PENDAHULUAN
Kerajaan Aceh adalah Kerajaan Islam yang berdiri pada awal abad ke-
XVI. Kerajaan Aceh merupakan hasil dari penyatuan kerajaan-kerajaan kecil dari
pantai Utara hingga Barat Aceh 1. Kerajaan Aceh juga termasuk ke dalam lima
besar kerajaan Islam pada masa itu. Yaitu, Kerajaan Turki Usmaniyah di Istanbul,
Tengah, Kerajaan Islam Ikra di India dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia
Tenggara 2.
dipimpin oleh seorang yang dinamakan keucik. Gabungan dari beberapa gampong
disebut Mukim yang dipimpin oleh seorang yang dinamakan imeum mukim,
1
Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya
Aksara, 1980, hlm. 31.
2
Ibid., hlm. 208.
3
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan,
Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 11.
4
Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675,
Medan: Monora, 1972, hlm. 86.
seorang uleebalang 6.
oleh Sultan melalui sarakata (surat pengangkatan) yang telah dibubuhi cap
sikureung (cap sembilan) 8. Sarakata berisi batas-batas daerah yang dipimpin dan
pemberian kekuasaan yang sangat luas juga sebagai tanda bahwa mereka adalah
atau yang dikenal dengan sebutan adat poteumeureuhom pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) 10. Tugas utama uleebalang adalah (a) menjaga
orang-orang yang ingkar akan keputusan hukum dan adat. (c) mengadakan laskar
Pada masa kesultanan peran uleebalang sangat besar, misalnya dalam hal
Asahan, Johor dan Malaka dan juga perang-perang lainnya 12. Uleebalang
mengirimkan uang sejumlah 30-40 real kepada ahli waris uleebalang guna untuk
9
Ridwan Azward, Aksi Poh Kaphe, Atjeh Moorden Di Aceh, Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 41.
10
Bachtiar Aly, Dalam Seminar Hari Jadi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh Yang Ke-36. Banda Aceh 1995.
11
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara Jilid 1, Medan: Pustakan
Iskandar Muda, 1961, hlm. 334.
12
Mansyur Amin, Kelompok Elite Dan Hubungan Sosial Dipedesaan,
Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988, hlm. 14.
13
H.M. Zainuddin, op.cit., hlm. 326.
negerinya. Bahkan, uleebalang memonopoli hasil bumi seperti lada, beras dan
pinang 14. Uleebalang juga merupakan pemilik modal (peutua pangkai) yang
Yaitu mereka mendapat hak 10% dari warisan yang dibagikan kepada yang
berhak, mendapatkan satu ringgit dari setiap perahu yang memasuki sungai di
timpang. Perbedaan yang terjadi antara rakyat dan uleebalang seperti yang
sangat heran karena sifatnya yang sederhana, mereka cukup makan sedikit nasi
dan hampir setiap hari hanya makan nasi, mereka yang kaya (Orang
kaya/uleebalang) makan dengan sedikit ikan dan sedikit sayuran dan memakai
14
Anthony Reid, Sumatera Revolusi dan elite tradisional, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012, hlm. 22.
15
Mansyur Amin, op.cit., hlm. 18.
16
Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 41.
17
Anthony Reid, 2012, loc.cit.
mewah, dengan kereta bagus, dengan rumah indah, memakai alat radio, hidup
menggunakan tangan 19
Kontak pertama antara orang Belanda dengan kerajaan Aceh terjadi pada
21 Juni 1599. Ketika sebuah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis
2 buah kapal de leeuw dan de leeuwin 20. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda
menyatakan peperangan dengan Kerajaan Aceh 21. Belum genap satu tahun
18
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Hlm. 68.
19
Munawiah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Banda Aceh: Ar-
Raniry Press, 2007, hlm. 158.
20
Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23.
21
Paul Van ‘T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronye,
Jakarta: Grafiti, 1985, hlm. 34.
lagi dalam memerangi Belanda dan Aceh pun dengan mudahnya dapat
Hal ini dilakukan juga karena Belanda menyadari bahwa uleebalang sebagai
putra uleebalang dari Idi Rayeuk telah dikirim untuk mengikuti pendidikan di
Kuta Raja, sebagian dikirim ke Bukit Tinggi dan sebagian lagi ke Bandung 25.
tradisional, seperti di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ulama. Mereka yang
masih menganut nilai tradisi beranggapan dosa hukumnya jika mempelajari huruf-
Sebagian dari uleebalang juga telah membangun rumah yang besar, memiliki
22
Ismail Sunny, op.cit., hlm. 191
23
Antony Reid, op.cit., hlm. 19.
24
Departemen pendidikan dan kebudayaan, op.cit., hlm. 102.
25
Munawiah, op.cit., hlm. 138.
Seri Lanang 29, Tun Sri Lanang memerintah dari tahun 1615-1659 30. Beliau
Aceh. Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga Melayu karyanya yang
26
Ibid., hlm. 158.
27
Kruisheer A., Atjeh, Weltevreden: Visser en Co. 1913. Kelima afdeeling
itu adalah Grooet Atjeh, Noordkust Van Atjeh, Oostkust Van Atjeh, Westkust Van
Atjeh Dan Alaslanden, hlm. 282-296.
28
Ibid., hlm. 285.
29
Pocut Haslinda Syahrul, Tun Seri Lanang dan Terungkapnya Akar
Sejarah Melayu Setelah Empat Abad, Jakarta: Pelita Hidup Insani, 2008, hlm. 93.
30
Ibid., hlm. 5.
31
Ibid., hlm. 34
tahun 1877 32 adalah Teuku Chik Raja Bugis. Isi perjanjian itu antara lain: (a) saya
Jenderal sebagai tuan yang sah. (b) saya akan memerintah negeri saya dengan
pribadi 34.
barang seperti lada dan pinang. Ekspor dari Samalanga berkembang baik karena
32
M. Nur El Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureueh, Peranannya dalam
Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 78.
33
Overeenkomsten Met de Zelfbesturen In Het Gouvernement Atjeh En
Onderhoorigheden, S.I: Departement van Binnenlandsch Bestuur. 1913. hlm. 1.
34
A.K. Jakobi, op.cit., hlm. 47.
35
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid 2, Medan: Harian
Waspada Medan, 1985, hlm. 141.
Aceh sistem ini dijalankan oleh Belanda namun juga di Jawa, seperti yang
Belanda. Sebagai imbalan tertinggi, mereka terpengaruh sampai batas tertentu dan
mengikuti gaya hidup/ kebudayaan para penakluk mereka 36. Dari latar belakang
yang telah diuraikan di atas adapun permasalahan yang akan diungkapkan dalam
Aceh relatif banyak, baik yang dikerjakan oleh sarjana luar negeri maupun sarjana
konteks ini penulis akan memfokuskan secara khusus pada penelitian kehidupan
Belanda di Aceh, yang secara politik dan kultural menyebabkan pergeseran sistem
36
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-Batas PemBaratan,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 103.
sekali belum ada yang meneliti. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi koleksi bagi
kehidupan sosial uleebalang di Aceh. Hasil kajian ini diharapkan juga bisa
Aceh.
keseharian, gaya hidup, pendidikan yang ditempuh dan lain-lain. Dalam kajian
Dari beberapa studi mengenai uleebalang, karya yang terkait dengan tema
ini adalah karya Gazali, Interelasi Umara dan Ulama Dalam Menata Kehidupan
(Tesis belum terbit, 2015). Studi ini membahas dua golongan pemimpin
urusan perang maka tugas uleebalang lah yang menyediakan pasukan perang.
Kerjasama antara uleebalang dan ulama terlihat dari struktur pemimpin di Aceh.
Uleebalang sebagai pemimpin sebuah nanggroe dan ulama selaku imeum mukim.
Aceh. Namun, walau demikian studi ini dapat dijadikan rujukan dalam memahami
pernah diteliti oleh Muhammad Gade Ismail, Seuneubok Lada, Uleebalang dan
1942, (disertasi belum terbit, 1991). Karya ini mengenai perkebunan lada di Aceh
yang tadinya dibuka menjadi perkebunan telah memenuhi syarat untuk dijadikan
memperebutkan daerah kekuasaan, karena tidak ada tapal batas wilayah yang jelas
Aceh Besar termasuk juga Aceh Timur dilakukan dengan berbagai cara yaitu,
yang pertama dengan jalan diplomasi, blokade pantai dan menggunakan kekuatan
militer. Dalam hal ini Van Switen menggunakan cara penaklukkan dengan
tertentu. Yaitu, demi politik ekonomi mereka. Jika mereka tidak mau bekerja
sama dengan Belanda secara tertulis, maka pantai di daerah kekuasaan mereka
akan di jaga ketat oleh Belanda, sehingga mereka tidak bisa mengekspor hasil
bumi mereka seperti lada. Hal-hal seperti inilah yang merupakan awal dari
Studi ini bertutur tentang uleebalang sebagai kepala nanggroe setelah jatuhnya
kerajaan Aceh. Setelah kerajaan Aceh jatuh maka uleebalang mempunyai otoritas
yang semakin mengakar dan semakin kuat terhadap daerah kekuasaannya. Karena
sesungguhnya daerah yang mereka kuasai itu sebelum ditaklukkan atau dilebur ke
setelah Belanda mulai menguasai pantai-pantai di luar Aceh Besar, Belanda tidak
pemerintahannya di Aceh.
etis, juga untuk tujuan agar muncul kalangan elite baru yang menganut sistem
nilai Belanda. Artinya mereka akan terpengaruh oleh kehidupan dan kebiasaan-
kebiasaan yang dijalankan Belanda, dalam berbagai hal yang mereka anggap
Islam. Kajian seperti ini sangat dibutuhkan penulis dalam mengurai perubahan
Samalanga yang terdapat dalam buku karya Sudirman. Bireuen Kota Juang 1945-
1949 (Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, 2010).
perbedaan hanya saja terletak pada unit pemerintahan yang dalam penyebutannya
sebutan gun.
Samalanga. Namun kajian ini diungkap secara umum saja dan juga tidak
Konsentrasi tulisan ini lebih terpusat pada masa perang kemerdekaan. Uleebalang
adalah Teuku Hamid Azwar dan T. M. Samalanga, sama halnya seperti dalam
uleebalang.
Selain itu kajian yang lain yang mengulas mengenai nanggroe Samalanga
adalah karya Pocut Haslinda, Tun Sei Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah
Melayu Setelah Empat Abad. Penulis adalah keturunan ke-8 dari uleebalang
Namun, sangat disayangkan walaupun beliau berada dalam ranah kaum yang
Samalanga yang berasal dari tanah melayu bernama Tun Sri Lanang. Tanah
Melayu ini sebagai daerah taklukan kerajaan Aceh masa pemerintahan sultan
banyak orang-orang melayu dipindahkan ke Aceh, istri dari Iskandar Muda juga
berasal dari tanah melayu, yaitu dari daerah Pahang. Yang di Aceh dikenal dengan
berkebangsaan Melayu.
uleebalang yang bisa dijadikan acuan dalam kajian ini yaitu, karya Ibrahim
Alfian, Perang di Jalan Allah 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1987).
dari bentuk gampong hingga nanggroe. Khusus di Aceh Besar ditambah dengan
adanya bentuk atau unit pemerintahan yang dinamakan Sago. Masing-masing dari
semua unit pemerintahan tersebut memiliki pemimpinnya dan urutan terbesar dan
gambaran dalam buku tersebut dengan tidak sedikitpun mengkaji gaya hidup
uleebalang.
Terakhir studi yang terkait dengan tema ini adalah karya K.F.H Van
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002). Karya ini menjelaskan secara rinci
sistem pemerintahan dan lebih tertuju kepada sistem di daerah Aceh Besar sebagai
relatif hirarkis dengan kekuasaan terbesar berada di tangan sultan. Dimana Aceh
besar dibagi kepada tiga sagi/sagoe 37 yang dipimpin oleh panglima sagoe.
Sedikit banyaknya semua yang berlaku di Aceh Besar juga berlaku di seluruh
daerah Aceh dan bisa dijadikan penulis sebagai dasar untuk meneliti uleebalang
menguraikan pemimpin yang lain yaitu pemimpin keagamaan atau disebut dengan
ulama.
sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan
wadah yang disebut masyarakat 39. Pandangan ini selain menunjuk pada suatu
satuan masyarakat yang besar, misalnya masyarakat desa, masyarakat kota atau
37
Sagi/sagoe merupakan federasi dari beberapa mukim dan sebutan ini
khusus hanya untuk daerah Aceh Besar
38
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 4.
39
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Hlm. 124.
sebuah sistem sosial 40. Artinya, kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu
berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu kesatuan.
Dan kemudian akan tumbuh hubungan timbal balik antar individu dan antar
tersebut diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang mencakup pada tiga bidang.
Yaitu: bidang politik, ekonomi dan sosial. Di dalam bidang sosial tersebut,
termasuk bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang tidak dapat dimasukkan
kedalam bidang politik dan ekonomi 42. Kehidupan sosial juga didefenisikan
sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial hanya akan terjadi apabila terdapat kontak
sosial dan komunikasi 43. Proses interaksi sosial akan menimbulkan kelompok-
40
Ibid., 124
41
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada 1993, hlm. 45.
42
Ibid., hlm. 46.
43
Zainul Pelly, Sosiologi, Medan: Fakultas Hukun Universitas Sumatera
Utara: 1985, hlm. 77.
44
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 46.
(J. Dwi Narwoko) berpendapat, perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting
dalam struktur sosial, pola-pola perilaku dan sistem interaksi sosial, termasuk
didalamnya perubahan norma, nilai dan fenomena kultural 45. (Herbert spencer,
Agust Comte dan emile durkhem) berpendapat bahwa, pada dasarnya setiap
masyarakat, walau secara lambat laun pasti akan bergerak, berkembang dan
akhirnya berubah dari struktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih
kompleks maju dan modern 46. Penyebab terjadinya perubahan sosial antara
lain.
sistem sosial yang saling berkaitan antara politik sosial dan ekonomi. Hubungan
timbal balik tersebut terjalin antar berbagai kelompok, individu dan juga golongan
penguasa. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka antar kelompok saling
merupakan hasil ladang akan dijual kepada nelayan. Hubungan timbal balik antar
sesama masyarakat juga terbangun dalam bidang lain. Seperti, gotong royong
45
J. Dwi Narwoko, op.cit., hlm. 362.
46
Ibid., hlm. 397.
(rumah), juga dalam upacara adat (kenduri) dan lain sebagainya. Hubungan sosial
seperti ini diatur dalam hukum dan adat Aceh 47. Hubungan timbal balik juga
bahwa di dalam sistem yang sangat tradisional seperti Yaman dan Arab Saudi
peranan 48. Hal ini terbukti pada sistem pada pemerintahan uleebalang secara
digantikan oleh anak sulungnya (laki-laki). Begitu juga seterusnya hingga anak
cucu.
loyal 49. Dalam studi ini uleebalang dianggap sebagai patron dan rakyat sebagai
47
Muhammad Husen, Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970. hlm. 116.
48
Lester G. Seligman, Elit dan Modernisasi, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1989, hlm. 20.
49
Leo Agung S, Sejarah Intelektual, Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm. 14.
kepatuhan tanpa syarat 51. Hubungan patron-client juga tergambar pada loyalitas
masyarakat Jawa terhadap raja bagaikan anak panah dan si pemanah 52. Yang si
juga tidak terlepas dari dukungan rakyatnya. Uleebalang yang dianggap sukses
dan berhasil adalah uleebalang yang memiliki banyak pengikut. Uleebalang juga
Hubungan sosial lainnya yang erat antara uleebalang dan rakyat adalah
50
Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23.
51
Heater Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar
Harapan, 1983, hlm. 76.
52
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau, Studi Tentang Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985, hlm. 110.
diberikan izin untuk menggarap dan mengerjakan sawah. Dan disisi lain,
uleebalang juga bergantung kepada pajak yang diberikan oleh rakyatnya. Karena
janda, fakir-miskin, yatim-piatu dan juga para musafir yang tinggal (menumpang)
di kediaman uleebalang.
ekpor-impor barang, penjualan hasil bumi (lada dan pinang) dan berbagai kegitan
lainnya yang mendatangkan hasil bagi uleebalang. Dan dapat disimpulkan bahwa
golongan uleebalang adalah golongan yang memiliki tingkat ekonomi yang paling
Uleebalang yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari pada
masyarakatnya membuat mereka memiliki kehidupan yang lebih mewah dari pada
hal yang dianggap baru dan dengan mudah mereka bisa mengaplikasikan hal baru
sistem kehidupan sosial pada golongan uleebalang. Perubahan juga terjadi dalam
yang baru, uleebalang tidak memiliki kewajiban yang penuh lagi terhadadap
Sultan Aceh.
kepada setiap uleebalang untuk bekerja sama mengelola hasil bumi dari
setiap bulan. Sarana dan prasarana yang menunjang tujuan pemerintah Hindia-
Perubahan bukan hanya terjadi pada bidang politik dan ekonomi saja.
Namun, terjadi juga pada kehidupan pribadi atau tatanan hidup uleebalang.
orang-orang Belanda. bukan seperti rumah panggung atau rumah adat Aceh.
perabotan orang-orang Belanda, yang terdiri dari lampu hias, bangku, meja dan
lain sebagainya.
dibandingkan dengan masyarakat pada masa itu tidak menggunakan alas kaki
motor dan mobil. Bahkan ketika putera-puteri mereka masih kecil, mereka
seusianya.
di sisi lain masyarakat menganggap bahwa budaya yang baru dan modern itu akan
uleebalang di Samalanga.
interpretasi atau penafsiran dan historiografi 53. Heuristik yaitu tahap sebagai
pengumpulan data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai tempat. Sumber
data penelitian terbagi kepada dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder 54.
Republik Indonesia. Dari penelusuran sumber arsip dan dokumen, penelitian ini
menempatkan tulisan berikut sebagai sumber primer. Antara lain: Memori van
Overgave (MvO) dari Jongejans: Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. MvO
53
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal, Konsep Metode dan Tantangannya,
Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 67.
54
Etta Mamang Mangadji, Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis
dalam Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2010, hlm. 44.
termasuk Samalanga. Sehingga tulisan ini dapat dijadikan rujukan dalam menulis
Samalanga. Atjeh Zaken No. 01168, 01242 dan 01942 juga menginformasikan
dengan Belanda dan juga jumlah pasukan yang berperang juga terdapat dalam
peperangan tersebut.
tentang keluarga dan kehidupan di kampung atau desa. Dan cukup lengkap
mengupas tentang kebiasaan atau adat orang Aceh dan juga karakter orang Aceh,
penelitian penulis.
Loopende Van 13 April 1873 Tot 27 Februari 1880. Ketiga sumber ini berisi
Samalanga.
mukim yang diinginkan, jalan kerjasama dengan Belanda pun terpaksa ditempuh.
Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, Pusat dokumentasi Dan Informasi Aceh.
Sumber yang diperoleh berupa buku, koran, jurnal dan lain sebagainya.
Buku-buku yang penulis temukan dari beberapa tempat diatas antara lain:
karya Van ‘T Veer, Paul. Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronye,
informasi mengenai uleebalang. Selain buku tersebut, masih banyak lagi buku-
Samalanga. Informasi yang didapatkan dari wawancara ini antara lain: uleebalang
memiliki rumah khas Aceh dan juga rumah yang berbentuk sama dengan rumah
dari wawancara.
55
Ibid., hlm. 171.
melakukan kritik terhadap kumpulan sumber tersebut. Kritik terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu kritik interen dan kritik eksteren. Kritik eksteren merupakan
membandingkan dengan sumber atau dengan data yang lain dan selanjutnya
Keseluruhan tulisan ini akan dirangkai kedalam beberapa bagian sebagai berikut:
Hasil penelitian ini disusun ke dalam enam (6) bab. Bab 1 merupakan
kerajaan, baik itu mengenai geografi dan demografi. Sistem pemerintahan juga
dibahas dalam bab ini. Mengingat Samalanga adalah salah satu daerah yang telah
56
Sugeng Priyadi, op.cit., hlm. 68.
57
Ibid., hlm. 69.
dipimpin oleh seorang uleebalang, maka sosial ekonomi dan juga simbol-simbol
Bab III akan mengkaji tentang awal Belanda memasuki daerah Samalanga,
Belanda menggunkan cara blokade pantai dan juga dengan cara peperangan.
pemerintahan di Aceh dan juga membangun sarana prasarana, yang akhirnya akan
sesungguhnya uleebalanglah yang ikut dalam arus modernisasi yang dibawa oleh
Belanda.
Aceh. Dimulai dari hubungan antara uleebalang dan ulama yang berselisih, dan
karena uleebalang sudah memimpin secara tidak adil dan menyakiti hati
penelitian tesis dan akan menjawab semua permasalahan pada rumusan masalah