Anda di halaman 1dari 5

Tanggal : 14 Februari 2018

Dosen Pembimbing : drh. Huda Salahudin


Darusman, M.Si, PhD

Laporan Praktikum Farmakologi II


Sistem Saraf Otonom

Kelompok 2
Ujang Sunandar B04150009 ……….
Yaomil Ashar B04150012 ……….
Anna Rufaidah B04150027 ……….

Hilma Furaidha B04150029 ……….


Naufal Karmawan B04150114 ……….
Feni Rahmawati B04150116 ……….

Bagian Farmakologi dan Toksikologi


Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2018
Pendahuluan
Latar Belakang

Sistem saraf otonom (SSO) berdasarkan morfologi dan fungsionalnya dibagi


menjadi 2 yaitu sistem simpatis dan parasmpatis. Kedunya berjalan antagonis. SSO
berfungsi memelihara keseimbangan dalam organisme. Fungsi-fungsi yang diatur
dalam SSO adlah sirkulasi (menaikkan atau menurunkan tekanan darah) dan aktivitas
jantung, pernapasan dan bronkus, peristaltik saluran cerna, tonus otot polos misalnya
ureter, kantong empedu, kandung kemih dan uterus, sekresi kelenjar keringat, ludah,
lambung, dan kelenjar-kelenjar lain.
Sistem saraf simpatis memiliki badan sel dari sel pertama (preganglionic) di
susunan saraf pusat mulai dari segmen thorakal 1 (T1) sampai dengan lumbal ke-3
(L3) medulla spinalis. Sistem parasimpatis mempunyai badan sel dari sel saraf
pertama di otak (nervus cranial III, VI, IX, dan X) serta segmen sacral ke-2 sampai
ke-4 (S2-s4). Saraf parasimpatis yang berasal dari otak akan menginervasi organ-
organ seperti mata, kelenjar airmata dan ludah, jantung, bronchus dan esophagus.
Obat- obat yang bekerja pada sistem saraf otonom (SSO) dapat dibagi menjadi lima,
yaitu parasimpatomemetik, parasimpatolitik, simpatomimetik, simpatolitik, dan obat
ganglion.

Tujuan
Mengetahui prinsip kerja dari obat sistem saraf otonom (simpatomemetik,
parasimpatolitik) dan gejala klinis yang menyertainya.

Tinjauan Pustaka
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Dua
perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron
aferen atau sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan
impuls ke sistem saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen
menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla
spinalis ke sel-sel organ efektor.
Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat
(misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali
semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang
dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung
kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap
homeostasis mengingat gangguan terhadp homeostasis dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh manusia (Tjay dan Rahardja 2002).
Jalur eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-
organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya
homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Obat-obat yang bekerja pada system saraf otonom (SSO) dapat dibagi menjadi
5, yakni Obat Parasimpatomimetik (kolinergik) contohnya asetilkolin dan pilokarpin,
Obat Parasimpatolitik (antikolinergik) contohnya atropine, Obat Simpatomimetik
(adrenegik) contohnya epineprin, Obat Simpatolitik (antiadrenegik) contohnya
reserpin dan pronalol, serta Obat Ganglion contohnya nikotin dan pentolinum.

Metode Pengamatan
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah spuid 1 ml, pipet tetes dan penggaris. Bahan yang
digunakan adalah kelinci, asam borat, physostigmin, atropine dan pilokarpin.

Langkah Kerja
Mata kelinci dibersihkan dengan asam borat, kemdian mulai diberi perlakuan dengan
physostignin selama 10 menit dan dilakukan pengukuran perubahan pupil.
Selanjutnya matakelinci kembali dibersihkan dengan asam borat kemudian diberi
perlakuan dengan atropine dan dilakukan pengukuran perubahan pupil. Langkah
selanjutnya adalah membersihkan mata dengan asam borat dan kembali diberi
perlakuan dengan pilokarpin dan dilakukan pengukuran pada perubahan pupil.
Langkah terakhir adalah dengan meneteskan kembali asam borat ke mata kelinci.

Hasil Pengamatan
Tabel I Hasil Pengamatan
Kelinci A Kelinci B
Perlakuan Perubahan Pupil Perlakuan Perubahan pupil
Mata Kanan (cm) Mata Kiri (cm)
Awal 1 Awal 0,6
Asam Borat 0,5 Asam Borat 0,6
Epinefrin 0,7 Physostigmin 0,4
Asam Borat 0,6 Asam Borat 0,6
Atropin 0,8 Atropin 0,6
Asam Borat 0,6 Asam Borat 0,5
Pilokarpin 0,6 Pilokarpin 0,8
Asam Borat 1 Asam Borat 1
Asam borat tidak menyebabkan kontriksi pada diameter pupil karena asam
borat hanya berfungsi mencuci atau menetralkan mata, sehingga hasil kelinci A
diameter pupil berubah dari 1 cm menjadi o.5 cm tidak sesuai dengan literatur (Putra
2013). Selanjutnya setelah ditetesi epinefrin diameternya menjadi 0,7 cm. Hal ini
sesuai dengan literatur bahwa senyawa golongan adregenik epinefrin menyebabkan
terjadinya dilatasi pupil (Gunawan 2012).
Atropin dapat menyebabkan konstipasi, bradikardia, aritmia, penurunan
sekresi bronkial dan dilatasi pupil (Putra 2013). Hasil sesuai dengan literatur karena
menunjukkan bahwa terjadi dilatasi pupil dengan diameter menjadi 0,8 cm. Atropin
merupakan senyawa antagonis reseptor kolinergik. Pilokarpin merupakan sediaan
obat yang termasuk parasimpatomimetik. Setelah ditetesi ditetesi dengan pilokarpin
menyebabkan diameter pupil menjadi 0,6 cm. Aktivasi sistem saraf parasimpatis
mengakibatkan konstriksi pupil, sekresi kelenjar lakrimalis dan saliva, penurunan
denyut jantung dan efek inotropik negatif, bronkokonstriktor,
meningkatkan motilitas usus, serta kontraksi muskulus detrusor di vesikaurinaria
(Rahminiwati et al 2014).
Kelinci B mendapatkan perlakuan yang berbeda. Diameter awal pupil pada
kelinci ini sebesar 0,6 cm. Sebelum perlakuan ditetesi dengan asam borat untuk
mencuci atau menetralkan mata. Sesaat setelah diberikan physostigmin diameter mata
mengecil menjadi 0,4 cm. Setelah itu kembali berdilatasi setelah diberikan atropin
dan perlakuan terakhir yaitu diberikan pilokarpin berdilatasi menjadi 0,8cm. Hasil
yang didapatkan kurang sesuai dengan literatur setelah pemberian pilokarpin yang
seharusnya memiliki efek kontriksi.

Simpulan
Obat yang bekerja pada sistem saraf otonom terdiri dari parasimpatomemetik,
parasimpatolitik, simpatomimetik, simpatolitik, dan obat ganglion. Epinerfin
merupakan contoh simpatomimetik berfungsi mendilatasi pupil. Pilokarpin termasuk
golongan parasimpatomemetik yang memiliki efek kontriksi pada pupil.

Daftar Rujukan
Gunawan, Sulistia G. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): Balai Penerbit
FKUI.
Putra EDL. 2013. Keracunan Bahan Organik dan Gas Lingkungan Kerja dan Upaya
Pencegahannya. Medan (ID): USU Digital Library.
Rahminiwati M et al. 2014. Bahan Kuliah Farmakologi Veteriner I. Bogor (ID):
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai