Anda di halaman 1dari 9

PROSPEK PENGEMBANGAN BIODIESEL DAN BIOETANOL

SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF DI INDONESIA


Oleh : Amalia Shintawaty1

Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional
yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak
pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk
telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang
berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM)
nasional. Untuk memenuhi kebutuhan BBM tersebut, pemerintah mengimpor
sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003
dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar
(ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM
jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat
menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004.

Besarnya ketergantungan Indonesia pada BBM impor semakin memberatkan


pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai di atas US$
70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus
diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya
memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya
harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan
Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan.
Menurut catatan Pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27% paska
kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi
139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu
kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Sedangkan Premium menurun
cukup tajam sebesar 36,8% dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per
hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli
masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk
menghemat pemakaian BBM.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengumumkan rencana untuk


mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak, dengan
meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang

1
Analis Ekonomi dan Bisnis pada bank BUMN di Jakarta

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 1


Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai
pengganti Bahan Bakar Minyak. Walapun kebijakan tersebut menekankan
penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, kebijakan tersebut juga
menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati
sebagai alternatif pengganti BBM.

Pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian serius untuk pengembangan


bahan bakar nabati (biofuel) ini dengan menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun
2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar
Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Beberapa dari bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan
bioetanol. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menghasilkan
biodiesel dan bioetanol mengingat kedua bahan bakar nabati ini dapat
memanfaatkan kondisi geografis dan sumber bahan baku minyak nabati dari
berbagai tanaman yang tersedia di Indonesia. Menurut hasil riset Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang
berpotensi menjadi energi bahan bakar alternatif. Di antaranya adalah kelapa sawit,
kelapa, jarak pagar, dan kapuk yang bisa dijadikan biodiesel untuk bahan bakar
alternatif pengganti solar, dan tebu, jagung, singkong, ubi serta sagu yang bisa
dijadikan bioetanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium.
Beberapa di antara tumbuhan penghasil energi dengan potensi produksi minyak
dalam liter per hektar dan ekuivalen energi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi

Produksi Minyak Ekuivalen Energi


(Liter per Hektar) (kWh per Hektare)
Elaeis guineensis (kelapa sawit) 3.600 – 4.000 33.900 – 37.700
Jatropha curcas (jarak pagar) 2.100 – 2.800 19.800 – 26.400
Aleurites fordii (biji kemiri) 1.800 – 2.700 17.000 – 25.500
Saccharum officinarum (tebu) 2.450 16.000
Ricinus communis (jarak kepyar) 1.200 – 2.000 11.300 – 18.900
Manihot esculenta (ubi kayu) 1.020 6.600

Sumber : Business Week edisi 15 Maret 2006

Potensi Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol

a. Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai
minyak diesel/solar. Bahan bakar ini ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas
buang yang jauh lebih baik dibandingkan dengan diesel/solar, yaitu bebas sulfur
(free sulphur), bilangan asap (smoke number) yang rendah; memiliki cetane number

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 2


yang lebih tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna (clear burning); memiliki
sifat pelumasan terhadap piston mesin; dan dapat terurai (biodegradable) sehingga
tidak menghasilkan racun (non toxic). Menurut hasil penelitian BBPT, biodiesel bisa
langsung digunakan 100% sebagai bahan bakar pada mesin diesel tanpa
memodifikasi mesin dieselnya atau dalam bentuk campuran dengan solar pada
berbagai konsentrasi mulai dari 5%.

Pengembangan biodiesel membutuhkan bahan baku minyak nabati yang dapat


dihasilkan dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti kelapa sawit (Crude
Palm Oil/CPO), jarak pagar (Jatropha Curcas), kelapa, sirsak, srikaya dan kapuk.
Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku biodiesel. Kelapa sawit merupakan salah satu sumber bahan baku minyak
nabati yang prospektif dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia,
mengingat produksi CPO Indonesia cukup besar dan meningkat tiap tahunnya.

Grafik 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit Periode 1999-2003

4 .0 1 2 .0
1 0 .0
3 .0
8 .0
Ju ta H a

Ju ta T o n
2 .0 6 .0
4 .0
1 .0
2 .0
0 .0 0 .0
1999 2000 2001 2002 2003

Luas Lahan 2 .9 3 .0 3 .1 3 .5 3 .8
Pro d u ks i C PO 5 .9 6 .5 7 .2 9 .3 9 .9

Sumber : Ditjenbun, GAPKI, diolah

Sebagai produsen CPO terbesar kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai
produsen biodiesel dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit, baik CPO itu
sendiri maupun turunannya. Menurut catatan BBPT, produksi CPO Indonesia pada
2003 mencapai tak kurang dari 9 juta ton, dan setiap tahunnya mengalami kenaikan
hingga 15%. Hampir seluruh produk CPO dapat diolah menjadi biodiesel, dari yang
terbaik dengan kadar Free Fatty Acid (FFA) kurang dari 5 persen hingga Palm Fatty
Acid Distillate (PFAD) berkadar FFA lebih dari 70 persen. Kebutuhan CPO dalam
negeri saat ini sebagian besar diserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan
rata-rata 3,5 juta ton per tahun. Pabrik minyak goreng dapat menghasilkan PFAD
sekitar 6% dari kebutuhan CPO-nya, sehingga setahun dapat mencapai 0,21 juta ton
PFAD. Mengingat saat ini harga CPO masih relatif mahal (dapat mencapai US$

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 3


400/ton), maka Engineering Center - PPT telah mengembangkan CPO Parit atau
limbah CPO dari Pabrik Kelapa Sawit untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku
biodiesel. Harga CPO Parit relatif murah rata-rata Rp 500,00 – Rp 1000,00 per liter
sehingga jika ditambah biaya produksi masih dapat bersaing dengan harga solar
sekarang, yang masih disubsidi oleh pemerintah.

Menurut penelitian BBPT, di samping CPO masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati
yang potensial sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, antara lain minyak jarak
pagar, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kapok. Di antara bahan baku
tersebut, jarak pagar merupakan tanaman unggulan untuk pengembangan biodiesel.
Tanaman jarak pagar prospektif sebagai bahan baku biodiesel mengingat tanaman ini
dapat tumbuh di lahan kritis dan karakteristik minyaknya yang sesuai untuk biodiesel.
Biaya operasional pengembangan tanaman jarak pagar lebih ekonomis dibandingkan
kelapa sawit. Sebagai perbandingan, biaya pengembangan dan perawatan tanaman
jarak pagar hanya perlu 20% hingga 25% dari input atau hasil pendapatan total
produksi sementara kelapa sawit memmerlukan 40% sampai 50% dari input yang
dihasilkannya untuk pengembangan dan perawatan.

Di Indonesia masih banyak terdapat lahan kritis yang dapat dimanfaatkan untuk
perkebunan tanaman bahan bakar hijau (green fuel) seperti kelapa sawit dan jarak
pagar. Menurut Biro Pusat Statistik, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan akhir
tahun 2003 secara total adalah sebesar 22,1 juta hektar (7,9 juta hektar dalam
kawasan hutan lindung dan 14,1 juta hektar di luar kawasan hutan), dengan rincian
sebagai berikut :

Tabel 2. Luas Lahan Kritis per Propinsi s/d Akhir Tahun 2003

Dalam Hektar
SISA LAHAN KRITIS S/D TAHUN 2003
PROPINSI Dalam Kawasan Luar Kawasan Jumlah
Hutan Hutan
N. Aceh Darussalam 20,989 230,088 251,077
Sumatera Utara 215,915 216,977 432,892
Sumatera barat 15,736 78,266 94,002
Riau 75,346 241,719 317,065
Jambi 166,034 533,497 699,531
Sumatera Selatan 1,181,305 2,214,315 3,395,620
Bengkulu 75,394 491,433 566,827
Lampung 200,131 78,256 278,387
Kep. Bangka Belitung - - -
Sumatera 1,950,850 4,084,551 6,035,401
DKI Jakarta - - -
Jawa Barat 4,147 285,774 289,921
Jawa Tengah 4,113 195,658 199,771
DI Yogyakarta (2,788) 10,223 7,435
Jawa Timur 332,731 780,011 1,112,742
Banten - (935) (935)

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 4


Jawa 338,203 1,270,731 1,608,934
Bali 8,328 3,354 11,682
Nusa Tenggara Barat 52,007 211,688 263,695
Nusa Tenggara Timur 287,767 1,022,539 1,310,306
Bali & Nusa Tenggara 348,102 1,237,581 1,585,683
Kalimantan Barat 1,253,055 1,800,826 3,053,881
Kalimantan Tengah 44,594 1,693,682 1,738,276
Kalimantan Selatan 340,567 205,053 545,620
Kalimantan Timur 942,074 789,945 1,732,019
Kalimantan 2,580,290 4,489,506 7,069,796
Sulawesi Utara 75,358 144,785 220,143
Sulawesi Tengah 255,920 146,290 402,210
Sulawesi Selatan 561,560 358,635 920,195
Sulawesi Tenggara 51,131 178,247 229,378
Gorontalo (300) (300) (300)
Sulawesi 943,669 827,657 1,771,626
Maluku 177,236 510,540 687,776
Papua 1,648,136 1,707,788 3,355,924
Maluku & Papua 1,825,372 2,218,328 4,043,700
INDONESIA 7,986,486 14,128,354 22,115,140

Sumber : Statistik Indonesia 2004, Biro Pusat Statistik

Menurut penelitian BPPT, dari seluruh lahan tandus tersebut, apabila ditanami pohon
jarak pagar dapat menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Sementara
dari luas tersebut, masih kurang dari 10% yang sudah dan akan dimanfaatkan, yang
mengisyaratkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kering. Beberapa lembaga
yang telah menanam jarak antara lain adalah PT. Rekayasa Industri dan Institut
Teknologi Bandung (ITB) yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat seluas 12 hektar (30
ribu pohon), PT. Energi Alternatif Indonesia (48 ribu pohon), Departemen Pertanian
di Nusa Tenggara Timur (3000 pohon), dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia di
Indramayu seluas 850 hektar. Sementara itu, Perhutani juga telah menyiapkan 10
ribu hektar lahan di Jawa selama 5 tahun mulai 2006 yang dapat menghasilkan 50
ribu ton biji jarak per tahun, atau setara dengan 20 ribu ton minyak jarak. Pemerintah
Daerah Kudus juga telah menyediakan lahan seluas 35 hektar untuk budidaya
tanaman jarak.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, total


kebutuhan biodiesel saat ini mencapai 4,12 juta kiloliter per tahun. Sementara
kemampuan produksi biodiesel pada tahun 2006 baru 110 ribu kiloliter per tahun.
Pada tahun 2007 kemampuan produksi direncanakan akan ditingkatkan menjadi 200
ribu kiloliter per tahun. Produsen-produsen lain merencanakan juga akan beroperasi
pada 2008 sehingga kapasitas produksi akan mencapai sekitar 400 ribu kiloliter per
tahun.

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 5


Cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional mentargetkan produksi biodiesel
sebesar 0,72 juta kiloliter pada tahun 2010 untuk menggantikan 2% konsumsi solar
yang membutuhkan 200 ribu hektar kebun sawit dan 25 unit pengolahan
berkapasitas 30 ribu ton per tahun dengan nilai investasi sebesar Rp. 1,32 triliun;
hingga menjadi sebesar 4,7 juta kiloliter pada tahun 2025 untuk mengganti 5%
konsumsi solar yang membutuhkan 1,34 juta hektar kebun sawit dan 45 unit
pengolahan berkapasitas 100 ribu ton per tahun dengan investasi mencapai Rp. 9
triliun.

Dengan asumsi pertambahan produksi biodiesel rata-rata 150 ribu kiloliter per tahun
selama periode 2006-2015, dan meningkat menjadi 300 ribu kiloliter per tahun
selama periode 2016-2025, maka proyeksi target produksi biodiesel menjadi sebagai
berikut :

Tabel 3. Proyeksi Target Produksi Biodiesel s/d tahun 2025

Dalam Ribu Kiloliter

2006 2007 2008 2009 2010 2015 2025

Produksi 110,0 262,5 415,0 567,5 720,0 1,500 4,700

Pertambahan
Rata-Rata 152,5 152,5 152,5 152,5 152,5 156,0 320,0
per tahun
*) Target produksi 2006-2007 cfm. Balitbang Deptan
**) Target Produksi 2010 s/d 2025 cfm. Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional
***) Proyeksi Target produksi 2008-2009 dengan asumsi pertambahan produksi rata-rata 150 ribu kiloliter per tahun

Saat ini pabrik biodiesel milik BPPT berkapasitas 1,5 ton per hari telah beroperasi di
kawasan Puspitek Serpong, dan diperkirakan pada bulan Juli 2006 pabrik biodiesel
kedua dengan kapasitas 3 ton per hari milik BPPT juga akan beroperasi. Kedua pabrik
tersebut menggunakan multi bahan baku seperti CPO dalam berbagai mutu, minyak
jarak, minyak mutu rendah dari limbah pabrik minyak goreng dan kopra. Pabrik
pengolahan biodiesel tidak membutuhkan biaya investasi besar sehingga dapat
dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh usaha kecil dan menengah (UKM).
Sebagai gambaran, pabrik dengan kapasitas produksi 3 ton per hari hanya
membutuhkan investasi Rp. 3,9 miliar dan masa pengembalian sekitar 3 tahun.

b. Bioetanol

Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran


antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial
sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Setelah

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 6


melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Menurut penelitian BPPT, tanaman
jagung merupakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi
ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata
lebih besar di antara tanaman lain seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Jagung
seberat 1 ton dapat menghasilkan 400 liter bioetanol sementara ubi kayu, ubi jalar,
sagu, dan tebu untuk berat yang sama menghasilkan masing-masing 166,6 liter, 125
liter, 90 liter dan 250 liter bioetanol. Dari jagung dapat dibuat etanol 99,5% atau
fuel grade ethanol yang bisa digunakan untuk campuran gasohol.

Pengujian pada kendaraan roda empat di laboratorium BPPT menunjukkan bahwa


tingkat emisi karbon dan hidrokarbon Gasohol E-10 yang merupakan campuran
bensin dan etanol 10% lebih rendah dibandingkan dengan premium dan pertamax.
Pengujian karakteristik unjuk kerja yaitu daya dan torsi menunjukkan bahwa etanol
10% identik atau cenderung lebih baik daripada pertamax. Etanol mengandung 35%
oksigen sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran.

BPPT memproyeksikan jika pada 2010 sebesar 20% dari 15 juta kiloliter bensin akan
digantikan oleh gasohol BE-10, diperlukan lahan 100 ribu hektar untuk menghasilkan
ubi kayu 30 ton per hektar. Budidaya produk pertanian ini melibatkan 50 ribu petani.
Keuntungan yang diperoleh petani dari budidaya ubi kayu untuk memasok industri
gasohol adalah sebesar Rp. 290 miliar per tahun. Perkiraan kebutuhan gasohol untuk
kendaraan bermotor pada 2010 akan mencapai 200 ribu kiloliter, sedangkan pada
2015 dan 2020 masing-masing 600 ribu kiloliter dan 1,1 juta kiloliter. Untuk mencapai
target tersebut, diperlukan pembangunan industri gasohol berkapasitas 200 ribu
kiloliter pada 2010.

Menurut sumber BPPT, saat ini terdapat 6 produsen besar etanol di Indonesia dengan
total produksi 174 ribu kiloliter pada 2002. Namun, sebagian besar masih terfokus
untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor. Sedangkan menurut BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal), pada pertengahan tahun lalu sudah ada 11 investor
yang siap membangun pabrik bioetanol dan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas
50 ribu kiloliter hingga 150 ribu kiloliter per tahun. Tiga perusahaan di antaranya
sudah mempersiapkan diri melakukan pembangunan konstruksi pabrik bioetanol di
daerah Lampung yang diperkirakan akan selesai dalam waktu setahun ke depan
dengan total kapasitas mencapai 300 ribu kiloliter per tahun.

Tantangan ke Depan

Pengembangan biodiesel dan bioetanol membutuhkan motor penggerak dan modal


yang besar untuk membiayai budi daya bahan baku baik dari segi pengadaan lahan,
bibit, pupuk maupun obat-obatan. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 7


bidang pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menjadi motor penggerak bagi
usaha budi daya ini karena besarnya biaya budidaya dan pengembangan.

Saat ini yang menjadi kendala pengembangan biodiesel dan bioetanol antara lain
ketersediaan lahan, keterbatasan pasar atau penggunanya. Ada pula kemungkinan
hambatan sosial dalam pengembangan tanaman jarak yaitu dalam membangun rasa
saling percaya antara petani jarak dengan pengusaha sebagai pengolah biji jarak.
Meskipun tanaman jarak sangat potensial dikembangkan sebagai energi terbarukan
dengan harga murah, dapat ditanam di lahan kritis, dan dapat meningkatkan
pendapatan petani, tapi belum semua pihak menyadari potensi tersebut.

Penggunaan dan komersialiasi biodiesel dan bioetanol di Indonesia mungkin tidak


dapat dilihat dalam waktu dekat. Hal ini antara lain disebabkan karena belum adanya
aturan hukum yang jelas dalam industri ini dan standar penggunaan bahan-bahan
untuk biodiesel dan bioetanol sehingga menyulitkan produsen biodiesel dan
bioetanol untuk memperoleh pembiayaan dan menjalankan bisnisnya. Selain itu,
kurangnya jaringan distribusi dan infrastruktur menyulitkan pemasaran biodiesel dan
bioetanol di pasar domestik. Sebagai konsekuensi, sebagian besar biodiesel dan
bioetanol yang diproduksi di Indonesia sekarang digunakan untuk pasar ekspor.

Penutup

Untuk dapat melakukan diversifikasi energi dalam hal ini pengembangan bahan bakar
nabati khususnya biodiesel sebagai pengganti solar dan bioetanol sebagai pengganti
premium, dibutuhkan beberapa hal.

Pertama, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang pertanian dan


perkebunan diharapkan dapat menjadi pelopor dalam usaha budi daya tanaman
penghasil biodiesel dan bioetanol serta menjadi motor untuk menggerakkan
perusahaan-perusahaan skala kecil atau petani melalui bantuan dana dan manajemen.

Kedua, dukungan dan keterlibatan pihak swasta dalam menerapkan dan


mengembangkan industri pengolahan biodiesel dan bioetanol pada skala pabrik,
dalam hal ini teknologi pengolahan bahan baku menjadi produk biodiesel dan
bioetanol agar kontinuitas produksi terjaga dengan baik, menindaklanjuti pengkajian
teknologi dan pengembangan skala laboratorium yang selama ini dilakukan BPPT.

Ketiga, adanya aturan dan kebijakan nasional yang bersifat teknis implementatif
dalam standarisasi produksi, penggunaan, distribusi dan tata niaga produk biodiesel
dan bioetanol, untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tertanggal
25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
sebagai Bahan Bakar Lain. Pemerintah perlu mengeluarkan standar mutu penggunaan
bahan-bahan untuk biodiesel dan bioetanol, jaminan pasokan bahan baku dan
distribusi produk biodiesel, dan insentif bagi produsen dan pengguna biodiesel.

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 8


Dalam hal distribusi misalnya, pemerintah melalui Pertamina dapat mewajibkan
setiap SPBU untuk menjual produk bioetanol dan biodiesel sehingga distribusi dan
penyerapan produk tersebut di masyarakat akan semakin cepat.

Economic Review ● No. 203 ● Maret 2006 9

Anda mungkin juga menyukai