53
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Sejarah telah memberikan informasi bahwa Sumatera Barat yang identik
dengan Ranah Minang merupakan “gudangnya” para tokoh dan ulama yang sejak
dahulu terkenal pada tingkat nasional maupun internasonal. Dari segi sosio kultural
mempunyai ciri khas tersendiri karena Minangkabau menganut sistem sosial
matrilineal yang berbeda dengan suku lain di Indonesia. Karena itu fenomena sosio
kultural dan keagamaannya sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi dan kajian
terutama surau sebagai lembaga pendidikan awal di Minangkabau.
Surau sebagai pendidikan...hal...54
1
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna,
1989), cet.5, h.315
2
Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisonal dalam Transisi dan Modernisasi,
(Ciputat, PT Logos Wacvana Ilmu, 2003), h.8
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung, Mizan, 1995) h. 289
Surau sebagai pendidikan...hal...55
17, dan surau Ulakan merupakan cikal bakal lembaga pendidikan Islam awal dan
pusat tarekat Syatariyah di Minangkabau.
Untuk mengungkap bagaimana pertumbuhan dan perkembangan surau
sebagai lembaga pendidikan Islam, sistem dan metode pengajarannya sejak awal
sampai dengan perang Padri di Minangkabau, penulis akan mencoba memaparkannya
dengan terlebih dahulu membaca literatur yang ada relevansinya dengan surau,
kemudian menganalisanya serta terakhir mengambil suatu kesimpulan.
B. Asal Usul Surau dan Perkembangannya.
Menurut RA. Karn sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra
mengatakan bahwa Istilah “surau” kadang-kadang dibaca suro telah tersebar luas di
Asia Tenggara. Istilah tersebut telah sejak lama berkembang di daerah Minangkabau,
Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, demikian juga di Semenanjung Malaysia
dan Petani Thailand Selatan. Kata “surau” menurut bahasa Melayu, berarti “Tempat”,
atau tempat untuk beribadah.4
Di Minangkabau istilah ini telah dikenal sejak zaman Hindu-Budha.
Aditiyawarman Raja Pagaruyung mendirikan jenis bangunan yang sama –dengan
surau- dimana berkumpul dan bermalam para pemuda yang telah akhil balig,
disekitar Bukik Gombak pada tahun 1356, yang disebut biara. Para pemuda itu di
ajarkan pengetahuan keagamaan, yang berguna untuk kehidupan sosial mereka.5
Sidi Gazalba mengatakan bahwa, surau atau langgar pada mulanya
merupakan unsur kebudayaan asli suku Melayu dan berkaitan dengan keyakinan
yang di anut. Setelah Islam masuk ke Nusantara, Surau menjadi bangunan Islam.
Dahulu Surau adalah tempat bertemu, berkumpul, dan tempat tidur bagi pemuda
pemuda dan lelaki yang sudah tua terutama duda. Selain di Minangkabau bangunan
sejenis terdapat juga di Mentawai, dan disebut Uma, di Toraja Timur dinamakan
Lobo, di Aceh dinamakan Meunasah, dan di Jawa disebut Langgar.6 Surau menurut
pola Adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau Indu dan Indu merupakan
4
Azyumardi Azra, loc-cit, h. 47
5
Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a changing Peasant Economy Central Sumatera,
1784-1847, (London: Curzon Press, 1983), p.120-121
6
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989),
Cet. Ke-5, h.314-315
Surau sebagai pendidikan...hal...56
bagian dari suku, sedangkan Surau adalah pelengkap rumah gadang, namun tidak
setiap rumah gadang memilikinya, karena surau yang telah ada masih dapat
menumpang para pemuda.7 Selain itu Surau juga berfungsi tempat bermalam bagi
para musafir dan para pedagang, Bila mereka melewati suatu desa dan kemalaman
dalam perjalanan.8 Dengan demikian para pemuda yang tinggal dan bermalam di
Surau dapat mengetahui berbagai informasi yang terjadi di luar desa mereka serta
situasi kehidupan di rantau. Jadi Surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat
informasi dan tempat terjadinya proses sosialisasi para pemuda.
Setelah ajaran Islam mulai meluas di Nusantara sekitar paruh ke dua Abad ke
XVII, maka. para ulama dalam menyebarkankannya tidak mengadakan perubahan
secara drastis terhadap bangunan kudus yang sudah ada (Surau, Langgar, Meunasah
dan sejenisnya), Sebagai taktik dakwah hal ini ternyata bijaksana. Fungsi dan makna
bangunan kudus ini di tambah dengan fungsi dan makna Mesjid ( dalam Islam). Di
beberapa daerah sering juga terdapat Mesjid yang dibangun di dekat surau, atau dua
duanya sengaja di bangun berdekatan.9 dengan demikian surau mengalami proses
Islamisasi, yaitu selain tempat bermalam para pemuda dan kegiatan lainnya, juga
berfungsi untuk tempat shalat lima waktu, tempat mengaji dan belajar agama, tempat
upacara keagamaan, tempat suluk, dan lain lainya. Bukti peninggalan sejarah tentang
adanya bangunan masjid dekat surau terdapat di Batusangkar atau tepatnya di
Kenagarian Pariangan di sana juga terdapat air panas dan sebuah gambar peta
Minangkabau yang diukir di atas batu sebagai peninggalan sejarah keberadaan
Minangkabau.
Di Minangkabau surau dimiliki oleh setiap suku (paling sedikit terdapat 4
macam suku dalam setiap nagari yaitu piliang, chaniago, melayu, dan indomo).10
Biasanya surau di kelola oleh seorang pejabat suku yang bertugas dalam bidang
7
Ibid., h.315
8
Azyumardi Azra, op.cit., p.22
9
Seperti yang terdapat di Pariaman. Jarak antara surau dan mesjid hanya satu atau dua meter
saja, lihat Sidi Gazalba, op.cit., h.316
10
M.Sanusi Latief, “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, Disertasi (Jakarta: Perpustakaan
IAIN “syarihidayatullah, 1988), h.33
Surau sebagai pendidikan...hal...57
keagamaan, yang disebut Malin (‘alim). Ia adalah salah satu dari ke empat orang
pemimpin suku, yaitu disebut Orang Empat Jenis.11
Apabila yang mengelola surau itu seorang ‘alim besar, maka surau tersebut
akan berkembang, tidak saja sebagai tempat mengaji al-Qurân tetapi juga menjadi
pusat pendidikan agama yang mengajarkan berbagai cabang ilmu Islam sampai ke
tingkat yang lebih tinggi. Surau semacam ini telah ada di Minangkabau sejak akhir
abad ke-17 seperti surau Burhanuddin di Ulakan Pariaman, kemudian surau tersebut
menjadi pusat pengembangan Islam dan ajaran tasawuf.
Menurut Mahmud Yunus, surau yang didirikan Burhanuddin di Ulakan
merupakan cikal bakal sebuah lembaga pendidikan Islam pertama semacam
pesantren di Pulau Jawa. Walaupun belum di temukan dalam sejarah bagaimana
sistem dan metode pendidikan yang di pakai serta literatur-literatur yang digunakan
di surau tersebut, namun yang jelas tokoh ini telah merintis suatu sistem pendidikan
Islam melalui surau secara lebih teratur.12
Keberhasilan surau Burhanuddin terlihat dari perkembangan dan jumlah
muridnya. Mereka yang telah menamatkan pelajaran di surau Ulakkan kembali
kekampung masing masing, dan mendirikan pula surau (Syatariyah) sebagai tempat
mengajar sesuai dengan disiplin keahlian yang dimilki. Dengan demikian surau
hanya mengajarkan suatu mata pelajaran tertentu, sehingga para murid harus berganti
surau jika ingin menambah pelajaran lain.
Kepopuleran Surau Syekh Burhanuddin masih terlihat sampai sekarang. Hal
ini terbukti dengan banyaknya para peziarah yang mengunjungi makamnya setiap
tahun pada bulan safar yang terkenal dengan istilah basafa (bersafar). Pada
kesempatan itu dilakukan semacam praktek praktek ritual seperti zikr.
Dalam perkembangan selanjutnya surau Burhanuddin di Ulakkan dan surau-
surau yang didirikan oleh murid-muridnya, menjadi pusat tarekat Syatariyah.
Sebelumnya sekitar paruh pertama abad ke-17 telah terdapat beberapa surau di
pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat tarikat Naqsyabandiyah, seperti di
daerah Lima Puluh Kota dan Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pula
11
Mahmud Yunus, op-cit, h. 23
12
Mahmud Yunus, Ibid. h. 19
Surau sebagai pendidikan...hal...58
surau tarikat Qadariyah tetapi tidak begitu dikenal seperti tarekat Naqsyabandiyah.
Surau-surau yang menjadi pusat tarikat baik Tarikat Syatariyah maupun Tarekat
Naqsyabandiyah, menunjukkan bahwa perkembangan surau sangat positif pada abad
ke delapan belas.
Surau yang merupakan representasi dari sistim madrasah ala Minangkabau
adalah surau Abdurrahman di Batuhampar Lima Puluh Kota, yang didirikan sekitar
tahun 1840 an. Dalam perkembangannya surau tersebut mempunyai fasilitas sangat
lengkap ia merupakan pengecualian dari surau-surau yang lain. Surau Abdurrahaman
mulai tumbuh dan berkembang, dikala surau-surau yang lain mengalami
kemunduraun (1837-1900), dan ia mencapai kemajuan dengan pesat (1899-1938), di
saat surau-surau yang lain mengalami perubahan setelah tahun (1900) bahkan ada
yang menjelma menjadi madrasah.
Abdurrahman (1777-1899) mendirikan surau di Batuhampar setelah ia
berkelana menuntut ilmu selama 48 tahun ke berbagai daerah seperti Tapak Tuan
Aceh, dan dikatakan bahwa ia juga pernah pergi ke Mekkah. Dalam menyiarkan
ajaran Islam pertama kali Abdurrahman melakukan pendekatan yang bersifat
membujuk persuasif dan motifatif terhadap masyarakat yang sebagian belum
menghayati dan melaksanakan ajaran Islam secara benar, walaupun mereka (hampir
semuanya) sudah menganut agama Islam.
Usaha Abdurrahman menampakkan hasilnya. Suraunya mulai ramai di
kunjungi oleh penduduk di Batuhampar dan sekitarnya, dari yang muda hingga yang
tua termasuk kaum adat. Di surau ini mereka mendengarkan pengajian agama, belajar
al-Qurân dan ibadah yang terkenal dengan rukun tiga belas . Makin lama makin
banyak yang belajar dengan Abdurrahman bahkan ada yang belajar dari luar
Minangkabau, lalu di bangunlah suatu komplek pemukiman untuk menampung orang
siak13, kemudian beberapa buah bangunan induk dengan berpuluh-puluh surau di
sekitarnya mulai di bangun. Komplek surau Batuhampar ini semakin megah dan
menarik, setelah diperlengkapi dengan sebuah menara dengan bergaya Timur Tengah
oleh Arsyad (anak Abdurrahman), ia mengelola surau tersebut selama 25 tahun
13
Nama orang Siak bertitik tolak dari daerah asal peserta didik, yakni dari Siak, satu negeri
yang terdapat di Riau, sekarang termasuk salah satu Kabupaten di Propinsi Riau
Surau sebagai pendidikan...hal...59
(1899-1924).14 Surau Abdurrahman ini merupakan surau terkenal dan terbaik diantara
surau-surau lain yang ada di Minangkabau. Hal ini disebabkan sarana dan
prasarananya lebih lengkap untuk sebuah lembaga pendidikan. Menurut Azyumardi
Azra dalam komplek surau tersebut disamping bangunan surau tempat pendidikan
juga dibangun “Kampung Dagang” yang diberinama sesuai dengan daerah asal
peserta didik, seperti Surau Suliki, Surau Tilatang Kamang, Surau Solok, Surau
Pariaman, Surau Padang, Surau Painan, Surau Palembang, Surau Jambi dan lain-lain
serta dilengkapi dengan air bersih, warung, kamar mandi dan perlengkapan lainnya15
Kemudian surau sebagai lembaga pendidikan Islam juga berkembang dengan
baik melalui murid Syekh Burhanuddin ke pedalaman Minangkabau, seperti di
Kapas-Kapas, Mangsiang dekat Padang Panjang, Koto Laweh, dan Koto Tuo
Cangking IV angkat (Agam) .16 Sedangkan di Lima Puluh Kota surau yang terbesar
pada akhir abad 18 terdapat di Taram, dan Talawi (Tanah Datar),17 daerah-daerah
dimana rakyatnya hidup makmur dari hasil pertanian, perdagangan dan
pertambangan.
Dalam kondisi berkembanganya surau, beberapa orang Minangkabau
melakukan perjalanan intelektual ke Tanah Arab ; ke Makkah, Madinah dan lainnya
untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin keilmuan agama
Islam seperti Fiqh, ilmu alat, tashauf, ilmu Hisab/Falaq dan lain-lain. Salah seorang
diantara pelajar Minangkabau itu adalah Ahmad Khatib seorang putra Ampek
Angkek yang kemudian dikenal sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan
pemikiran Islam di Minangkabau pada priode selanjutnya.
Dinamika perjalanan intelektual paruh kedua abad ke 19 ini ternyata
kemudian memunculkan konflik baru di kalangan ulama Minangkabau yaitu antara
penganut tarikat Naqsyabandi dengan kalangan pembaharu yang berawal dari
pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy sendiri. Sementara itu
“pertarungan” antara tarikat Syatariyah dan Naqsyabandiyah terlihat melemah
setelah munculnya konflik baru ini.
14
Edwar, op cit, h.5-6
15
Azyumardi Azra, op cit, h. 12
16
Christin Dobbin, op.cit. h. 45
17
Christine Dobbin, op cit, h..120-121
Surau sebagai pendidikan...hal...60
18
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan , (Bandung: CV Ilmu, 1976), Cet. Ke-6,
h.113; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman,
(Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h.68
Surau sebagai pendidikan...hal...61
pakai (sorongan dan bandongan), Hubungan yang erat dan kekal antara guru dan
murid, serta dalam hal pengumpulan dana.19
Sistem pendidikan Islam lama sekitar tahun 1860-an hingga 1900
sebagaimana yang dijelaskan Mahmud Yunus mempunyai 2 tingkatan yaitu tingkat
pengajian al-Qurân dan Tingkat pengajian Kitab. Tingkat pengajian al-Qurân terdiri 2
tingkatan pula, yaitu tingkatan permulaan dan tingkatan atas.20 masa pelajaran yang
diberikan pada tingkat pengajian al-Qurân adalah membaca al-Qurân (pengenalan
huruf hijaiyah), Ibadat (seperti wudhu’, shalat dan sebagaianya), Keimanan (sifat 20),
dan Akhlak (dengan cerita-cerita).
Anak-anak yang mengikuti pengajian al-Qurân umumnya setelah berusia
tujuh tahun. Pelajaran yang mula mula ialah belajar huruf al-Qurân atau huruf
hijaiyah, kemudian di lanjutkan dengan membaca juz Amma , dan lebih penting lagi
latihan mengerjakan shalat. Shalat maghrib, Isya dan Subuh di lakukan berjemaah
bersama guru. Yang demikian besar sekali pengaruhnya dalam jiwa anak sampai
mereka dewasa. Bila diperhatikan kekurangan metode (Bagdadiyah) ini, anak tidak
mampu menuliskan huruf huruf hijaiyah sekalipun mereka pandai membaca al-
Qurân.
Pada pengajian al-Qurân tingkat atas selain belajar ibadat, keimanan dan
akhlak di ajarkan irama al-Qurân, tajwid, qasidah, barzanji, dan kitab perukunan
dalam bahasa melayu huruf arab. Di samping itu selain sifat 20 yang di ajarkan dalam
mata pelajaran keimanan, juga di ajarkan Hukum akal yang tiga: Wajib, Mustahil,
dan Jaiz,21 sedangkan mata pelajaran Akhlak diajarkan melalui cerita-cerita nabi,
orang-orang saleh, dan contoh serta suri tauladan yang baik dari guru.
Metode utama yang digunakan dalam proses belajar mengajar di surau adalah
ceramah dan resitasi, kadang kala diskusi. Pelajaran disampaikan secara lisan kepada
murid-murid yang duduk dalam satu lingkaran di depan syekh (sebutan kiyai untuk
surau), yang disebut halakah atau disebut juga bandongan di pesantren di Pulau
19
Ibid., h. 112-113
20
Mahmud Yunus,. op.cit., h.34-35; DEPAG RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: 1986), h.50-51
21
Mahmud Yunus.op.cit., h 40
Surau sebagai pendidikan...hal...62
22
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta :
LP3ES, 1982), Cet. Ke-1 h.28
23
Mahmud Yunus, op.cit., h 65
24
Edwar, (ed.), op.cit, h.10
25
Mahmud Yunus, op.cit, h.48
26
M.Sanusi Latief, op.cit.h73
Surau sebagai pendidikan...hal...63
dengan membawa (menyandang) karung yang dalam istilah orang Minang dikenal
dengan pakiah27
Kekurangan sistem pendidikan Islam lama selain memakai metode
Baghdadiyah seperti yang telah dikemukakan, juga pemberian hukuman yang terlalu
keras terhadap murid, sehingga dapat menimbulkan kekecewaan dan rasa kurang
senang terhadap guru. Pemberian hukuman yang demikian dalam sistem Pendidikan
Islam lama tidak saja terjadi di Nusantara, tetapi juga terjadi di negara Islam yang
lain.28 Walaupun hukuman dijalankan dengan sistem pukulan bagi yang melanggar
kedisplinan, tetapi para alumnusnya banyak yang berhasil sebagai tokoh terkenal baik
pada tingkat lokal maupun nasional, bahkan internasional salah satunya adalah
Ahmad Khatib al-Minangkabawy yang menjadi Imam Besar Masjidil Haram dan
menjadi guru dari beberapa tokoh Islam di Indonesia, seperti K.H. Ahmad Dahlan
sebagai pendiri organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta, serta Haji Karim
Amrullah (HAKA) ayah dari Haji Muhammad Karim Amrullah (HAMKA) serta
tokoh-tokoh Islam lainnya baik di Minangkabau maupun daerah-daerah lain di
Indonesia.
Ibnu Khaldun berpendapat, kekerasan dan paksaan tidak boleh digunakan di
lembaga-lembaga pendidikan, kecuali pukulan ringan bila diperlukan.29 Menurut
Mahmud Yunus, ketika anak salah membaca (al-Qurân) waktu sedang belajar,
sebaiknya diterangkan kesalahan itu. Diakatakan, sesudah tahun 1900 kekerasan guru
al-Qurân semacam pukulan dengan rotan, dapat disimpulkan tidak kejadian lagi,
kecuali sedikit sekali.30
27
Karung yang dibawa oleh Pakiah atau orang siak tersebut berwarna putih, tak obahnya
seperti karung tepung terigu yang ada sekarang untuk tempat beras hasil dari usahanya meminta-
meminta dari satu rumah kerumah lain. Kata-kata Pakiah berasal dari kata Fiqih, artinya seseorang
yang tahu dengan masalah hukum Islam, lainnya halnya dengan Azyumardi Azra orang seperti ini
terkenal dengan nama Pakiah Saringgik yang pada Orde Baru sudah tidak dijumpai lagi istilah seperti
ini. Lihat Makalah Semiloka “Pesantren Bersejarah di Sumatera Barat” oleh Prof. Dr. Azyumardi
Azra yang disampaikan pada semiloka yang berjudul Dari Surau ke Sekolah dan Pesantren, pada
tanggal 17-19 Januari 2003 di Bukittinggi.
28
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terjemahan Mukhtar Jahja dan M.Sanusi
Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. Ke-1, h.208
29
Ibid., h.264
30
Mahmud Yunus, op.cit., h.39
Surau sebagai pendidikan...hal...64
31
Ibid., h. 42,45 ; Steenbrink, op.cit., h.38
32
INIS, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, terjemahan Soedarso Soekarno, (Jakarta:
1993), Jilid 7, h.38
33
M.Dawam Rahardjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah.,
(jakarta P3M, 1985) Cet. Ke-1, h.162 ; Edwar, (ed.), op.cit ; h.8
Surau sebagai pendidikan...hal...65
34
Mahmud Yunus, op-cit, h. 33
Surau sebagai pendidikan...hal...66
Sementara itu, kelompok kedua adalah ulama-ulama yang terlahir dari tangan
guru-guru yang disebutkan belakangan. Beberapa diantara ulama ini, kemudian
melanjutkan pendidikan mereka di Makkah, Madinah dan wilayah lain di jazirah
Arab. Berbagai bidang pengetahuan agama telah mereka serap di beberapa majelis
pengajian yang berkembang di wilayah itu, termasuk majelis pengajian Syekh
Ahmad Khatib di Masjidil Haram. Kelompok kedua ini, sebelum melanjutkan
pelajarannya, pada umumnya adalah penganut Naqsyabandiah. Diantara mereka
berangkat ke tanah Arab untuk lebih mendalami pelajaran agama Islam dalam
mazhab Syafii, seperti ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan ilmu-ilmu alat
seperti Nahu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain, dan sebagiannya mempelajari ilmu
Falak, bahkan ada diantaranya yang sekaligus juga memperdalam pengajian tarikat
Naqsyabandiah di Majelis pengajian tarikat ini di Madinah.
Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama-ulama yang mendapatkan
pengaruh dari pembaharuan Islam di Mesir. Ulama-ulama ini pada awalnya belajar
di Makkah, kemudian melanjutkan ke Mesir, karena tertarik dengan gelombang
pembaharuan yang sedang berhembus di wilayah ini. Pemikiran-pemikiran
keagamaan, terutama berkaitan dengan ide Pan Islamisme dan ide tentang
kebangkitan Islam untuk terbebas dari kejumudan berfikir, menjadi tema sentral
gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh
Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Ini telah mendorong keinginan
sebagian ulama murid Ahmad Khatib untuk belajar ke Mesir. Munculnya tiga
kelompok ulama dengan latar belakang pendidikan dengan corak pemahaman yang
berbeda itu pada gilirannya menjadi cikal bakal munculnya pertikaian pandangan
diantara mereka. Pertikaian ini di satu sisi berkisar antara yang mempertahankan
status quo penganutan terhadap tarikat Naqsyabandi dan yang menolak, namun di
sisi yang lain pula muncul pemahaman tentang perlunya melakukan berbagai
perubahan paradigma kepenganutan terhadap satu mazhab. Dikemukakan juga
bahwa sikap taqlid terhadap mazhab telah menjadi penyebab mandegnya kerangka
pikir umat Islam dalam memberikan konsepsi terhadap Islam itu sendiri. Pemikiran
yang disebut terakhir inilah yang telah berkembang di Mesir terutama dari
Surau sebagai pendidikan...hal...68
35
Azyumardi Azra, op cit, h. 119-121
Surau sebagai pendidikan...hal...69
Amarullah dan Syekh Abdullah Ahmad dengan surau Jembatan Besi Padang
Panjang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang membuka surau di Candung, Syekh
Ibrahim Musa dengan surau Parabek, Syekh Muhammad Jamil dengan surau Jaho
Padang Panjang dan banyak lagi yang lainnya. Ulama-ulama awal abad ke-20 pada
umumnya mendapat sentuhan pengajaran dari Ahmad Khatib, meskipun di
kalangan mereka kemudian terjadi pembelahan pandangan, terutama menyangkut
masalah-masalah tarekat, ijtihad serta masalah pemahaman keagamaan lainnya.
Pembelahan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pertikaian Kaum Tua dan
Kaum Muda.
Pada awal abad ke 20 situasi kehidupan sosial politik dan keagamaan di
Minangkabau semakin menonjol yang membuat nama Minangkabau menjadi harum
dan populer di Nusantara. Hal ini ditandai dengan adanya serangan Kaum Muda
terhadap Kaum Tua36 sekaligus mengantisipasi sistem politik kolonial Belanda
terutama dalam aspek pendidikan. yang disponsori oleh ulama ulama yang baru
pulang dari Mekkah, seperti Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah,
Muhammad Jamil Jambek, Muhammad Thaib Umar, Khatib Ali dan Ibrahim Musa
Parabek, dari kelompok Kaum Muda, sedangkan kelompok Kaum Tua terdiri dari
para ulama yang juga mendapat pendidikan Timur Tengah seperti Syeikh Sulaiman
ar-Rasuli dari Candung Bukittinggi, Syeikh Arifin al-Irsyadi Batu Hampar, Syeikh
Abdul Wahid Tabek Gadang , Syekh Muhamad Jamil Jaho, dan Syeikh Khatib Ali
Muaro Labuah dan lain-lainnya. Pada umumnya para ulama tersebut di atas baik
Kaum Muda maupun Kaum Tua memiliki surau sebagai tempat mengajar untuk
mengembangkan ilmu yang diperoleh selama berada di Timur Tengah.
Untuk mengatasi sistem pendidikan sekuler yang terjadi di
Minangkabau, maka sistem surau yang dipakai selama ini sudah tidak mungkin lagi
dipertahankan, maka para ulama-ulama atau syekh/pimpinan surau berinisiatif
merubah sistem pendidikan surau ke sistem madrasah yang dimulai oleh Abdullah
36
Asal usul nama Kaum Tua dan Kaum Muda terdapat dalam sebuah surat kabar yang
dimpimpin oleh Abdullah Ahmad, dimana pembaharuan kaum muda yang dipeloporinya
dibandingkan dengan gerakan Kaum Muda yang ada di Turki yang dipimpin oleh Anwar Pasya telah
menggoncangkan sendi-sendi kekolotan di negeri itu. Maka Abdullah Ahmad dengan seangaja
menuliskannya dalam surat kabar nama Gerakan Kaum Muda, sekaligus memberinama kepada lawan
gerakan dengan Kaum Tua. Lihat Sanusi Latif, op cit, h.130-131
Surau sebagai pendidikan...hal...71
Ahmad tahun 1909 dengan berdirinya Sekolah Adabiah tahun 190937 dimana
proses belajar mengajar sudah memakai lokal yang dalam lokal itu sudah ada
bangku, kursi dan papan tulis sebagaimana layaknya sistem pendidikan yang ada
sekarang, tetapi bedanya alat-alat tersebut masih sederhana sesuai dengan kondisi
pada awal-awal abad 20.
Adapun perobahan nama surau ke sekolah atau madrasah antara lain
dapat dilihat dari tabel berikut :
No. Nama Lembaga, Th. Pendiri Perobahan Nama ke
Berdiri sekolah atau Madrasah
1 Surau Jembatan Abdul Karim Amrullah Thawalib
Besi,1899, Padang
Panjang
2 Surau Parabek, 1909. Ibrahim Musa Sumatera Thawalib
1919 Sumatera Thuwalib,
1920 Sumatera Thawalib
3 Surau Padang Japang, Abbas Abdullah, Thawalib
1904
4 Surau Tanjung Sungayang Thaib Umar, MTI
Bt.Sangkar, 1909
5 Madras Shool, 1910, M.Thaib Umar Al-Hidayah al-
Diniyh Shool, 1918, Al- Islamiyah
Mahmud Yunus
Jami’ah al-Islamiyah,
1931 Sungayang
6 Surau Baru Candung Sulaiman ar-Rasuli MTI Candung
B.Tinggi , 1907
7 Surau Jaho, Padang M.Jamil Jaho MTI
Panjang, 1924
8 Surau Tabek Gadang, Abdul Wahid MTI
1906
9 Surau Batuhampar Abdurrahman, Arsyad Al-Manar
Payakumbuh, 1840-an
10 Arabiyah Shool B.Tinggi, Abbas Qadhi Tidak ada
1918
11 Madrasah al-Irsyadiyah Khatib Ali Ditempati oleh SDN
37
Sistem khalakah adalah para murid duduk melingkar untuk belajar bersama( belum punya
bangku dan meja ). Di mana ditengah-tengahnya terdapat guru yang akan mengajar atau guru bantu
yang ditunjuk oleh guru tuo (tua), atau hampir sama dengan sistem sorongan atau bandongan di
pesantren pulau Jawa
Surau sebagai pendidikan...hal...72
38
Azyumardi Azra, Dari Surau ke Sekolah dan Pesantren” makalah disampaikan dalam
semiloka di Bukittinggi tanggal 17-19 Januari 2003, h. 7
Surau sebagai pendidikan...hal...74
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aboe Naim, Sjafnir, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784-
1832, Padang, Esa Padang, 1988.
Azra ,Azyumardi, Surau Pendidikan Islam Tradisonal dalam Transisi dan Modernisasi,
Ciputat, PT Logos Wacvana Ilmu, 2003
---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Bandung, Mizan, 1995
Baharuddin,Daya, Gerakan Pembahartuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990
.
Bahri, Syamsul, Khatib, Corak Pemikiran Keagamaan Sesudah Kemerdekaan RI di Sumbar,
Hasil Penelitian sebagai Dosen IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1985.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman,
Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985
Dhofier, Zamkhasyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai Jakarta :
LP3ES, 1982, Cet. Ke-1
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan , Bandung: CV Ilmu, 1976
Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peason Economy Central Sumatera,
1784-1847, London: Curzon Press, 1983
Surau sebagai pendidikan...hal...75
Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1989
INIS, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, terjemahan Soedarso Soekarno, (Jakarta:
1993
Kahin, Audrey, Penterjemah Drs.Azmi dkk., Dari Pemberontakan ke Integrasi, Smatera
Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005