Anda di halaman 1dari 10

1.

Latar Belakang

Dewasa ini, iklan tidak lagi dianggap sebagai gambar, teks atau video yang berfungsi untuk
menjual produk semata. Lebih dari itu, iklan saat ini diciptakan dan dieksekusi sedemikian rupa
sehingga terlihat lebih menarik bagi target audiens dengan berbagai cara yang kreatif. Meskipun
singkat, pesan yang disampaikan melalui iklan sering memiliki pengaruh yang kuat dan persuasif
dalam membentuk sikap dan perilaku konsumen / khalayak. Hal ini disebabkan karena Iklan
mengintegrasikan narasi sosial-budaya dan juga membentuknya melalui pesan yang disampaikan.

Dalam beberapa dekade terakhir, iklan yang ditayangkan dalam televisi telah berevolusi
dengan signifikan. Tidak hanya sebagai penyampai pesan, iklan telah menjadi katalisator dan
cerminan dari keinginan dan aspirasi masyarakat. Agar hasil penjualan yang didapatkan lebih
maksimal, pemasar sebagai pelaku kapitalis bahkan menampilkan citra dan metafora yang penuh
dengan dimensi sosial-budaya yang kuat dari waktu ke waktu melalui iklan. Salah satu aspek sosial
budaya yang sangat dieksploitasi dalam iklan adalah gambaran fisik manusia—khususnya
perempuan. Bentuk eksploitasi terhadap gambaran tubuh perempuan paling sering muncul dalam
iklan produk kecantikan. Iklan-iklan yang menjual produk ini menggambarkan bahwa ciri-ciri fisik
perempuan tertentu yaitu berkulit putih, serta berbadan tinggi dan langsing, merupakan bentuk
tubuh yang sempurna dan diterima oleh masyarakat.

Pihak kapitalis, yaitu perusahaan-perusahaan dalam Industri Kecantikan melakukan


berbagai cara agar masyarakat memiliki ide sesuai dengan apa yang diinginkannya. Disinilah peran
media massa dan periklanan berperan penting untuk menyebarkan ide para kaum kapitalis ini
sehingga masyarakat umum memiliki pemikiran tertentu. Hal ini dikemukakan oleh Marx sebagai
suatu bentuk kesadaran palsu, dimana kelas yang berkuasa mempropagandakan sebuah ideologi
yang membenarkan statusnya dan membuatnya sulit bagi masyarakat umum untuk menyadari
bahwa dirinya sedang dieksploitasi dan dijadikan korban. (Berger, 2005).

Melalui analisis Marxist ini dapat dilihat pula adanya hegemoni dalam
masyarakat Indonesia, dimana kaum kapitalis, yang dalam penelitian ini adalah, yang perusahaan
perusahaan dalam Industri Kecantikan telah mendominasi dan menguasai kaum rakyat bawah atau
yang dalam istilah Marxist disebut kaum proletar. Para kapitalis menggunakan iklan sebagai sarana
untuk terus mengambil keuntungan dari masyarakat bawah. Kapitalis memberikan pekerjaan dan
memberikan upah kepada masyarakat bawah agar nanti uang hasil kerjanya dapat dipergunakan
untuk membeli barang yang diproduksi oleh para kapitalis, sehingga pada akhirnya uang akan
kembali kepada kapitalis. Hal ini terjadi tanpa disadari para kaum proletar sehingga kaum proletar
tidak merasa dirugikan dan menolak pemikiran-pemikiran kaum kapitalis.

Lebih dari itu, Iklan dalam televisi tidak hanya menciptakan gambaran yang sempurna dari
tubuh perempuan, namun juga menyusun narasi-narasi memaksa yang mendorong keinginan dari
audiens untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Iklan juga menyampaikan pesan tersirat bahwa
mencapai kesempurnaan tersebut merupakan hal yang penting. Karena jumlahnya yang masif dan
tersebar di seluruh stasiun televisi, iklan-iklan tersebut beserta eksploitasi kesempurnaan fisik
didalamnya pada akhirnya dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat begitu saja. Akhirnya,
tanpa disadari, representasi berulang-ulang yang muncul dalam iklan produk kosmetik tersebut
telah membentuk stereotip dalam benak audiens tentang ‘perempuan cantik’.

Untuk menjadikan sebuah iklan efektif, seringkali iklan menampilkan


stereotip gender agar pesannya lebih mudah tersampaikan kepada target konsumennya, seperti
contohnya menampilkan wanita sebagai ibu rumah tangga. Stereotip mengenai wanita dalam iklan
sangat erat kaitannya dengan industri kecantikan beserta produknya. Setiap tahunnya para wanita
menghabiskan banyak uang untuk membeli produk – produk kecantikan. (Gauntlett, 2008)

Stereotip mengenai wanita dalam iklan juga terjadi di Indonesia. Iklan produk – produk
kecantikan selalu menggambarkan bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih,
halus, dan langsing. Pada akhirnya seperti yang telah dituliskan oleh Gauntlett, para wanita
Indonesia menghabiskan banyak uangnya untuk membeli beragam produk kecantikan yang dapat
membuat para wanita ini semakin dekat dengan gambaran kecantikan ideal yang putih.

Tulisan ini berusaha untuk mengeksplorasi ragam representasi perempuan dalam iklan
kontemporer berbagai merek produk kecantikan di Indonesia. Makalah ini berupaya melakukan
analisis wacana dari iklan krim pemutih beberapa merek besar di Indonesia, yaitu ‘Garnier’, ‘Fair
and Lovely’, serta ‘Ponds’ selama beberapa tahun terakhir. Tulisan ini akan mendekonstruksi
wacana dan melakukan analisis semiotika terhadap pesan dibangun oleh merek-merek tersebut
melalui propaganda bahwa berkulit putih merupakan suatu hal yang harus dimiliki seorang
perempuan untuk mencapai apapun dalam hidup.
Disatu sisi, propaganda ini memperlihatkan masyarakat sisi rasisme dalam industry
kecantikan, dan disisi lainnya, propaganda ini telah meremehkan esensi dari perempuan dan
menggambarkan mereka sebagai individu yang selalu bergantung pada bentuk tubuh yang
sempurna untuk mencapai kesuksesan dan pengakuan dari orang lain.

2. Tinjauan Literatur

1. Kapitalisme

Kapitalisme murni didefinisikan sebagai suatu sistem di mana semua alat produksi (modal
fisik) dimiliki dan dijalankan secara pribadi oleh kelas kapitalis untuk mendapatkan keuntungan,
sedangkan kebanyakan orang lain adalah pekerja yang bekerja dengan gaji atau upah (dan yang
tidak memiliki modal atau produk). (Zimbalist, Sherman et al., 1988).

Sedangkan, menurut Jenks (1998), Kapitalisme didefenisikan sebaga sebagai mode


produksi, adalah sistem ekonomi pembuatan dan pertukaran yang diarahkan pada produksi dan
penjualan komoditas dalam pasar untuk mendapatkan keuntungan, di mana pembuatan komoditas
terdiri dari penggunaan tenaga kerja resmi yang bebas dalam pertukaran untuk upah untuk
menciptakan komoditas di mana pabrikan mengekstraksi nilai lebih dari tenaga kerja pekerja
dalam hal perbedaan antara upah yang dibayarkan kepada pekerja dan nilai komoditas yang
diproduksi olehnya untuk menghasilkan keuntungan itu. (1998, 83).

Kapitalisme menjadi salah satu teori penting yang mendasari tulisan ini karena produsen
dari iklan-iklam tersebut merupakan pelaku-pelaku kapitalis yang menyampaikan pesan-pesan
berupa mitos kecantikan bahwa ‘cantik itu harus putih’ kepada audiens, dan memanfaatkan
keinginan untuk mencapai kecantikan tersebut untuk mendapatkan keuntungan. . Dengan kata lain,
bahwa kapitalisme hidup dari uang perempuan, dengan berbagai cara berusaha menundukkan
perempuan. Industri kecantikan menciptakan mitos tentang kecantikan. Konsep cantik ini pula
termediasikan dalam sebuah layar TV, sosial media ataupun teks-teks lainnya seperti majalah
ataupun fiksi.
2. Representasi dalam Media

Didalam buku What are Media Representations yang diterbitkan oleh University of
Minnesota, Representasi dalam media didefenisikan sebagai :

Representasi media adalah cara media menggambarkan kelompok, komunitas, pengalaman,


ide, atau topik tertentu dari perspektif ideologis atau nilai tertentu. Daripada memeriksa
representasi media sebagai sekadar mencerminkan atau mencerminkan "kenyataan," kami
memeriksa bagaimana representasi media berfungsi untuk "menghadirkan kembali" atau untuk
benar-benar menciptakan realitas baru. (2006, 21).

Selanjutnya, teori yang lebih spesifik untuk menggambarkan representasi gender


perempuan dalam media terdapat dalam studi seminal yang dilaksanakan oleh Carpenter & Edison
(2005) yang mempelajari penggambaran wanita dalam iklan majalah selama empat puluh tahun
terakhir di AS. Studi ini merupakan perpanjangan dari dua studi penelitian komprehensif yang
dilakukan sebelumnya - Soley & Reid (1988) dan Soley & Kurzbard (1986). Penelitian ini
menyetujui hasil yang didapatkan dalam penelitian sebelumnya dan berpendapat bahwa
'objektifikasi perempuan' dalam media telah merajalela dan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Studi ini menyimpulkan bahwa perempuan digambarkan dalam peran yang sangat
stereotipikal. Studi ini juga membandingkan perwakilan perempuan dengan perwakilan laki-laki
dan menemukan bahwa yang pertama lebih 'terobyektifikasi'.

Selanjutnya, dalam makalah mereka ‘Gender Issues in Advertising Language’ (1999), Artz
et al mengutip temuan berbagai penelitian terkait representasi perempuan dalam media yang
dilakukan di seluruh dunia.

Secara keseluruhan, pola representasi yang berhasil teridentifikasi oleh mereka adalah :

1. Wanita lebih sering digambarkan sebagai individu muda dan peduli


dengan daya tarik fisik daripada rekan-rekan pria mereka.
2. Wanita lebih kecil kemungkinannya daripada pria untuk digambarkan
sebagai figur otoritas dan lebih cenderung ditampilkan sebagai pengguna produk.
3. Ada kecenderungan bagi perempuan untuk ditampilkan sebagai bawahan
laki-laki, sebagai benda dekoratif, atau sebagai objek seks yang memikat.
Karena representasi mengonstruksi makna mengenai kelompok tertentu, maka representasi
seringkali dihubungkan bahkan disamakan dengan stereotip. Namun sebenarnya representasi dan
stereotip memiliki pengertian yang berbeda. Stereotip merupakan pelabelan terhadap kelompok
tertentu. Pelabelan ini dapat berupa hal yang positif maupun negatif tapi pada media massa,
terutama berkaitan dengan gender pelabelan ini seringkali bersifat negatif.

3. Stereotipe Gender

Menurut Gender Equality Commission of the Council of Europe, Stereotipe gender


didefenisikan sebagai:

Gagasan-gagasan prasangka yang terbentuk di mana perempuan dan laki-laki secara


sewenang-wenang diberikan karakteristik dan peran yang ditentukan dan dibatasi oleh gender
mereka. (2015).

Selanjutnya, Kasiyan dalam buku “Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan”
memaparkan gambaran perempuan dalam media dengan deskripsi sebagai berikut:

Perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu


hanya terdapat pada daya Tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak
pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa
disadari akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi
tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang
masih didominasi oleh sistem budaya patriarkis (2008, 275).

Stereotip gender dapat membatasi perkembangan bakat dan kemampuan alami anak
perempuan dan laki-laki, perempuan dan laki-laki, serta pengalaman pendidikan dan profesional
serta kesempatan hidup mereka secara umum. Stereotip tentang perempuan merupakan hasil dari,
dan merupakan penyebab, sikap, nilai, norma, dan prasangka yang berurat berakar pada
perempuan. Mereka digunakan untuk membenarkan dan mempertahankan hubungan historis
kekuasaan laki-laki atas perempuan serta sikap seksis yang menghambat kemajuan perempuan.
4. Kesadaran Palsu (False Consciousness)

Kesadaran Palsu adalah istilah yang digunakan oleh sosiolog (terutama Marxis) untuk
menggambarkan cara-cara yang diduga bahwa proses material, ideologis, dan institusional
menyesatkan anggota proletariat dan aktor kelas lainnya dalam masyarakat kapitalis. Proses-
proses ini dianggap menyembunyikan hubungan sejati antara kelas-kelas dan menyembunyikan
eksploitasi yang diderita kaum proletar.

Kemudian, Lorna Finlayson membedakan antara lima jenis kesadaran palsu dalam
bukunya 'An Introduction to Feminism'. Perbedaan tersebut adalah :

1. A false belief about the world. For example, a worker who thinks
capitalism doesn’t oppress them or a misogynist who thinks women are innately
bad at maths.
2. An inaccurate representation of the world. For example, a woman who
looks in the mirror and sees herself as ugly and larger than she actually is.
3. An emotional response that is inappropriate to the situation. For example,
a victim of abuse who blames themselves for their abuse and venerates their abuser.
4. The failure to notice a relevant truth. For example, a white person who
doesn’t notice racism and thinks they live in a “post-racial’ society, or a man who
doesn’t notice the reproductive labour that women perform.
5. The failure to experience a certain emotional state. For example, a
capitalist who doesn’t feel empathy for their employees or a trans-person who
doesn’t love themselves because of internalised transphobia. (2016, 15-17)

Konsep kesadaran palsu berkaitan erat dengan Kapitalisme. Richard Schmitt dalam
buku Introduction to Marx and Engels: A Critical Reconstruction mengatakan, sumber dari
kesadaran palsu itu terletak pada kondisi hidup kelas pekerja yang teralienasi di bawah sistem
produksi sosial kapitalis.

Dari pengertian yang diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa mitos kecantikan yang
disampaikan iklan terus menerus telah terinternalisasi dan membentuk false consciousness
didalam diri perempuan untuk memenuhi standar seorang perempuan menurut defenisi kapitalis.
Secara tidak sadar, perempuan sebenarnya telah tertindas oleh mitos kecantikan yang ditanamkan
oleh kapitalis selaku pembuat iklan. Hal ini membuat perempuan selalu merasa tidak puas dengan
dirinya sendiri dan melihat dirinya sebagai makhluk yang tidak sempurna dan harus mencapai
kecantikan yang sempurna seperti dalam iklan.

3. Temuan dan Analisis

Untuk menganalisis iklan krim pemutih dari tiga merek yaitu ‘Garnier’, ‘Fair and Lovely’
dan ‘Pond’s’, Penulis akan menggunakan kerangka analisis semiotik Charles Sanders Peirce yang
mengembangkan model triadik yang disebut juga sebagai “triangle meaning semiotics”. Fiske
(2007) secara sederhana menjelaskan model tersebut sebagai tanda adalah sesuatu yang dikaitkan
pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda merujuk pada seseorang,
yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau suatu tanda yang lebih
berkembang, tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu
menunjukkan sesuatu, yakni objeknya. (Nawiroh Vera, 2014)

1. Analisis Semiotika Untuk Iklan Fair And Lovely Shireen Sungkar (2012)
Tayangan Iklan : https://www.youtube.com/watch?v=qKRsF0jC82A

Tayangan iklan pertama yang akan menjadi bahan analisis dalam tulisan ini adalah
iklan Fair and Lovely yang ditayangkan di televisi Indonesia pada tahun 2012 yang lalu.
Iklan ini berdurasi 16 detik dan dibintangi oleh Shireen Sungkar. Secara ringkas, iklan itu
mengisahkan tentang seorang perempuan berkulit gelap yang diacuhkan oleh orang-orang
disekitarnya. Kemudian, Shireen Sungkar datang dan merekomendasikan perempuan
tersebut untuk menggunakan krim Fair and Lovely. Setelah menggunakan krim tersebut,
sang perempuan akhirnya berkulit cerah dan menjadi pusat perhatian.

Berikut analisis semiotika dari beberapa adegan dalam iklan tersebut :


No REPRESENTATION OBJECT INTERPRETANT

1. Seorang Perempuan tersebut


perempuan merasa lnferior
berekulit dibanding temannya
gelap tampak (Shireen Sungkar)
bertanya yang berkulit lebih
kepada cerah. Hal ini
temannya dikarenakan dalam
tentang iklan tersebut, yang
rahasia untuk dianggap cantik adalah
menjadi yang berkulit putih.
pusat
perhatian.

No REPRESENTATION OBJECT INTERPRETANT

2. Shireen Menurut perempuan


Sungkar yang berkulit putih,
sebagai Fair and Lovely
pemeran adalah kunci utama
utama baginya untuk
memegang menjadi cantik, putih
produk krim dan mendapat
pemutih perhatian. Fair and
‘Fair and Lovely hadir sebagai
Lovely’ jawaban atas
sembari kesedihan perempuan
tersenyum berkulit gelap atas
lebar. ketiadaan perhatian
atas dirinya.
No REPRESENTATION OBJECT INTERPRETANT

3. Perempuan Definisi kecantikan


yang tadi yang sempurna,
berkulit gelap yaitu kulit putih,
kini berjalan ke rambut Panjang dan
arah Shireen badan langsing
Sungkar adalah sebuah hal
dengan yang harus dicapai
penampilan oleh seorang
barunya, perempuan agar bisa
rambut tergerai mendapat
dan kulit yang penerimaan dan
lebih cerah. pengakuan dari
Semua mata orang-orang
tampak tertuju disekitarnya.
kepadanya.

2. Analisis Semiotika Untuk Iklan Pond’s White Beauty Gita Gutawa (2013)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=C80ftLnXDkI

Tayangan iklan pertama yang akan menjadi bahan analisis dalam tulisan ini adalah
iklan Pond’s White Beauty yang ditayangkan di televisi Indonesia pada tahun 2012 yang
lalu. Iklan ini berdurasi 30 detik dan dibintangi oleh Gita Gutawa dengan tema “Cantik
putih merona seperti Korea”. Secara ringkas, Iklan ini menggambarkan sang model Gita
Gutawa yang memiliki kulit wajah putih merona dengan menggunakan produk kecantikan
Pond’s White Beauty. Dimana dengan memiliki kulit wajah seperti tersebut sang model
dikatakan cantik di negeri Korea sebagai latar tempat dari iklan.

Berikut analisis semiotika dari beberapa adegan dalam iklan tersebut :


No REPRESENTATION OBJECT INTERPRETAN
T
1. Seorang Penampilan yang
perempuan cantik dan putih
Indonesia (Gita merupakan
Gutawa) sedang sebuah
berjalan di kesempurnaan
sebuah pusat yang akan
perbelanjaan di membuat orang-
Korea bersama orang menaruh
temannya. perhatian kepada
Kehadiran Gita seseorang
Gutawa tersebut
menarik perhatian
pengunjung
lainnya
untuk menoleh
kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai