Anda di halaman 1dari 13

Poliomielitis pada Anak

E1

David Christian Ronaldtho (102012210), Veronica (102013014), Reinhar Rusli (102013027), The
Melita Mulyani (102013118), Anjanete Viviandira Krisnadewi (102013204), Welhan Chau
(102013338), Maria Eva Prada Mega (102013339), Muhammad Haziq Asyraf Bin Mohd Yusri
(102013508)

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat, 11510

Pendahuluan
Poliomielitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus polio yang dapat menular dan
menyerang sistem saraf yang dapat mengakibatkan kelumpuhan atau paralisis. Penyakit ini dapat
menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah umur kurang
dari 3 tahun.Virus polio masuk ke dalam tubuh melalui mulut kemudian menginfeksi saluran usus
dan memasuki aliran darah, hingga ke sistem saraf pusatyang menyebabkan melemahnya otot
sampai kelumpuhan. Dengan gejala meliputi demam, lemas, sakit kepala, muntah nyeri pada kaki
ataupun lengan. Poliomielitis dapat dicegah dengan cara memberikan imunisasi aktif.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis, diagnosis banding, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan, serta prognosis dari penyakit
poliomieltis.

Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditanyakan adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan lingkungan
tempat tinggal. Perlu diketahui pula riwayat kehamilan dan persalinan berkisar penyakit ibu selama
hamil, apakah ibu mengalami infeksi ketika akan melakukan persalinan, dan pemberian ASI.
Ditanyakan juga bagaimana nutrisi anak. Selain itu perlu ditanyakan riwayat imunisasi anak secara
lengkap dan jelas.1 Dalam skenario didapatkan hasil anamnesis seorang anak laki-laki berusia 8
tahun kaki kanannya tidak dapat digerakkan sejak 2 hari yang lalu, demam sejak 7 hari yang lalu

1
disertai batuk pilek, sakit kepala, nyeri otot, dan imunisasi lengkap kecuali mendapatkan dua kali
suntikan pada saat anak tersebut berusia 2 bulan dan 4 bulan.

Pemeriksaan Fisik
Melakukan pemeriksaan kesadaran dan tanda-tanda vital. Pada pemeriksaan kesadaran
terdapat beberapa tingkat kesadaran yaitu sadar secara penuh, delirium, somnolen, sopor, koma-
ringan, dan koma dalam. Pada delirium pasien tampak kacau, gaduh-gelisah, dan disorientasi.
Somnolen keadaan mengantuk dan memberikan jawaban jika dirangsang. Sopor merupakan
keadaan kantuk yang dalam. Penderita dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun
kesadarannya segera menurun lagi. Koma-ringan, pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap
rangsang verbal namun refleks tubuhnya masih baik. Pada koma dalam, tidak ada gerakan spontan,
tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. Sedangkan
tanda-tanda vital yang dilakukan adalah suhu, denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas.2,3
Kemudian melakukan inspeksi terhadap seluruh tubuh terutama otot penderita. Perhatikan
adanya pengecilan otot yang jelas, faskulasi, deformitas, dan perubahan pada kulit. Setelah itu
melakukan pemeriksaan rangsang meningeal, refleks, dan pemeriksaan motorik serta pemeriksaan
sensorik.
Pemeriksaan rangsang meningeal terdiri dari pemeriksaan kaku kuduk, pemeriksaan
brudzinski I, pemeriksaan laseque, dan pemeriksaan kernig3 :
• Kaku kuduk
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian
kepala di tekukkan dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Perhatikan ada atau tidaknya
tahanan. Bila terdapat kaku kuduk terdapat tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
• Tanda brudzinski I
Dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski
positif, maka tindakan ini mengakibatkan flexi kedua tungkai.
• Tanda laseque
Kaki pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu
tungkai diangkat lurus, di bengkokkan (flexi) pada persendian panggul. Tungkai yang satu
lagi lurus. Pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa
sakit atau tahanan, maka disebut tanda laseque positif. Tanda lasegue positif dijumpai pada
2
kelainan berikut : rangsang selaput otak, iritasi pleksus lumbosacral.
• Tanda kernig
Penderita yang sedang berbaring diflexikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka
dikatakan bahwa kernig positif.
Pemeriksaan refleks dibagi menjadi dua, yaitu refleks dalam dan superficial. Refleks dalam
(reflex regang otot) timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan sebagai
jawabanya maka otot berkontraksi. Sedangkan reflex superficialis timbul karena terangsangnya
kulit atau mukosa yang mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau
disekitarnya. Beberapa refleks dalam adalah refleks biseps, refleks triseps, refleks brachioradialis,
refleks lutut, dan refleks achilles. Sedangkan beberapa refleks superfisialis adalah refleks kornea,
refleks dinding perut superfisialis, dan refleks anus superfisialis.2,3
Pemeriksaan motorik meliputi penilaian integritas sistem muskuloskeleton dan pencarian
gerakan abnormal yang dapat menunjukkan kelainan sistem saraf perifer atau sistem saraf pusat.
Komponen pemeriksaan motorik meliputi pengujian kekuatan, bagian terbesar otot, tonus, postur,
dan daya penggerak.4
Pemeriksaan sensorik dimulai dengan sifat, perjalanan, dan lokasi gejala-gejala sensorik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti diskriminasi dua titik dan grafestesia (menggambar pada
telapak tangan).4
Pada kasus poliomielitis, otot-otot tubuh terserang paling akhir, sensorik biasanya normal,
refleks tendon dalam biasanya menurun atau tidak ada sama sekali, dan terdapat tanda-tanda
rangsang meningeal salah satunya kaku kuduk.5
Pada kasus didapatkan hasil suhu adalah 38oC, kaku kuduk (+), refleks tendon (-), kekuatan
motorik (-), lumpuh flaccid (+), dan sensorik (+).

Pemeriksaan Penunjang
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan tenggorok (swab tenggorok),
darah, LCS, feces, darah tepi, dan serologi antibody virus polio.

• Darah tepi perifer : tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomyelitis pada
gejala awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam batas

3
normal atau terjadi leukositosis pada fase akut yaitu 10.000-30.000/ml dengan predominan
PMN.

• Cairan LCS : adanya pleositosis yaitu peningkatan jumlah sel 20-300 sel/ml, terjadi
dominasi PMN, selanjutnya dominasi limfosit. Kadar protein sedikit meninggi dan kadar
glukosa menurun serta elektrolit normal, sedang tekanan tidak meninggi. Kadar protein
berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang > 150 mg /100 ml,
kadar protein yang meninggi ini akan bertahan selama 3-4 minggu.

• Isolasi virus : penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase paralitik
terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan gejala neurologic, 80-90% psitif
untuk virus polio, oleh karena ekskresi terjadi intermiten maka yang sebaiknya diambil 2
atau lebih specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari faring dan LCS jarang menghasilkan
virus. Hasil biakan juga penting untuk menentukan jenis serotype virus dan mempengaruhi
cara vaksinasi.

• Serologi : diagnosis poliomyelitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody 4x atau


lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara pemeriksaan uji netralisasi dan uji
fiksasi komplemen. Karena complement fixing antibody mempunyai waktu lebih pendek
dibandingkan dengan titer netralisasi, dan lebih kuat maka dapat ditentukan adanya infeksi
polio baru bila terdapat peninggian tes fiksasi komplemen. Sangat membantu bila wabah
disebabkan oleh tipe tertentu atau oleh NPE yang lain.5-7


Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk kasus poliomielitis adalah Guillain Barre Syndrome, dan myelitis
transversa
Sindrom Guillain-Barre ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi. Mikroorganisme penyebab belum
pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan
tanda radang. Terbanyak ditemukan antara umur 4-10 tahun. Biasanya didahului oleh demam atau
penyakit traktus respiratorius bagian atas, kemudian terdapat periode laten selama 1-3 minggu.
Berlangsung akut dan subakut. Pada penyakit ini otot proksimal penderita sama beratnya dengan
otot distal. Kadang-kadang kelumpuhan seolah-olah menjalar ke atas dari otot kaki, tungkai,

4
abdomen, toraks, lengan, dan muka. Keadaan ini disebut paralisis asending Landry, otot-otot yang
terkena bersifat simetris. Kelumpuhan jenis flasid dengan refleks tendon menurun akan tetapi tidak
terlihat atrofi. Gangguan sensibilitas dapat berat, ringan atau tidak terdapat sama sekali.
Kelumpuhan dapat didahului oleh hipestesia, anestesi dengan rasa nyeri atau parestesia.4

Mielitis transversa adalah kelainan neurologi yang disebabkan oleh peradangan sepanjang
medulla spinalis baik melibatkan satu tingkat atau segmen dari medulla spinalis. Mielitis transversa
terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi langsung oleh virus, bakteri, jamur, maupun parasit,
HIV, Varicella zooster, cytomegalovirus, dan TBC, namun juga dapat sebabkan oleh proses non
infeksi atau melalui jalur inflamasi. faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan mielitis transversa
adalah penyakit autoimun sistemik (SLE, multiple sklerotik, Sjogren’s syndrome), tidak jarang
tidak ditemukannya faktor penyebab sehingga disebut sebagai idiopatik. Mielitis transversa terjadi
secara akut dan subakut. terdapat empat gejala klasik mielitis transversa yaitu kelemahan otot atau
paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki dan jari-jari kaki, disfungsi
kandung kemih dan buang air besar. gejala motorik pada mielitis transversa berupa beberapa
penderita mengalami tingkat kelemahan yang bervariasi pada kaki dan lengan, pada awalnya
penderita terlihat menyeret kaki atau lengannya karena terasa lebih berat dari normal, kemudian
beberapa minggu penyakit tersebut secara progresif berkembang menjadi kelemahan kaki secara
menyeluruh, terjadi paraparesis (kelemahan pada sebagian kaki), paraparesis sering menjadi
paraplegia (kelemahan pada kedua kaki dan punggung bagian bawah), gejala sensorik nya seperti
nyeri, gejala lainnya berupa parastesia yang mendadak (perasaan yang abnormal seperti terbakar,
gatal, tertusuk, atau perasaan geli), gejala otonom dapat berupa gangguan fungsi kandung kemih
seperti retensi urin dan buang air besar hingga gangguan pasase usus dan disfungsi seksual sering
terjadi.8

Diagnosis Kerja

Poliomielitis adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh suatu kelompok virus
neurotropik (tipe I,II, dan III). Virus poliomielitis mempunyai afinitas khusus pada sel-sel kornu
anterior medula spinalis dan inti saraf motorik tertentu di batang otak. Sel-sel saraf yang terkena
mengalami nekrosis dan otot-otot yang disuplainya menjadi paralisis. 4

Infeksi polio yang jelas bisa ringan, mulainya tiba-tiba dan berakhir dalam beberapa jam
sampai beberapa hari; gejalanya termasuk demam, sakit tenggorok, sakit kepala, mual , muntah,
anoreksia, dan nyeri abdomen. Secara klasik, tanda paralisis terjadi setelah 2 sampai 6 hari sebagai
5
akibat sebaran virus secara hematogen ke sistem saraf pusat. Secara khas distribusi paralisis adalah
asimetris, yang lebih sering terkena ialah otot anggota gerak bawah dan otot yang lebih besar
dibandingkan dengan otot anggota gerak bagian atas dan otot yang lebih kecil. Bisa mengenai
kelompok otot yang terisolasi, atau bisa juga terjadi perluasan paralisis ke seluruh anggota tubuh.

Poliomielitis adalah sebuah contoh kerusakan neuron motorik bawah dimana otot yang
terserang menjadi lumpuh dan lemah, juga mengecil dan kehilangan refleks-refleks normal. Bila
penderita adalah seorang anak, maka anggota geraknya tidak dapat berkembang.

Etiologi

Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan family pikorna
virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil jadi ia termasuk virus yang filterable.
Terdapat 3 tipe virus polio yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dan tipe 3 (Leon). Tipe 1 yang
sering menyebabkan paralisis. Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibody, tetapi tidak terdapat
kekebalan silang. Perbedaan tiga jenis strain terletak pada nukleutidanya.Strain 1 adalah yang
paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain 3 paling tidak imunogenik.
Virus ini menular melalui percikan ludah dan feses. Virus polio masuk kedalam tubuh manusia
melalui mulut dan berkembang biak ditenggorokan dan usus. Berkembang biak selama 4 sampai 35
hari, kemudian akan dikeluarkan melalu tinja selama beberapa minggu kemudian. Virus ini hanya
dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat oksidator yang kuat seperti
peroksida, atau kalium permanganate.9

Epidemiologi

Goar (1955) dalam uraiannya tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan
sanitasi yang buruk berkesimpulan bahwa epidemic ditemukan 90% pada anak dibawah usia 5
tahun (karena itu dulu disebut paralisis infantil) tapi bukan berarti poliomyelitis tidak ditemukan
pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia dibawah umur 6 bulan, mungkin
karena imunitas pasif yang didapat dari ibu. Wabah epidemic poliomyelitis yang terakhir dilaporkan
terjadi pada tahun 1955 di New England, USA. Dengan ditemukan vaksin polio maka kini
poliomyelitis hanya dijumpai sebagai kasus yang sporadik saja.

6
Kasus polio telah menurun lebih dari 99% sejak tahun 1988. Sebanyak 350.000 kasus
diperkirakan terjadi di lebih dari 125 negara endemik. Secara keseluruhan, sejak Global Polio
Eradication Initiative diluncurkan, jumlah kasus telah menurun lebih dari 99%. Pada tahun 2011,
hanya empat negara di dunia tetap endemik polio.1o
Kejadian luar biasa kasus polio di Indonesia sampai dengan tanggal 21 Maret 2006
ditemukan pada 305 anak yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa
Tengah, Lampung, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Nangroe
Aceh Darussalam-NAD. Sejak saat itu sampai sekarang tidak terdapat laporan KLB Polio di
Indonesia.10

Patofisiologi

Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi epitel orofaring, tonsil, kelenjar limfe leher,
dan usus kecil. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus tahan terhadap
asam lambung maka virus bisa mencapai saluran cerna bagian bawah. Dari faring setelah
bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan tonsil berlanjut ke aliran limfe dan pembuluh
darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan
saraf pusat terjadi akibat viremia yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel dan
berbiak pada sel usus yang mengandung PVR (poliovirus receptor) dan dalam waktu sekitar 3 jam
setelah terinfeksi telah terjadi kolonisasi. Sel yang mengandung PVR bukan hanya sel di tenggorok
dan usus saja, namun juga sel monosit dan sel motor neuron di SSP. Kejadian neuropati pada
poliomielitis merupakan akibat langsung dari multiplikasi virus di jaringan saraf, merupakan gejala
yang patognomonik, namun tidak semua saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi
sebagian disebabkan sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu
setelah onset. Lesi saraf pada poliomielitis dapat ditemukan pada medula spinalis (terutama di
daerah kornu anterior, sedikit di daerah kornu intermediet dan dorsal serta di ganglia radiks
dorsalis), medula oblongata (nuklei vestibularis, nuklei saraf kranial, dan formation retikularis yang
terdiri dari pusat-pusat vital), serebelum (hanya mengenai nuklei bagian atas dan vermis), otak
tengah/ mid brain (terutama masa kelabu, substansia nigra, kadang-kadang di nukleus rubra),
talamus dan hipotalamus, palidum, korteks serebri (bagian motorik)11

7
Manifestasi Klinis
Replikasi di motor neuron terutama terjadi sumsum tulang belakang yang menimbulkan
kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi otot, sedang virus yang berbiak di batang otak akan
menyebabkan kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernapasan. Selain gejala klinik yang akut, juga
dikenal adanya post-polio syndrome (PPS) yang gejala kelumpuhannya terjadi bertahun-tahun
setelah infeksi akut.11
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan sakit kepala, sakit pinggang,
kesulitan menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head drop,
tanda tripod saat duduk, tanda-tanda spinal, tanda Brudzinsky atau Kernig, harus dicurigai
kemungkinan adanya poliomielitis.11
Minor illness. Gejala klinis ini terjadi serbagai akibat proses inflamasi akibat berbiaknya
virus polio. Gejalanya sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan biasanya nyeri tenggorok
dan perasaan tak enak di perut, gangguan gastrointerstinal, demam ringan, perasaan lemas, dan
nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari, kemudian menghilang. Gejala ini merupakan
fase enteric dari infeksi virus polio. Masa inkubasi 1-3 hari dan jarang lebih dari 6 hari. Selama
waktu itu virus ber-replikasi pada nasofaring dan saluran cerna bagian bawah. Gajala klinis yang
tak khas ini terdapat pada 90-95% kasus polio.4,11
Mayor illness. Merupakan gejala klinik akibat penyerbaran dan replikasi virus di tempat lain
serta kerusakan yang ditimbulkannya. Masa ini berlangsung 3-35 hari termasuk gejala minor illness
dengan rata-rata 17 hari. Gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan cepat dalam beberapa
jam, nyari kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung.
Penderita terlihat mengantuk, iritabel, dan cemas. Pada kasus tanpa paralisis maka keadaan ini sukar
dibedakan dengan meningitis aseptic yang disebabkan oleh virus lain. Bila terjadi paralisis biasanya
dimulai dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah keluhan nyeri kepala. Pada anak, stadium pre-
paralisis lebih singkat dan kelemahan otot terjadi pada waktu penurunan suhu, pada saat penderita
merasa lebih baik.4,11
Poliomielitis merusak sel motorik, yaitu neuron yang besar pada substansia grisea anterior
pada medula spinalis dan batang otak. Lebih sering kerusakan pada segmen lumbal dan servikal
disbanding torakal. Medula spinalis lebih sering terkena dibanding batang otak. Kerusakan motor
neuron pada anak sering menimbulkan kelainan yang asimetris. Proses peradangan juga
berpengaruh terhadap saraf autonomi dan sensoris tapi biasanya tak menimbulkan kelainan yang
permanen.11

8
Secara umum proporsi bentuk klinik poliomielitis4,11 :
1. Inapparent infection
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak terdapat gejala klinis
sama sekali. Pada suatu endemik diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan
menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.
2. Abortive poliomyelitis
Jarang terjadi, didahului dengan panas, malaise, pusing, muntah dan sakit perut. Sehari-dua
hari pertama akan timbul iritasi meningen, termasuk kaku kuduk, muntah, nyeri kepala.
Kemudian setelah 2-10 hari akan membaik tanpa gejala sisa, kecuali pada beberapa kasus
terjadi kelemahan otot yang transient.
3. Non paralytic poliomyelitis
Anak demam, lemas, sakit otot, hiperestesia atau parestesia, muntah, diare, pada
pemeriksaan fisik didapatkan kaku kuduk, tanda spinal, tanda head drop (bila tubuh
penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak akan menyebabkan kepala terjatuh
ke belakang), tanda Brudzinsky dan Kernig positif, perubahan refleks permukaan dan dalam.
Selain itu terdapat tanda Tripod dimana saat anak berusaha duduk dari sikap tidur maka ia
akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang tempat
tidur.
4. Paralytic poliomyelitis
Dimulai dari gejala seperti pada infeksi klinik yang ringan (minor), diseling dengan periode
1-3 hari tanpa gejala, kemudian disusul dengan nyeri otot, kaku otot, dan demam. Dengan
cepat (beberapa jam) keadaan klinik cepat memburuk (mayor) dan menimbulkan
kelumpuhan yang maksimal dalam 48 jam saja.
• Tipe spinal (79% dari kasus paralitik) : biasanya kelumpuhan yang terjadi tidak lengkap,
kaki lebih sering terkena dibanding dengan tangan, terutama terjadi pada bagian proksimal,
tidak simetrik dan menyebar dari bagian proksimal kearah distal (descending paralysis).
Kelumpuhan lebih sering pada otot yang besar di bagian proksimal (terutama paha),
dibanding dengan otot distal yang kecil. Deep tendon refleks akan hilang tanpa gangguan
sensori. Jenis dan beratnya kelumpuhan sangat tergantung pada lokasi kerusakan, namun
selalu bersifat layuh (flaccid), otot lembek (floppy) tanpa tonus otot. Jenis spinal sering
mengenai otot tangan, kaki, dan torso.
• Tipe bulbar (2% dari kasus paralitik) : kasus bulbar jarang terjadi. Tipe bulbar terjadi akibat
kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga terjadi insufisiensi pernapasan, kesulitan
9
menelan, tersedak, kesulitan makan, kelumpuhan pita suara, dan kesulitan bicara. Saraf otak
yang terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Kerusakan pada saraf pusat ini
tidak dapat diganti atau diperbaiki sehingga akan terjadi kelumpuhan yang permanen.
• Tipe bulbospinal (19% dari kasus paralitik) : kombinasi antara paralisis bulbar dan spinal.
5. Post polio syndrome (PPS)
Bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) setelah infeksi polio, dengan gejala klinik polio
paralitik yang akut. Gejala yang timbul adalah nyeri otot yang luar biasa, paralisis yang
rekuren atau timbul paralisis baru. Patogenesisnya masih belum jelas, namun bukan akibat
infeksi yang persisten.

Penatalaksanaan

Terapi poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi. Pemberian
immunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran hematogen ke susunan saraf. Tetapi jika fase
paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Berikan manajemen pengobatan suportif yang baik.11

Penderita dengan bentuk poliomielitis non paralitik dan paralitik ringan dapat diobati di
rumah. Untuk bentuk abortif cukup analgesik, sedatif, diet yang menarik, dan tirah baring
secukupnya sampai suhu anak normal selama beberapa hari.4
Pengobatan bentuk non paralitik serupa dengan pengobatan untuk bentuk abortif,
pengurangan rasa sakit terindikasi terutama untuk kekencangan otot yang tidak enak dan spasme
leher, batang tubuh, serta tungkai.4
Pengobatan bentuk paralitik selama fase akut dapat diberi analgesik non narkotik. Rasa
nyeri pada otot dapat dikurangi dengan mengurangi manipulasi. Dianjurkan fisioterapi dimulai pada
masa konvalesens untuk mencegah kontraktur. Pemberian cairan suplemen bila per-oral kurang dan
pemberian enema bila obstipasi. Setelah fase akut lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif.
Konsultasi ortopedi dapat dilakukan segera tetapi operasi biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah
awitan. dan untuk non medika mentosa pada penderita dengan bentuk paralitik, dapat diberikan
papan, atau kadang-kadang bidai kulit ringan. Braces juga dapat dipakai untuk mengkompensasi
kelemahan otot.11

10
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara jangan masuk daerah epidemik, dalam daerah
epidemic jangan melakukan “stress” yang berat seperti tonsilektomi, suntikan, dan sebagainya,
mengurangi aktifitas jasmani yang berlebihan (tidak boleh terlalu lelah), dan imunisasi aktif.1
Imunisasi polio yaitu proses pembentukan kekebalan terhadap penyakit polio dengan
mempergunakan vaksin polio oral (OPV) maupun injeksi (IPV). OPV sangat bermanfaat pada saat
KLB karena selain menimbulkan kekebalan humoral dan local pada usus resipien juga mempunyai
“community effect” yaitu virus vaksin yang berbiak di usus akan ikut menyebar ke anak sekitarnya,
sehingga jangkauan imunisasi makin meluas.10
Jadwal imunisasi vaksin polio oral adalah diberikan kepada semua bayi baru lahir sebagai
dosis awal, satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1 mL). Kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar
OPV atau IPV mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis berturut-turut dengan interval waktu
4-6 minggu. Kemudian booster pada usia 18 bulan. Imunisasi dapat diberikan bersama-sama
waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Terdapat dua jenis vaksin polio, yaitu oral polio
vaksin/vaksin sabin (OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV)/vaksin salk.10
Vaksin polio oral (OPV) bekerja dengan dua cara, yaitu dengan memproduksi antibodi
dalam darah (imunitas humoral) terhadap ketiga tipe virus polio sehingga pada kejadian infeksi,
vaksin ini akan memberikan perlindungan dengan mencegah penyebaran virus polio ke sistem saraf.
OPV juga menghasilkan respon imun lokal di membran mukosa intestinal tempat terjadinya
multiplikasi virus polio. Keuntungan OPV dapat diberikan secara oral, mempunyai community
effect, tidak harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, relative tidak mahal, menjadi
pertimbangan penting untuk program imunisasi nasional. Kerugian OPV, karena kandungan vaksin
berupa virus hidup yang telah dilemahkan dapat mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk setiap 3 juta
dosis. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi mutasi virus vaksin dimukosa usus.10
Inactivated polio vaccine (IPV) berisi virus polio yang virulen yang sudah di-inaktivasi/
dimatikan dengan formaldehid. IPV sedikit memberikan kekebalan lokal pada dinding usus
sehingga virus polio masih dapat berkembang biak dalam usus orang yang telah mendapat IPV.
Keuntungan IPV adalah IPV bukan vaksin ‘hidup’, imunisasi IPV tidak mempunyai risiko terhadap
vaccine associated polio paralysis. Kerugian IPV adalah IPV menimbulkan sedikit imunitas pada
saluran pencernaan, harga vaksin lebih mahal, dan perlunya tenaga terlatih untuk menyuntikkan
vaksin.10

11
Komplikasi
Kegagalan fungsi pusat pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas dan terjadi
deformitas sehingga terjadi gangguan ekstremitas pada bagian yang terkena polio.11

Prognosis
Bergantung kepada beratnya penyakit. Pada umumnya semakin luas paralisis pada 10 hari
pertama sakit, semakin berat cacat yang terjadi. Pada bentuk paralitik bergantung kepada bagian
yang terkena, derajat dan beratnya keterlibatan SSP. Bentuk spinal dengan paralisis pernapasan
dapat ditolong dengan bantuan pernapasan mekanik. Tipe bulbar prognosisnya buruk, biasanya
karena kegagalan fungsi pusat pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas. Kematiannya
tinggi hingga 60%4,11

Kesimpulan

Berdasarkan skenario, anak laki-laki berusia 8 tahun itu menderita poliomielitis. Dimana
poliomielitis ini disebabkan oleh virus polio yang menyerang sel kornu anterior medulla spinalis
yang berfungsi dalam sistem motorik sehingga penderita mengalami kelumpuhan, dengan gejala
seperti demam, lemas, sakit kepala, nyeri pada kaki atau tangan. Poliomielitis sendiri terbagi
menjadi inapparent infection, abortive poliomyelitis, non paralytic poliomyelitis, dan paralytic
poliomyelitis. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi polio.

Daftar Pustaka

1. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisis pada anak. Edisi 3. Jakarta: CV
Sagung Seto; 2003.h.1-19.

2. Hartono A, editor. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 8. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.4-608.

3. Lumbantobing SM. Neurologik klinik pemeriksaan fisik dan mental. Edisi 1. Jakarta: FKUI;
2006.h.23-111.

4. Kliegman RM, Stanton BMD, Gerne JS, Schor N, Behrman RE. Nelson textbook of pediatris.
19th edition. Canada: Elsevier; 2011.h.893-1087.

12
5. Dewanto W, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana
penyakit saraf. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.58-61.

6. Joesoef AA, Aliah A, Limoa A, Chandra B, Asnawi C, Gunawan D. Kapita selekta neurologi.
Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2009.

7. Merdjani A, Syoeib AA, Tumbelaka AR, Chaerulfatah A, Kaspan F, Setiabudi D. Buku ajar
infeksi & pediatric tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2002.

8. Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Locze. Pediactric acute transverse myelitis
overview and differential diagnosis. J Child Neurol. 2012;27:1436.

9. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatrik rudolph. Edisi 20. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.246-51.

10. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi 4.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.264-80.

11. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.182-191.

13

Anda mungkin juga menyukai