Anda di halaman 1dari 12

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Mata Kuliah :Ekonomi Regional
Hari / Tanggal :Selasa, 4 April 2017
Waktu : 100 Menit
Dosen : Dr. Amir Machmud, SE, M.Si
: Dr. Kusnendi, MS

Petunjuk :
1. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas
2. Tidak diperkenankan membuka buku atau catatan
3. Tidak diperkenankan bekerjasama

Evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi topik-topik yang berhubungan dengan ekonomi regional
melalui kajian perbandingan antara tatanan teori dengan tatanan empik i Kajian diawali dengan
masalah kaonsep wilayah sampai maslaah ketimpangan wilayah. Berdkan hal tersebut, Saudara
diminta untuk menjelaskan hal –hal berikut ini :

1. Jelaskan latar belakang, tujuan dan manfaat kajian


2. Jelaskan kajian pustaka berdasarkan referensi jurnal yang dikaji, Inventarisir perbedaaan dari
kajian jurnal yang sudara jadikan referensi (Tujuan, Populasi, Metode yang digunakan dan
Hasll Kajian)
3. Jelaskan gambaran empiric yang terjadi kemudian bandingkan dengan kajian pada kajian
pustaka. Apakah kajian empiric Saudara mendukung tau menolak penelitian sebelumya.
JAWABAN

1. Latar Belakang, Tujuan, dan Manfaat


a. Konsep Region
Pembangunan wilayah secara langsung akan membantu peningkatan
pendapatan per kapita tiap daerah di Jawa Barat, sehingga pada akhirnya akan
mampu memperbesar angka pendapatan nasional Indonesia. Banyaknya pembagian
sektor ekonomi menurut pembagian wilayah ini pun diharapkan akan mampu
mengurangi angka kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, dan
permasalahan ekonomi lainnya. Prioritas pembangunan daerah harus sesuai dengan
potensi yang dimilikinya, karena tiap daerah sangat bervariasi sehingga dibutuhkan
wilayah yang tepat apabila ingin mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang
dominan. Di Jawa Barat pembagian wilayah dalam hal sektor-sektor ekonomi
masih belum optimal untuk dikembangkan. Sebagai contoh, di wilayah Karawang
memiliki potensi dalam hal pertaniannya. Namun, kini Kota Karawang telah
menjadi salah satu kawasan industri terbesar di Jawa barat. Ketidakcocokan antara
potensi yang dimiliki dengan sektor usaha yang dikembangkan membuat Kota
Karawang kehilangan lahan untuk mengembangkan sektor pertanian, sehingga
membuat kerusakan alam.
Melihat permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah
menggali sektor-sektor potensial yang ada di Kota/Kab khususnya yang ada di
Jawa Barat. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui sektor-sektor potensial apa
saja yang dimiliki di berbagai wilayah khususnya Jawa Barat.
Adapun manfaat pada kajian ini yaitu secara teoritis sebagai penambah ilmu
pengetahuan mengenai sektor-sektor ekonomi potensial yang ada di wilayah Jawa
Barat dan manfaat praktis adalah sebagai masukkan bagi pengambil keputusan
mengenai pembagian wilayah berdasarkan sektor-sektor potensial yang dimiliki.
b. Teori Lokasi
Teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari
satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat
bagaimana suatu lokasi di suatu kabupaten atau kota di Jawa Barat yang memiliki
potensi atau daya tarik, di mana orang masih ingin mendatangi pusat yang
memiliki potensi tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat
tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut. Lokasi untuk berbagai
kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan,
sekolah, dan tempat ibadah yang ada di Jawa Barat tidaklah acak berada di lokasi
tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat
diselidiki dan dapat dimengerti. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah
perbedaan kebijakan pemda setempat terhadap kegiatan usaha, sebab setelah
berlakunya otonomi daerah, kebijakan pajak dan retribusi daerah bisa sangat
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Tujuan dari analisis mengenai faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan
suatu lokasi untuk suatu kegiatan ekonomi di Jawa Barat, dengan menggunakan
teori lokasi biaya minimum Weber, teori lokasi pendekatan pasar losch, dan teori
lokasi memaksimumkan laba oleh D.M Smith. Adapun manfaat secara teoritis dari
analisis penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan
dan wawasan, khususnya tentang faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan
suatu lokasi untuk suatu kegiatan ekonomi di Jawa Barat serta secara praktis hasil
analisis ini dapat memberikan masukan untuk pengambilan kebijakan terkait
penentuan lokasi atas kegiatan ekonomi di Jawa Barat.
c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
Sumber daya alam daerah di Jawa Barat yang tidak merata merupakan salah
satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan daerah yang memudahkan
pengelolaan sumber daya alam. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat
beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah
lain. Karena itulah pemerintah membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di
tingkat daerah yang disebut otonomi daerah.
Setiap upaya pembangunan daerah mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam
mencapai tujuan tersebut pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara
bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu,
pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan
sumberdaya- sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun
perekonomian daerah.
Teori pertumbuhan dan pembangunan daerah salah satunya adalah teori lokasi
dimana perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya dengan cara
memilih yang memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar. Keterbatasan
dari teori lokasi pada saat sekarang adalah bahwa tekhnologi dan komunikasi
modern telah mengubah signifikasi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi
dan distribusi barang. Hal itu akan menimbulkan Ancaman Disintegrasi
diantaranya kesenjangan antardaerah dam ketimpangan di daerah-daerah yang
semakin mencolok (PDRB dan indikator kesejahteraan) dan Trend Desentralisasi
(otonomi daerah).
Adapun tujuan dari kajian ini yaitu, Mengetahui gambran secara menyeluruh
mengenai pertumbuhsn ekonomi regional Jawa Barat , Menganalisis tingkat

pertumbuhan sektoral dan PDB di Jawa Barat, Menganalisis permasalahan yang

sering terjadi pada pertumbuhan ekonomi regional, Menganalisi berbagai upaya


yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi regional.
Adapun manfaat dari kajian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan
praktis. Manfaat teoritis dari kajian ini diharapkan dapat Sebagai tambahan ilmu
pengetahuan mengenai pertumbuhan ekonomi regional. Dan manfaat praktis dari
kajian ini adalah Sebagai landasan untuk pengambilan kebuijakamn terkait
partumbuhan ekonomi regional.
d. Analisis Perencanaan Regional
Peningkatan daya saing industri nasional, percepatan pembangunan di daerah-
daerah menjadi perhatian pemerintah pusat termasuk diantaranya perencanaan
pembangunan regional diwilayah Jawa Barat.
Jika dilihat dari letak wilayah Provinsi Jawa Barat berdekatan dengan wilayah
Provinsi DKI Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi nasional
sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pasar, keuangan dan permodalan, serta
pengembangan teknologi, Selain itu jumlah penduduk Jawa Barat terbesar di
Indonesia sehingga merupakan potensi yang besar pula baik secara faktor produksi
maupun pasar. Kualitas sumber daya manusia juga mencukupi dan ditunjang
dengan banyaknya perguruan tinggi yang ada baik negeri maupun swasta yang
berkualitas.
Untuk memanfaatkan potensi wilayah Jawa Barat dilakukan pembangunan
dari wilayah pedesaan hingga perkotaan agar merata. Salah satu perencanaan
wilayah Jawa Barat dengan memfokuskan pembagian wilayah berdasarkan
potensinya. Salah satu contohnya yaitu wilayah Bekasi, Kawarang, dan Subang
difokuskan untuk kawasan Industri karena berdekatan dengan akses transportasi
udara, dan laut. Wilayah Priangan Timur untuk mengembangkan potensi pertanian
dan pariwisata. Wilayah pesisir laut dijadikan sumber perikanan dan pemanfataan
sumber-sumber daya alam lainnya, dan lain-lain.
Adapun tujuan dari kajian analisis ini yaitu Untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimana perencanaan yang tepat dalam pembangun regional di
wilayah Jawa Barat dilihat dari RTRW Jawa Barat Tahun 2009-2029 dan untuk
menganalisis Bagaimana hambatan dalam perkembangan pembangunan regional di
setiap pembagian wilayah Jawa Barat.
Adapun manfaat dari kajian ini terdapat manfaat teoritis dapat menambah
wawasan dan pengetahuan tentang analisis pembangunan regional dan manfaat
praktis menjadi masukan atau input bagi para pengambil kebijakan dalam
perencanaan pembangunan regional.
e. Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat berbasis Shift Share
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan dalam kegiatan
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang di produksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Penentuan
keunggulan sektor wilayah dapat didekati dengan metode langsung, tidak langsung,
ataupun gabungan keduanya. Salah satu metode tidak langsung yang banyak
digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ). Location Quotient LQ
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau
unggulan (Leading Sector). Analisis LQ digunakan untuk memahami tingkat
spesialisasi sektor antar wilayah. Dalam teori basis ekonomi (economic base)
mengemukakan bahwa sebuah wilayah merupakan sebuah sistem sosio-ekonomi
yang terpadu. Teori inilah yang mendasari pemikiran teknik Location Quotient
(LQ), yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat keswasembadaan (Self-sufficiency) suatu sektor.
Berbagai industri di Jawa Barat sudah berkembang dengan pesat, antara lain
industri pesawat terbang, industri senjata ringan, dan telekomunikasi di Bandung
dan industri dinamit di Tasikmalaya. Industri lain yang cukup menonjol antara lain
industri besi baja di Cilegon, industri kertas di Padalarang dan Bekasi, Industri
semen di Cibinong, Citeureup, dan Cirebon, industri pupuk di Cikampek, aneka
industri dengan komoditas tekstil, benang tenun, dan pakaian jadi di daerah
cekungan Bandung, serta industri minuman, makanan DI sekitar Bandung,
Tangerang, Bekasi, dan Cirebon. Industri-industri kecil dan rumah tangga yang
banyak terdapat di Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok, Kota Bandung, Cianjur, dan
Tasikmalaya juga berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan
uraian di atas, penulis ingin mengkaji mengenai pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
dengan berbasis Location Quotient (LQ). Adapun tujuan dalam kajian ini, untuk
mengetahui gambaran sektor mana yang menjadi sektor unggulan di Jawa Barat
dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Adapun manfaat dari kajian
ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis dari
kajian ini diharapkan dapat menambah wawasan, hasanah, dan pengetahuan
tentang pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Dan manfaat praktis dari kajian ini
adalah dapat dijadikan sebagai masukan atau input bagi para pengambil kebijakan
yang berkaitan langsung dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu
wilayah khususnya provinsi Jawa Barat dengan melihat potensi dari sektor-sektor
yang ada di daerahnya.
f. Analisis Input dan Output
Hubungan antara susunan input dan distribusi output merupakan teori dasar
yang melandasi model I-O. Secara sederhana, model I-O menyajikan informasi
tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar satuan kegiatan
ekonomi untuk suatu waktu tertentu. Analisis Input Output menggambarkan
bahwa sektor-sektor dalam perekonomian wilayah (Negara) saling keterkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Kaitan tersebut bersifat langsung atau juga tidak
langsung. Dengan memerhatikan kaitan langsung dan tidak langsung, kita ketahui
bahwa perekonomian merupakan satu sistem yang perubahannya akan berpengaruh
pada sektor lainnya.
Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki
kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Selama tahun 2010
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang diukur dari PDRB mencapai 6,09 persen.
Demikin juga dengan dengan nilai PDRB perkapita menunjukkan pertumbuhan
yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebesar 4,33 persen atau sebesar 7,17 juta
pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 7,48 juta pada tahun 2010. PDRB Jawa
Barat atas dasar harga berlaku pada tahun 2010 sebesar 770,66 triliyun dengan
masih tetap dipotong oleh sektor industri pengolahan yaitu mencapai 37,73 persen.
Kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 22,41
persen dan pertanian dengan kontribusinya sebesar 12,61 persen.
Berdasarkan fenomena di atas, kami akan mengkaji bagaimana gambaran
analisis input output dan menganalisis tabel I-O di Jawa Barat. Dengan tujuan
untuk mengetahui dan menganalisis gambaran input output di Jawa Barat. Agar
dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai gambaran kaitan antar sektor,
sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah dan dapat
dijadikan sebagai salah satu alat analisis dalam perencanaan pembangunan
ekonomi wilayah karena dapat melihat permasalahan secara komprehensif.
g. Ketimpangan Wilayah
Pada awalnya, ketimpangan terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan sumber
daya alam dan perbedaan kondisi geografi antar wilayah. Akibat dari permasalahan
tersebut, kemampuan daerah yang satu dengan lainnya dalam memajukan
wilayahnya pun menjadi berbeda. Perbedaan yang terjadi dapat bermuara pada
masalah yang lebih besar yaitu tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut.
Hal seperti itu bukan hanya satu dua kasus, melainkan sebanyak 80% dari
penduduk Indonesia merasa dirinya tertinggal (survei persepsi ketimpangan oleh
World Bank). Oleh karena itu, ketimpangan ekonomi ini menjadi sangat penting
untuk diperhatikan agar pemerintah dapat menanggulangi ketidakadilan yang
dirasakan melalui kebijakan-kebijakan yang pro akan kesejahteraan masyarakat.
Mengukur ketimpangan merupakan indikator penting bagi keberhasilan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, dalam kajian ini adalah Provinsi Jawa Barat.
Rasio Gini dengan turunan yaitu kurva Lorenze, indeks Williamson, indeks
Enthrophy Theil, indeks Herfindahl adalah alat-alat ukur yang digunakan untuk
mengukur ketimpangan ekonomi.Berdasarkan publikasi BPS (Badan Pusat
Statistik) Jawa Barat menyatakan bahwa Rasio Gini Jawa Barat justru mengalami
kenaikan dari 0,41 di Maret 2015 menjadi 0,43 di September 2015 (Pikiran
Rakyat). Hal ini menjadikan Jawa Barat menjadi provinsi dengan ketimpangan
yang paling tinggi di tingkat nasional.
Adapun diharapkan kajian ini bermanfaat secara teoritis yaitu untuk
menambah wawasan khazanah ilmu pengetahuan mengenai ketimpangan ekonomi
antar kota dan kabupaten di Jawa Barat, serta secara praktis dapat memberi
masukan kepada para pengambil kebijakan mengenai ketimpangan ekonomi antar
kota dan kabupaten di Jawa Barat.

2. Kajian Pustaka
a. Konsep Region
 Pengembangan Sektor Pangan
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas ekonomi
sehingga upaya pemenuhan kecukupan pangan menjadi kerangka pembangunan
yang mampu mendorong pembangunan sektor lainnya. Analisis mengenai
ketersediaan pangan dan akses pangan menjadi tahapan pembangunan yang
strategis karena dibutuhkan untuk menelaah kinerja ketahanan pangan di Jawa
Barat. Sumber pangan lokal di Provinsi Jawa Barat antara lain tanaman pangan
dan holtikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Tanaman pangan
merupakan salah satu subsektor pertanian yang dominan di Jawa Barat. Produksi
padi dan jagung angkanya berflutktuatif namun hasil produksinya lebih besar
daripada komoditas lain.

b. Teori Lokasi

c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional


d. Analisis Perencanaan Regional
Pada tahun 2014, penduduk Jawa Barat diperkirakan sebanyak 46,03 juta jiwa,
menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi terbesar di Indonesia dalam hal jumlah
penduduk. Terdiri atas laki -laki sebanyak 23,35 juta jiwa dan perempuan
sebanyak 22,68 juta, sehingga angka sex ratio di Jawa barat sebesar 102,9, yang
artinya terdapat 102 penduduk laki -laki dalam setiap 100 penduduk perempuan.
Jika dilihat menurut kabupaten/kota, Kabupaten Cianjur dan Indramayu memiliki
sex ratio tertinggi, yaitu 106,2, sedangkan yang terrendah kabupaten Ciamis 97,7.
Sebagian besar kabupaten/kota memiliki angka sex ratio lebih dari 100, yang
artinya jumlah penduduk laki -laki masih lebih mendominasi, kecuali di enam
kabupaten yang memiliki sex ratio kurang dari 100, yaitu Kabupaten Ciamis,
Pangandaran, Tasikmalaya, Majalengka, Sumedang, dan Kota Banjar.
Penduduk terbesar berada di Kabupaten Bogor yang dihuni sebanyak 5,3 juta
jiwa, diikuti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi, masing-masing 3,47 juta
dan 3,12 juta jiwa. Sedangkan kabupaten/kota dengan populasi terkecil adalah
Kota Banjar yang memiliki 181 ribu penduduk. Hal ini ini menjadikan Provinsi
Jawa Barat sangat bervariasi jika dilihat dari jumlah penduduk per
kabupaten/kota. Bahkan jika dilihat dari populasi, Jawa Barat juga memiliki
setidaknya 20 daerah kabupaten/kota yang berpenduduk diatas 1 juta jiwa.
Hampir dua per tiga atau 66,5% penduduk jawa barat tinggal di daerah perkotaan,
sebagai akibat dari masuknya industri yang mendorong terjadinya urbanisasi.
Daerah penyangga Ibukota terbagi kedalam 5 wilayah administrasi
Kabupaten/kota menyumbang hampir sepertiga dari total penduduk Jawa Barat
atau 30,8% populasi. Luas provinsi Jawa Barat secara keseluruhan mencapai
35.377,76 km2. Sebagian besar wilayah jawa barat juga memiliki kepadatan
penduduk yang tinggi. Dari 27 kabupaten/kota, 15 diantaranya memiliki tingkat
kepadatan penduduk lebih dari 1.000 jiwa/km2. Kota Cimahi dan Kota Bandung
menjadi daerah terpadat dengan tingkat kepadatan mencapai masing-masing
14.744 jiwa/km2 dan 14.735 jiwa/km2. Bahkan Jawa Barat memiliki 4
kabupaten/kota dengan tingkat kepadatan diatas 10.000 jiwa/km2, yaitu Kota
Bandung, Kota Cimahi, Kota Bekasi, dan Kota Depok.

e. Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat berbasis Shift Share


Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional
bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau
berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi
yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output
perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur
dengan output riil per orang.
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku
karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt
Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomi dan faktor yang
menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi
klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill, juga membahas masalah
perkembangan ekonomi .
1. Teori Inovasi Schum Peter
Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur sebagai
motor penggerak pertumbuhan ekonomi kapitalilstik.Dinamika persaingan
akan mendorong hal ini.
2. Model Pertumbuhan Harrot-Domar
Teori ini menekankan konsep tingkat pertumbuhan natural.Selain
kuantitas faktor produksi tenaga kerja diperhitungkan juga kenaikan efisiensi
karena pendidikan dan latihan.Model ini dapat menentukan berapa besarnya
tabungan atau investasi yang diperlukan untuk memelihar tingkat laju
pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan ekonomi natural
dikalikan dengan nisbah kapital-output.
3. Model Input-Output Leontief.
Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan
hubungan antarindustri. Dengan menggunakan tabel ini maka perencanaan
pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat
diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri. Hubungan
tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka
pendek/menengah dianggap konstan tak berubah .
4. Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus
negara sedang berkembang banyak (padat)penduduknya. Tekanannya adalah
pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern
kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
5. Model Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Model ini menekankan tinjauannya pada sejarah tahap-tahap
pertumbuhan ekonomi serta ciri dan syarat masing-masing. Tahap-tahap
tersebut adalah tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat lepas landas,
tahap lepas landas, tahap gerakan ke arah kedewasaan, dan akhirnya tahap
konsimsi tinggi.

f. Analisis Input dan Output


Output dalam pengertian tabel I-O adalah output domestik, yaitu nilai dari
produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi di wilayah
dalam negeri (domestik), tanpa membedakan asal usul pelaku produksinya. Unit
usaha yang produksinya berupa barang antara lain adalah di sektor pertanian,
pertambangan dan industri. Sedangkan bagi unit usaha yang bergerak di bidang
jasa, maka outputnya merupakan nilai penerimaan dari jasa yang diberikan ke
pihak lain. Sesuai dengan sifatnya, produksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu (a) produksi utama, (b) produksi ikutan dan (c) produksi sampingan.
Produksi utama adalah hasil produksi yang paling dominan dalam hal kuantitas
atau nilai. Produksi ikutan adalah hasil produksi yang selalu terbentuk secara
otomatis pada saat menghasilkan produksi utamanya dalam proses teknologi yang
tunggal. Sedangkan produk sampingan adalah produksi yang dihasilkan sejalan
dengan produksi utamanya tetapi dengan proses teknologi yang terpisah. Produksi
ikutan adalah hasil produksi yang selalu terbentuk secara otomatis pada saat
menghasilkan produksi utamanya dalam proses teknologi yang tunggal.
Sedangkan produk sampingan adalah produksi yang dihasilkan sejalan dengan
produksi utamanya tetapi dengan proses teknologi yang terpisah. Untuk makin
memperjelas pengertian tentang output, berikut diuraikan cakupan output pada
beberapa sektor khusus.
g. Ketimpangan Wilayah
Menurut Karin Vorauer (Aprianoor dan Muktiali, 2015: 487) menjelaskan
bahwa ketimpangan wilayah adalah ketidakseimbangan struktur spasial didalam
wilayah atau antar wilayah. Menurut Sirojuzilam (Aprianoor dan Muktiali, 2015:
487) menjelaskan bahwa ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap
distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan
antar daerah didalam wilayah suatu Negara. Sedangkan menurut Kutscherauer,
dkk (Aprianoor dan Muktiali, 2015: 487) menjelaskan bahwa ketimpangan
wilayah adalah perbedaan atau ketidaksamaan karakteristik, fenomena atau
kondisi lokasi dan terjadi minimal diantara dua entitas dari struktur wilayah.
Pendekatan tradisional yang hanya menilai ketimpangan dari segi ekonomi saja
dianggap kurang baik dalam menjelaskan ketimpangan tersebut. Menurut
Kutscherauer, dkk (Aprianoor dan Muktiali, 2015: 487) menjelaskan bahwa
ketimpangan wilayah dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif vertikal
dan horizontal. Perspektif vertikal melihat ketimpangan dari sudut administratif,
contohnya ketimpangan di tingkat Eropa, ketimpangan di tingkat nasional dan
ketimpangan di tingkat lokal. Sedangkan perspektif horizontal melihat
ketimpangan dari aspek-aspek yang mempengaruhinya seperti aspek sosial,
ekonomi dan fisik. Lebih lanjut menurut Barrios dan Strobl (2009) mengatakan
bahwa ketimpangan pendapatan wilayah dapat dianggap sebagai produk dari
proses pembangunan dan industrialisasi dan setiap upaya dalam menurunkan
proses pembangunan maka akan menghambat pertumbuhan wilayah tersebut.
Lebih lanjut, menurut Kurniasih (2013: 38) bahwa ketimpangan wilayah
adalah konsekwensi logis dari adanya proses pembangunan dan ia akan berubah
sejalan dengan tingkat perubahan proses pembangunan itu sendiri. Pola
pembangunan dan tingkat ketimpangan dalam pembangunan yang ditemui di
beberapa negara tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang
berbeda yang dijumpai di negara tersebut, seperti kepemilikan sumber daya,
fasilitas yang dimiliki, infrastruktur, sejarah wilayah tersebut, lokasi dan
sebagainya. Berikut ini adalah data peningkatan kesenjangan Indonesia Tertinggi
di ASEAN.

Anda mungkin juga menyukai