesoris, suara nafas
tambahan, ortopnea.
3 Nyeri akut NIC:
Setelah dilakukan asuhan
behubungan 1. Pemberian
keperaawtan selama 1×24 jam
dengan robekan Analgesik:
diharapkan pol nafas evektif.
pada SBR. Menggunakan agens
Hasil NOC:
farmakologi atau
1. Kepuasan Klien:
mengurangi atau
Manajemen Nyeri:
menghilngkan nyeri.
Tingkat persepsi positif
2. Pemberian
tentang perawatan pasien
Medikasi:
untuk meredakan nyeri
Mempersiapkan,
2. Tingkat Kenyamanan:
memberikan dan
Tingkat persepsi positif
mengevaluasi
terhadap kemudahan fisik
keefektifan obat
dan pisikologi

27
3. Pengendalian Nyeri: resep dan obat bebas
Tindakan induvidu untuk 3. Manajemen Nyeri:
mengendalikan nyeri Meringkan atau
4. Tingkay Nyeri: mengurangi nyeri
Keparahan nyeri yang sampai pada tingkat
dapat diamati atau kenyamanan yang
dilaporkan dapat diterima oleh
Tujuan/Kriteria: pasien.
1. Memperhatikan 4. Bantuan Analgesik
Pengendalian Nyeri, yang dikendalikan
yang dibuktikan oleh oleh pasien
indikator sebagai berikut (Patient-Controlled
(sebutkan 1-5: tidak Analgesia PCA):
pernah, jarang, kadang- Memudahkan
kadang, sering, atau pengendalian
selalu): mengenali awitan pemberian dan
nyeri, menggunakan pengeturan
tindakan pencegahan, analgesik oleh
melaporkan nyeri dapat pasien
dikenkalikan. 5. Manajen Sedatif:
2. Menunjukakan Tingkat Memberikan sedatif,
Nyeri, yang dibuktikan memantau respon
oleh indikaor sebagai pasien, dan
berikut: (sebutkan 1-5: memberikan
sangat berat, berat, dukunagn fisiologis
sedang, ringan atau tidak yang dibutuhkan
ada): ekspirasu nyeri pada selama prosedur
wajah, gelisah atau diagnostik atau
ketegangan otot, durasi terapeutik

28
episode nyeri. 6. Surveilans:
Mengumpulkan,
mengidentifikasi,
dan menyintesis data
pasien secara terarah
dan kontinu untuk
membuat keputusan
klinis

9. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria Hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam
Potter & Perry, 1997).
Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait
dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi,
pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah
kesehatan yang muncul dikemudian hari.
Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai
dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan
kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan
keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi
harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al., 1995).

10. Evaluasi keperawatan SOAPIER

Evaluasi soapier meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-

29
tahap, namun evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan
proses keperawatan (Alfaro-LeFevre, 1998). Tahap evaluasi merupakan
perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan
klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan.
Metode SOAPIER
Sebuah metode yang dapat digunakan untuk mendokumentasikan asuhan
keperawatan dengan menggunakan data subjektif, data objektif, assessment,
planning,implementasi,evaluasi,revisi (Alfaro-LeFevre, 1998)
1. S (data subjektif)
Pada data subjektif kita menuliskan penjelasan-penjelasan seperti
dibawah ini :
1) Catatan ini berhubungan dengan masalah sudut pandang klien
2) Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya dicatat
sehingga kutipan langsung/ringkasan yang berhubungan dengan
diagnose (data primer)
3) Pada bayi/anak kecil data subjektif dapat diperoleh dari orang tuanya
(data sekunder)
4) Data subjektif menguatkan diagnose yang akan diangkat.
2. O (Data objektif )
Pada data objektif kita dapat menuliskan beberapa poin-poin seperti
dibawah ini:
1) Data ini member bukti gejala klinis pasien dan fakta yang berhubungan
dengan diagnose
2) Data yang digolongkan dalam kategori ini, antara lain:
3) Data psikologik
4) Hasil observasi

30
5) Informasi kajian teknologi (hasil pemeriksaan lab,Ro,CTG,USG dll)
6) Ada pendapat yang memasukan laporan dari keluarga
7) Apa yang dapat diobservasi oleh bidan/perawat akan menjadi komponen
penting diagnose yang akan diangkat
3. A (analisa/assessment)
Pada data analisa/assessment kita dapat menuliskan beberapa poin-
poin seperti dibawah ini
1) Masalah yang ditegakkan berdasarkan data/informasi subjektif maupun
objektif yang dikumpulkan dan disimpulkan.
2) Karena keadaan klien terus berubah dan selalu ada informasi baru baik
subjektif maupun objektif dan sering diungkapkan secara terpisah-pisah,
maka proses analisa adalah segala proses yang dinamik.
3) Mengikuti perkembangan pasien dan menjamin segala perubahan baru
dapat diketahui sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
4. P (planning/perencanaan)
Pada data analisa/assessment kita dapat menuliskan beberapa poin-
poin seperti dibawah ini:
1) Membuat perencanaan tindakan saat itu/yang akan datang untuk
mengusahakan mencapai kondisi pasien sebaik
mungkin/menjaga/mempertahankan kesejahteraanya.
2) Proses inj termasuk criteria tujuan terdiri dari kebutuhan pasien yang
harus dicapai dlam batas wus membantu aktu tertentu.
3) Tindakan yang diambil harus membantu pasien mencapai kemajuan
dalam kesehatannya/ proses psikologisnya harus mendukung rencana
dokter bila itu, dalam manajemen kolaborasi/rujukan.
5. I (implementasi)
Pada data analisa/assessment kita dapat menuliskan beberapa poin-
poin seperti dibawah ini:
1) Pelaksanaan rencana tindakan untuk mengatasi masalah
keluhan/mencapai tujuan pasien

31
2) Tindakan ini harus disetujui oleh pasien kecuali bila tidak
dilaksanakan akan membahayakan keselamatan pasien
3) Pilihan pasien harus sebanyak mungkin menjadi bagian dari
proses ini
4) Apabila kondisi pasien berubah, implementasi mungkin juga harus
berubah /disesuaikan.
6. E (evaluasi)
Pada data analisa/assessment kita dapat menuliskan beberapa poin-
poin sperti dibawah ini:
1) Tafsirkan dari hasil tindakan yang telah diambil adalah penting
untuk menilai keefektifan asuhan yang diberikan
2) Analisa dari hasil yang dicapai menjadi focus dari penilaian
ketepatan tindakan.
3) Kalau criteria tujuan tidak tercapai, proses evaluasi dapat menjadi
dasar untuk mengembangkan tindakan alternative sehingga dapat
mencapai tujuan.
7. R ( revisi = Re-essesment = perbaikan )
Pada data analisa/assessment kita dapat menuliskan beberapa
poin—poin seperti dibawah ini: Komponen evaluasi perlunya
perbaikan dari perubahan intervensi dan tindakan/menunjukan
perubahan dari rencana.

BAB III

PENUTUP

32
1.1 Kesimpulan
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan
rongga peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh
peritoneum viseralis yang menutupi uterus oleh ligamentum latum
(inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
Faktor Predisposisi lainnya yang dapat mengakibatkan Rupture Uteri
yaitu : Multiparitas / grandemultipara, Pemakaian oksitosin untuk
induksi/stimulasi persalinan yang tidak tepat , Kelainan letak dan
implantasi, plasenta contoh pada plasenta akreta, plasenta inkreta/plasenta
perkreta, Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis,
Hidramnion.
1.2 Saran
Pada penanganan Ruptur uteri tersebut di harapkan terutama dalam
pencegahan terhadap infeksi . Bila terdapat tanda-tanda infeksi segera
berikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat
genetalia/luka yang kotor, tanyakan saat terakhir mendapat tetanus
toksoid. Bila hasil anamnesis tidak dapat memastikan perlindungan
terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan TT 0,5 ml
IM .

DAFTAR PUSTAKA
Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi/Rustam
Mochtar;editor,Delfi Lutan, Ed.2-jakarta: EGC, 1998.

33
Kehamilan, Persalinan, dn Nifas/ Inces Sukarni K, Margareth ZH, editor,
Nuha Medika, 2013.
Cuningham, Gary et all, 2005. Obstetri Wiliams Edisi 21, EGC, jakarta.
Carpeniton- Moyet, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan
Dasar dan rujukan. Edisi 1. WHO, 2013.
https://id.scribd.com/doc/9732012/Referat-Ruptur-Uteri.
https://www.academia.edu/33904697/RUPTUR-UTERI-MAKALAH.
Diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA-I, intervensi NIC, hasil NOC/
penulis, Judith M. Wilkinson:alih bahasa, Esty Wahyuningsih: editor edisi
bahasa indonesia, Wuri Praptiani. Ed 10. Jakarta: EGC,2016.

34

Anda mungkin juga menyukai